Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PENELITIAN

Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Mediasi


di Luar Pengadilan

oleh

H. M. Hadin Muhjad dan Mulyani Zulaeha


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelesaian sengketa perdata secara garis besar dapat dibagi dengan dua

cara, yaitu penyelesaian sengketa secara litigasi (peradilan) dan bentuk

penyelesaian sengketa secara non litigasi (diluar pengadilan). Setiap masyarakat

memiliki cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menentukan pilihan

penyelesaian sengketa. Cara yang dipakai pada penyelesaian suatu sengketa

tertentu akan memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa

maupun masyarakat dalam arti luas. Karena ada konsekuensi dari pilihan

penyelesaian sengketa tersebut, maka dalam memilih mekanisme yang paling

tepat para pihak perlu memperhatikan bentuk persoalan dan apa yang diharapkan

para pihak dalam penyelesaian sengketa serta biaya-biaya yang dapat atau

sedianya ditanggung oleh para pihak1.

Prinsip ajudikasi dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa secara litigasi

(peradilan). Pada sistem penyelesaian sengketa tersebut para pihak akan

dihadapkan pada kewajiban untuk saling memberikan bukti-bukti secara legal

berdasarkan ketentuan.Sifat hukum acara perdata adalah mengatur (regulative )

jalannya proses berperkara di pengailan memaksa atau mengharuskan untuk

ditaati.

1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,2000, Hukum Arbitrase, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, hlm 3
Banyaknya perkara perdata yang diajukan oleh para pihak untuk diperiksa

dan diadili oleh hakim menimbulkan terjadinya penumpukan perkara yang pada

akhirnya berimplikasi pada lambatnya proses penyelesaian perkara. Penyelesaian

perkara yang berlarut-larut di pengadilan menurut Paustinus Siburian dapat

berakibat pada, (i) menenggelamkan kebenaran dan keadilan kedalam lembah

yang curam, sehingga sulit diraih oleh masyarakat pencari keadilan, (ii)

menimbulkan ketidakpastian yang berlarut-larut diantara para pihak yang

berperkara, dan (iii) para pihak yang berperkara akan mengalami kerugian

ekonomis yang tidak sedikit2. Namun demikian, kelambatan penyelesaian perkara

melalui pengadilan karena proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik itu

tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan problema yang menyeluruh disemua

negara3.

Pengadilan memang tidak didesain untuk melakukan pekerjaan yang

efektif dan efisien4, oleh sebab itu penyelesaian sengketa dengan cara litigasi bisa

bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Pengadilan adalah metode penyelesaian

sengketa paling konvensional dan menuai banyak kritik dan kelemahan seperti 5:

1. Waktu
Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan kesulitan
mendapatkan putusan yang benar-benar final dan mengikat karena adanya

2
Paustinus Siburian. 2004. Arbitrase Online : Alternatif Penyelesaian Sengketa
Elektronik. Jakarta : Djambatan. hlm 5
3
Jepang yang dianggap sebagai negara maju, proses penyelesaian perkara di peradilan
memakan waktu yang sangat lama. Rata-rata memakan waktu antara 10 – 15 tahun. Di Korea
Selatan, Hongkong dan Singapura proses penyelesaian perkara melalui badan peradilan dianggap
lama dan biayanya tinggi. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat, disamping waktu yang
lama, Amerika berpendapat bahwa penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan perdata
terkesan (1) tidak adil (unfair)karena lebih mementingkan lembaga besar dan orang kaya, dan (2)
secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizen) ; Lihat M.Yahya Harahap. Citra
Penegakan Hukum. Varia Peradilan Tahun X Nomor 117 Juni 1995. hlm 143-161
4
M.Yahya Harahap. Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara. Kompas 16 Juli 1999
5
Prosiding Mahkamah Agung RI. 2005. Mediasi dan Court Annexed Mediation. Jakarta :
Mahkamah Agung RI dan Pusat Pengkajian Hukum. hm xx
upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak dengan jangka waktu
penyelesaian yang tdak bia dikontrol oleh para pihak
2. Biaya Mahal
Biaya pengadilan dianggap mahal, hal ini karena prosedur dalam sistem
peradilan yang bertingkat-tingkat
3. Adversary
Proses beracara di pengadilan memaksa para pihak untuk saling
menyerang
4. Prosedur yang ketat
Prosedur beracara di pengadilan bersifat rigid, tidak ada keleluasaan para
pihak untuk mencari inovasi alternatif penyelesaian sengketa
5. Win-Lose Situation
Sistem peradilan didasarkan pada benar atau salah
6. Hubungan Putus
Dengan adanya sistem win-lose maka mengakibatkan hubungan baik para
pihak menjadi terputus
7. Memicu konflik baru
Putusan hakim di pengadilan memungkinkan munculnya konflik baru

Banyaknya kritikan dan makin meningkatnya perkara di pengadilan,

tidak saja terjadi di Indonesia namun juga terjadi diberbagai negara di dunia.

Merespon kecenderungan peningkatan penumpukan perkara di pengadilan

tersebut, Frank Sander dari Harvard Univercity pada tahun 1976 telah

meramalkan solusi terkait hal tersebut, yaitu dengan mencegah terjadinya

sengketa dan mengeksplor alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan.6

Ada beberapa model penyelesaian sengketa diluar pengadilan, seperti

negosiasi, mediasi dan arbitrase. Seiring dengan peningkatan jumlah perkara

yang masuk di pengadilan maka mediasi mendapat banyak perhatian untuk

6
Naskah Akademik MARI. Tahun 2005 Tentang Pembaharuan Sisten Peradilan, hlm xix
membantu memecahkan permasalahan penumpukan perkara di pengadilan.

Mediasi dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang dapat memenuhi

keinginan para pihak, mempersingkat waktu dan biaya 7. Mediasi merupakan

suatu proses negosiasi yang dibantu oleh pihak ketiga 8. Hal itu disebabkan para

pihak yang tidak mampu menyelesaiakan sengketanya sendiri menggunakan jasa

pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu

kesepakatan. Kehadiran pihak ketiga (mediator) dalam mediasi tidak seperti

pihak ketiga (hakim) dalam proses peradilan yang menerapkan hukum terhadap

fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, dalam mediasi pihak ketiga akan

membantu pihak-pihak yang bersengketa dengan menerapkan nilai-nilai terhadap

fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai itu dapat meliputi hukum, rasa

keadilan, kepercayaan, agama, etika, moral dan lain-lain.

