Anda di halaman 1dari 62

PROPOSAL TESIS

UPAYA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN


PERKARA DI PENGADILAN NEGERI KLAS IA JAYAPURA

MEDIATION POSITION AS AN ALTERNATIVE DISPUTE


RESOLUTION IN KLAS IA JAYAPURA DISTRICT COURT

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh ijin penelitian guna penulisan


tesis

Oleh:
W ILLIAM HALASHON SINAGA
NPM. MH.20.08.008

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
UMEL MANDIRI
JAYAPURA
2022

I
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan


Pada Tanggal ……. Januari 2022,

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II

Dr. H.MH. Ingratubun, S.H, SE, Dr.Semmy B.A. Latunussa,S.H.,MH


NIDN. 12.161264.01 NIDN. 12.060968.01

Mengetahui
Ketua Jurusan Magister Hukum

Dr. Edy Purwito.,S.Pd.,S.H.,M.Hum.


NIP.19640212 198812 1 003

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... I

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... II

DAFTAR ISI ......................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 3

A. Latar Belakang Masalah............................................................ 3

B. Rumusan Masalah .................................................................... 10

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 11

E. Orisinalitas Penelitian ................................................................ 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 16

A. Tinjauan Umum ......................................................................... 16

B. Landasan Teori ......................................................................... 25

C. Alur Kerangka Pikir ................................................................... 37

D. Hubungan Antar Variabel .......................................................... 37

E. Definisi Operasional .................................................................. 39

BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 45

A. Jenis Penelitian ......................................................................... 45

B. Pendekatan ............................................................................... 45

C. Lokasi Penelitian ....................................................................... 49

D. Populasi dan Sampel ................................................................ 49

E. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 50

F. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 52

1
G. Analisis Data ............................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 57

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk social selamanya tidak akan bisa

lepas dari namanya konflik atau sengketa antara manusia, berbagai

macam penyelesaian sengketa sudah ada sejak zaman dahulu,

mulai dari belum terbentuknya sebuah negara hukum yakni

penyelesaian sengketa melalui musyawarah hingga sampai

terbentuknya negara dengan system hukum (negara modern) yaitu

dengan system peradilan. berkembangnya role model yang ada

dalam masyarakat juga di ikuti dengan berkembangnya system

hukum yaitu berbagai macam jenis peradilan dan juga berbagai

macam penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Salah satu jenis

penyelesaian sengketa baik di pengadilan maupun di luar peradilan

adalah mediasi.

Mediasi di pengadilan merupakan pelembagaan dan

pemberdayaan perdamaian (court connected mediation) dengan

landasan filosofisnya ialah Pancasila yang merupakan dasar

negara kita terutama sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila

keempat dari Pancasila ini diantaranya menghendaki, bahwa upaya

penyelesaian sengketa, konflik atau perkara dilakukan melalui

musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi oleh semangat

kekeluargaan. Hal ini mengandung arti bahwa setiap sengketa,

3
konflik atau perkara hendaknya diselesaikan melalui prosedur

perundingan atau perdamaian di antara pihak yang bersengketa

untuk memperoleh kesepakatan bersama. Semula mediasi di

pengadilan cenderung bersifat fakultatif atau sukarela (voluntary),

tetapi kini mengarah pada sifat imperative atau memaksa

(compulsory). Mediasi di pengadilan merupakan hasil

pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg,

yang mengharuskan hakim yang menyidangkan suatu perkara

dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian diantara

para pihak yang beperkara.1

Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai

yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas

kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang

memuaskan serta berkeadilan. Prosedur mediasi di Pengadilan

menjadi bagian hukum acara perdata yang dapat memperkuat dan

mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian

sengketa. Secara normatif, mediasi berdasarkan Perma No. 1

tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi dalam Pasal 1 angka 1

didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan

dibantu oleh mediator.

1
Rahadi Wasi Bintoro, “Kajian Ontologis Lembaga Mediasi di Pengadilan,” Jurnal Yuridika, Vol. 31,
No.1, (Januari-April, 2016), hal. 72

4
Akar konflik adalah perbedaan. Perbedaan ras, kulit, suku,

kelas, ekonomi, bahasa, budaya, dan agama merupakan cikal

bakal konflik, dan sekaligus tempat subur persemaian konflik.

Perbedaan itu sendiri ada secara alami, karena terbentuk oleh

keyakinan dan pandangan hidup yang dibentuk oleh kepentingan-

kepentingan untuk mempertahankan diri atau kelompok. Dengan

demikian konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan

sosial. Dengan kalimat lain, konflik sosial adalah keniscayaan

hidup.

Kita tidak dapat menutup mata melihat realita kasus-kasus dan

sengketa perdata yang digelar di pengadilan memakan waktu,

biaya, tenaga dan pikiran, tidak cukup itu terkadang sangat

melelahkan secara fisik maupun psikhis, meskipun dalam teorinya

bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui proses litigasi dimuka

pengadilan, berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan.2

Tetapi pada kenyataannya sekarang ini proses litigasi atau

proses berperkara di pengadilan masih dirasakan sangat

merugikan bagi para pihak yang berperkara sehingga asas tersebut

masih dirasakan sebagai slogan belaka.

Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan

peradilan dalam penyelesaian sengketa, maka dicari cara lain atau

institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan

peradilan.

2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

5
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu

pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan

dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum

Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian

yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court

annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute

resolution. Pelaksanaan mediasi di pengadilan merupakan bentuk

kebijakan untuk mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa

alternatif (non litigasi) ke dalam proses peradilan (litigasi) dengan

mengoptimalkan lembaga mediasi yang merupakan proses

penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya

murah.3

Hukum Acara Perdata, baik HIR maupun Rbg yang bernuansa

kolonial dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg telah meletakkan konsep

dasar lembaga damai di pengadilan bagi perkara-perkara perdata

pada kenyataannya tidak mampu mendorong penyelesaian perkara

secara damai. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor baik dari

pencari keadilan itu sendiri dan dari hakim itu sendiri yang tidak

berupaya secara maksimal memberdayakan upaya perdamaian

tersebut. Salah satu penyebabnya adalah cenderung sekedar

melaksanakan formalitas dalam menganjurkan para pihak untuk

menyelesaikan perkara tersebut secara damai, sekedar

menyampaikan diawal persidangan, selebihnya hakim tidak

3
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 ayat (4)

6
mengupayakan langkah-langkah yang tepat untuk upaya

perdamaian tersebut. Untuk itulah dalam delapan tahun terakhir ini

Mahkamah Agung telah berupaya untuk mengoptimalkan upaya

perdamaian dalam 4 penyelesaian sengketa di pengadilan dengan

lembaga mediasi yang merupakan bagian dari proses penyelesaian

perkara di pengadilan.4 Namun dilihat dari pelaksanaan Peraturan

Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi

di Pengadilan dirasa belum optimal dalam memenuhi kebutuhan

pelaksanaan mediasi yang lebih berdayaguna dan mampu

meningkatkan keberhasilan mediasi di Pengadilan.

Di Indonesia ada dasar hukum yang memperbolehkan suatu

sengketa diselesaikan melalui mekanisme alternatif penyelesaian

sengketa yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Juga dalam Kitab

Undang Undang Hukum Perdata pada ketentuan Pasal 1851 juga

menegaskan bahwa perdamaian dapat dilakukan atas perkara

yang telah ada baik yang sedang berjalan di pengadilan maupun

perkara yang akan diajukan kepengadilan.

Hal tersebut dimungkinkan sah adanya sepanjang para pihak

bersedia dan mempunyai itikad baik untuk menyelesaiakan suatu

masalah. Dalam hal perdamaian tersebut baik yang dilakukan oleh

hakim sebagai mediator atau fasilitator juga perdamaian yang

4
Ainal Mardhiah, “Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008,”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 53, (April, 2011), hlm. 155-156

7
dilakukan di luar pengadilan maka keduanya akan dilakukan secara

tertulis, untuk menguatkan perdamaian tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 1851 Kitab Undang Undang Hukum

Perdata disebutkan bahwa: “Perdamaian adalah suatu perjanjian

dimana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau

menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang

bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian

tidak sah melainkan jika dibuat tertulis”.

Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah yaitu Acte Van

Dading dan Acte Van Vergelijk Retnowulan Sutantio menggunakan

istilah Acte Van Dading untuk perdamaian5. Sedangkan Tresna

menggunakan istilah Acte Van Vergelijk untuk menyatakan

perdamaian dalam ketentuan Pasal 130 HIR.6

Banyak hakim lebih cenderung menggunakan Acte Van Dading

untuk Akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak tanpa/belum

ada pengukuhan dari hakim dan Acte Van Vergelijk adalah akta

yang telah memperoleh pengukuhan dari hakim,

Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa

perdamaian dapat dibagi sebagai berikut:

1. Akta perdamaian yang dibuat dengan persetujuan hakim,

dimana akta itu dibuat oleh para pihak di hadapan hakim atau

dengan mediator maupun fasilitator hakim atau yang sering

disebut dengan Acte Van Vergelijk.


5
Retnowulan Sutantio, Mediasi dan Dading, Proceedings Arbitrase dan Mediasi, (a) cet. 1, Pusat
Pengkajian Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003, hal. 161.
6
M.R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1975), hal. 130.

8
2. Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim yang dilakukan

dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau yang

biasa disebut juga Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat

menggunakan Acta Van Dading maupun akta di bawah tangan.

Dalam kaitannya dengan konsekuensi hukum atas perdamaian

dengan pengukuhan hakim dan perdamaian tanpa pengukuhan

hakim. Dalam ketentuan Pasal 1858 Kitab Undang Undang Hukum

Perdata disebutkan bahwa : “ Segala perdamaian mempunyai

diantara para pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam

tingkat yang penghabisan. Tidaklah dapat perdamaian itu dibantah

dengan alasan kehilafan mengenai hukum atau dengan alasan

bahwa salah satu pihak dirugikan.7

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setiap masyarakat

memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan

dalam menyelesaikan perkara, konflik dan sengketa. Secara

berangsur-angsur masyarakat cenderung meninggalkan cara–cara

penyelesaian sengketa berdasarkan kebiasaan dan beralih ke cara-

cara yang diakui oleh pemerintah.

Dari uraian tersebut diatas , dapat dikemukakan isu penelitian

sebagai berikut :

7
R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003) Pasal 1858.

9
1. Kuat dugaan Penerapan Mediasi terhadap penyelesaian

sengketa dipengadilan Negeri Klas IA Jayapura belum

dilaksanakan secara Maksimal ;

2. Ada kecenderungan masyarakat belum memahami tentang

Upaya penyelesaian perkara melalui mediasi oleh Pengadilan

Negeri Klas IA Jayapura .

Dalam hubungan dengan Isu diatas, maka perlu dilakukan suatu

penelitian yang dapat mengungkapkan kebenaran dari Isu tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah

diuraikan diatas maka secara konkret masalah Penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana tata cara pelaksanaan Mediasi terhadap

penyelesaian perkara oleh para Pihak dipengadilan Negeri Klas

IA Jayapura?

2. Bagaimana kesiapan hakim sebagai mediator dalam

penyelesaian perkara para Pihak di pengadilan Negeri Klas IA

Jayapura ditinjau dari PERMA Nomor 1 tahun 2016 dan

kendala apa saja yang dihadapi oleh Hakim Mediator ?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian ilmiah harus memiliki tujuan yang jelas dan

merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian, juga untuk

menunjukkan kualitas dari penelitian tersebut.

10
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas

maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan mengetahui tata cara pelaksanaan

Mediasi terhadap penyelesaian perkara oleh para Pihak

dipengadilan Negeri Klas IA Jayapura.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kesiapan hakim sebagai

mediator dalam penyelesaian perkara para Pihak di pengadilan

Negeri Klas IA Jayapura ditinjau dari PERMA Nomor 1 tahun

2016 dan kendala apa saja yang dihadapi oleh Hakim Mediator

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pikiran dan ulasan Hukum kepada Para Praktisi hukum terlebih

hakim mediator dalam membantu untuk membuat suatu akta dalam

menyelesaiakan sengketa didalam pengadilan maupun luar

pengadilan, juga memberikan tuntunan bagi para aparat penegak

hukum dan juga pejabat pemerintah dalam peran aktifnya untuk

ikut serta menciptakan keadaan nyaman dan damai dalam

masyarakat.

2. Manfaat Praktis.

a. Dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan

yang timbul atau dihadapi di pengadilan, khususnya dalam

membuat akta perdamaian.

11
b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka penyelesaian suatu perkara dengan

perdamaian di dalam dan di luar pengadilan dan tata cara

pelaksanaannya, juga sebagai bahan acuan bagi pihak-

pihak yang berkepentingan dalam bidang Mediasi

khususnya bagi para aparat penegak hukum.

E. Orisinalitas Penelitian

Terkait Orisinalitas, Peneliti telah melakukan riset terhadap

beberapa tesis yang mempunyai pembahasan sama yaitu terkait

mediasi, tapi berbeda dalam fokus apa yang diteliti dan

pembahasan, penelitian tersebut diantaranya:

No Penelitian Persamaan Perbedaan Kebaruan

1. Abdul Kahar Membahas Dalam Pada Tesis


Syarifuddin, Tesis terkait Tesis Abdul Abdul Kahar
UIN Alauddin Mediasi Kahar Syarifuddin,
Makassar, 2015. pada Syarifuddin mediasi
Efektvitas Mediasi Pengadilan , ditinjau dari
dalam Perkara pembahasa PERMA
Perceraian di n hanya Nomor 1
Pengadilan Agama terbatas Tahun
Baubau pada 2008,
perkara sedangkan
perceraian pada Tesis
pada ini telah
Pengadilan terjadi
Agama, Pembaruan
sedangkan terkait
dalam peraturan
Tesis ini yang di
Perkara tinjau, yakni
yang diteliti mediasi
tidak ditinjau dari
terbatas PERMA

12
pada Nomor 1
Perceraian Tahun
melainkan 2016.
semua
perkara
yang
masuk
dalam
kewenanga
n
Pengadilan
Negeri
terkhusus
Pengadilan
Negeri Klas
IA
Jayapura
2. Nurhikmah, Tesis Membahas Pada Tesis Sama
Universitas Medan mediasi Nurhikmah, halnya
Area, 2016. Mediasi sebagai pembahasa dengan
sebagai Alternatif alternatif n hanya Tesis
Penyelesaian penyelesai terbatas diatas,
Sengketa Perdata di an pada hasil putusan
Pengadilan (Analisis sengketa mediasi tersebut
Putusan No. pada pada terbit pada
52/Pdt.G/2015/Pn.R Pengadilan putusan Tahun
ap) Negeri sebagaima 2015,
na artinya
disebutkan dasar huku
dan juga Proses
proses Mediasi
pemilihan juga masih
mediator, menggunak
sedangkan an PERMA
pada tesis No. 1 Tahun
ini tidak 2008.
mengacu
pada satu
putusan,
dan tidak
meneliti
terkait
pemilihan
mediator,
tetapi lebih
kepada
hasil
mediasi

13
dan
bagaimana
kekuatan
hukum
pada hasil
mediasi
tersebut.
3. Daniel Jusari, Tesis Membahas Letak objek Tesis ini
Universitas mediasi penelitian tidak
Andalas. 2017. sebagai jelas terbatas
Efektivitas Mediasi salah satu berbeda, pada
dalam Penyelesaian bentuk pada tesis sengketa
Sengketa pada penyelesai tersebut konsumen,
Badan an lembaga melainkan
Penyelesaian sengketa. yang di lebih luas
Sengketa teliti adalah karena
Konsumen (BPSK) BPSK, perkara
Kota Padang. sedangkan pada
pada tesis Pengadilan
ini letak Negeri bisa
objek berupa
penelitian Pidana,
adalah PHI,
mediasi Perdata.
pada
Pengadilan
Negeri
Jayapura
4. Kliwon, Tesis Membahas Mediasi Tesis ini
Sekolah Tinggi Ilmu Mediasi dilihat dari tidak
Hukum Umel sebagai non litigasi, terbatas
Mandiri, 2021. penyelesai sedangkan pada
Analisis an pada tesis sengketa
Penyelesaian sengketa ini mediasi kontrak
Sengketa Kontrak kontrak pada kerja
Kerja Konstruksi kerja pengadilan, kontruksi
Proyek Pemerintah konstruksi jadi dapat pemerintah
Melalui Non Litigasi, Pemerintah dikatakan tetapi pada
non litigasi sengketa
tapi masuk yang ada
dalam pada
tahapan pengadilan
litigasi. terutama
sengketa
perdata
umum.

