Anda di halaman 1dari 18

1

BAB II
CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:


1. Untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. Pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah
(inexpensive)

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat


digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat
langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga
(mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional
maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat
ad-hoc yang terlembaga.

1. KELEMAHAN PENYELESAIAN CARA LITIGASI


Litigasi adalah persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga
memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama
untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang
tak terduga. Sedangkan Jalur litigasi adalah penyelesaian masalah hukum
melalui jalur pengadilan.
perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak,
kerusakan penghargaan, atau memberlakukan perintah sementara atau
permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki
kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang
disebut sadar hukum. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi
kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya. Yang
2

dimaksudkan disini, karena dengan kekayaan orang tersebut dapat


menyuap jaksa atau bahkan dapat memanipulasi data.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens)
untuk perkara di pengadilan. kalangan rakya biasa yang tidak mengerti
atau kekurang pahaman mereka akan setiap prosedur, sangat mudah
dibohongi oleh kalangan besar dengan manipulasi data atau fakta yang
sesungguhnya terjadi.

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:


1. Lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic)Lama karena
begitu banyak prosedur yang harus diikuti.
2. Biaya tinggi karena harus membayar administrasi dan pengacara yang
super mahal.
3. Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang
rakyat biasa.

2. PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI


Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar
pengadilan. Jalur non-litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa
Alternatif /Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian perkara diluar
pengadilan ini diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia. Pertama,
dalam penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan ” Penyelesaian perkara di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap
diperbolehkan” . Kedua, dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan ”
Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution) adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, atau penilaian para ahli.”
3

1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak
ketiga, dan diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah
mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling
menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak
keduanya dimaksud untuk mencari fakta. Contoh : kepolisian
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang
bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan
yang terjadi diantara mereka. Contoh : pengacara.
4. Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui
penengah (mediator). Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam
mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak.
Menurut Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan
sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way). Mediasi bertujuan untuk mencapai
kompromi yang maksimal, sedangkan kompromi sendiri adalah kedua
pihak sama-sama menang atau win-win. Manfaat yang paling menonjol,
antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2. Biaya Murah (inexpensive)
3. Bersifat Rahasia (confidential)
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN
7. Tidak Emosional.
4

5. Sistem Minitrial
Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi
sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
1. Masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar
dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
2. Setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
3. Sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang
dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
4. Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation) diartikan sebagai pendamai atau
lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang
diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem
peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang
berarti:
a. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim
bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai.
b. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis
hakimuntuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan
menjatuhkan putusan.
langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian
melalui minitrial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari
penyelesaian melalui konsolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke
arbitrase.

lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga


arbitrase institusional, Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk
resolution, bukan putusan atau award (verdict). Oleh karena itu, hasil
penyelesaian tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan.
5

6. Sistem Adjudication
Secara harafiah, pengertian "ajuddication" adalah putusan. orang
yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator, dan dia
berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAKIM (act as judge), oleh
karena itu, diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem
adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks
(complicated). berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang
adjudicator yang benar-benar profesional, dalam kesepakatan itu, kedua
belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk
mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak
(binding to each party), sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat
meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun
secara bersama-sama.
7. Sistem Arbitrase
Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui
Jay Treaty. Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV.
Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi
pada tahun 1884. prinsip antara arbitrase sederhana dan cepat (informal
dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang
memiliki pengetahuan khusus secara profesional. perbedaan fundamental
arbitrase dengan yang lain:
1. Masalah biaya mahal (expensive). Komponen biaya atrbitrase terdiri
dari:
a. Biaya administrasi
b. Honor arbitrator
c. Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d. Biaya saksi dan ahli.
2. Salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah
informal procedure and can be put in motion quickly. Tetapi kenyataan
yang terjadi adalah lain. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai
penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak
6

diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah


rumit dan panjang.

Kelebihan tersebut antara lain:


1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan
administratif;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.

Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik


maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak
dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa
perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of
fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan
kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum
(question of fact and law).
7

Sumber :
http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/penyelesaian-sengketa-
ekonomi.html
http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/06/penyelesaian-sengketa-
ekonomi.html
8

Litigasi

Non-Litigasi
Konsultasi , merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
(klien) dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan
pendapatnya atau saran kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan klien. Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) sebagaimana
diminta oleh kliennya, dan selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa
tersebut akan diambil oleh para pihak.

