langsung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Sosial Nomor
langsung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Sosial Nomor
Pasal 12
Menteri memiliki kewenangan memberikan izin Pengangkatan Anak untuk
selanjutnya ditetapkan ke pengadilan, yang meliputi: (a) Pengangkatan Anak
antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing; (b) Pengangkatan
Anak oleh Orang Tua Tunggal; dan (c) Pengangkatan Anak yang dilakukan oleh
COTA yang salah seorangnya Warga Negara Asing.
Pasal 14
Kepala Instansi Sosial Provinsi memiliki kewenangan untuk memberikan izin
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia untuk selanjutnya ditetapkan
ke pengadilan.
Situasi yang terjadi di Indonesia terkait peristiwa adopsi adalah bahwa belum adanya
rekapan data secara valid dan pasti terkait dengan jumlah anak yang dapat di adopsi maupun
jumlah anak yang telah di adopsi. Data statistik maupun data dari penelitian sebelumnya tidak
ada yang memaparkan jumlah secara pasti terkait dengan peristiwa adopsi. Fakta ini
menegaskan bahwa informasi mengenai adopsi di Indonesia masih sangat terbatas untuk
Prosedur pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia telah diatur secara jelas dan
Indonesia. Namun dalam praktiknya, masih banyak ditemukan kasus pengangkatan anak
yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tata cara pengangkatan anak yang diatur dalam
sosialisasi dan fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah secara publik sehingga
prosedur adopsi yang sah secara hukum. 1 Oleh sebab itu, Departemen Sosial diamanatkan
oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan
Menurut Radbruch hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum
tidak boleh berubah-ubah, sehingga dapat berlaku dengan pasti dan mengikat bagi setiap
orang.
Kepastian hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar mereka
mengetahui perbuatan apa saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang
Tedensi Reduksionis dan Utilitarianis dalam Ilmu Hukum Indonesia: Mebaca Ulang Filsafat Hukum Gustav
Radbruch, Solo: Universitas Parahyangan, 2015,
Neo-Kantianisme adalah aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada abad 19. Neo-Kantianisme berarti
kembali kepada Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan dialektis dalam ajaran
filsafat Imanuel Kant, dapat dilihat dalam Lorens Bagus. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002, hlm. 697-698.
1
2
Ali Sulistyono dan Ishariyanto, Sistem Peradilan di Indonesia dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2018, hlm. 174.\
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2008, hlm. 89.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Adiyta Bakti, 1993, hlm.
3
O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 34.
Dikutip dari Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Cambridge: Harvard University,
1950, hlm.73.
Dalam perkembangan teori dan filsafat hukum, terdapat satu teori atau ajaran cita hukum
(idee des recht) yang dikembangkan oleh Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh
Sudikno Mertokusumo, yang menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) unsur cita atau tujuan hukum
yang harus ada secara proposional, yaitu kepastian hukum (rechssicherkeit), keadilan
(gerechtikeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).3 Formulasi ketiga unsur dari cita atau
tujuan hukum tersebut, harus dibangun dalam penalaran hukum (legal reasoning) seorang
Yahya Harahap menyebutkan bahwa kebebasan hakim disini bukan kebebasan tanpa batas,
memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut
harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 6, No. 3, November 2017, Jakarta Selatan,
4
Sulardi dan Yohana puspitasari Wardoyo, Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Terhadap Perkara
Pidana Anak, Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 3, Desember 2015, Jakarta Pusat, hlm. 259.
Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 3, Desember 2015,
http://www.pa-marabahan.go.id/en/artikel-tentang-hukum/644-kebebasan-hakim-dalam-sebuah-putusan-
memaknai-dissenting-opinion.html
Dalam hukum Islam, Perlindungan hukum terhadap hak-hak manusia secara garis
besar dikategorikan kepada 2 (dua) bentuk, pertama, jaminan terwujudnya hak-hak manusia
sehingga dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan (min janib al-wujud). Kedua,
melindungi hak-hak manusia dari berbagai pelanggaran (min janib al-‘adam).5 Maka hakikat
perlindungan anak dalam hukum Islam adalah pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya
dari hal-hal yang dapat membahayakan diri, jiwa, dan hartanya, yang mencakup aspek fisik,
mental, spiritual, dan sosial anak.6 Perlindungan hukum terhadap hak anak selaras dengan
tujuan hukum (maqasid al-shari’ah), yakni terhadap lima aspek (al-kulliyat al-khams atau ad-
daruriyah al-khams). Lima aspek perlindungan itu mencakup agama (hifz ad-din), jiwa (hifz
an-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-mal).