Anda di halaman 1dari 11

Mediasi sebagai salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan

sudah lama dipakai dalam penyelesaian berbagai perkara perdata, seperti pertanahan,
kewarisan, perjanjian, dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas
peuyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.

Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang
dilakukan di luar sistem peradilan dan yang kedua dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem
hukum Indonesia (dalam hal ini MA) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam
sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute
resolution.
Pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia saat ini didasarkan pada
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 yang menetapkan mediasi
sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan
menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi. Meskipun tidak dapat
dibandingkan dengan Undang-Undang, Perma ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sedangkan
tujuan utama dari pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di peradilan adalah tidak
lain untuk mengurangi beban perkara di Mahkamah Agung yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun.1
Saat ini penyelesaian perkara melalui mediasi yang sudah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan telah membawa dampak positif bagi
perkembangan peradilan di Indonesia, hal tersebut terlihat dari tingkat keberhasilan
penyelesaian perkara perdata melalui mediasi yang terus meningkat. Hal ini membuktikan
bahwa praktek penyelesaian sengketa melalui kesepakatan dan perdamaian telah ada dalam
masyarakat di Indonesia sejak dahulu dan menjadi pilihan karena lebih mendatangkan
keuntungan kepada kedua belah pihak yang berperkara.2
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang perkembangan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian

1
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Yogyakarta: Gama Media, 2008,
hlm. 56
2
Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu Memenangi Perkara Pedata dalam Praktek Peradilan, Jakarta:
Visimedia, 2012, hlm. 7.
sengketa perdata dalam sistem peradilan di Indonesia, mulai sejarahnya, tahapan
pelaksanaannya, hingga kekurangan dan kelebihan mediasi.
Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian
sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil,
seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat.
Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat, namun dengan tetap
menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan
individual, sehingga pilihan penyelesaian sengketa yang ditempuh masyarakat adalah melalui
mekanisme musyawarah dan mufakat.3
Musyawarah mufakat merupakan filsafah masyarakat Indonesia dalam setiap
pengambilan keputusan, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat
sebagai nilai filosofi bangsa diterjemahkan dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam sila
keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Nilai tertinggi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Prinsip musyawarah mufakat
merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di
jalur luar pengadilan. Nilai musyawarah mufakat ini terdapat dalam sejumlah bentuk
penyelesaian seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi, dan berbagai bentuk penyelesaian
lainnya.4
Dalam sejarah perundang-undangan lndonesia prinsip musyawarah mufakat yang
berujung damai juga digunakan di lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian
segketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa
Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu
asas peradilan perdata di Indonesia.5
Pada masa Kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai
lebih banyak ditujukan pada proses damai di lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, Kolonial Belanda cenderung memberikan kesempatan pada
hukum adat. Belanda meyakini bahwa hukum adat mampu menyelesaikan sengketa kaum
pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda.
Hukum adat adalah hukum yang hidup (living law) dan keberadannya menyatu dengan

5
masyarakat pribumi. Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan
untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kewenangan mendamaikan hanya sebatas
pada kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa
menyewa, dan beberapa aktivitas bisnis lainnya.6
Pada masa Kolonial Belanda penyelesaian sengketa pada proses damai diatur dalam
Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatblad 1941:44) atau Pasal 154 R.Bg
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 27) atau Pasal 31 Rv (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1874: 52). Disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim akan
mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Secara lengkap ketentuan
pasal ini adalah:7
1. Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak maka pengadilan negeri dengan
pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka;
2. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,
diperbuat sebuat surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan
menempati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan
dijalankan sebagai keputusan biasa;
3. Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diizinkan banding;
4. Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai juru
bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

Ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 RBg/31 Rv tersebut menggambarkan bahwa


penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari proses penyelesaian
sengketa di pengadilan di saat itu. Upaya damai menjadi kewajiban hakim dan ia tidak boleh
memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih dahulu. Jika kedua belah
pihak setuju menempuh jalur damai, maka persetujuan tersebut akan dirumuskan ke dalam
sebuah kesepakatan. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian
sehingga memudahkan para pihak melaksanakan kesepakatan itu. Akta damai memiliki
kekuatan hukum sama dengan vonnies hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para
pihak jika salah satu di antara mereka enggan melaksanakan isi kesepakatan tersebut dan para
pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap akta tersebut. 8
Setelah kemerdekaan, Pasal 24 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa penyelesaian
sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi).
Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan
keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang penyelesaian
sengketa di luar jalur pengadilan (non litigasi). Dalam peradilan di Indonesia, proses
6
R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996, hlm. 298.
7
287-288
8
288
penyelesaian sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan
telah diubah dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 2004 demikian telah diubah kembali dengan
diterbitkannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.9
Ketentuan mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan pertama kali ditemukan dalam Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pengaturan mediasi juga
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dimana dalam Pasal 52A dinyatakan sebagai berikut: "melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi." Dan dapat ditemukan juga dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2000
tentang Lembaga Penyedian Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di
Luar Pengadilan. Peraturan Pemerintah ini telah meletakan konsep yang jelas mengenai
mediasi, mediator, persyaratan mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Peraturan Perundang-undangan di atas, yaitu UU
No. 30 Tahun 1999, UU No. 8 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 mengatur sejumlah
ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan.10
Ketentuan mediasi di pengadilan pada mulanya diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kemudian
Mahkamah Agung menyempurnakannya dengan mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, namun PERMA tersebut ternyata masih dinilai
kurang efektif dalam mengoptimalkan peran mediasi dalam penyelesaian sengketa di
peradilan. Maka pada Tahun 2016, Mahkamah Agung kembali menyempurnakannya dengan
mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA
ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para
pihak ke pengadilan. Hakim tidak langsung menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan,
tetapi harus terlebih dahulu diupayakan mediasi. Mediasi menjadi suatu kewajiban yang
harus ditempuh hakim dalam memutus perkara di pengadilan.11

9
291
10

11
479
Pengertian mediasi secara lebih konkret dapat ditemukan dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016. Mediasi merupakan cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh Mediator. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disambut baik oleh Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI). Pengelola Pusdiklat APSI, Thalis Noor Cahyadi, mengatakan ada
beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA No.1 Tahun 2016 dengan
PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi, yaitu:12
1. Terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung
sejak penetapan perintah melakukan Mediasi.
2. Adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara langsung
pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada
alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam
pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampuan;
mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat
ditinggalkan.
3. Hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Itikad Baik dalam proses mediasi
dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7
menyatakan:13
(1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad
baik;
(2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan
tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
a. tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam
pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
b. menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada
pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali
berturut-turut tanpa alasan sah;
c. ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi
tanpa alasan sah;
d. menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak
menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau
e. tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati
tanpa alasan yang sah.

12

13
Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan, baik dalam lingkungan
peradilan umum maupun peradilan agama wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian
melalui mediasi, kecuali beberapa sengketa tertentu.14 Kesepakatan dalam mediasi antara
kedua belah pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam akta perdamaian (akta van
dading) memiliki kekuatan hukum mengikat.15 Sehingga mediasi menjadi salah satu pilihan
media penyelesaian sengketa yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tengah bersengketa
dalam ranah keperdataan. Adapun beberapa kelebihan mediasi dalam penyelesaian sengketa
perdata yaitu:16