Kasus pertanahan9 merupakan salah satu persoalan yang banyak diajukan

ke pengadilan. Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan

manusia di muka bumi. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,

perkembangan pembangunan yang pesat, tentu berbanding lurus dengan

kebutuhan akan tanah, baik untuk tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya yang

menunjang kehidupan manusia. Hal ini tentu dapat memicu terjadinya masalah

berkaitan dengan tanah. Masalah tanah yang muncul di kalangan masyarakat terus

7
Naskah Akademik MARI. Op.cit. hlm xix
8
Prosiding Mahkamah Agung RI. Op.cit. hlm 33
9
Kasus Pertanahan adalah Sengketa, Konflik, atau Perkara pertanahan untuk mendapatkan
penanganan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau
kebijakan pertanahan. Sengketa Tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Konflik Tanah adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau
lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Sedangkan Perkara Tanah
adalah perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
Lihat Pasal 1 angka 1, 2, 3 dan 4 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
mengalami peningkatan dan makin kompleks. Terjadi ketidakseimbangan antara

masalah yang timbul dengan pola penyelesaiannya yang dinilai lamban.

Dalam kerangka mempercepat proses penyelesaian kasus pertanahan maka

dikeluarkanlah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan, yang dimaksudkan untuk mennggetahui riwayat dan akar

permasalahan baik sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Penyelesaian

kasus pertanahan ditujukan agar dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan

mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan dapat dilakukan oleh kantor

pertanahan, kantor Wilayah BPN atau Dirjen, terhadap pengaduan atau

pemberitaan pada surat kabar terkait sengketa atau konflik. Penyelesaian sengketa

dan konflik menurut Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 dbedakan menjadi penyelesaian

sengketa dan konflik yang merupakan kewenangan kementerian dan yang bukan

kewenangan kementerian.

Penyelesaian sengketa dan konflik yang bukan kewenangan kementerian,

menurut Pasal 12 ayat (5) juncto Pasal 37 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 dapat dilakukan

melalui mediasi. Namun tidak terdapat bagaimana karakteristik penyelesaian

sengketa di luar kewenagan kementerian yang dapat di selesaikan melalui

mediasi, dan mengingat terdapat beberapa model mediasi maka diperlukan suatu

pola mediasi yang relevan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan sehingga

dapat lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa pertanahan.


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui

Mediasi Di Luar Pengadilan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sengketa pertanahan yang dapat diselesaikan melalui


mediasi di luar pengadilan ?
2. Bagaimana model mediasi yang relevan untuk penyelesaian sengketa
pertanahan di luar pengadilan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :


1. Menemukan, mengidentifikasi dan menganalisis sengketa pertanahan
yang dapat diselesaikan melalui mediasi di luar pengadilan.
2. Menemukan dan menganalisis tentang model mediasi yang relavan
untuk penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan


sumbangan dalam pengembangan ilmu hukum dibidang pertanahan,
khususnya berkaitan penyelesaian sengketa pertanahan di luar
pengadilan melalui mediasi.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang konstruktif bagi masyarakat, pemerintah dan instansi
terkait dengan pola penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan
melalui mediasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Sengketa Tanah

Salah satu kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia adalah

hamparan tanah yang maha luas yang tersebar di lima pulau besar dan ribuan

pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai satu wilayah yang terletak di

bentang garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi menjadi negara agraris

yang maju mengingat kesuburan tanah yang dimilikinya. Faktanya, sebagian besar

rakyat Indonesia memang menyandarkan kehidupannya pada sektor pertanian.

Jika pengelolaan kehidupan pertanian dilakukan dengan baik, pemerataan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dapat menjadi nyata.

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam utama yang ada di planet

bumi serta merupakan kunci keberhasilan makhluk hidup. Tanah sangat vital

perannya bagi semua kehidupan makhluk hidup dengan menyediakan unsur hara

dan air.

Pengertian dari tanah itu sendiri secara etimologis menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia tanah mempunyai banyak arti antara lain:

1. Tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi

2. Keadaan Bumi di suatu tempat

3. Permukaan Bumi yang diberi batas


4. Bahan dari bumi (pasir, napal, cadas dan sebagainya). 10

Definisi tanah melalui beberapa pendekatan:11

1. Pendekatan Geologi (Akhir Abad XIX): Tanah adalah lapisan

permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami

serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk

regolit (lapisan partikel halus).

2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870): Pendekatan Ilmu Tanah

sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo= i gumpal tanah.

Tanah adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak

dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami

perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: Bahan Induk, Iklim,

Organisme, Topografi, dan Waktu.

3. Pendekatan edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris): Kata

Edaphos bahan tanah produktif. Tanah adalah media tumbuh tanaman.

Tanah merupakan sumber daya alam yang terhampar luas merupakan

anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi makhluknya. Tanah memiliki fungsi vital

dan utama bagi manusia, semua orang memerlukan tanah karena fungsi tanah

yang memang sangat vital bagi manusia baik untuk tempat tinggal maupun tanah

untuk melakukan kegiatan lain seperti sumber mata pencaharian berupa pertanian

dan perkebunan. Masalah tanah terutama berkaitan dengan hak menguasai tanah

merupakan persoalan yang seringkali menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu

10
Suhariningsih. 2008. Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju
Penertiban. Malang: Prestasi Pustaka, hlm 61.
11
Abdul Madjid. Dasar-Dasar Ilmu Tanah..
www.dasar2ilmutanah.blogspot.com/search/label/DefinisiTanah, diakses pada tanggal 20
September 2015.
perlu adanya pengaturan agar penguasaan tanah tersebut tidak mengalami

tumpang tindih yang pada akhirnya menimbulkan persoalan kepemilikan.

Penguasaan tanah dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,

yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada

pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik

tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak

diserahkan kepada pihak lain. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya pengaturan

yang memberikan kepastian hukum dalam penguasaan tanah.

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang

perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara

sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan

definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah

dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait

dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan

dan sengketa hak ulayat. Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan

antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau

lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara

sosio-politis. Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang

penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga

peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.


Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau

perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan

Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi : 12

1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak
atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak
oleh pihak tertentu.
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah
ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun
yang masih dalam proses penetapan batas.
3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari
warisan.
4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang
diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki
sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
6. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan
sertipikat hak atas tanah pengganti.
7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta
Jual Beli palsu.
8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang
teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena
terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan
subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak
atas tanah tertentu.

Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI merupakan kasus-

kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul sebagai implikasi kasus-kasus

12
http://www.bpn.go.id/Program/Penanganan-Kasus-Pertanahan. diakses tanggal 29
oktober 2016.
lama. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh

informasi bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan generalisasi

dalam melakukan upaya penanganan kasusnya. Sehubungan dengan hal tersebut,

dalam upaya penyelesaiannya dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai

berikut: Kriteria 1 penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan

dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa. Kriteria 2: penerbitan

Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas

tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat

Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan. Kriteria 3 : Pemberitahuan

Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai

pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang

bersengketa. Kriteria 4 : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang

intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses

perkara di pengadilan. Dan Kriteria 5 : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus

Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah

ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan

melalui instansi lain.

Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan

ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, solusi penyelesaiannya dapat

dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:13

1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus

A. Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.

B. Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.

13
Ibid.
C. Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :

2. Pengkajian Kasus

A. Untuk mengetahui faktor penyebab.

B. Menganalisis data yang ada.

C. Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.

3. Penanganan Kasus

Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan

ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan :

A. Pengolahan data pengaduan, penelitian

lapangan/koordinasi/investigasi.

B. Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.

C. Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.

D. Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.

Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis,

dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik strategis.

4. Penyelesaian Kasus

Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

A. Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.

B. Penyelesaian melalui proses mediasi

Hukum memiliki fungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam

menjalankan aktivitasnya, sehingga melalui pengaturan itu bisa terwujud satu

masyarakat yang sejahtera, sesuai dengan yang diamanatkan dalam pembukaan


UUD 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan, tujuan hukum

dan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan sarana

pembangunan dalam arti mengarahkan kegiatan manusia kearah yang di

kehendaki dalam pembangunan. Menghadapi aktifitas pembangunan dan

meningkatnya kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat, perangkat hukum

diperlukan dalam rangka menjaga terciptanya keseimbangan antara kebutuhan

hidup masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dengan lingkungan.

2. Mediasi

Mediasi merupakan bagian dari penyelesaian sengketa alternatif diluar

pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut undang-undang

ini Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari Konsultasi. Negosiasi, Mediasi,

Konsiliasi, dan Penilaian Ahli. UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan

secara tegas apa definisi atau pengertian dari mediasi.

Definisi mediasi menurut Gary Goodfaster adalah proses negosiasi untuk

pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan

netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka

memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Mediator tidak

mempunyai kewenangan untuk memutuskan segala sengketa para pihak.14

Mediasi adalah suatu bentuk penyelsaian sengketa melalui perundingan dan

bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang

dapat disepakati para pihak. Peran mediator adalah memberikan bantuan

14
Goodfaster, Gary. 1995. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Ghalia
Indonesia, hlm 7
substantive dan procedural kepada para pihak yang bersengketa, akan tetapi

mediatortidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan, sifatnya hanya

sebaga penengah saja.

Mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi atau atas suatu

konflik yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak. Sebagai pihak

ketiga yang netral, mediator merancang dan memimpin diskusi serta bertindak

sebagai penengah untuk memfasilitasi kemajuan kearah penyelesaian. Mediator

mengarahkan jalanya negosiasi, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk

menetapkan atau membuat keputusan atas masalah yang menjadi pokok

sengketa. Oleh karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses

negosiasi. Hal itu disebabkan pihak yang tidak mampu menyelesaikan sendiri

sengketanya dalam sebuah negosiasi menggunakan jasa pihak ketiga yang

bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Keadaan

dimana mediasi yang dianggap sebagai perluasan dari negosiasi (mediasi

sebagai kulit luar dari sebuah proses negosiasi).

Dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 mediasi merupakan kelanjutan

negosiasi dan dilaksanakan jika proses negosiasi telah gagal. Sebagaimana

diatur dalam Pasal 6 (2) UU No.30 Tahun 1999 menyebutkan “Penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui alternative penyelesaian sengketa

diselesaikan dalam pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam

waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu

kesepakatan tertulis” Selanjutnya dalam ayat (3) secara jelas disebutkan,

“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa
atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat

ahli maupun seorang mediator”.

Dalam ketentuan tersebut tampak kaitan erat antara mediasi dan negosiasi.

Mediasi merupakan suatu proses dimana mediator yang telah disepakati oleh

pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai fasilitator bagi kepentingan

negosiasi, yang membantu para pihak tersebut mencapai solusi yang saling

menguntungkan. Jadi dari UU No.30 Tahun 1999 dapat disimpulkan tentag

adanya “kewajiban” untuk melaksanakan proses negosiasi terlebih dahulu,

sebelum masuk pada penyelesaian sengketa melalui mediasi.

Ciri pokok mediasi secara singkat adalah mediasi dapat dianggap sebagai

suatu proses pengambilan keputusan dengan bantuan pihak tertentu (facilitated

decision making). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan dalam mediasi

terdapat ciri pokok sebagai berikut :15

1. merupakan sebuah proses atau metode

2. Terdapat para pihak yang relevan dan/atau perwakilan

3. Dibantu oleh pihak ketiga netral (mediator)

4. Berusaha melalui sebuah perundingan untuk mendapatkan keputusan yang

dapat disetujui para pihak

Mediasi juga memiliki ciri variable sebagai berikut :16

1. Tingkatan bagaimana tercapai kesepakatan

2. Pemilihan mediator oleh para pihak

15
Proyek Ellips. 1995. Mediasi. Jakarta : Kantor Menteri Negara Koordianator Bidang
Ekonomi, hlm 25.
16
Ibid.
3. kualifikasi, keahlian dan kecakapan mediator

4. Indepedensi dan kenetralan mediator

5. Sifat campur tangan mediator

6. Tanggung jawab mediator terhadap para pihak terkait, pihak luar serta

standar keadilan dan kelayakan

7. Kerahasiaan proses

8. Dasar peraturan dan prosedur yang diikuti

9. Status dari hasil akhir serta penyelesaian

10. Tingkatan dimana persegketaan sebelumnya dapat diselesaikan dan

kepentingn kedepan dapat diperhitungkan.

a. . Ruang Lingkup Mediasi

Kadangkala para pihak yang bekerja sama harus saling berhadapan dalam

sengketa atau konflik, tetapi segan atau tidak mampu merundingkan suatu

penyelesaian yang disepakati bersama. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai

situasi. Para pihak dapat memiliki pandangan yang berbeda yang disebabkan

oleh kesalahpengertian. Mungkin terjadi pola hubungan yang tidak berfungsi

akibat kecurigaan, kesalahan persepsi, strereotif dan kurangnya komunikasi.