14
Terkait judul yang serupa tetapi berbeda permasalahan dan

objek penelitian, penulis jadikan sebagai pembanding dengan

penelitian ini sekaligus menjadi refrensi yang dikutip sebagai daftar

pustaka jika mengutip langsung dari penulis lainnya. Dengan

disetujuinya judul tesis ini, maka penulis dapat melakukan

penelitian pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura yaitu Upaya

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di Pengadilan

Negeri Klas IA Jayapura.

Tesis penulis berbeda dengan yang lain karena fokus penelitian

ini yaitu Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura serta Upaya mediasi

sebagai alternatif penyelesaian perkara agar tujuan dari Peradilan

yaitu sederhana, singkat dan berbiaya ringan dapat tercapai. Oleh

karena itu, keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan dan

sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi

yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan

implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga

dengan demikian penilitian ini dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi

yang sifatnya konstruktif.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum

1. Sengketa atau Perkara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa atau

Perkara adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan

pendapat, pertikaian atau perbantahan.8 Kata sengketa,

perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama dengan

“conflict” atau “dispute”.9 Keduanya mengandung pengertian tentang

adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau

lebih.

Sengketa atau perkara adalah suatu situasi dimana ada pihak

yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak

tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika

situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa

yang dinamakan dengan sengketa.

Dalam konteks hukum yang dimaksud dengan sengketa atau

perkara adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang

merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling

mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-

perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja. Dengan kata lain

bahwa yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu perselisihan

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Balai Pustaka, 1990), Hal 643.
9
John.M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, (Jakarta:
Penerbit Gramedia, 1996), hal. 138.

16
yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling

mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana perselisihan

tersebut dapat terjadi karena adanya suatu tindakan perbuatan yang

dianggap merugikan dari salah satu pihak dalam suatu perbuatan

hukum.

a) Bentuk Penyelesaian Sengketa / Perkara

cara-cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam

masyarakat, baik dalam masyarakat modern maupun tradisional.

Menurut Laura Nader dan J.Tood10 memberikan gambaran

mengenai cara-cara menyelesaikan keluhan atau sengketa dalam

tujuh cara. Ketujuh cara tersebut adalah: Membiarkan saja

(lumping it); Mengelak (avoidance); Paksaan (coercion);

Perundingan (negotiation); Mediasi; Arbitrase; Peradilan

(adjudication).

Dari ketujuh cara yang dikemukakan Nader dan Tood di atas

maka dapat dibagi dalam tiga cara penyelesaian sengketa atau

konflik, ketiga cara itu meliputi:

1. Tradisional, meliputi: membiarkan saja, mengelak, dan paksaan.

Keiga cara ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-

undangan.

2. ADR (Alternative Dispute Resolution), meliputi: perundingan,

mediasi, dan arbitrase (ditemukan dalam undang-undang Nomor

30 Tahun 1999). Berkaitan dengan situasi pluralisme hukum dan

10
Laura Nader dan J.Tood dalam Kadir Katjong, S.H., M.H., Op Cit. Hal.111

17
pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa, dewasa ini telah

berkembang konsep Alternative Dispute Resolutioun (ADR)

untuk merangkum bentuk-bentuk atau mekanisme penyelesaian

sengketa selain dari pada proses pengadilan. Dikembangkannya

konsep ADR ini karena pengadilan bukan tempat satu-satunya

sarana untuk menyelesaikan sengketa, tetapi pengadilan hanya

merupkan salah satu tempat untuk menyelesaikan sengketa atau

pengadilan hanya merupakan banteng teakhir dalam

penyelesaian sengketa.

3. Pengadilan, penyelesaian sengketa melaui pengadilan dikenal

dalam hukum acara. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

(litigasi) adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi

antara para pihak yang bersengketa, dimana dalam

penyelesaian sengketa itu di selesaikan oleh pengadilan.

Putusannya bersifat mengikat11.

b) Alternatif Penyelesaian Sengketa / Perkara

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diartikan sebagai

penyelesaian sengketa atau pendapat melalui prosedur yang

disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadillan

dengan cara konsultasi, mediasi, konsolidasi atau penilaian ahli.12

Ada beberapa macam bentuk-bentuk penyelesaian sengketa,

Jacquline M. Nolan-Haley, dalam bukunya yang berjudul Alternatif

11
Kadir Katjong, S.H., M.H. Op Cit. hal.113
12
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Alternatif, Pasal 1 angka 10.

18
Dispute Resolution, menjelaskan bahwa penyelesaian alternative

sengketa terdiri dari Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase. Lebih lanjut

menurut Abdurrasyid menyimpulkan bentuk alternative

penyelesaian sengketa yaitu Mediation, Conciliation, Disputes

Prevention, Binding Opinion, Valuation, Upprasial, Special Master,

Master, Ombudsman, Mini Trial, Private Judge, Summary Jury

Trial, Quality Arbitration atau Arbitration.

Penulis mengambil beberapa bentuk alternative penyelesaian

sengketa yang paling umum dilakukan, berikut dijelaskan:

1. Arbitrase

Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak melalui

klausul yang disepakati dalam perjanjian, menundukkan diri

untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul dari

perjanjian kepada pihak ketiga yang netral dan bertindak

sebagai arbiter.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

berbunyi sebagai berikut: “arbitrase adalah cara penyelesaian

suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa”. Dilanjutkan pada angka 7 berbunyi

“Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak

yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri

atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan

19
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya

melalui arbitrase”.

2. Negosiasi

Negosiasi adalah proses untuk mencapai suatu tujuan

dengan pihak lain, prosses ini melalui interaksi dan komunikasi

dengan tujuan akhir lebih condong menguntungkan pihak yang

memulai negosiasi. Kelebihan dalam alternative penyelesaian

sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak langsung yang

berinteraksi untuk menyelesaikan sengketa tersebut, sehingga

biaya yang dikeluarkan juga sedikit.

3. Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator.

4. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi, seorang

mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini

konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan

penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika para

pihak menyetujui solusi yang dibuat oleh konsiliator, maka

solusi tersebut menjadi resolution. Kesepakatan ini juga bersifat

final dan mengikat para pihak. Konsiliator berperan aktif dan

menawarkan solusi kepada para pihak. Secara sekilas tidak

ada perbedaan antara mediasi dengan konsiliasi, perbedaan

20
yang mendasar yaitu konsiliasi pihak ketiga aktif bahkan

menawarkan kesepakatan ke kedua belah pihak.

2. Mediasi

Kamus besar Bahasa Indonesia. Kata mediasi diberi arti

sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian

suatu perselisihan sebagai penasehat atau pihak netral.13

Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan menyebutkan bahwa “mediasi adalah cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”, sedangkan

pengertian perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata

menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara

yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara

kemudian.

a) Prinsip-Prinsip Mediasi

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada

pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi.

Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi.

Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan

(confidentiality), prinsip sukarela (volunteer) prinsip

13
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), Hal. 569

21
pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality),

dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).14

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 memuat

sepuluh prinsip pengaturan tentang penggunaan mediasi

terintegrasi di pengadilan (court- connected mediation). sepuluh

prinsip tersebut adalah sebagai berikut.15: Mediasi wajib

ditempuh; Otonomi para pihak; Mediasi dengan I’tikad baik;

Efisensi waktu; Sertifikasi mediator; Tanggung jawab mediator;

Kerahasiaan; Pembiayaan; Pengulangan mediasi; Kesepakatan

perdamaian diluar pengadilan.

b) Peran dan Fungsi Mediator

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1

Ayat (2) yang dimaksud dengan Mediator adalah “Hakim atau

pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral

yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna

mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa

menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian”

PERMA Mediasi memberikan ketentuan, bahwa mediator

yang menjalankan fungsi mediasi pada prinsipnya harus memiliki

sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan

dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator yang

14
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional
(Jakarta: Kencana, 2009) Hal. 28.
15
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2011). Hal.154

22
diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang

telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.

Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud Sertifikat

mediator adalah dokumen yang diterbitkan oleh Mahkamah

Agung atau lembaga yang memperoleh akreditasi dari

Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa seseorang telah

mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi mediasi. Dalam ayat

selanjutnya dikatakan: berdasarkan surat keputusan ketua

Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan fungsi

mediator dalam hal keterbatasan jumlah Mediator bersertifikat.

Disebutkan dalam ayat berikutnya bahwa ketentuan lebih lanjut

mengenai syarat dan tata cara sertifikasi mediator dalam

pemberian akreditasi lembaga sertifikasi Mediator ditetapkan

dengan keputusan ketua Mahkamah Agung.

Seorang Mediator yang memimpin jalannya mediasi harus

mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:16

a. Disetujui oleh para pihak yang bersengketa;


b. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan
salah satu pihak yang bersengketa
c. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu
pihak yang bersengketa;
d. Tidak mempunyai hubungan finansial atau
kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;
dan
e. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.

16
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006) Hal. 134

23
3. Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura

Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura telah ada sejak

pembentukan provinsi Irian Barat yang saat ini Bernama Papua,

yang dahulu ibu kotanya disebut kota baru/Port Numbay dan kini

dengan nama Jayapura. Sesuai dengan perkembangan dan

pemekaran diwilayah Jayapura, saat ini telah dimekarkan sehingga

menjadi 1 (satu) Kota Jayapura dan 4 kabupaten, yaitu Kabupaten

Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, Kabupaten

Mambramo Raya.

Satu kota dan empat kabupaten tersebut merupakan wilayah

hukum Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Gedung utama terletak

di Kota Jayapura, dan Gedung pembamtu terletak di Arso

Kabupaten Keroom, Sarmi Kabupaten Sarmi, dan Genyem

Kabupaten Genyem.

Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura memiliki Visi yaitu

“mewujudkan supremasi hukum mulai kekuasaan kehakiman yang

mandiri, efektif, efisien serta dapat kepercayaan public, professional

dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan biaya rendah

bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan

public”. Sedangkan misinya yaitu:

1. Menjaga kemandirian Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura;

2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada

pencari keadilan;

24
3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan di Pengadilan Negeri

Klas IA Jayapura;

4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi di Pengadilan

Negeri Klas IA Jayapura.

B. Landasan Teori

1. Teori Keadilan

Dalam literatur Inggris menggunakan istilah justice untuk

keadilan, yang berarti hukum atau hak. Keadilan dalam bahasa

Inggris “justice” yang menurut Noach Webster merupakan bagian

dari nilai (value) yang bersifat abstrak sehingga memiliki banyak arti

dan konotasi.

Dalam hubungannya dengan konsep keadilan, kata justice

antara lain diartikan sebagai berikut:17

1. Kualitas untuk menjadi pantas (righteous), jujur (honesty),

2. Tidak memihak (impartiality) representasi yang layak(fair) atas

fakta-fakta,

3. Kualitas untuk menjadi benar (correct, right),

4. Retribusi sebagai balas dendam (vindictive), hadiah (reward)

atau hukuman (punishment) kebenaran (rightfulness) sesuai

prestasi atau kesalahan,

5. Alasan yang logis (sound reason), kebenaran (rightfulness)

validitas,

17
Noach Webster, dalam H.M. Erfan Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
Hal. 397.

25
6. Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan yang benar

(right), adil (just) atau sesuai hukum (lawful).

Selanjutnya dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “adil”

diartikan sebagai: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)

berpihak kepada kebenaran, (3) sepatutnya/tidak sewenang-

wenang.

Dalam menguraikan teori keadilan perlu diperhatikan konsep

keadilan sosial yang secara filosofis tertuang dalam Undang-

Undang Dasar NRI 1945. Dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar NRI 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia terbentuk

dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ke-Tuhanan Yang

Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya kata keadilan merupakan kata sifat untuk semua

perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara keadilan sosial

(social justice) adalah keadilan dalam hubungan yang luas (holistic)

yaitu menyangkut hubungan antara negara dengan warganya atau

sebaliknya.18

Keadilan yang berakar dari kata adil yang berarti tidak berat

sebelah atau seimbang, juga dapat berarti berpihak kepada yang

18
Karen Lebach, Teori-teori Keadilan, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), Hal.1.

26
benar atau berpegang pada kebenaran serta tidak berbuat

sewenang-wenang. Kata keadilan merupakan kata sifat untuk

semua perbuatan dan perlakuan yang adil.

Rumusan keadilan yang paling awal dikemukakan oleh

Ulpianus (200 M) seorang ahli hukum Romawi dengan kalimat

“tribure jus suum cuique” yang berarti memberi berdasarkan hak

masing-masing. Pendapat tersebut kemudian diadopsi oleh Corpus

Juris Kaisar Justianus dan ahli-ahli filasafat hukum zaman

Romawi.19

Teori keadilan tersebut selanjutnya dikembangkan oleh

Aristoteles (583-322 M) yang menyebutkan bahwa keadilan adalah

kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Aristoteles membedakan dua jenis keadilan, yakni keadilan sebagai

keutamaan umum yang kemudian melahirkan konsep keadilan

umum (justisia universalis) dan keadilan sebagai keutamaan moral

khusus yang kemudian melahirkan konsep keadilan komutatif

(justisia commutative) serta keadilan distributif (justisia distributive).

Menurut Achmad Ali bahwa Suatu keadilan diartikan sebagai

aturan-aturan yang seyogyanya tidak sekedar adil dan tidak

memihak, tapi juga harus dilaksanakan secara jujur, sejalan dengan

standar-standar prosedur yang semestinya dan tanpa pedulikan ras,

kelas, ataupun status sosial lainnya. pandangan tersebut akan

19
Muh.Suarif, Prinsip-Prinsip Keadilan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di
Indonesia, (Surabaya: Disertasi PPS Unair, 2002), Hal.10.

27
melahirkan suatu keadilan yang lazimnya dinamakan keadilan

prosedural. 20

Jadi prinsip keadilan ini merupakan apa yang benar, baik dan tepat

dalam hidup, dan karenanya mengikat semua orang, baik masyarakat

maupun penguasa. Frans Magnis Suseno21 mengemukakan bahwa

keadilan sebagai suatu keadaan dimana semua orang dalam situasi

yang sama diperlakukan secara sama.

Di Indonesia kita juga menjumpai rumusan tentang keadilan

yang demikian itu, seperti bahwa: adil adalah tegak, tidak berat

sebelah, oleh karena itu juga bisa diberi arti lurus atau benar,

sedangkan benar itu juga berarti nyata, dan nyata itu adalah jujur.22

Pendapat lain dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya

yang berjudul “A Theory of Justice”, mengemukakan bahwa teori

keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan

menghasilkan keadilan. Keadilan menurut John Rawls didasarkan

atas dua prinsip yaitu Equal Right dan Economic Equality. 23

Kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting dari

manusia, sehingga John Rawls sendiri menetapkan kebebasan

sebagai prinsip pertama dari keadilannya berupa, "Prinsip

Kebebasan yang Sama". Prinsip ini berbunyi "Setiap orang harus

mempunyai hak yang sama atas sistem kebebasan dasar yang

20
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta: Kencana,
2012), Hal.143.
21
Frans Magnis Suseno, dalam Harimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012). Hal.135.
22
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal.166.
23
John Rawls, A Theory Of Justice – Teori Keadilan (terjemahan Uzair Fauzan) (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), Hal.3.

28
sama yang paling luas sesuai dengan sistem kebebasan serupa

bagi semua".24

Ini berarti pada tempat pertama keadilan dituntut agar semua

orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas kebebasan secara

sama. Karena itu dalam suatu masyarakat yang adil, kebebasan

para warga negara yang sederajat tetap tidak berubah, hak-hak

yang dijamin oleh keadilan tunduk pada tawar-menawar politik

ataupun pada pertimbangan sosial.

Keadilan merupakan suatu cara pendistribusian hak, kewajiban,

manfaat dan beban diantara individu-individu dalam masyarakat. Hal ini

sebagaimana yang dikemukakan oleh John Rawls bahwa setiap orang

memiliki kekebalan atas hak-haknya dan bahwa kesejahteraan masyarakat

sekalipun tidak dapat menghapus ini. Pandangan John Rawls ini

sesungguhnya berangkat dari teori kontrak sosial yang mengatakan bahwa

dalam hal distribusi kebebasan dan kekuasaan, semua orang berada

dalam posisi awal yang sama.25

Menurut teori keadilan bahwa seseorang akan menilai fair hasilnya

dengan membandingkan hasil rasio inputnya dengan hasil rasio input

seseorang/ sejumlah orang bandingan. Teori keadilan ini tidak merinci

bagaimana seorang memilih orang bandingan atau berapa banyak orang

bandingan yang akan digunakan.