14
Ketentuan Pasal 4 ayat (1)
15
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, 94
16
Sebelum memasuki tahap mediasi, terlebih dahulu pihak yang bersengketa harus
mendaftarkan gugatan terkait sengketa yang dihadapi ke Panitera Pengadilan yang memiliki
kewenangan menyelesaian sengketa perdata tersebut. Kemudian setelah terdapat penunjukan
Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan tersebut, maka Ketua Majelis menetukan hari pertama
sidang dan memerintahkan Juru Sita/Juru Sita Pengganti melakukan pemanggilan kepada
kedua belah pihak untuk hadir pada hari yang telah ditentukan. Pada hari tersebutlah tahap
mediasi dimulai.17
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016, secara garis
besar tahapan mediasi dibagi menjadi 2 (dua) tahapan, yakni tahapan Pra Mediasi dan
tahapan Mediasi.18 Adapun tahapan-tahapan tersebut secara lebih lanjut dapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut:
1. Tahapan Pra Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, Hakim
Pemeriksa Perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi [Pasal 17 ayat (1)].
Kemudian Hakim Pemeriksa Perkara menjelaskan Prosedur Mediasi kepada para pihak
[Pasal 17 ayat (6)]. Setelah menjelaskan Prosedur Mediasi, Hakim memberi kesempatan
kepada para pihak untuk memilih seorang atau lebih Mediator yang tercatat dalam Daftar
Mediator di Pengadilan yang bersangkutan [Pasal 19 ayat (1)]. Batas penentuan Mediator
oleh para pihak adalah 2 (dua) hari [Pasal 20 ayat (1)].
Jika dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis
Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang
bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota Hakim
Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi Mediator
[Pasal 20 ayat (4) dan (5)]. Setelah menerima penetapan penunjukan, Mediator
menentukan hari dan tanggal pertemuan mediasi, serta memerintahkan Juru Sita/Juru
Sita Pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak untuk menghadiri pertemuan
Mediasi [Pasal 21 ayat (1) dan (2)].
Para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau
tanpa didampingi oleh kuasa hukum [Pasal 6 ayat (1)] dan menempuh mediasi dengan
iktikad baik [Pasal 7 ayat (1)]. Ketidakhadiran para pihak secara langsung dalam proses
Mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan yang sah [Pasal 6 ayat (3)], yakni:

17

18
a. kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi
berdasarkan surat keterangan dokter;
b. di bawah pengampuan;
c. mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
d. menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat
ditinggalkan.

Jika Penggugat dan/atau kuasa hukumnya tidak hadir dan tidak menempuh Mediasi
dengan iktikad baik, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim
Pemeriksa Perkara dan dikenai pembayaran biaya Mediasi [Pasal 22 ayat (1) dan (2)].
Namun jika Tergugat dan/atau kuasa hukumnya tidak hadir dan tidak menempuh
Mediasi dengan iktikad baik, maka kewajiban pembayaran biaya Mediasi dibebankan
kepada Tergugat [Pasal 23 ayat (1)].
2. Tahapan Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan Mediator, Para
pihak harus menyerahkan Resume Perkara kepada pihak lain dan Mediator [Pasal 24 ayat
(1)]. Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh para pihak yang memuat duduk
perkara dan usulan perdamaian [Pasal 1 Angka 7]. Proses mediasi berlangsung paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi dan
berdasarkan kesepakatan para pihak, dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari
lagi [Pasal 24 ayat (2) dan (3)].
Atas persetujuan para pihak dan/atau kuasa hukum, mediator dapat menghadirkan
dan melibatkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat
dalam bidang tertentu untuk memberi penjelasan atau pertimbangan yang dapat
membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak [Pasal 26 ayat (1)].
Ahli yang dimaksud disini adalah orang yang karena pendidikan atau pengalamannya
selama kurun waktu yang lama dalam menekuni suatu profesi tertentu hingga disebut
ahli.19
Jika Mediasi berhasil mencapat kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan kesepakatan tersebut secara tertulis dalam kesepakatan perdamaian
yang ditandatangani oleh para pihak dan Mediator [Pasal 27 ayat (1)]. Kemudian para
pihak melalui Mediator dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut kepada
Hakim Pemeriksa Pekara agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian, namun jika para pihak
tidak menghendaki kesepakatan tersebut dikuatkan dalam Akta Perdamaian, maka
kesepakatan perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan [Pasal 27 ayat (4) dan (5)].

