DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
YESYAKA: 2105040047
SANDRA DEWI: 2105040048
INTAN KUMALA DEWI: 2105040071
NUR FAJARRIAH: 2105040072
DIAN PUTRI PATRICIA LUBIS: 2105040111
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dengan judul “Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Mediasi”. Hal ini tidak lepas dari
pengajaran yang diberikan oleh Bapak Muhammad Fajar Hidayat sebagai dosen pengampu mata
kuliah Bantuan Hukum dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang membangun. Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan dan sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia Pendidikan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bagi bangsa Indonesia merupakan hal yang menjadi
falsafah bangsa Indonesia sejak dahulu kala, hanya penamaannya tidak memakai kalimat
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa ini merupakan falsafah nenek
moyang bangsa Indonesia yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat, misalnya
masyarakat antar daerah yang bertikai lebih mengutamakan menyelesaikannya dalam bentuk
“musyawarah”. Musyawarah ini telah diangkat ke permukaan oleh pendiri bangsa Indonesia
dengan mencantumkannya dalam UUD 1945.
Pandangan yang sama juga dikemukakan Joni Emerzon, yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative
Dispute Resolution/ADR) secara tidak langsung sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, seperti negosiasi, mediasi, konsilidasi, dan arbitrase, walaupun tidak persis sama
dengan apa yang dilakukan di Australia dan Amerika yang sudah melembaga. Lahirnya model
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tidak terlepas dari adanya rasa kecewa dan frustasi atas
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sebagaimana diutarakan Thomas J. Harron
masyarakat tidak puas menyelesaikan sengketa melalui pengadilan oleh karena sistem yang
melekat pada pengadilan cenderung merugikan, dalam bentuk: buang-buang waktu (a waste of
time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu dan bukan menyelesaikan
masa depan, membuat orang bermusuhan (enemy), dan melumpuhkan para pihak (paralyzes
people).
Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan
musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan melalui lembaga
pengadilan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2010:84). Di dalam perkara perdata di
kenal adanya adagium “justice delayed is jutice denied” yang artinya keadilan tidak dapat di
sangkal dan di tunda.
Adanya hak para pihak untuk tidak hadir seringkali di manfaatkan untuk mengulur - ulur
waktu. Dalam proses yang demikian akan berakibat pada mahalnya biaya yang harus di
keluarkan sehingga tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan sangat sulit
di capai. Hal lain yang terjadi di dalam proses litigasi adalah putusan menang kalah (win lose),
dimana perasaan menang kalah tidak akan memberikan kedamaian salah satu pihak dan justru
dapat menimbulkan dendam dan konflik baru. Pada sisi lain keterbatasan jumlah hakim dan
menumpuknya perkara perdata di pengadilan juga memberikan dampak pada lambatnya proses
perkara perdata di pengadilan.
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah. Pasal 130HIR dan pasal 154
Rbg memungkinkan upaya perdamaian dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa perdata.
Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong
para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 130 HIR tentang pelaksanaan perdamaian di muka sidang disebutkan bahwa:
1) Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka
pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian
antara kedua belah pihak. Jika dapat dicapai perdamaian sedemikian, maka
dibuatlah untuk itu suatu akta dalam sidang tersebut, dalam mana kedua pihak
dihukum
2) untuk mentaati isi persetujuan yang telah dicapai itu, akta mana mempunyai
kekuatan yang sama dan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai suatu
putusan biasa.
3) Tahap putusan sedemikian tidak dapat dimintakan banding.
4) Jika dalam usaha untuk mencapai perdamaian tersebut diperlukan bantuan seorang
juru bahasa, maka diikuti ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut.
Mediasi dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam
prosedur berperkara di Pengadilan Negeri, dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung
dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan,
maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak, kedua
aturan tersebut menjadi landasan. Untuk mengintegrasikan mediasi kedalam proses beracara di
pengadilan sehingga dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi
masalah penumpukan perkara di pengadilan dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan
untuk menyelesaikan sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif
(memutus).
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 juga mengatur tentang prosedur mediasi
di pengadilan. Paling lama sehari setelah sidang pertama para pihak harus memilih mediator
yang dimiliki oleh Pengadilan ataupun yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan. Apabila
tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka wajib menunjuk mediator dari
daftar yang disediakan oleh Pengadilan saja.