24
Ibid,
25
John Rawls, A Theory Of Justice, (London: Oxford University Press, 1973), Hal.9.

29
2. Teori Peranan

Secara etimologi peran berarti seseorang yang melakukan tindakan

yang dimana tindakan tersebut diharapkan oleh masyarakat Artinya setiap

tindakan yang dimiliki setiap individu memiliki arti penting untuk Sebagian

orang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan diartikan sebagai

bagian yang dimainkan dalam suatu kegiatan dalam adegan film,

sandiwara dengan berusaha bermain baik dan secara aktif

dibebankan kepadanya. Selain itu di KBBI juga menyebutkan

peranan merupakan tingkah seorang pemain yang memiliki sifat

yang mampu menghasilkan dan menggerakan sesuatu hal yang

baik kedalam sebuah peristiwa.

Menurut Soekanto menyebutkan arti peran yang merupakan

aspek dinamis kedudukan (status). Peran adalah suatu pekerjaan

yang dilakukan seseorang berdasarkan status yang disandang.

Meskipun setiap tindakan untuk menunjukkan peran berdasarkan

status yang disandang tapi tetap dalam koridor keteraturan yang

berbeda yang menyebabkan hasil peran dari setiap orang berbeda.

Sehingga dapat disimpulkan peran adalah aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang untuk

menghasilkan suatu perubahan yang diinginkan oleh masyarakat

berdasarkan kedudukan atau jabatan yang dimiliki seseorang atau

sekumpulan orang tersebut.

30
Penjelasan diatas dapat diketahui bahwa peran dan status

social merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Adapun

konsep peran menurut Soekanto adalah sebagai berikut:

a. Persepsi Peran

Persepsi peran adalah pandangan kita terhadap tindakan

yang seharusnya dilakukan pada situasi tertentu. Persepsi

ini berdasarkan interprestasi atas sesuatu yang diyakini

tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku.

b. Ekspetasi Peran

Ekspetasi peran merupakan sesuatu yang telah diyakini

orang lain bagaimana seseorang harus bertindak dalam

situasi tertentu. Sebagian besar perilaku seseorang

ditentukan oleh peran yang didefinisikan dalam konteks

dimana orang tersebut bertindak.

c. Konflik Peran

Saat seseorang berhadapan dengan ekspetasi peran yang

berbeda, maka akan menghasilkan konflik peran. Konflik ini

akan muncul saat seseorang menyadari bahwa syarat satu

peran lebih berat untuk dipenuhi ketimbang peran lain.

Mengacu pada penjelasan diatas, peran dapat dibagi menjadi

tiga jenis, yaitu:

a. Peran aktif

Peran aktif adalah peran seseorang seutuhnya selalu aktif

dalam tindakannya pada suatu organisasi. Hal tersebut

31
dapat dilihat atau diukur dari kehadirannya dan

konstribusinya terhadap suatu organisasi.

b. Peran partisipasif

Peran partisipasif adalah peran yang dilakukan seseorang

berdasarkan kebutuhan atau hanya pada saat tertentu saja.

c. Peran pasif

Peran pasif adalah suatu peran yang tidak dilaksanakan

oleh individu. Artinya, peran pasif hanya dipakai sebagai

symbol dalam kondisi tertentu di dalam kehidupan

masyarakat.

3. Teori Perlindungan Hukum

Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris,

yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda,

disebut dengan theorie van de wettelijke bescherming, dan dalam

bahasa Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz.26

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istlah perlindungan

secara gramatikal mempunyai arti adalah:

1. Tempat berlindung; atau

2. Hal (perbuatan) memperlindungi.

Perlindungan hukum dalam Bahasa Inggris disebut legal

protection, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut

rechtsbecherming. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum

hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan


26
H. Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), Hal.259.

32
mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa

bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-

kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan

melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum melindungi

kepentingan seseorang dengan cara memberikan kekuasaan

kepadanya untuk bertindak dalam memenuhi kepentingannya

tersebut. Pemberian kekuasaan, atau yang sering disebut dengan

hak ini, dilakukan secara terukur, keluasan dan kedalamannya. 27

Selanjutnya Satjipto Rahardjo28 memberikan pengertian

perlindungan hukum adalah dalam rangka memberikan

pengayoman terhadap hak-hak asasi manusia yang dirugikan orang

lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Dalam setiap perundang-undangan yang menjadi salah satu

elemen dalam mewujudkan perlindungan maka bentuk dan tujuan

perlindungan yang diberikan kepada subjek dan objek

perlindungannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Unsur-

unsur perlindungan hukum meliputi:

a. Adanya wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan

perlindungan,

b. Subjek hukum, dan

c. Objek perlindungan hukum.

27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 53.
28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal.54.

33
Di dalam peraturan perundang-undangan telah ditentukan

bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada masyarakat

(termasuk pekerja/buruh) yang berada pada posisi yang lemah baik

secara ekonomi maupun lemah dari aspek yuridis atas adanya

kesewenang-wenangan dari pihak lainnya, baik itu penguasa,

pengusaha maupun orang-orang yang mempunyai kedudukan

ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat.

Menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran hak,

bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga

karena ada pengakuan terhadap itu. Hak tidak hanya

mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, tapi juga

kehendak. Terkait fungsi hukum untuk memberikan perlindungan,

Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu

ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk

penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yangmelindungi dan

memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan

manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan

martabatnya.29

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa: “Prinsip perlindungan

hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan

bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di

Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan

29
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1994), Hal. 64.

34
perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada

pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada

masyarakat dan pemerintah.”30 Sejalan dengan itu, A.J. Milne

dalam tulisannya yang berjudul the Idea of Human Rights

mengatakan: “A regime which protects human rights is good, one

which fails to protect them or worse still does not acknowledge

their existence is bad.”31

Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai

atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan

dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup

antara sesama manusia.32

Harjono mencoba memberikan pengertian perlindungan

hukum sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana

hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan

kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,

yaitu dengan menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi

tersebut dalam sebuah hak hukum.33 Ini artinya bahwa

perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan dengan

berlandaskan hukum dan perundang-undangan.

30
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987), Hal. 38.
31
Ibid.
32
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum di Indonesia, (Surakarta: Disertasi Fakultas
Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2003), Hal. 14.
33
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008), Hal. 357.

35
Dalam setiap perundang-undangan yang menjadi salah satu

elemen dalam mewujudkan perlindungan maka bentuk dan tujuan

perlindungan yang diberikan kepada subjek dan objek

perlindungannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Unsur-

unsur perlindungan hukum meliputi:

a. Adanya wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan

perlindungan,

b. Subjek hukum, dan

c. Objek perlindungan hukum.

Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2

(dua) bagian, yaitu:

a. Perlindungan yang bersifat preventif dan

b. Perlindungan yang bersifat represif.34

Perlindungan hukum yang bersifat preventif merupakan

perlindungan hukum yang sifatnya mencegah, sementara

perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan

apabila terjadi masalah.

Fungsi hukum sebagai instrumen pengatur dan instrumen

perlindungan ini, disamping fungsi lainnya yaitu diarahkan pada

suatu tujuan yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum

antar subjek hukum secara harmonis, seimbang, damai dan adil.

Hal ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound yang

mengatakan bahwa:” hukum itu perwujudannya adalah terjadinya

34
Ibid, Hal. 45.

36
keseimbangan kepentingan”. Sehingga apa yang menjadi tujuan

pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah

menciptakan suatu tatanan masyarakat yang tertib dan teratur

terwujud kehidupan individu di dalam masyarakat secara

seimbang.35

C. Alur Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah yang

telah dijelaskan diatas maka penelitian ini tentang Kedudukan Mediasi

Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di Pengadilan Negeri Klas IA

Jayapura, yang fokusnya pada bagaimana kedudukan dan prosedur

mediasi di Pengadilan ditinjau dari PERMA Nomor 1 Tahun 2016?, dan

juga pada factor-faktor Penghambat mediasi di Pengadilan Negeri Klas IA

Jayapura?. Untuk mewujudkan akses yang lebih luas kepada masyarakat

terhadap keadilan melalui Mediasi sekaligus implementasi asas

penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

D. Hubungan Antar Variabel

Hubungan antara variable atau sering dikenal hubungan antar dua variable

yaitu variable bebas (independent/pengaruh) dengan variable terikat

(dependen/terpengaruh) dengan symbol X dan Y biasanya dikaitkan dengan

analisis hubungan kausal (hubungan sebab akibat).