Para pihak mungkin tidak memiliki cukup informasi yang diperlukan dan

tidak mengetahui bagaimana memperolehnya, mungkin tidak setuju dengan

fakta-fakta dasar atau informasi yang relevan dengan sengketa tersebut,

memiliki informasi yang bertentangan atau menafsirkan atau menilai data secara

berbeda. Para pihak bahkan tidak dapat sepakat dengan atau tidak mengetahui

bagaimana berunding secara efektif.


Beberapa konflik yang nampaknya sukar namun sebenarnya dapat

dirundingkan, tetapi para pihak tidak mampu berunding dengan sukses tanpa

bantuan pihak luar. Mediasi tidak selalu tepat untuk diterapkan terhadap semua

sengketa atau tidak selalu diperlukan untuk menyelesaikan semua persoalan

dalam sengketa tertentu. Mediasi akan berfungsi dengan baik bilama sesuai

dengan beberapa kondisi sebagai berikut :

1. para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding

2. para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan dimasa depan

3. terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyeleaikan sengketa

4. para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan

mendalam

5. menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting

dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak

Meskipun benerapa hal diatas bukanlah merupakan suatu daftar yang

secara komutatif mengenai seluruh kondisi yang memungkinkan mendukung

mediasi, namun hal ini memberikan beberapa determinasi apakah para pihak

akan lebih baik menyerahkan proses perkaranya ke mediasi atau tidak.

Misalnya jika para pihak memiliki kekuatan tawar menawar yang sangat

tidak sebanding, maka pihak yang kedudukannya lemah akan lebih baik

menyerahkan masalahnya pada proses litigasi bukan pada mediasi.

b. Model Mediasi
Mediasi memiliki 4 (empat) model, yaitu :17

1. Model Penyelesaian (Settlement Model)

a. mediasi dimaksudkan guna memacu peningkatan terhadap suatu

tingkatan kesepakatan

b. mediator biasanya sependapat terhadap inti permasalahan yang

dinyatakan para pihak

c. fungsi mediator adalah menentukan posisi “bottom-line” serta titik

resistensi para pihak, dan melalui intervensi dengan berbagai tingkatan

persuasive serta dorongan guna menggerakkan para pihak dari posisi

tersebut ke suatu posisi kompromi

d. mediator biasanya seorang individu terpandang atau yang dihormati,

dan tidak selalu berarti memiliki tingkat kecakapan yang tinggi dalam

teknik dan proses mediasi

2. Model Fasilitasi (Fasilitative Model)

a. prosesnya lebih ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para

pihak terkait

b. fungsi mediator adalah menghindari para pihak tergelincir dari proses

tawar-menawar yang terus meningkat (incremental bargaining) dengan

terus menekankan tujuan para pihak, dengan menjelaskan kepentingan

bersama atau yang saling menguntungkan, dengan mendorong

penciptaan suatu nilai (value creation) dan dengan mengajukan secara

kreatif opsi penyelesaian yang ada

17
Lokakarya Terbatas Teknik Mediasi. 2002. Teknik Mediasi. Jakarta : Pusat Pengkajian
Hukum, hlm 32.
c. mediator tidak menyarankan jalan keluar atau mengarahkan hasilnya

kepada suatu penyelesaian pada tingkatan yang wajar atas perselisihan

tersebut, tapi akan membantu para pihak untuk menilai kembali dasar

situasi dan mendapatkan kesepakatan mereka sendiri

d. mediator biasanya seorang ahli dalam proses dan teknik mediasi dan

memiliki pengetahuan yang terbatas dalam permasalahan yang

disengketakan.

3. Therapeutik Model

a. mediasi ditujukan kepada penyebab yang mendasari permasalahan para

pihak sebagai dasar penyelesaian, dan bukan dengan hanya sekedar

kesepakatan dan permasalahannya saja. “Penyelesaian” dalam model ini

berarti suatu tingkatan rekonsiliasi antara para pihak

b. fungsi mediator adalah untuk mendiagnosa penyebab konflik dan

menanganinya berdasarkan aspek psikologis dan emosional dari konflik

itu hingga para pihak yang bertikai dapat menyepakati inti dari

permasalahannya.

c. Mediator diharapkan memiliki kecakapan dalam memberikan saran atau

disiplin ilmu terkait dan dalam teknik mediasi

d. Penekanannya lebih kepada terapi, baik dalam tahapan pra-mediasi atau

dalam proses mediasi

4. Evaluative Model

a. Dalam model ini mediator akan menggunakan keahlian dan

pengalamannya untuk mengarahkan penyelesaian kesuatu kisaran yang

telah diperkirakan terhadap permasalahan tersebut


b. Fokus mediasi diarahkan pada hak (rights) dan substansi kepentingan

c. Mediator harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan dan

terkualifikasi secara legal. Mediator tidak berarti memiliki keahlian

dalam proses dan teknik mediasi

BAB III

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif, yaitu

proses penelitian hukum yang dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

maupun konsep baru untuk menjawab isu hukum dengan mengkaji dan

menganalisis ketentuan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya.

Penelitian hukum normatif ini mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai

norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Upaya menemukan

hukum dalam penelitian hukum ini dilakukan dengan cara mempelajari

bahan utamanya berupa peraturan perundang-undangan, kasus-kasus dan

pendapat ahli hukum.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah inventarisir terhadap bahan hukum, selanjutnya

ditemukan adanya kekaburan hukum karena pengaturannya masih bersifat

umum.

3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum dilakukan adalah untuk mencari pemecahan atas isu

hukum yang dihadapi, dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan

preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.

4. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer adalah:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

4. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan.

b. Bahan hukum sekunder adalah :

Buku – buku, hasil karya ilmiah berupa jurnal hukum, makalah, orasi ilmiah

dan artikel yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa pertanahan

melalui mediasi di luar pengadilan.

c. Bahan hukum tertier adalah Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Tahap pengumpulan bahan hukum dimulai dengan studi kepustakaan

(library research) yaitu mengumpulkan, mempelajari dan mengkaji bahan-

bahan hukum yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang

dirumuskan.18 Prosedur pengumpulan bahan hukum yang terdiri dari bahan

hukum primer, dan bahan hukum sekunder dilakukan melalui tahapan

sebagai berikut ; pertama, melakukan sistematisasi produk hukum dalam

bentuk peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dan mediasi.

