Anda di halaman 1dari 14

ALTENATIF PENYELESAIN SENGKETA DALAM MEDIASI

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
YESYAKA: 2105040047
SANDRA DEWI: 2105040048
INTAN KUMALA DEWI: 2105040071
NUR FAJARRIAH: 2105040072
DIAN PUTRI PATRICIA LUBIS: 2105040111

PROGRAM STRUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dengan judul “Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Mediasi”. Hal ini tidak lepas dari
pengajaran yang diberikan oleh Bapak Muhammad Fajar Hidayat sebagai dosen pengampu mata
kuliah Bantuan Hukum dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang membangun. Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan dan sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia Pendidikan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang menjadi
falsafah bangsa Indonesia sejak dahulu kala, hanya penamaannya tidak memakai kalimat
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa ini merupakan falsafah nenek
moyang bangsa Indonesia yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat, misalnya
masyarakat antar daerah yang bertikai lebih mengutamakan menyelesaikannya dalam bentuk
“musyawarah”. Musyawarah ini telah diangkat ke permukaan oleh pendiri bangsa Indonesia
dengan mencantumkannya dalam UUD 1945.

Pandangan yang sama juga dikemukakan Joni Emerzon, yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative
Dispute Resolution/ADR) secara tidak langsung sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, seperti negosiasi, mediasi, konsilidasi, dan arbitrase, walaupun tidak persis sama
dengan apa yang dilakukan di Australia dan Amerika yang sudah melembaga. Lahirnya model
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tidak terlepas dari adanya rasa kecewa dan frustasi atas
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sebagaimana diutarakan Thomas J. Harron
masyarakat tidak puas menyelesaikan sengketa melalui pengadilan oleh karena sistem yang
melekat pada pengadilan cenderung merugikan, dalam bentuk: buang-buang waktu (a waste of
time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu dan bukan menyelesaikan
masa depan, membuat orang bermusuhan (enemy), dan melumpuhkan para pihak (paralyzes
people).
Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan
musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan melalui lembaga
pengadilan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2010:84). Di dalam perkara perdata di
kenal adanya adagium “justice delayed is jutice denied” yang artinya keadilan tidak dapat di
sangkal dan di tunda.

Adanya hak para pihak untuk tidak hadir seringkali di manfaatkan untuk mengulur - ulur
waktu. Dalam proses yang demikian akan berakibat pada mahalnya biaya yang harus di
keluarkan sehingga tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan sangat sulit
di capai. Hal lain yang terjadi di dalam proses litigasi adalah putusan menang kalah (win lose),
dimana perasaan menang kalah tidak akan memberikan kedamaian salah satu pihak dan justru
dapat menimbulkan dendam dan konflik baru. Pada sisi lain keterbatasan jumlah hakim dan
menumpuknya perkara perdata di pengadilan juga memberikan dampak pada lambatnya proses
perkara perdata di pengadilan.

Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah. Pasal 130HIR dan pasal 154
Rbg memungkinkan upaya perdamaian dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa perdata.
Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong
para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 130 HIR tentang pelaksanaan perdamaian di muka sidang disebutkan bahwa:

1) Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka
pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian
antara kedua belah pihak. Jika dapat dicapai perdamaian sedemikian, maka
dibuatlah untuk itu suatu akta dalam sidang tersebut, dalam mana kedua pihak
dihukum
2) untuk mentaati isi persetujuan yang telah dicapai itu, akta mana mempunyai
kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai suatu
putusan biasa.
3) Tahap putusan sedemikian tidak dapat dimintakan banding.
4) Jika dalam usaha untuk mencapai perdamaian tersebut diperlukan bantuan seorang
juru bahasa, maka diikuti ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut.
Mediasi dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam
prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung
dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan,
maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak, kedua
aturan tersebut menjadi landasan. Untuk mengintegrasikan mediasi kedalam proses beracara di
pengadilan sehingga dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi
masalah penumpukan perkara di pengadilan dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan
untuk menyelesaikan sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif
(memutus).
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 juga mengatur tentang prosedur mediasi
di pengadilan. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih mediator
yang dimiliki oleh Pengadilan ataupun yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan. Apabila
tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka wajib menunjuk mediator dari
daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja.
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa selama ini belum diketahui
dan dikenal oleh masyarakat dan juga belum di laksanakan dengan sungguh-sungguh .Tidak
semua Pengadilan menerapkan atau menggunakan medasi. Dengan adanya ketentuan dalam
pasal 130 ayat (1) HIR atau pasal 154 ayat (1) RBg tersebut, maka dalam hal ini hakim
mempunyai peranan yang penting untuk mengusahakan penyelesaian secara damai untuk
perkara perdata yang diperiksanya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu alternatif penyelesaian sengketa?
2. Apa itu penyelesaian sengketa dalam mediasi?
3. Jenis-jenis mediasi?
4. Mediator dalam mediasi?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pada dasarnya Anda telah mempunyai pemahaman mengenai pengertian awal tentang
APS yang pada dasarnya adalah cara penyelesaian yang dilakukan di luar pengadilan; sebagai
alternatif dari pengadilan. Jadi, cara penyelesaian alternatif ini, atau dalam pengertian tersebut, di
dalamnya termasuk arbitrase. Namun demikian, pengertian APS yang memasukkan arbitrase
merupakan pengertian dalam arti luas, sedangkan dalam arti sempit arbitrase tidak masuk
pengertian APS. Hal ini mengingat arbitrase pada dasarnya juga merupakan “pengadilan” (atau
sering pula disebut pengadilan swasta untuk membedakannya dengan pengadilan negara) yang
putusannya didasarkan pada menang-kalah (win-lose). Untuk memudahkan pembahasan, Anda
harus membedakan antara APS yang putusannya adalah win-win dan arbitrase yang win-lose
sehingga keduanya perlu dipisahkan. Pembedaan ini juga sesuai dengan UndangUndang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari nama undang-
undang tersebut, yaitu “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, pembentuk undang-
undang jelas menghendaki dipisahkannya arbitrase dan APS. Meskipun demikian, dengan
pembedaan tersebut, beberapa cara penyelesaian sengketa berdasar APS yang diatur dalam
undang-undang tersebut ternyata telah menimbulkan beberapa masalah, sebagaimana Anda dapat
baca dalam uraian di bawah.
Dalam sistem peradilan, khusus untuk perkara perdata. Sekali lagi, hanya untuk perkara
perdata saja yang dapat diselesaikan perkaranya dengan menggunakan sistem out court/
nonlitigasi. Nonlitigasi/ nonajudikasi adalah sistem peradilan yang penyelesaiannya
dilaksanakan di luar pengadilan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution). Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
tentang ADR dan Arbitrase dapat dibagi beberapa model ADR sebagai berikut:
1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Konsiliasi (pemufakatan)
4. Mediasi
5. Arbitrase
2.2 Penyelesaian Sengketa Dalam Mediasi
Mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, akhir-akhir ini
digunakan oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa dengan
cara mediasi dilakukan secara terintegrasi dengan suatu proses peradilan suatu perkara. Mediasi
merupakan proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak luar yang tidak memihak
(impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mencari
kesepakatan. Menurut Ketua Mahkamah Agung mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator (Mahkamah Agung RI, 2016). Secara etimologi, mediasi berasal dari bahasa latin,
mediare yang berarti berada di tengah. Arti ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan oleh
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak.
Pengertian mediasi menurut Kamus Bahasa Indonesia tersebut mengandung tiga unsur
penting, yaitu: 1) mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau persengketaan yang
terjadi antara dua pihak atau lebih, 2) pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah
pihak-pihak yang berasal dari pihak yang bersengketa, 3) pihak yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apapun dalam
pengambilan keputusan. Pengertian mediasi yang dikemukakan oleh Christoper W.Moore adalah
intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak
berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam
penyelesaian permaasalahan yang disengketakan.
Ruang lingkup mediasi pada prinsipnya adalah mengikuti lingkup permasalahan hukum
yang ada dan dikarenakan saat ini sesuai dengan KUHP yang baru, dalam hukum pidana terdapat
unsur pemaaf, maka hukum progresif memungkinkan dilakukannya mediasi, dimana pihak
korban dapat meminta ganti rugi terhadap pelaku tindak pidana. Jika dilihat dari berbagai
peraturan setingkat undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia, maka dapat
disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi
adalah sengketa keperdataan. Hal ini secara eksplisit terdapat dalam UU No. 48 Tahun 2009
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasar undang-undang tersebut sudah sangat
jelas bahwa ruang lingkup mediasi adalah pada perkara perdata. Ruang lingkup mediasi pada
prinsipnya adalah mengikuti lingkup permasalahan hukum yang ada dan dikarenakan saat ini
sesuai dengan KUHP yang baru, dalam hukum pidana terdapat unsur pemaaf, maka hukum
progresif memungkinkan dilakukannya mediasi, dimana pihak korban dapat meminta ganti rugi
terhadap pelaku tindak pidana. Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat undang-undang yang
mengatur tentang mediasi di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Hal ini
secara eksplisit terdapat dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Berdasar undang-undang tersebut sudah sangat jelas bahwa ruang lingkup mediasi
adalah pada perkara perdata.
tujuan dan manfaat dari mediasi antara lain adalah:
1. Mempercepat proses penyelesaian sengketa dan biaya
2. Keputusan pengadilan diselesaikan dengan win-win solution.
3. Dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan
4. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam bidang hukum atau memberdayakan
pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa.
5. Memperlancar jalur keadilan di masyarakat.
6. Memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan
keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh
upaya banding dan kasasi.
7. Bersifat rahasia.
8. Tingkat kemungkinan pelaksanaan kesepakatan lebih tinggi, sehingga hubungan baik
para pihak yang bersengketa di masa depan masih dimungkinkan.