1) Variable penyebab / bebas (independent variable = X)

35
Ibid, Hal. 48

37
Dinamakan variable bebas karena bebas dalam mempengaruhi variable

lain. Variable ini berfungsi untuk membuat suatu dampak pada variable

terikat (dependent). Variable bebas adalah variable yang mempengaruhi

variable lain atau menjadi sebab atau berubahnya variable lain.

2) Variable terpengaruh (Despendent Variable = Y)

Variable Despendent (variable terikat) merupakan variable yang

dipengaruhi, akibat dari adanya variable bebas.

Gambar kerangka pemikiran (Conceptual Framework)

Aspek Hukum
1. PERMA dan
Aturan terkait
Prosedur 2. Pelaksanaan
Mediasi di aturan
Pengadilan (X1)
menyeleng
ditinjau dari garakan
PERMA No. peradilan
1 Tahun yang
2016 serta sederhana,
kedudukan cepat, dan
dan peran berbiaya
hakim Aspek SDM ringan.
mediator 1. Kualitas
Mediator
2. Pengetahuan
masyarakat
(X2)

38
Keterangan :

X = Variabel Bebas

Y = Variabel Terpengaruh

E. Definisi Operasional

a. Kajian

Menurut KBBI, mengkaji artinya belajar, mempelajari, memeriksa,

memikirkan, menguji, atau menelaah. Disini dapat dikatakan juga

bahwa mengkaji artinya memikirkan sesuatu lebih lanjut yang

diharapkan dapat menciptakan suatu kesimpulan yang selanjutnya

mengarah untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam setiap kajian,

memang tidak selalu menghasilkan suatu kesimpulan. Namun

alangkah baiknya, jika hasil berfikir tersebut dapat membuat sesuatu

yang berarti. Untuk mengkaji sesuatu dengan benar, diperlukan

metode kajian. Adapun tahapan melakukan metode kajian adalah

sebagai berikut.

1. Membuat kerangka pemikiran

Sebelum memikirkan sesuatu lebih lanjut. Alur berfikir sangat

dibutuhkan agar pemikiran bisa terarah dan tidak keluar dari

tujuan yang ingin kita raih dari kajian tersebut.

2. Pengumpulan data atau sumber informasi

Untuk mempertimbangkan sesuatu, data dibutuhkan agar baik

dan buruknya suatu keputusan dapat diperkirakan. Tanpa data

dan sumber informasi, suatu pemikiran akan sangat tidak

39
berbobot karena hanya merupakan hasil dari pemikiran tanpa

dasar.

3. Analisis data dan sumber

Dengan menganalisis data, kesimpulan akan suatu kondisi yang

ingin dikaji dapat diketahui dengan baik sehingga kesimpulan

untuk perbuatan yang ingin dilakukan akan sesuai dengan

permasalahan.

4. Perancangan program

Setelah mengetahui apa yang akan dilakukan, merancang

tahapan untuk melaksanakan program yang telah diputuskan

akan sangat membantu untuk mengukur keberhasilan dari

keputusan hasil kajian yang dilakukan. Membuat kajian tidak

hanya menguntungkan untuk masyarakat, tetapi juga

menguntungkan seseorang yang telah mengkaji. Kajian

membuat pola pikir seseorang menjadi terlatih untuk berfikir

secara runtut, teratur, dan terarah. Semakin sering orang

mengkaji, semakin matang dan dewasa hasil-hasil pemikirannya.

Namun dalam mengkaji, yang perlu dilatih bukan hanya

pemikiran tetapi hati juga perlu dilatih dalam membuat suatu

keputusan karena sesungguhnya apapun yang dilakukan oleh

seseorang manusia tidak hanya berdampak pada diri mereka

sendiri melainkan ke orang di sekitarnya juga.

40
b. Yuridis

Yuridis berdasarkan kamus hukum berarti menurut hukum atau

secara hukum dan digunakan untuk aspek yuridis. Dalam hal

penulisan karya ilmiah pengertian yuridis adalah segala hal yang

memiliki arti hukum dan disahkan oleh pemerintah.

c. Peraturan Mahkamah Agung

Data pada situs Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Mahkamah Agung (JDIH) semenjak tahun 1999 hingga tahun 2021

sudah mengeluarkan 88 Peraturan Mahkmah Agung dimana pada

tahun 2016 adalah terbanyak dengan 14 Peraturan Mahkamah

Agung. Dasar hukum Peraturan Mahkamah Agung adalah Lampiran

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 57/KMA/SK/IV/2016

tentang Perubahan Atas Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia No. 271/KMA/SK/X/2013 tentang Pedoman

Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 79

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

PERMA pada undang-undang ini berperan untuk mengisi

kekosongan hukum terhadap materi yang belum diatur dalam

undang-undang. Pada Pasal 79 dan Penjelesannya menjelaskan

beberapa ketentuan:

Pertama, terkait dengan Batasan materi PERMA, materi

PERMA adalah materi yang belum diatur oleh undang-undang;

kedua, ruang lingkup pengaturan PERMA sebatas pada

41
penyelenggaraan peradilan yang berkaitan dengan hukum acara;

Ketiga, penjelasan Pasal 79 pada paragraf kedua antara lain

menyebutkan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh MA

dibedakan dengan peraturan yang dibentuk oleh pembentuk

undang-undang, MA juga tidak dapat mencampuri dan melampaui

pengaturan hak dan kewajiban warga negara.

d. Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu

oleh Mediator. Sedangkan mediator sendiri adalah hakim atau pihak

lain yang memiliki sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang

membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari

berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan

cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Sertifikat

Mediator adalah dokumen yang diterbitkan oleh MA atau lemaga

yang telah memperoleh akreditasi dari MA, yang menyatakan

bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi

mediasi.

Pelaksanaan mediasi telah berkembang melalui proses di

pengadilan menuju kesempurnaannya yang ditandai dengan

diterbitkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi dan

PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,

yang diantara kedua aturan tersebut terdapat beberapa point

penting yang berbeda, antara lain:

42
Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40

hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan

mediasi.

Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (inperson) untuk

menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa

di dampingi kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi

Kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan

Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter, dibawah

pengampuan, mempunyai tempat tinggal, kediaman atau

kedudukan diluar negeri atau menjalankan tugas negara, tuntutan

profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang

I’tikad baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang

tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan :1)

para pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh mediasi

dengan I’tikad baik. 2) salah satu pihak atau para pihak dan/atau

kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beri’tikad baik oleh

mediator dalam hal yang bersangkutan:

A. Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali

berturut-turut dalam pertemuan mediasi tanpa alasan sah;

B. Menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah

hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil

secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;

43
C. Ketidakhadiran berulang-ulang yang menganggu jadwal

pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

D. Menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan

dan/atau tidak menanggapi resume perkara pihak lain;

dan/atau

E. Tidak mendatangani konsep kesepakatan perdamaian yang

telah di sepakati tanpa alasan sah.

44
BAB III

METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif analitis, yaitu

penelitian yang berusaha memberikan gambaran secara

menyeluruh, sistematis dan mendalam tentang suatu keadaan atau

gejala yang diteliti. Penelitian mengkaji dan menganalisis praktek-

praktek penyelesaian sengketa dan sistem hukum yang

mengaturnya untuk diambil suatu kesimpulan terkait dengan

perlindungan hukum, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan

nilai keadilan terhadap penyelesaian sengketa yang dilakukan

melalui mediasi. Oleh karena penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta

(individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan

frekuensi sesuatu yang terjadi sehingga penelitian deskriptif.36

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang

seteliti mungkin tentang sengketa-sengketa yang terjadi dan cara

penyelesaiannya

b. Pendekatan

Mengingat dalam melakukan penelitian selalu menggunakan

metode pendekatan untuk memperoleh jawaban atas

permasalahan sebagai tujuan penelitian. Dalam Penelitian ini

peneliti menggunakan dua jenis metode pendekatan sekaligus yaitu


36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIPress, 1984),Hal.10.

