BAB II
CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak
ketiga, dan diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah
mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling
menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak
keduanya dimaksud untuk mencari fakta. Contoh : kepolisian
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang
bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan
yang terjadi diantara mereka. Contoh : pengacara.
4. Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui
penengah (mediator). Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam
mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak.
Menurut Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan
sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way). Mediasi bertujuan untuk mencapai
kompromi yang maksimal, sedangkan kompromi sendiri adalah kedua
pihak sama-sama menang atau win-win. Manfaat yang paling menonjol,
antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2. Biaya Murah (inexpensive)
3. Bersifat Rahasia (confidential)
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN
7. Tidak Emosional.
4
5. Sistem Minitrial
Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi
sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
1. Masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar
dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
2. Setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
3. Sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang
dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
4. Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation) diartikan sebagai pendamai atau
lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang
diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem
peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang
berarti:
a. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim
bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai.
b. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis
hakimuntuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan
menjatuhkan putusan.
langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian
melalui minitrial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari
penyelesaian melalui konsolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke
arbitrase.
6. Sistem Adjudication
Secara harafiah, pengertian "ajuddication" adalah putusan. orang
yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator, dan dia
berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAKIM (act as judge), oleh
karena itu, diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem
adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks
(complicated). berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang
adjudicator yang benar-benar profesional, dalam kesepakatan itu, kedua
belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk
mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak
(binding to each party), sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat
meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun
secara bersama-sama.
7. Sistem Arbitrase
Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui
Jay Treaty. Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV.
Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi
pada tahun 1884. prinsip antara arbitrase sederhana dan cepat (informal
dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang
memiliki pengetahuan khusus secara profesional. perbedaan fundamental
arbitrase dengan yang lain:
1. Masalah biaya mahal (expensive). Komponen biaya atrbitrase terdiri
dari:
a. Biaya administrasi
b. Honor arbitrator
c. Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d. Biaya saksi dan ahli.
2. Salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah
informal procedure and can be put in motion quickly. Tetapi kenyataan
yang terjadi adalah lain. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai
penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak
6
Sumber :
http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/penyelesaian-sengketa-
ekonomi.html
http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/06/penyelesaian-sengketa-
ekonomi.html
8
Litigasi
Non-Litigasi
Konsultasi , merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
(klien) dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan
pendapatnya atau saran kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan klien. Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) sebagaimana
diminta oleh kliennya, dan selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa
tersebut akan diambil oleh para pihak.
Menurut Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua Mahkamah Agung dalam acara
Serangkaian Workshop tentang Hukum Bisnis bagi Hakim Pengadilan Niaga yang
diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum pada tahun 2003, menyatakan
bahwa:
Pengertian sengketa di atas merupakan batasan sengketa dalam arti yang sempit,
karena ruang lingkup pengertiannya hanya menyangkut sengketa hukum saja. Hal
ini didasari pada alasan bahwa sengketa yang akibatnya berupa sanksi hukum
(legal sanction) tentunya adalah sengketa hukum (legal dispute), sedangkan
sengketa yang tidak memiliki akibat hukum bukan termasuk dalam ruang lingkup
sengketa hukum. Sehingga dua pengertian di atas kurang cocok diterapkan bagi
sengketa dalam artian yang luas yang akibatnya tidak hanya berupa sanksi hukum
saja, namun juga terhadap sengketa yang akibatnya berupa sanksi sosial (social
sanction).
Semakin kompleksnya kepentingan manusia dalam sebuah peradaban
menimbulkan semakin tingginya potensi sengketa yang terjadi antar individu
maupun antar kelompok dalam komunitas sosial tertentu. Timbulnya sengketa
sulit untuk dihindari bahkan tingkat probabilitasnya tidak sanggup dieliminasi
sampai kepada titik nol. Hukum dan instrument pendukungnya sebagai bagian
dari pranata sosial yang memiliki sifat mengatur dan menciptakan ketertiban pada
kenyataannya tidak mampu untuk menekan perluasan gejala sosial yang
menunjukkan potensi konflik. Upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
menjaga harmoni sosial adalah dengan cara mempercepat penyelesaian sengketa
itu melalui metode-metode yang lebih sederhana, akurat dan terarah.
1. Rumusan Masalah:
Bagaimana konsep penyelesaian sengketa perdata yang sesuai dengan
perkembangan hukum bisnis masa kini dan mendatang?
Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan
sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara pihak yang bersengketa
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.