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa selama ini belum diketahui
dan dikenal oleh masyarakat dan juga belum di laksanakan dengan sungguh-sungguh .Tidak
semua Pengadilan menerapkan atau menggunakan medasi. Dengan adanya ketentuan dalam
pasal 130 ayat (1) HIR atau pasal 154 ayat (1) RBg tersebut, maka dalam hal ini hakim
mempunyai peranan yang penting untuk mengusahakan penyelesaian secara damai untuk
perkara perdata yang diperiksanya.
Prosedur dan Tahapan Mediasi Pada Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, tahapan atau prosedur
Mediasi dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, antara lain Pra-Mediasi, Proses Mediasi, dan Tahap
Hasil Mediasi.
1. Tahap Pra-Mediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan
persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa
langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan
memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan pihak yang
bersengketa, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu
dan tempat, dan menciptakan rasa yang aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan
membicarakan perselisihan yang dihadapi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
PERMA No. 1 tahun 2016, kepada para pihak yang bersengketa atau kuasanya, dan mendorong
para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Para pihak atau kuasa
hukumnya wajib berunding untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh
Pengadilan. Apabila para pihak atau kuasa hukum bersepakat tentang pilihan mediator, maka
wajib melaporkan kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera memberitahukan
kepada mediator terpilih untuk menjelaskan tugas. Sebaliknya, jika gagal harus segera
diberitahukan kepada ketua majelis, dan ketua majelis berwenang untuk menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan
fungsi mediator dengan menerbitkan penetapan.
2. Proses Mediasi
Proses Mediasi merupakan tahapan dimana Mediator memulai melakukan proses Mediasi.
Pada tahap ini pihak-pihak yang bersengketa sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai
proses mediasi. Mediasi bersifat rahasia, sehingga Mediator Hakim atau Mediator harus segera
memusnahkan dokumen-dokumen Mediasi setelah selesainya Mediasi tersebut. Mengenai sistem
atau tata cara pertemuan perundingan proses mediasi diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2016,
didapati adanya 3 sistem pertemuan, yaitu:
a. Tertutup untuk umum; sistem ini merupakan sistem dasardalam mediasi pada
asasnya mediasi tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki
lain.
b. Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak; terbuka untuk umum atau
disclosure ataudalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan
yangdinyatakan terbuka untuk umum.
c. Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum; sistem proses mediasi yang ketiga,
mutlak terbuka untuk umumManakala para pihak dengan bantuan mediator
bersertfikat telah berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan
kesepakatan perdamaian, maka perdamaian tersebut dapat diajukan ke Pengadilan
yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan
gugatan hakim, di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sesuai kehendak para pihak.
b. Tidak bertentangan dengan hukum.
c. Tidak merugikan pihak ketiga.
d. Dapat dieksekusi.
e. Dengan itikad baik.
3. Tahap Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil
kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para pihak
menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama
dalam proses mediasi. Jika dalam waktu sepertiyang ditetapkan PERMA No.1 Tahun 2016
ternyata para pihak tidak mampumenghasilkan kesepakatan mediator wajib menyatakan secara
tertulisbahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepadahakim. Segera
setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
ketentuan hukum acara yangberlaku.
c. Medium in quo
Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang
lain. Contohnya: kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-
hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Mediasi sebagai alternatif dalam penyelesaian sengketa merupakan kelanjutan proses
negosiasi dalam peradilan. Dalam proses mediasi yang digunakan adalah nilai-nilai yang hidup
pada parapihak sendiri seperti nilai hukum, agama, moral, etika dan rasa adil, terhadapfakta-fakta
yang diperoleh untuk mencapai suatu kesepakatan. Kedudukanpenengah (mediator) dalam
mediasi hanya sebagai pembantu para pihak untukmencapai konsensus, karena pada prinsipnya
para pihak sendirilah yangmenentukan putusannya, bukan mediator. Mediasi memiliki tujuan
dan manfaat yang positif bagi para pihak yang bersengketa apabila diperoleh kesepakatan
bersama, karena sengketa dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat sehingga lebih efisien
dan efektif serta menghemat biaya. Mediasi dalam proses penyelesaian sengketa sangat
diperlukan untuk mendapatkan perdamaian dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
3.2 SARAN
Jika ada Kritik dan Saran yang membangun dari Pembaca, kami sangat harapkan guna
membuat makalah ini menjadi lebih baik dan lebih dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian
atas informasi yang ada pada makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat mencapai harapan
yang diinginkan dari berbagai pihak
DAFTAR PUSTAKA