45
Pendekatan Hukum Normatif (yuridis normative) dan Pendekatan

Hukum Empiris (yuridis empirik).

Dalam penulisan tesis ini metode pendekatan yang

digunakan adalah yuridis normatif, dikatakan demikian karena

penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah

atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini disebut juga

penelitian kepustakaan atau studi dokumen, karena penelitian ini

lebih banyak akan dilakukan melalui studi kepustakaan atau lebih

dikenal dengan studi pada data sekunder.37

Pendekatan hukum normatif (yuridis normative) dilakukan

dengan menganalisis tentang substansi hukum yang mengarah

pada system hukum, sehingga tidak terlepas dari normatife-

analistis yang bertolak dari bahan hukum primer. Sejalan dengan

hal itu, yang dimaksudkan dengan penelitian hukum normative

adalah pengkajian terhadap masalah peraturan perundang-undang

dalam suatu tatanan hukum.38

Melalui metode pendekatan ini, diteliti beberapa Proses

Pengambilan Keputusan Hukum, baik dari segi tindakkan pelaku

pengambilan keputusan maupun kerja institusi dimaksud yang

diatur oleh hukum. Pendekatan yang bersifat yuridis-normatif

37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 13 -14
38
Soetandjo Wignjosoebroto, Sebuah Pengantar Ke Arah Perbincangan Tentang Penelitian Hukum
Dalam PJP II, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1995), Hal.5

46
tersebut dilakukan dengan mempergunakan bahan hokum 39primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.40

Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Hukum

Normatif karena yang menjadi permasalahan utama dalam

penelitian ini adalah masalah hukum.41 Selain itu penelitian hukum

normatif tidak semata merupakan penelitian terhadap teks hukum

semata.42 Sebagaimana Lawrence M. Friedman memaknai hukum

bukandalam arti “rule” dan “regulation” atau hukum positif saja,

tetapi hukum dalammakna “legal system”, yang terdiri structure,

substance, dan cultur.43

Selanjutnya juga dilakukan Pendekatan Hukum Empiris

(yuridis empirik) yang dimaksudkan untuk memperoleh

pengumpulan data melalui berbagai wawancara dan atau

pengambilan pendapat dari berbagai diskusi mengkaji dan

39
Ade Saptono, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009).
Hal. 34.
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji., Ibid, Dalam deskripsi Soedono Soekanto dan Sri
Mamudji,apabila dilihat dari sudut informasi yang diberikannya, maka bahan pustaka dapat dibagi
ke dalamdua kelompok. sebagai berikut: (1) bahan/sumber primer, dan (2) bahan/sumber
sekunder.Bahan/sumber sekunder ialah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang
baru ataumutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu
gagasan(idea). Bahan/sumber primer tersebut mencakup: (a) buku-, (b) kertas kerja konferensi,
lokakarya,seminar, symposium dan sebagainya; (c) laporan penelitian; (d) laporan teknis; (e)
majalah; (f)disertasi atau tesis dan (g) paten. Sedangkan bahan/sumber sekunder adalah bahan
pustaka yangberisikan informasi tentang bahan primer, yang antara lain mencakup: (a) abstrak; (b)
indeks; (q)bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Disamping kedua
bahantersebut, terdapat pula bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yang pada
dasarnyamencakup: (1) bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer
dan bahanhukum sekunder, yang lebih dikenal sebagai bahan acuan bidang hukum atau bahan
rujukanbidang hukum. Misalnya adalah abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum,
direktoripengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan sebagainya;
dan (2)bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal
darisosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat, dan lain sebagainya. Lihat Soerjono Soekanto dan
SriMamudji,Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV Rajawali, 1985),
Hal.34-35 dan 41.
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, Jakarta, 2007), Hal., 57-61.
42
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayumedia
Publishing, 2008, Hal. 24.
43
Lawrence M. Fridman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1984), page. 47

47
menganalisis tentang aspek proses, misalnya proses pengambilan

keputusan hukum, baik dari segi tindakan pelaku pengambilan

keputusan itu maupun kerja institusi dimaksud yang diatur oleh

hukum. Penelitian empiris akan dilakukan di Pengadilan Negeri

Klas I A Jayapura dengan mengkaji dan menganalisis berbagai

perkara tindak hukum yang relevan dengan focus penelitian ini.

Metode pendekatan ini digunakan dengan pertimbangan

bahwa titik tolak dari penelitian ini adalah kajian bagaimana

kedudukan hukum akta perdamaian di luar pengadilan dan

permasalahannya, yang mana hal itu merupakan kewenangan dari

pejabat umum dalam membuat akta perdamaian.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jhonny Ibrahim, bahwa

nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap

legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan

(approach). Cara pendekatan dalam suatu penelitian hukum

normatif, satu hal yang pasti adalah penggunaan pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Namun untuk

memperkuat argumentasi dan analisis ilmiahnya dapat juga

memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu

lain tanpa harus mengubah karateker ilmu hukum sebagai ilmu

normative, yang dalam hal ini yaitu berbagai bahan hukum yang

memiliki sifat empiris seperti perbandingan hukum, sejarah hukum,

dan kasus-kasus hukum yang telah diputus.44

44
Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-301.

48
c. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Klas I A

Jayapura Provinsi Papua di lakukan untuk meneliti tentang

bagaimana kedudukan dan prosedur Mediasi di Pengadilan,

apakah sudah sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan

apa saja factor-faktor penghambat mediasi pada Pengadilan Negeri

Klas IA Jayapura.

d. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah merupakan keseluruhan objek atau seluruh

individu atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan

diteliti.45 yakni merupakan sekelompok atau sekumpulan orang-

orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

Dengan demikian yang menjadi populasi dalam penelitian

ini adalah para pihak yang terlibat sengketa yang terjadi di Kota

Jayapura.

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dijadikan sebagai

fokus atau sasaran penelitian.46

Oleh karena populasi dalam penelitian ini sangat besar dan

sangat luas dan tidak memungkinkan untuk diteliti secara

45
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1990), Hal. 44.
46
Ibid, Hal.145.

49
keseluruhan, sehingga populasi tersebut hanya cukup diambil

sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel guna memberikan

gambaran yang tepat dan benar dalam penelitian.

Pengambilan sampelnya dilakukan dengan metode

purposive sampling47, dimana sampel telah ditentukan sendiri

oleh peneliti dari sejumlah perusahaan dan pekerja serta pihak-

pihak pemerintah yang terkait masalah penerapan waktu kerja

dan pengupahan yang dipilih berdasarkan pertimbangan sendiri

oleh peneliti, yaitu:

1. sampel dianggap mengetahui tentang masalah yang

diteliti.

2. sampel dianggap mempunyai pengetahuan dan

pengalaman mengenai masalah yang diteliti.

3. Mengingat keterbatasan waktu dan biaya.

Dengan demikian maka yang menjadi sampel dan

dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini adalah

berjumlah 3 orang dengan perincian sebagai berikut:

1) 2 orang dari pihak yang bersengketa

2) 1 Hakim Mediator dari Pengadilan Negeri Jayapura

e. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

atas Data Primer dan Data Sekunder.


47
H.Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2013), Hal. 25.

50
2. Sumber Data

Data primer merupakan data utama yang bersumber dari

lapangan yang diperoleh secara langsung dari para subyek

penelitian melalui wawancara maupun kuesioner atau angket,

seementara Data sekunder, merupakan data yang diperoleh

melalui telaah kepustakaan berupa peraturan perundang-

undangan, buku-buku literatur maupun jurnal-jurnal karya ilmiah

lainnya yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti.

Menurut Soerjono Soekanto, data primer adalah data yang

diperoleh langsung dari sumber pertama, melalui penelitian

lapangan. Sedangkan data sekunder, antara lain, mencakup

dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud

laporan, buku harian, dan sebagainya.

Bahan-bahan hukum primer, yang meliputi berbagai macam

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan relevan

dengan legal research ini, dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya. 48

Kedua jenis data tersebut, baik data sekunder maupun data

primer, akan saling mendukung dalam perumusan hasil penelitian.

Data sekunder tersebut akan didapatkan dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan hukum tersier. Yang

dimaksud dengan ketiga bahan hukum tersebut dalam penelitian

ini mencakup buku-buku (termasuk kamus) dan beberapa sumber

48
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press, 1986), Hal. 12.