Negoisasi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah/perundingan langsung


diantara para pihak yang bertikai dengan maksud mencari dan menemukan
bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima para pihak.Kesepakatan
mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk
tertulis yang disetujui oleh para pihak.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) merupakan upaya tawar-
menawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling
menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral bukan untuk memutuskan
sengketa, melainkan para pihak sendirilah yang mengambil keputusan akhir.

Menurut Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua Mahkamah Agung dalam acara
Serangkaian Workshop tentang Hukum Bisnis bagi Hakim Pengadilan Niaga yang
diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum pada tahun 2003, menyatakan
bahwa:

“Pertama … yaitu hendaknya hakim berpikir untuk menyelesaikan sengketa


bukan hanya sekedar memutus suatu sengketa. Kalau memutus sengketa, mungkin
saja akan terjadi sengketa baru atau bahkan mempertajam sengketa yang sudah
lama. Akan tetapi bila kita berpikir menyelesaikan sengketa, maka tidak akan ada
lagi sengketa-sengketa baru, karena masing-masing pihak merasa puas terhadap
penyelesaian itu. Mediasi dan arbitrase lebih dekat untuk hal-hal seperti ini, yaitu
karena bahasanya saja “settlement”yang berarti penyelesaian, maka masing-
9

masing pihak diharapkan merasa dipuaskan dari hasil-hasil perundingan mereka


sendiri atau melalui perundingan melalui mediator atau arbiter”.[5]
Konsep penyelenggaraan peradilan saat ini yang berlaku di Indonesia dan juga di
belahan dunia bagian manapun, kerapkali diwarnai dengan pertentangan,
perselisihan dan perdebatan argumentative, merupakan upaya yang dilakukan
manusia untuk mempertahankan pendirian dan pengakuan dalam proses
pencapaian suatu kepentingan. Perselisihan terjadi karena ada beberapa
kepentingan yang saling berbenturan. Perilaku yang kontra produktif semakin
menimbulkan kecenderungan terhadap masing-masing individu yang sedang
bertikai untuk tetap bertahan dan berusaha saling menguasai dengan segala upaya
yang ada, baik secara fisik (kekerasan), kekuasaan, konfrontasi, diplomasi,
negosiasi maupun dengan menggunakan prosedur hukum formal yang telah
disediakan oleh negara melalui forum litigasi.[6]
Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi/ pertentangan antara orang-
orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek
permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan bahwa: “Sengketa
adalah konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok
yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sarna atau suatu objek
kepemilikan yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.”[7]
Sedangkan Ali Achmat berpendapat bahwa: “Sengketa adalah pertentangan antara
dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda. tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat memmbulkan akibat hukum bagi
keduanya.”[8]
Berdasarkan dua pengertian sengketa di atas, dapat diuraikan menjadi beberapa
elemen antara lain:

1. Adanya dua pihak atau lebih;


2. Adanya hubungan atau kepentingan yang sarna terhadap suatu objek
tertentu;
3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi;
4. Adanya akibat hukum;
10

Pengertian sengketa di atas merupakan batasan sengketa dalam arti yang sempit,
karena ruang lingkup pengertiannya hanya menyangkut sengketa hukum saja. Hal
ini didasari pada alasan bahwa sengketa yang akibatnya berupa sanksi hukum
(legal sanction) tentunya adalah sengketa hukum (legal dispute), sedangkan
sengketa yang tidak memiliki akibat hukum bukan termasuk dalam ruang lingkup
sengketa hukum. Sehingga dua pengertian di atas kurang cocok diterapkan bagi
sengketa dalam artian yang luas yang akibatnya tidak hanya berupa sanksi hukum
saja, namun juga terhadap sengketa yang akibatnya berupa sanksi sosial (social
sanction).
Semakin kompleksnya kepentingan manusia dalam sebuah peradaban
menimbulkan semakin tingginya potensi sengketa yang terjadi antar individu
maupun antar kelompok dalam komunitas sosial tertentu. Timbulnya sengketa
sulit untuk dihindari bahkan tingkat probabilitasnya tidak sanggup dieliminasi
sampai kepada titik nol. Hukum dan instrument pendukungnya sebagai bagian
dari pranata sosial yang memiliki sifat mengatur dan menciptakan ketertiban pada
kenyataannya tidak mampu untuk menekan perluasan gejala sosial yang
menunjukkan potensi konflik. Upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
menjaga harmoni sosial adalah dengan cara mempercepat penyelesaian sengketa
itu melalui metode-metode yang lebih sederhana, akurat dan terarah.

Bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi (Alternative Dispute


Resolution / ADR) saat ini mulai dikembangkan sebagai bentuk alternatif yang
lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang terlibat sengketa. Mengapa demikian?
Berdasarkan beberapa asumsi, proses litigasi memiliki banyak kekurangan dan
kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya
yang berjudul Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa kelemahan dari
proses litigasi antara lain:
1. Penyelesaian sengketa lambat;
2. Biaya perkara mahal;
3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive):
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5. Putusan pengadilan membingungkan;
11

6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum;


7. Kemampuan para hakim bercorak generalis[9]

1. Rumusan Masalah:
Bagaimana konsep penyelesaian sengketa perdata yang sesuai dengan
perkembangan hukum bisnis masa kini dan mendatang?

1. Pembaharuan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata:


2. Prinsip Dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) pada hakikatnya
merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara
damai.

Undang-Undang Nomor 30. Tahun 1999, di samping mengatur tentang arbitrase,


juga undang-undang ini menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif
berbentuk mediasi dan pemakaian tenaga ahli, bahkan tidak menutup
kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif-alternatif lain.

Pengertian Alternative Dispute Resolution (ADR) di sini adalah lembaga


penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah menyediakan beberapa pranata
pilihan penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa perdata mereka, apakah mendayagunakan pranata
negosiasi, konsiliasi, mediasi, atau penilaian ahli. Pilihan yang dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di
bidang perdata saja.

Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan
sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara pihak yang bersengketa
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.
12

2. Mediasi:
Pengetian Mediasi menurut Christopher W. Moore dalam bukunya yang
berjudul The Mediation Process (1986) pada dasarnya merupakan negosiasi yang
mengikut sertakan pihak ketiga yang ahli dalam cara-cara negosiasi yang efektif
dan dapat membantu para pihak dalam sengketa dengan mengkoordinasikan
proses diselenggarakannya kegiatan-kegiatan penyelesaian sengketa dan agar
lebih efektif dalam bernegosiasi.[10]
Adapun mekanisme proses penyelesaian perkara melalui Mediasi dapat berjalan
dengan baik, bila diselenggarakan memenuhi dan sesuai dengan syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding;


2. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan;
3. Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
(trade off);
4. Terdapat urgensi dan batas waktu untuk menyelesaikan;
5. Para pihak tidak mempunyai permusuhan yang berlangsung lama dan
mendalam;
6. Apabila para pihak mempunyai pendukung dan atau pengikut; mereka
tidak dapat dikendalikan;
7. Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting
disbanding menyelesaikan persoalan yang mendesak;
8. Jika para pihak berada pada proses litigasi, kepentingan-kepentingan
pelaku lainnya, seperti para Pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan
dengan lebih baik disbandingkan dengan mediasi;[11]
Sedangkan manfaat Mediasi sebagai salah satu alternative penyelesaian sengketa
melalui negoisasi adalah sebagai berikut:

1. Lebih sesuai dengan kultur Asia (termasuk Indonesia); yang lebih


mengutamakan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
menyelesaikan setiap permasalahan;
13

2. Para pihak dapat terlibat secara aktif; yang dalam hal ini Mediator hanya
mengarahkan jalannya proses penyelesaian melalui negoisasi yang dilakukan
para pihak yang bersengketa;
3. Dapat diselenggarakan secara informal dan lebih fleksibel; sehingga dapat
menghilangkan kesan enggan lantaran status social dan ekonomi yang melatar
belakangi para pihak;
4. Relatif Cepat & Murah; tidak melalui prosedur yang berbelit-belit, waktu
bisa ditentukan oleh kedua belah pihak dan biayanya sudah bisa diprediksikan
sejak awal;
5. Berorentasi kepada kepentingan para pihak; karena Mediator di sini hanya
sebagai penengah tidak boleh memihak kepada kepentingan pihak manapun
dan bahkan bila ditemukan conflict of interest antara mediator dengan salah
satu pihak maka Mediator wajib untuk mengundurkan diri dari penanganan
kasus sengketa tersebut;
6. Hubungan para pihak tetap terpelihara; karena proses penyelesaiannya
dilakukan secara tertutup sehingga privacy tetap terjaga dan dengan
mengutamakan prinsi win-win solution, tidak ada yang kalah dan menang juga
tidak ada yang salah dan menyalahkan satu sama lain;
7. Penyelesaian lebih praktis dan konstruktif;[12]
Sebagaimana suatu metode di samping ada manfaat pasti juga terdapat kelemahan
yang kadangkala mengiringinya, adapun kelemahan Mediasi adalah sebagai
berikut:

1. Kesepakatan para pihak mutlak diperlukan; suatu proses mediasi sangat


tergantung kepada kemauan (itikad) baik dari para pihak untuk menyelesaikan
sengketa, jika salah satu pihak tidak ada niat untuk menyelesaikan suatu
sengketa maka mediasi tidak akan bisa diselenggarakan. Karena syarat pokok
diselenggarakan mediasi adalah pernyataan kesanggupan untuk menentukan
metode mediasi sebagai satu-satunya cara untuk penyelesaian sengketa;
2. Itikad baik dan keseriusan para pihak menjadi faktor yang dominan; jika
salah satu pihak saja tidak beritikad baik maka gagal pula seluruh proses
penyelesaian yang direncakan;
14

3. Kewenangan mediator/konsiliator terbatas/minimal; karena Mediator


hanya mengarahkan jalannya proses, sedang pemilik forum adalah para pihak;
4. Tidak dapat menjadi preseden maupun menggunakan preseden kasus
terdahulu; karena antara kasus yang satu dan yang lainnya berdiri sendiri dan
tidak ada keterkaitan antara satu dengan lainnya. Ini berbeda dengan proses
litigasi di pengadilan yang terdapat yurisprudensi yang mana putusan hakim
terdahulu akan mengikat hakim kemudian yang memeriksa dan mengadili
perkara yang ciri-cirinya sama atau dianggap sama;
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa Mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa/perkara yang dihadapinya. Mediator
hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan
cenderung untuk menunjukkan kekuatannya, keterlibatan pihak ketiga sangat
diperlukan untuk neyeimbangkan dan meneteralisir keadaan. Kesepakatan dapat
tercapai dengan mediasi jika pihak-pihak yang bersengketa berhasil mencapai
saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan
arahan konkret dari Mediator.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para Pihak yang
bersengketa dengan bantuan arahan dari mediator. Mediator menyerahkan
sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai
bentuk maupun besar kecilnya ganti rugi atau tindakan tertentu untuk menjamin
tidak terulangnya kembali kerugian atau ketidak nyamanan yang dialami oleh
Pelapor.

3. Konsiliasi
Salah satu budaya hukum yang erat dengan semangat kekeluargaan dan budaya
patrimonialisme, sebagaimana yang dikatan oleh Weber, di Negara Indonesia
adalah penyelesaian sengketa secara kekeluargaan (musyawarah) atau konsiliasi.
Daniel S. Lev dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia:
Kesinambungan dan Perubahan”. Lev mengatakan bahwa sebagian besar
15

penduduk Indonesia, tidak termasuk yang tinggal di perkotaan, penduduk yang


sekuler, serta mencakup masyarakat yang perekonomiannya tidak kompleks lebih
menekankan pada cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan
(musyawarah). Hal ini sesuai dengan pola interaksi sosial yang dikembangkan
seperti tenggang rasa, solidaritas komunal, serta menghindari perselisihan (Lev,
1990:157). Hal ini tentunya dengan beberapa perkecualian seperti masyarakat
perkotaan dan dalam batas-batas tertentu juga meliputi suku Batak. Pada
umumnya penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan (musyawarah)
menunjuk pada masyarakat Jawa yang kental dengan budaya komunal dan pola
kepemimpinan patrimonialnya, tentunya dengan beberapa perkecualian.[13]

4. Arbitrase:
Arbitrase sebagaimana dirurnuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999, menyatakan bahwa:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan


umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa”.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka arbitrase lahir karena adanya perjanjian yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk
menyelesaikan suatu sengketa bidang perdata di luar peradilan umum atau melalui
arbitrase. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang
menentukan adanya 2 sumber perikatan, arbitrase ini merupakan perikatan yang
dilahirkan dari perjanjian.

Berdasarkan rumusan Pasal 1angka 3 , dapat disimpulkan bahwa perjanjian


arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa:

1. Klusula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang


dibuat para pihak sebeIum timbul sengketa, atau;
16

2. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa.
Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara
tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau
perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dalam
kesepakatan dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan digunakan untuk
penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak .
Klausula atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok
atau dalam pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri seteIah timbuI
sengketa. Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus secara tegas
dicantumkan dalam perjannjian.