Prosedur dan Tahapan Mediasi Pada Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, tahapan atau prosedur
Mediasi dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, antara lain Pra-Mediasi, Proses Mediasi, dan Tahap
Hasil Mediasi.
1. Tahap Pra-Mediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan
persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa
langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan
memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan pihak yang
bersengketa, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu
dan tempat, dan menciptakan rasa yang aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan
membicarakan perselisihan yang dihadapi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
PERMA No. 1 tahun 2016, kepada para pihak yang bersengketa atau kuasanya, dan mendorong
para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Para pihak atau kuasa
hukumnya wajib berunding untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh
Pengadilan. Apabila para pihak atau kuasa hukum bersepakat tentang pilihan mediator, maka
wajib melaporkan kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera memberitahukan
kepada mediator terpilih untuk menjelaskan tugas. Sebaliknya, jika gagal harus segera
diberitahukan kepada ketua majelis, dan ketua majelis berwenang untuk menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan
fungsi mediator dengan menerbitkan penetapan.
2. Proses Mediasi
Proses Mediasi merupakan tahapan dimana Mediator memulai melakukan proses Mediasi.
Pada tahap ini pihak-pihak yang bersengketa sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai
proses mediasi. Mediasi bersifat rahasia, sehingga Mediator Hakim atau Mediator harus segera
memusnahkan dokumen-dokumen Mediasi setelah selesainya Mediasi tersebut. Mengenai sistem
atau tata cara pertemuan perundingan proses mediasi diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2016,
didapati adanya 3 sistem pertemuan, yaitu:
a. Tertutup untuk umum; sistem ini merupakan sistem dasardalam mediasi pada
asasnya mediasi tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki
lain.
b. Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak; terbuka untuk umum atau
disclosure ataudalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan
yangdinyatakan terbuka untuk umum.
c. Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum; sistem proses mediasi yang ketiga,
mutlak terbuka untuk umumManakala para pihak dengan bantuan mediator
bersertfikat telah berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan
kesepakatan perdamaian, maka perdamaian tersebut dapat diajukan ke Pengadilan
yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan
gugatan hakim, di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sesuai kehendak para pihak.
b. Tidak bertentangan dengan hukum.
c. Tidak merugikan pihak ketiga.
d. Dapat dieksekusi.
e. Dengan itikad baik.
3. Tahap Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil
kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para pihak
menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama
dalam proses mediasi. Jika dalam waktu sepertiyang ditetapkan PERMA No.1 Tahun 2016
ternyata para pihak tidak mampumenghasilkan kesepakatan mediator wajib menyatakan secara
tertulisbahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepadahakim. Segera
setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
ketentuan hukum acara yangberlaku.