51
lainnya seperti: artikel; majalah ilmiah; surat kabar; dan

data/sumber yang tidak diterbitkan; putusan-putusan pengadilan;

dan bahan-bahan lainnya yang terkait dengan topik penelitian ini.

Dalam penelitian ini yang penulis gunakan adalah diskriptif

analistis yang bertujuan menggambarkan secara menyeluruh

mengenai permasalahan yang muncul, mengkaji dan merumuskan

fakta-fakta hukum secara sistematis, untuk mengetahui bagaimana

kedudukan dan pelaksanaan Mediasi di Pengadilan ditinjau dari

PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dan factor-faktor penghambat

mediasi di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura.

f. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian

ini, baik itu data primer maupun data sekunder dilakukan melalui:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan melakukan telaah kepustakaan terhadap

bahan-bahan literatur guna menghimpun, mengidentifikasi dan

menganalisa terhadap berbagai sumber data sekunder yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini.

Data sekunder sebagai data pelengkap atau data

pendukung. Data sekunder dalam penelitian ini dapat berupa

bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1). Bahan Hukum Primer.

52
Bahan hukum utama, berupa peraturan perundang-

undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan

dapat dijadikan sebagaiacuan dan pertimbanganhukum yang

berguna dalam melakukan pengkajian mengenai penerapan

kaidah hukum dalam peraturan perundangan, terutama yang

mengatur mengenai wewenang pejabat umum dalam

pembuatan akta perdamaian. Bahan hukum primer ini terdiri

dari:

a) Undang-Undang Nomor. 4, L.N. Nomor 8 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman;

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

d) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016;

e) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 2002.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan terdiri dari buku-buku ( literature )

hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh,

jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, serta makalah

seminar-seminar oleh para pakar terkait dengan pembahasan

tentang kewenangan pejabat umum dalam membuat suatu akta

perdamaian.

53
3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedia dan kamus Bahasa Indonesia.

b. Penelitian Lapangan (Field Research),

Yaitu melakukan penelitian langsung dilapangan guna

menghimpun berbagai fakta di lapangan sebagai sumber data

primer terkait realitas penerapan penyelesaian sengketa dengan

melalui akta perdamaian. Untuk menunjang kelengkapan data

dilakukan wawancara dengan praktisi hukum dalam hal Hakim

Mediator pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura dan pihak-

pihak yang bersengketa.

Hal ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan

pengamatan terhadap para pihak yang bersengketa, Hakim pada

Pengadilan Negeri Jayapura.

g. Analisis Data

Setelah data yang diperlukan di dapat, maka data yang telah

didapat ini akan dianalisis dengan memakai metode analisis

kualitatif, yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis

semua informasi, baik terhadap informasi yang didapat

dalamproses wawancara maupun terhadap semua literatur dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan topik

penelitian ini.

54
Adapun langkah - langkah analisis dilakukan, melalui

tahapan sebagai berikut :

a. Mengumpulkan bahan hukum berupa peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang putusan hakim dan

penerapan pasal.

b. Bahan yang telah dikumpulkan dan disistematisir kemudian

dieksplikasi yaitu diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang

diteliti berdasarkan teori hukum maupun ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

c. Bahan yang telah dieksplikasi tersebut kemudian dievaluasi,

yakni dinilai dengan menggunakan ukuran teori dan ketentuan

hukum yang berlaku, sehingga ditemukan ada yang sesuai

dengan teori dan ketentuan hukum yang berlaku danada yang

tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum, kemudian

ketentuan hukum yang sesuai akan dikembangkan, sedangkan

yang tidak sesuai akan ditinggalkan.

d. Hasil dari bahan-bahan yang telah dieksplikasi, dievaluasi

sesuai teori dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

tersebut, kemudian disingkronisasi untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini.

Menurut Uber Silalahi,49 Menjelaskan bahwa analisis data

kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah

kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian

49
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Refika Aditama, 2009). Hal. 339.

55
angka serta tidak dapat disusun dalam kategori – kategori atau

struktur klasifikasi. Dengan demikian penelitian ini menggunakan

analisis kualitatif normatif, yang kemudian disimpulkan, dan

disajikan dalam bentuk tesis.

56
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. 2011. Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat,


dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Adam, Muhammad. 1985. Ilmu Pengetahuan Notariat. Bandung: Sinar


Baru.

Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. 2012. Menjelajahi Kajian Empiris


Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana.

Amriani, Nurmaningsih. 2001. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa


Perdata di Pengadilan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Arief, Arifin. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Groopaster, Garry. 1993. Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman


Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi. Jakarta:
ELIPS Project.

Hanitijo Soemitro, Ronny. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan


Jurimetri. Jakarta: Ghalian Indonesia.

Harjono. 2008. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Penerbit


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

HS. H. Salim dan Septiana Nurbani, Erlis. 2013. Penerapan Teori Hukum
pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

57
Ibrahim, Johnny. 2008. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Jawa Timur: Bayumedia Publishing.

Josep Sembiring, Jimly. 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di


Pengadilan (Negosiasi, Konsiliasi & Arbitrase). Jakarta: Visimedia.

Karsayuda M. 2006. Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai


Keadilan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Total Media.

Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Metalitet dan Pembangunan.


Jakarta: Gramedia.

Lebach, Karen. 2011. Teori-Teori Keadilan. Bandung: Penerbit Nusa


Media.

M. Echols, John dan Shadily, Hasan. 1996. Kamus Inggris-Indonesia dan


Indonesia-Inggris. Jakarta: Gramedia.

M. Hadjon, Philipus. 1987. Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia.


Surabaya: PT. Bina Ilmu.

M. Situmorang, Victor dan Sitanggang, Cormentyana. 1993. Gross Akta


Dalam Pembuktian dan Eksekusi. Jakarta: Rinika Cipta.

Magnis Suseno, Frans. Dalam Harimanto dan Winomo. 2012. Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Mahmud Marzuki, Peter. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Mardhiah, Ainal. 2008. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi


Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008. Kanun Jurnal Ilmu Hukum.
No. 53 (April, 2011)

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Liberty.

58
Muchsin. 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum di Indonesia.
Surakarta: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Naja, Daeng. 2012. Teknik Pembuatan Akta. Yogyakarta: Pustaka


Yustitia.

R. Subekti dan R. Titrosudibdjo. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta:


Kompas Media Nusantara.

Rahmadi, Takdir. 2011. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui


Pendekatan Mufakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rasjidi, Lili dan Sidharta, B. Arief. 1994. Filsafat Hukum Madzhab dan
Refleksi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Rawls, John terjemahan Uzair Fauzan. 2006, A Theory of Justice – Teori


Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saptomo, Ade. 2009. Hukum & Kearifan Lokal. Jakarta: Grasindo.

Saptono, Ade. 2009. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta:


Universitas Trisakti.

Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Refika Aditama.

Sjaifurrachman dan Adjie, Habib. 2011. Aspek Pertanggungjawaban


Notaris Dalam Pembuatan Akta. Bandung: Bandar Maju.

Soegondo, R. 1991. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2006. Penelitian Hukum Normatif,


Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

59
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI
Press.

Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Soerodjo, Irwan. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia.


Surabaya: Arkola.

Suarif, Muh. 2002. Prinsip-Prinsip Keadilan Dalam Penyelesaian


perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia. Surabaya: Disertasi
PPS Unair.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutantio, Retnowulan. 2003. Mediasi dan Dading, Proceesings Arbitrase


dan Mediasi. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Tantowi, Jawahir dan Iskandar Pranoto. 2012. Hukum Internasional


Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama

Thamrin, Husni. 2010. Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris.


Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Tresna, M.R. 1975. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.

Wasi Bintoro, Rahadi. Kajian Ontologis Lembaga Mediasi di Pengadilan.


Jurnal Yuridika. Vol. 31 No. 1 (Januari-April, 2016).

Webster, Noach. Dan Helmi Juni, Erfan. 2012. Filsafat Hukum. Bandung:
Pustaka Setia.

Wingjosoebroto, Soetandjo. 1995. Sebuah Pengantar Ke Arah


Perbincangan tentang Penelitian Hukum Dalam PJP II. Jakarta:
BPHN Departemen Kehakiman.

60

Anda mungkin juga menyukai