Sistematisasi peraturan perundang-undangan dilakukan untuk menggali

sekaligus melakukan inventarisasi pengaturan tentang penyelesaian sengketa

18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 24.
pertanahan melalui mediasi. Kedua, melakukan klasifikasi peraturan

perundang-undangan yang berkaitan untuk selanjutnya dilakukan hierarkis

yang bertujuan mengkaji dan menganalisis tentang penyelesaian sengketa

pertanahan melalui mediasi. Ketiga, Menganalisis bahan-bahan hukum

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelesaian

sengketa pertanahan melalui mediasi.

6. Analisis Bahan Hukum

Peraturan Perundang-undangan dan bahan pustaka diolah dan dianalisis

dengan langkah berfikir sistematis dan pembahasan dilakukan secara

deskriptif analisis. Untuk studi dokumen dilakukan dengan cara

mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan topik yang dibahas yaitu penyelesaian sengketa pertanahan melalui

mediasi., selanjutnya diklasifikasikan secara hierarkis sesuai dengan tata

urutan perundang-undangan yang berlaku dan akan diinventarisir asas-asas

hukum. Hal yang sama juga dilakukan terhadap bahan pustaka, yaitu

melakukan klasifkasi dan sistematisasi konsep atau pendapat-pendapat yang

sesuai dengan pokok masalah dalam penelitian ini.

Selanjutnya dilakukan pengolahan bahan hukum, bahan hukum tersebut

diolah dengan menggunakan metode analisa isi ( content analysis ), yaitu

menelaah isi peraturan perundang-undangan dan menelaah bahan hukum

berupa buku, jurnal, makalah, dan artikel yang berkaitan dengan topik yang

dibahas.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

1. Sengketa Pertanahan Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi Di


Luar Pengadilan

Tanah sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha

Esa kepada Bangsa Indonesia, oleh karena itu sudah sewajarnya jika kita

mengelola tanah dengan sebaik-baiknya sehingga pemanfaatannya dapat

memberikan kontribusi yang penting untuk kehidupan manusia, dimana

kesejahteraan dan kemakmuran tidak dapat dipisahkan dari tanah. Hal ini

sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Tanah selain bernilai sosial, tanah juga memiliki nilai ekonomis, politik dan

kultural, sehingga hubungan kehidupan manusia dengan tanah memang tidak bisa

terpisahkan dengan tanah, sedangkan luas tanah yang tersedia makin berkurang.

Hal ini menyebabkan persoalan tanah menjadi masalah krusial, sehingga sering

terjadi kasus pertanahan di masyarakat. Tipologi kasus pertanahan yang di himpun

oleh Badan Pertanahan Nasional, adalah sebagai berikut :19

a. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status pengusaan di atas tanah tertentu yang tidak atau
belum dilekati hak (tanah Negara) maupun yang telah dilekati hak oleh pihak
tertentu
b. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak,
batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh

19
Badan Pertanahan Nasional, Program Prioritas Penanganan Kasus Pertanahan.
http://www.bpn.go.id. Tanggal akses 23 0ktober 2016.
Badan Pertanahan Nasional RI maupun yang masih dalam proses penetapan
batas
c. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan
d. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual
beli kepada lebih dari satu orang
e. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertifikat hak atas tanah
lebih dari satu
f. Sertifikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tertentu yang telah diterbitkan sertifikat
hak atas tanah pengganti
g. Alat jual beli palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya akta jual
beli palsu
h. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan persepsi, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah
ditetapkan oleh BPN berdasarkan penunjukan batas yang salah
i. Tumpang tindih, yaitu perbedaan persepsi, nilai kepentingan mengenai letak,
batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena
terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya
j. Putusan pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai kepentingan mengenai
putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subjek atau objek hak atas
tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

Sengketa merupakan kelanjutan dari adanya masalah. Sebuah masalah akan

berubah menjadi sengketa bila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan.

Sepanjang para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik maka

sengketa tidak akan terjadi. Namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat
mencapai kesepakatanmengenai solusi pemecahan masalahnya, maka akan timbul

sengketa.20

Menurut Mudjiono, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya

sengketa tanah. Pertama, peraturan yang belum lengkap, kedua, ketidaksesuaian

peraturan, ketiga, pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan

dan jumlah tanah yang tersedia, keempat, data yang kurang akurat dan kurang

lengkap, kelima, data tanah yang keliru, keenam, keterbatasan sumber dayan

manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah, ketujuh, transaksi tanah

yang keliru, dan kedelapan, adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga

terjadi tumpang tindih kewenangan.21

Sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,

badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Tipologi sengketa

pertanahan sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang luas, menurut Fifik

Wiryani dan Mokh. Najih22 terdapat enam corak sengketa tanah yang terjadi di

Indonesia yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan. Pertama,

sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi, serta

beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan di

eksploitasi secara masif, kedua, sengketa tanah sebagai akibat program

swasembada beras yang dalam prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah

terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya petani tidak bertanah, serta

konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit

20
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2003), hlm 2
21
Mudjiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia melalui Revitalisasi
Fugsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum, Vol.14 No.3 Juli 2007, Yogyakarta : FH UII, hlm 464
22
Fifik Wiryani dan Mokh. Najih, The Yuric of Regulate People’s Land Taking for
Construction on the Public Utility, Jurnal Legality, Malang Univ. Muhammadiyah.
unggul dan masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dan

sebagainya, ketiga, sengketa tanah di arela perkebunan, baik karena pengalihan

dan penerbitan hak guna usaha maupun pembangunan perkebunan inti rakyat dan

program sejenisnya misalnya tebu rakyat intensifikasi, keempat, sengketa akibat

penggusuran tanah untuk industry pariwisata, real estate, kawasan industri,

pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya, kelima, sengketa tanah akibat

penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana

yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan, dan

keenam, sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan

taman nasional atau hutan lindung atau hal lain yang mengatasnamakan

kelestarian lingkungan.

Sengketa tanah secara umum dapat berupa masalah yang menyangkut

prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak atas tanah yang berstatus

hak atau atas tanah yang belum ada haknya,bantahan terhadap suatu alas hak/bukti

perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak, kekeliruan/kesalahan

pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang tidak benar.23

Sengketa tanah pada dasarnya memiliki beberapa sifat, yaitu pertama,

sengketa tanah bersifat administrasi, kedua, sengketa tanah bersifat perdata, dan

ketiga, sengketa tanah yang bersifat pidana.