12
2. Mediasi:
Pengetian Mediasi menurut Christopher W. Moore dalam bukunya yang
berjudul The Mediation Process (1986) pada dasarnya merupakan negosiasi yang
mengikut sertakan pihak ketiga yang ahli dalam cara-cara negosiasi yang efektif
dan dapat membantu para pihak dalam sengketa dengan mengkoordinasikan
proses diselenggarakannya kegiatan-kegiatan penyelesaian sengketa dan agar
lebih efektif dalam bernegosiasi.[10]
Adapun mekanisme proses penyelesaian perkara melalui Mediasi dapat berjalan
dengan baik, bila diselenggarakan memenuhi dan sesuai dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
2. Para pihak dapat terlibat secara aktif; yang dalam hal ini Mediator hanya
mengarahkan jalannya proses penyelesaian melalui negoisasi yang dilakukan
para pihak yang bersengketa;
3. Dapat diselenggarakan secara informal dan lebih fleksibel; sehingga dapat
menghilangkan kesan enggan lantaran status social dan ekonomi yang melatar
belakangi para pihak;
4. Relatif Cepat & Murah; tidak melalui prosedur yang berbelit-belit, waktu
bisa ditentukan oleh kedua belah pihak dan biayanya sudah bisa diprediksikan
sejak awal;
5. Berorentasi kepada kepentingan para pihak; karena Mediator di sini hanya
sebagai penengah tidak boleh memihak kepada kepentingan pihak manapun
dan bahkan bila ditemukan conflict of interest antara mediator dengan salah
satu pihak maka Mediator wajib untuk mengundurkan diri dari penanganan
kasus sengketa tersebut;
6. Hubungan para pihak tetap terpelihara; karena proses penyelesaiannya
dilakukan secara tertutup sehingga privacy tetap terjaga dan dengan
mengutamakan prinsi win-win solution, tidak ada yang kalah dan menang juga
tidak ada yang salah dan menyalahkan satu sama lain;
7. Penyelesaian lebih praktis dan konstruktif;[12]
Sebagaimana suatu metode di samping ada manfaat pasti juga terdapat kelemahan
yang kadangkala mengiringinya, adapun kelemahan Mediasi adalah sebagai
berikut:
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para Pihak yang
bersengketa dengan bantuan arahan dari mediator. Mediator menyerahkan
sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai
bentuk maupun besar kecilnya ganti rugi atau tindakan tertentu untuk menjamin
tidak terulangnya kembali kerugian atau ketidak nyamanan yang dialami oleh
Pelapor.
3. Konsiliasi
Salah satu budaya hukum yang erat dengan semangat kekeluargaan dan budaya
patrimonialisme, sebagaimana yang dikatan oleh Weber, di Negara Indonesia
adalah penyelesaian sengketa secara kekeluargaan (musyawarah) atau konsiliasi.
Daniel S. Lev dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia:
Kesinambungan dan Perubahan”. Lev mengatakan bahwa sebagian besar
15
4. Arbitrase:
Arbitrase sebagaimana dirurnuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999, menyatakan bahwa:
Berdasarkan rumusan tersebut, maka arbitrase lahir karena adanya perjanjian yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk
menyelesaikan suatu sengketa bidang perdata di luar peradilan umum atau melalui
arbitrase. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang
menentukan adanya 2 sumber perikatan, arbitrase ini merupakan perikatan yang
dilahirkan dari perjanjian.
2. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa.
Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara
tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau
perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dalam
kesepakatan dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan digunakan untuk
penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak .
Klausula atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok
atau dalam pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri seteIah timbuI
sengketa. Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus secara tegas
dicantumkan dalam perjannjian.
1. Penutup
2. Kesimpulan
Mekanisme penyelesaian sengketa perdata yang sesuai dengan perkembangan
hukum bisnis masa kini dan mendatang adalah alternatif penyelesaian sengketa
(APS) karena mengedepankan prinsip win-win solution, mekanisme penyelesaian
sengketa yang efektif, adil dan menjamin adanya kepastian hukum.
2. Saran
Sebagai lembaga penyelesaian sengketa perdata yang relatif baru dikembangkan
di Indonesia, APS masih membutuhkan faslititasi dari stake holder, mulai dari
pembinaan SDM, kelembagaan maupun sosialisasi kepada masyarakat umum.
Karena lembaga ini juga merupakan pranata yang sangat vital untuk iklim
investasi yang kondusif, maka semua pihak terkait juga harus meberikan perhatian
yang besar akan keberadaan lembaga ini.
-o(0)o-