1. Penutup
2. Kesimpulan
Mekanisme penyelesaian sengketa perdata yang sesuai dengan perkembangan
hukum bisnis masa kini dan mendatang adalah alternatif penyelesaian sengketa
(APS) karena mengedepankan prinsip win-win solution, mekanisme penyelesaian
sengketa yang efektif, adil dan menjamin adanya kepastian hukum.
2. Saran
Sebagai lembaga penyelesaian sengketa perdata yang relatif baru dikembangkan
di Indonesia, APS masih membutuhkan faslititasi dari stake holder, mulai dari
pembinaan SDM, kelembagaan maupun sosialisasi kepada masyarakat umum.
Karena lembaga ini juga merupakan pranata yang sangat vital untuk iklim
investasi yang kondusif, maka semua pihak terkait juga harus meberikan perhatian
yang besar akan keberadaan lembaga ini.
-o(0)o-

A.Fahmi Shahab, Pengantar Mediasi, makalah yang disampaikan dalam kegiatan


Diklat Mediasi yang diadakan oleh Pusat Mediaasi Nasional (PMN) bekerja sama
dengan Ombudsman RI di Jakarta, 18‐22 Desember 2012;
17

Emmy Yuhassarie (Tim Editor), 2003, Proceeding Lokakarya Terbatas Teknik


Mediasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, hal. Viii;

Harahap, M. Yahya, 2007, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima Sinar Grafika,
Jakarta, hal: 233-235

Kusuma, Mahmud, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi


Paradigmatik bagi Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Yogyakarta;
AntonyLyb-Indonesia bekerja sama dengan LSHP-Indonesia, hal. 153-154;

1. Krisnawenda, Alternatif Penyelesaian Sengketa, poinsters yang


disampaikan dalam kegiatan Diklat Mediasi yang diadakan oleh Pusat
Mediaasi Nasional (PMN) bekerja sama dengan Ombudsman RI di Jakarta,
18‐22 Desember 2012;
PP-SOMMI. Aspek Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Atas Tanah Pasca
Kerusuhan di Kecamatan Sirimau Kota Ambon Propinsi Maluku. dikutip
dari: http://ppsgmmi.blogspot.com artikel tertanggal 30 Mei 2008, yang diakses
pada tanggal 21 Mei 2013 jam 12.15 WIB;
Suprananca, Ida Bagus Rahmadi, 2006, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi
Langsung di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, cet. 1, hal. 8-9;

Witanto, DY, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara di Lingkungan


Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut Perma No. 1 tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, hal. 2

[1] Mahasiswa Magister Hukum Untag Surabaya, Asisten Ombudsman RI,


Advokat, Mediator, Mantan Anggota Majelis BPSK Kota Surabaya;
[2] Undang Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 Butir 10 memberi pengertian Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
18

pengadilan dengan cara: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian


ahli;
[3] Suprananca, Ida Bagus Rahmadi, 2006, Kerangka Hukum dan Kebijakan
Investasi Langsung di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, cet. 1, hal. 8-9;
[4] Ibid.
[5] Emmy Yuhassarie (Tim Editor), 2003, Proceeding Lokakarya Terbatas Teknik
Mediasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, hal. Viii;
[6] Witanto, DY, 2011, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut Perma No. 1 tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, hal. 2
[7] PP-SOMMI. Aspek Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Atas Tanah Pasca
Kerusuhan di Kecamatan Sirimau Kota Ambon Propinsi Maluku. dikutip
dari: http://ppsgmmi.blogspot.com artikel tertanggal 30 Mei 2008, yang diakses
pada tanggal 21 Mei 2013 jam 12.15 WIB;
[8] ibid.;
[9] Harahap, M. Yahya, 2007, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima
Sinar Grafika, Jakarta, hal: 233-235
[10] A.Fahmi Shahab, Pengantar Mediasi, makalah yang disampaikan dalam
kegiatan Diklat Mediasi yang diadakan oleh Pusat Mediaasi Nasional (PMN)
bekerja sama dengan Ombudsman RI di Jakarta, 18‐22 Desember 2012;
[11]
[12] N.Krisnawenda, Alternatif Penyelesaian Sengketa, poinsters yang
disampaikan dalam kegiatan Diklat Mediasi yang diadakan oleh Pusat Mediaasi
Nasional (PMN) bekerja sama dengan Ombudsman RI di Jakarta, 18‐22
Desember 2012, dengan tambahan penjelasan dari penulis;

Anda mungkin juga menyukai