Sengketa tanah bersifat administrasi, menurut Rasmadi Murad 24 dimulai

dari adanya pengaduan suatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-

keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas

maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara


23
Rasmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung : Alumni, 1991),
hlm 22
24
Ibid.
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sengketa pertanahan yang

disebabkan karena masyarakat dirugikan oleh keputusan pemerintah, pengadilan

yang berkompeten untuk mengadili adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.

Keputusan pemerintah yang umumnya sering menyebabkan sengketa dalah

perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan dalam

penetapannya. Penyelesaian sengketa pertanahan yang bersifat administrasi dapat

dilakukan melalui gugatan terhadap pejabat yang mengeluarkan keputusan tata

usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara berupa tuntutan agar KTUN

yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai

tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi, namun apabila pemerintah dikategorikan

dalam hal perbuatan melanggar hukum dengan tuntutan ganti rugi maka

masyarakat juga dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri

Sengketa pertanahan yang bersifat perdata, merupakan sengketa yang

melibatkan antara individu atau lebih satu individu dengan individu lain.

Karakteristik sengketa pertanahan yang bersifat perdata berbeda dengan sengketa

perdata pada umumnya, dimana masing-masing individu saling menuntut hak dan

kewajibannya. Dalam sengketa pertanahan maka para pihak yang bersengketa

tidak bisa lepas dari peran pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

Sedangkan sengketa pertanahan yang bersifat pidana, merupakann sengketa

pertanahan yang disebabkan oleh suatu perbuatan pidana atau tindak pidana.

Penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan sifatnya yaitu administratif,

perdata dan pidana ini dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan

Tata Usaha Negara.


Penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan memiliki banyak

kekurangan, diantaranya sangat birokratis, memakan waktu dan biaya yang cukup

banyak.25 Oleh karena itu diperlukan satu formula penyelesaian sengketa

pertanahan di luar pengadilan yang dapat mengakomodir keinginan para pihak

yang menyelesaikan dengan cara yang kooperatif.

Payung hukum penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan di

Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa menurut Pasal

1 angka 10, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselsesaikan oleh para pihak melalui

alternative penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Pengaturan mediasi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdapat

dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para

pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau

lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang – undang ini tidak

memberikan rumusan yang jelas tentang mediasi dan mediator.

Prinsip-prinsip mediasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999, yaitu :

1. Prinsip Penyelesaian Sengketa Perdata

25
Sunarno, Praktek ADR (Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan) dalam Menyelesaikan
Sengketa Tanah, Jurnal Media Hukum, Vol. 13, No. 1 2006. Yogyakarta : FH UMY.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi yang merupakan bagian dari

penyelesaian sengketa alternatif, sengketa yang dapat diselesaikan adalah

sengketa perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat

diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang

didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara

litigasi di Pengadilan Negeri.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Mediator

Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi para pihak memiliki kebebasan

untuk memilih siapa yang akan bertindak sebagai mediator. Prinsip ini

terdapat dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang

menyebutkan bahwa “dalam sengketa atau beda pendapat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan

tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan

seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”.

3. Prinsip Pelaksanaan Hasil Mediasi Berdasarkan Itikad Baik

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga sebagai

mediator. Hasil akhir dari mediasi adalah kesepakatan para pihak, oleh karena

itu dapat melaksanakan hasil mediasi tersebut tergantung dari itikad baik dari

para pihak. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat

diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang

didasarkan pada itikad baik…”


Mediasi merupakan salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator)

guna mencari penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Pada prinsipnya

mediasi adalah berisi negosiasi yang melibatkan pihak penengah yang netral dan

tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar menawar

secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada mediasi, mediasi merupakan bentuk

perluasan dari sebuah negosiasi sebagai mekanisme alternative penyelesaian

sengketa dengan bantuan seorang mediator. Penyelesaian sengketa melalui

mediasi di Indonesia dapat dilakukan baik di luar pengadilan maupun dalam

mediasi dalam proses di pengadilan.

Mediasi di luar pengadilan adalah mekanisme penyelesaian sengketa sebelum

perkaranya dibawa ke pengadilan. Cara ini dapat di tempuh para pihak dan dapat

menjadi alternative menyelesaikan sengketa tanpa melibatkan pihak pengadilan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa

sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui

altenatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan

mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan. Penyelesaian

sengketa atau beda pendapat dimaksud diselesaikan dalam pertemuan langsung

oleh para pihak.

Dengan demikian inti dari sebuah mediasi merupakan negosiasi yaitu

bentuk penyelesaian sengketa dengan cara pertemuan langsung kedua belah pihak

yang bersengketa untuk menemukan penyelesaian dibantu oleh pihak ketiga

netral. Posisi mediator dalam proses mediasi hanyalah sebagai fasilitator yang
membantu berupa memberikan fasilitas kepada kedua belah pihak untuk

bernegosiasi menemukan kesepakatan. Sehingga mediasi yang efektif apabila

dilakukan oleh para pihak yang bernegosiasi dilandasi dengan itikad baik untuk

menyelesaikan masalah.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur di luar

pengadilan khususnya melalui mediasi berdasarkan Peraturan Menteri Agraria

Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016

tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, maka dilakukan kajian sengketa

pertanahan melalui inventarisir meliputi akar permasalahan, riwayat sengketa

berdasarkan data yuridis, data fisik atau data pendukung.

Menurut Christoper W. Moore, karakteristik sengketa yang efektif dapat

diselesaikan melalui mediasi adalah sebagai berikut :26

1. Para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerja sama dan
berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal

2. Para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan


sebelum melakukan proses mediasi

3. Jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada
pihak-pihak yang berada di luar masalah

4. Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat membatasi


permasalahan yang akan di bahas

5. Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah


mereka

6. Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut
di masa yang akan datang

7. Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal

26
Moore, Christoper. W, Disputes System Design, Pasipica Review 6(2) 1994 : 43-55
8. Para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga

9. Terdapat alasan-alasan kuat untuk menyelesaikan sengketa

10. Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar dapat
mengganggu hubungan para pihak
11. Terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi
12. Para pihak mempunyai kemauan untuk saling menghargai
Cara menyelesaikan sengketa di Indonesia yang saat ini sedang digalakkan

adalah melalui mediasi, hal ini sesuai dengan arah kebijakan dan strategi

pembangunan hukum yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun

2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional melalui

pelaksanaan Reformasi Sistem Hukum Perdata yang mudah dan cepat khususnya

penegakan hukum perdata. Penyelesaian perkara perdata dilakukan dengan

mendorong optimalisasi proses mediasi di pengadilan dan penyederhanaan

prosedur perkara perdata diharapkan dapat mendorong efiesiensi penyelesaian

perkara perdata. Hal ini juga akan memberikan kontribusi positif terhadap

peningkatan daya saing perekonomian nasional, oleh karena itu diperlukan

penyesuaian peraturan perundang-undangan.