19
217
Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan antara Penggugat dengan
sebagian Tergugat, maka Penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi memasukkan
pihak Tergugat yang telah mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan [Pasal 29 ayat
(1)]. Kesepakatan Perdamaian dengan Sebagian Tergugat tersebut dikuatkan dengan
Akta Perdamaian sepanjang tidak menyangkut aset, harta kekayaan, dan/atau
kepentingan pihak yang tidak mencapai kesepakatan [Pasal 29 ayat (3)]. Kemudian
Penggugat dapat mengajukan kebambali gugatan terhadap pihak yang tidak mencapai
Kesepakatan Perdamaian [Pasal 29 ayat (4)].
Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan atas sebagian dari seluruh objek
perkara atau tuntutan hukum, Mediator wajib menyampaikan Kesepakatan Perdamaian
atas sebagian objek atau tuntutan hukum tersebut kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
Kemudian Hakim Pemeriksa Perkara melanjutkan pemeriksaan terhadap objek objek
atau tuntutan hukum yang belum berhasil disepakati oleh para pihak dan memuat
pertimbangan tersebut dalam Pertimbangan dan Amar Putusan [Pasal 30 ayat (1), (2),
dan (3)].
Adapun jika Mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan atau tidak dapat
dilaksanakan, maka Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil atau tidak dapat
dilaksanakan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara
yang bersangkutan [Pasal 32 ayat (1) dan (2)].
Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat selalu mengupayakan
penyelesaian sengketa yang cepat, namun dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan
dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual, sehingga pilihan penyelesaian
sengketa yang ditempuh masyarakat adalah melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.
Setelah kemerdekaan, penyelesaian sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat dilakukan
melalui jalur pengadilan (litigasi), akan tetapi tetap membuka peluang untuk penyelesaian
sengketa dilakukan melalui jalur di luar pengadilan (non-litigasi). Salah satunya melalui
Mediasi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedian Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan mengatur sejumlah ketentuan
menyangkut mediasi di luar pengadilan. Adapun terkait Mediasi di dalam sistem peradilan di
Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016, secara garis
besar tahapan mediasi dibagi menjadi 2 (dua) tahapan, yakni tahapan Pra Mediasi dan
tahapan Mediasi. Tahapan Pra Mediasi dimulai dari Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan
para pihak untuk menempuh mediasi, Hakim Pemeriksa Perkara menjelaskan Prosedur
Mediasi, pemilihan dan penunjukan Mediator, penentuan hari dan tanggal Mediasi, hingga
pemanggilan para pihak untuk hadir pada saat Mediasi. Sedangkan tahap Mediasi terdiri dari
penyampaian Resume Perkara oleh para pihak kepada pihak lainnya dan Mediator,
menghadirkan ahli untuk membantu proses Mediasi atas persetujuan para pihak jika
diperlukan, pembuatan Akta Perdamaian jika Mediasi mencapai Kesepakatan Perdamaian,
dan pemberitahuan secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara jika Mediasi tidak
berhasil mencapai kesepakatan atau tidak dapat dilaksanakan.
Kelebihan dari penyelesaian perkara perdata melalui Mediasi di Pengadilan adalah
prosesnya yang tidak rumit dan memiliki fleksibilitas, sifatnya yang tertutup atau rahasia,
mudah dipahami dan diikuti oleh para pihak yang berperkara, menghasilkan penyelesaian
yang saling menguntungkan bagi para pihak (win-win solution), biaya yang relatif murah dan
tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaiannya, serta Akta Perdamaian yang
dihasilkan pun bersifat final dan binding (mengikat). Adapun kekurangan adalah Mediasi
hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan
untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus, terdapat beberapa jenis sengketa tidak
mungkin tidak dapat diselesaian melalui mediasi, adanya kemungkinkan Mediator yang tidak
netral sehingga merugikan salah satu pihak terutama dalam sengketa bisnis.

Anda mungkin juga menyukai