2.3 Jenis-Jenis Mediasi


Jenis - jenis mediasi menurut filsuf skolastik terbagi atas 3 yaitu :
a. Medium quod
Yaitu sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu, sesuatu yang lain
yang diketahui. Contoh yang biasa diberikan untuk mediasi ini adalah premis-premis
dalam silogisme. Pengetahuan tentang premis-premis membawa kita kepada pengetahuan
tentang kesimpulan. Contoh lain: lampu merah lampu lalu lintas berwarna merah harus
berhenti harus berhenti, jadi kendaraan harus berhenti.
b. Medium quo
Yaitu sesuatu yang sendiri tidak disadari tetapi dapat diketahui melalui sesuatu yang lain.
Contohnya: lensa kacamata yang kita pakai, kita melihat benda-benda di sekitar kita
tetapi kacamata itu sendiri tidak secara langsung kita sadari.

c. Medium in quo
Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang
lain. Contohnya: kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-
hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari.

2.4 Mediator Dalam Mediasi


Mediasi: melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk
suatu lembaga independent) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi
sebagai mediator. Mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya
berdasarkan pada kehendak dankemauan para pihak. Mediator berkewajiban untuk bertemu
atau mempetemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok
persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan informasi yang diperoleh,
baru kemudian mediator menentukan duduk sengketanya, kekurangaan dan kelebihan dari
masing-masing pihak yang bersengketa, Mencoba menyusun proposal penyelesaian,
Dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung.
Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya
kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling
menguntungkan (win-win). Setelah proposal disetujui, mediator menyusun kesepakatan
secara tertulis untuk ditandatangani para pihak. Mediator membantu pelaksanaan
kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kesepakan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para
pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik (UU No. 30 th 1999). Kesepakatan tertulis
wajib didaftarkan di Pengadilan negeri dalam waktu 30 hari terhitung sejak penandatangan,
dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pendaftaran. Mediator
dibedakan (Pasal 6 ayat(4) UU No.30 th 1999):
a. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak pasal 6 ayat (3)
b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternative
penyelesai

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Mediasi sebagai alternatif dalam penyelesaian sengketa merupakan kelanjutan proses
negosiasi dalam peradilan. Dalam proses mediasi yang digunakan adalah nilai-nilai yang hidup
pada parapihak sendiri seperti nilai hukum, agama, moral, etika dan rasa adil, terhadapfakta-fakta
yang diperoleh untuk mencapai suatu kesepakatan. Kedudukanpenengah (mediator) dalam
mediasi hanya sebagai pembantu para pihak untukmencapai konsensus, karena pada prinsipnya
para pihak sendirilah yangmenentukan putusannya, bukan mediator. Mediasi memiliki tujuan
dan manfaat yang positif bagi para pihak yang bersengketa apabila diperoleh kesepakatan
bersama, karena sengketa dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat sehingga lebih efisien
dan efektif serta menghemat biaya. Mediasi dalam proses penyelesaian sengketa sangat
diperlukan untuk mendapatkan perdamaian dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

3.2 SARAN
Jika ada Kritik dan Saran yang membangun dari Pembaca, kami sangat harapkan guna
membuat makalah ini menjadi lebih baik dan lebih dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian
atas informasi yang ada pada makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat mencapai harapan
yang diinginkan dari berbagai pihak

DAFTAR PUSTAKA

Andani, Stacya mayang, heru suyanto (2021) ‘PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA


MELALUI MEDIASI,MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 (STUDI KASUS
PUTUSAN PENGDILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 971/Pdt.G/2019)’, jurnal
ilmu hukum dan humaniora, 8(2), p. 1.
Indonesia, S.D.P. (1945) ‘Keywords : Pengaturan, Model Alternatif Dalam Perundang-Undangan
Penyelesaian Sengketa’, 1945.
Isnantiana, N.I. (2019) ‘PROSIDING SEMINAR NASIONAL PRODI HUKUM EKONOMI
SYARIAH “Peran Hukum Ekonomi Syariah dalam Pembangunan Ekonomi Nasional”
MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA’, pp. 32–45.
Mahmud, popy angriani (2019) ‘ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA’, p. 7.
Rochmani, Safik Faozi, W.M. (2020) ‘Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan’, Proceeding SENDIU, pp. 781–786.

Anda mungkin juga menyukai