Mediasi sangat cocok diterapkan untuk penyelesaian sengketa karena di

dalamnya terkandung nilai-nilai budaya bangsa yang berjiwa kooperatif. Nilai

kooperatif, kompromi, dan musyawarah mufakat merupakan ciri bangsa Indonesia

berdasarkan Pancasila. Moch. Faisal Salam,27 penyelesaian sengketa melalui

Alternative Dispute Resolution (ADR) berkembang di Indonesia tidak saja karena

sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, akan tetapi dilihat sebagai suatu peluang

yang menguntungkan dari berbagai faktor, yaitu :

27
Moch. Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional,
Cetakan 1, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2007), hlm 177.
1. Faktor Ekonomis
ADR memiliki potensi sebagai sarana penyelesaian yang lebih ekonomis,
baik dari sudut pandang biaya maupun waktu
2. Faktor Ruang Lingkup yang Dibahas
ADR memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara
lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan
main dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhannya. ADR memiliki potensi untuk
menyelesaikan konflik yang sangat rumit (polycentris) yang disebabkan
oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan ilmiah
3. Faktor Pembinaan Hubungan Baik
ADR yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat cocok
bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik antar
manusia yang berlangsung maupun yang akan datang

Perkembangan di Amerika Serikat dewasa ini sangat mendorong ke arah

pemanfaatan dan pemberdayaan Alternative Dispute Resolution (ADR),

khususnya mediasi dengan tujuan mempercepat penyelesaian, serta memelihara

fairness dan efisiensi.28 Hal senada juga dilakukan di Jepang, mediasi sangat

relevan diterapkan dalam kasus-kasus sumir. Chotei29 di Jepang bertujuan untuk

menghindarkan litigasi dan menyelesaikan sengketa melalui mediasi. Tingkat

keberhasilan chotei di Jepang mencapai 75% - 85%. Perkara yang spesipik dan

28
Lisa A. Lomax, Alternative Dispute Resolution in Bankruptcy :“Rule 9019 and Bankruptcy
Mediation Program”. Proceedings : Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan
Wawasan Hukum Bisnis Lainnya: tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta :
PPH, 2003), hlm 36.
29
Chotei adalah mediasi. Di Jepang, mekanisme Chotei disamping diawali dengan adanya
gugatan yang selanjutnya dilimpahkan ke chotei, diperbolehkan pula chotei langsung tanpa
didahului oleh gugatan terlebih dahulu. Chotei dilakukan di di Pengadilan Sumir. Lihat Yoshiro
Kusano, Peran Sistem Wakai (Perdamaian) dan Chotei (Mediasi) Di Jepang, Makalah dalam
Seminar Internasional kerjasama Japan Indonesia Lawyers Association dan Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin 11 September 2015, hlm 8-9.
belum diajukan ke pengadilan di selesaikan melalui chotei.30 Chotei seperti di

Jepang sangat relevan jika diterapkan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.

Pemberdayaan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pertanahan merupakan

suatu hal yang dapat membawa dampak menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016 adalah dapat

dilakukan berdasarkan inisiatif dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional atau melalui pengaduan masyarakat. Pengaduan disampaikan

kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis melalui loket pengaduan, kotak

surat atau website kementerian. Pengaduan dimaksud memuat paling sedikit

memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus, apabila pengaduan telah

memenuhi syarat maka pengadu diberikan surat tanda terima pengaduan.

Pengaduan tersebut diadministrasikan ke dalam register penerimaan pengaduan

khususnya register sengketa tanah. Berdasarkan pengaduan tersebut selanjutnya

pejabat yang manangani bidang sengketa, konflik dan perkara pada kantor

pertanahan akan melakukan kegiatan pengumpulan data berupa :

1. Data fisik dan data yuridis;


2. Putusan peradilan, berita acara pemeriksaan dari kepolisian, komisi
pemberantasan korupsi atau dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh
lembaga/instansi penegak hukum;
3. Data yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
4. Data lainnya yang terkait dan dapat mempengaruhi serta memperjelas duduk
persoalan sengketa, konflik atau perkara; dan atau
5. Keterangan saksi

30
Kelompok Kerja Mediasi MA RI 2009, Laporan Studi Banding Improvement on Court
Annexed Mediation Mahkamah Agung RI-JICA 31 Oktober-14 Nopember 2009, Jakarta. hlm 6
Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan kasus tersebut

termasuk dalam kewenangan kementerian atau bukan kewenangan kementerian.

Adapun sengketa yang menjadi kewenangan kementerian meliputi :

1. Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau

perhitungan luas

2. Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau

pengakuan ha katas tanah bekas milik adat

3. Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan atau pendaftaran hak

tanah

4. Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar

5. Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas

haknya jelas terdapat kesalahan

6. Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah

7. Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti

8. Kesalahan prosedur dalam memberikan informasi data pertanahan

9. Kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin

10. Penyalahgunaan pemanfaatan ruang

11. Kesalahan dalam penerapan peraturan perundang-undangan

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa pertanahan, maka prinsip-prinsip

medaisi dapat diterapkan dalam sengketa pertanahan sebagai akibat hubungan

keperdataan serta sengketa mengenai ganti kerugian.


2. Model Mediasi Yang Relevan Untuk Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Di Luar Pengadilan

Mediasi merupakan sebuah intervensi terhadap proses negosiasi atau atas

suatu konflik yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak. Sebagai

pihak ketiga yang netral, mediator merancang dan memimpin diskusi serta

bertindak sebagai penengah untuk memfasilitasi kemajuan kearah penyelesaian.

Mediator mengarahkan jalanya negosiasi, tetapi tidak mempunyai kewenangan

untuk menetapkan atau membuat keputusan atas masalah yang menjadi pokok

sengketa.

Oleh karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses

negosiasi. Keadaan dimana mediasi yang dianggap sebagai perluasan dari

negosiasi (mediasi sebagai kulit luar dari sebuah proses negosiasi) . Hal itu

disebabkan pihak yang tidak mampu menyelesaikan sendiri sengketanya dalam

sebuah negosiasi menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk

membantu mereka mencapai suatu kesepakatan.

Dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 mediasi merupakan kelanjutan negosiasi

dan dilaksanakan jika proses negosiasi telah gagal. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 6 (2) UU No.30 Tahun 1999 menyebutkan “Penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui alternative penyelesaian sengketa diselesaikan dalam

pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”

Selanjutnya dalam ayat (3) secara jelas disebutkan, “Dalam hal sengketa atau beda

pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka
atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan

melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun seorang mediator”.

Dalam ketentuan tersebut tampak kaitan erat antara mediasi dan negosiasi.

Mediasi merupakan suatu proses dimana mediator yang telah disepakati oleh

pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai fasilitator bagi kepentingan

negosiasi, yang membantu para pihak tersebut mencapai solusi yang saling

menguntungkan. Jadi dari UU No.30 Tahun 1999 dapat disimpulkan tentag

adanya “kewajiban” untuk melaksanakan proses negosiasi terlebih dahulu,

sebelum masuk pada penyelesaian sengketa melalui mediasi.

Salah satu tugas penting mediator adalah untuk mengalihkan perundingan

dari positional claim menjadi underlying interest, disampaikan secara lebih umum

dan sejauh mungkin dalam kerangka pembahasan yang saling menguntungkan

para pihak, maka mediator akan berusaha untuk :

a. Menyampaikan atau merangkaikan kembali positional claim untuk

menggambarkan kepentingan sesungguhnya (underlying interest) dan

untuk menjelaskan serta menonjolkan kebutuhan tertentu.

b. Mengubah pandangan egosentris menjadi pandangan yang mewakili

seluruh pihak.

c. Merubah dari definisi tertentu mengenai suatu permasalahan ke suatu yang

lebih umum dan dapat diterima kedua pihak. Dengan mengesampingkan

figur tertentu, mediator membuka proses mediasi dengan pilihan yang

lebih banyak.
d. Memasukkan kepentingan kedua belah pihak dalam pendefinisian

permasalahan.

e. Penggunaan kalimat dan bahasa yang netral dan tidak emosional.

f. Dengan menuangkan posisi dan permasalahan dalam suatu pertanyaan

yang dapat menyelesaikan masalah

Menurut Eric Brahm and Julian Quellet,31 model ideal dalam penyelesaian

sengketa yang efektif adalah dengan mengedankan bentuk negosiasi yang

menitikberatkan pada aspek kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan

persoalan yang diajukan oleh para pihak. Intinya mediasi memberikan penekanan

pada kemanfaatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi.

Menurut William Ury, Jeanne Brett dan Stephen Goldberg,32 negosiasi

dalam mediasi yang dapat menjadi cara yang efektif untuk menyelesaikan

sengketa melalui :

1. Negotiating interests is less expensive than adjudicating rights or


purcusing power options
2. Negotiating interests result in mutually satispactory solution, while the
other two approaches are win-lose, meaning one side wins and the other
side loses
3. When power-based approaches are tired, the losing side often is angry,
and may try to get back at the other sidewhenever they get the chance
4. Interest based negotiation is usually less time consuming than the
approaches

31
Brahm, Eric and Julian Quellet, Designing New Disputes Resolutions System, The Beyond
Intractability Project : The Conflict Information Consortium University of Colorado. 2003 : 36
32
William Ury, Jeanne Breet and Stephen Goldbreg, Getting Disputes Resolved : Designing
System to Cut the Costs of Conflict, London: Jossey-Bass Publishers, 1988 : 19
Moving from a Distressed to an Effective
Disputes Resolution System

Power Power

Rights Rights

Interests Interests
Distressed System Effective System

Melalui penekanan pada aspek intersest based maka berbagai kepentingan

para pihak yang saling bersengketa dapat diakomodasikan dengan maksimal. Hal

ini akan berpengaruh pada tingkat kepuasan para pihak dalam upaya pencapaian

win-win solutions yang diputus secara sukarela oleh kedua belah pihak.

Model negosiasi interest based dalam proses mediasi adalah perundingan

yang berdasarkan kepentingan, yaitu perundingan yang dimulai dengan

mengembangkan dan menjaga hubungan. Para pihak berusaha memahami satu

sama lain akan kebutuhan mereka dan bersama-sama menyelesaikan pesoalan

berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan/kepentingan.

Ciri utama dari tipe interest based dapat dilihat dari sikap/perilaku

negosiator, yaitu :

a. Jika masalah diumpamakan sebagai sebuah kue, maka masing-masing


negosiator beranggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah bersama
b. Masing-masing negosiator mempunyai tujuan yang sama yaitu memecahkan
masalah bersama
c. Kebutuhan dari seluruh pihak harus dibahas dalam rangka mencapai tujuan
d. Para negosiator adalah “penyelesai masalah” yang kooperatif
e. Negosiator berusaha menjaga/membangun pola hubungan positif dan
kepercayaan selama perundingan
f. Solusi yang ditawarkan tidak hanya satu tetapi terdapat beberapa pilihan
penyelesaian yang memuaskan.

MASALAH
Tujuan Saya

Menang / Menang

B A
Pemecahan Masalah Bersama

Tujuan Anda

Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal apabila memenuhi tiga

kepuasan yaitu secara substansi, prosedural dan psikologis. Kepuasan secara

subtansi merupakan kepuasan khusus dari para pihak yang bersengketa, misalnya

dapat dipenuhinya ganti kerugian berupa uang, Kepuasan prosedural terjadi

apabila para pihak mendapat kesempatan yang sama dalam menyampaikan

gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan

yang diwujudkan, sedangkan kepuasan psikologis adalah menyangkut tingkat

emosi para pihak yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta

dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa

mendatang.33

33
Wien Sakti Myharto, Penyelesaian Sengketa Tanah, www.hukumpedia.com. Diakses
tanggal 23 September 2016.
Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang dilakukan oleh kantor

pertanahan, maka dalam hal menyelesaikan sengketa, Kepala Kantor Wilayah

BPN atau Menteri akan menerbitkan : 34

1. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah, yaitu pembatalan terhadap hak atas

tanah, tanda bukti hak dan daftar umum lainnya yang berkaitan dengan hak

tersebut

2.

34
Pasal 19 Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai