Anda di halaman 1dari 5

Adapun prosedur pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara

langsung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Sosial Nomor

110/HUK/2009 adalah sebagai berikut:

a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi


Sosial Propinsi diatas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua
persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 dan Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009;
b. Kepala Instansi Sosial Propinsi menugaskan Pekerja Sosial Propinsi dan
Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan penilaian
kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah kepada keluarga
COTA;
c. Kepala Instansi Sosial Propinsi mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan
Sementara;
d. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan
sementara;
e. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala
Instansi Sosial Propinsi di atas kertas bermaterai cukup;
f. Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga
Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui
perkembangan CAA selama diasuh COTA:
g. Kepala Instansi Sosial Propinsi membahas hasil penilaian kelayakan COTA,
dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan
anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Propinsi;
h. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat untuk izin pengangkatan anak agar
dapat diproses lebih lanjut di pengadilan;
i. Dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak akan
dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak;
j. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan
anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial;
dan ke Dinas Kependudukan Catatan Sipil kabupaten/kota;
k. Kepala Instansi Sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan
pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.

Adapun prosedur pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara

langsung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Sosial Nomor

110/HUK/2009 adalah sebagai berikut:

a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Menteri Sosial


diatas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan
administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal
45 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009;
b. Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial
Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan
kunjungan rumah kepada keluarga COTA;
c. Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial cq Direktur Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin
Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan
Anak;
d. Penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA;
e. Bimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan sementara;
f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai pernyataan
mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas
bermaterai cukup;
g. Kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan Lembaga
Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh
COTA;
h. Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA,
dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan
anak dalam Tim PIPA;
i. Diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang perizinan
pertimbangan pengangkatan anak;
j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan di
pengadilan;
k. Apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan
dikembalikan kepada orang tua kandung/ wali yang sah/kerabat, Lembaga
Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan
terbaik bagi anak;
l. setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan
anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Departemen
Sosial; dan
m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak
tersebut.

Pasal 12
Menteri memiliki kewenangan memberikan izin Pengangkatan Anak untuk
selanjutnya ditetapkan ke pengadilan, yang meliputi: (a) Pengangkatan Anak
antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing; (b) Pengangkatan
Anak oleh Orang Tua Tunggal; dan (c) Pengangkatan Anak yang dilakukan oleh
COTA yang salah seorangnya Warga Negara Asing.

Pasal 14
Kepala Instansi Sosial Provinsi memiliki kewenangan untuk memberikan izin
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia untuk selanjutnya ditetapkan
ke pengadilan.

Situasi yang terjadi di Indonesia terkait peristiwa adopsi adalah bahwa belum adanya

rekapan data secara valid dan pasti terkait dengan jumlah anak yang dapat di adopsi maupun
jumlah anak yang telah di adopsi. Data statistik maupun data dari penelitian sebelumnya tidak

ada yang memaparkan jumlah secara pasti terkait dengan peristiwa adopsi. Fakta ini

menegaskan bahwa informasi mengenai adopsi di Indonesia masih sangat terbatas untuk

dapat diakses oleh masyarakat.

Prosedur pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia telah diatur secara jelas dan

detail dalam beberapa peraturan perundang-undangan terkait pengangkatan anak di

Indonesia. Namun dalam praktiknya, masih banyak ditemukan kasus pengangkatan anak

yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tata cara pengangkatan anak yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut diakibatkan oleh kurangnya

sosialisasi dan fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah secara publik sehingga

mengakibatkan banyak masyarakat (khususnya pasangan suami istri) tidak mengetahui

prosedur adopsi yang sah secara hukum. 1 Oleh sebab itu, Departemen Sosial diamanatkan

oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan

bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia.2

Menurut Radbruch hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum

tidak boleh berubah-ubah, sehingga dapat berlaku dengan pasti dan mengikat bagi setiap

orang.

Kepastian hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar mereka

mengetahui perbuatan apa saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang

dilarang sehingga hak-hak mereka dapat dilindungi.

Tedensi Reduksionis dan Utilitarianis dalam Ilmu Hukum Indonesia: Mebaca Ulang Filsafat Hukum Gustav
Radbruch, Solo: Universitas Parahyangan, 2015,

Neo-Kantianisme adalah aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada abad 19. Neo-Kantianisme berarti
kembali kepada Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan dialektis dalam ajaran
filsafat Imanuel Kant, dapat dilihat dalam Lorens Bagus. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002, hlm. 697-698.
1

2
Ali Sulistyono dan Ishariyanto, Sistem Peradilan di Indonesia dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2018, hlm. 174.\

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2008, hlm. 89.

Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Adiyta Bakti, 1993, hlm.
3

O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 34.

Dikutip dari Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Cambridge: Harvard University,
1950, hlm.73.

Dalam perkembangan teori dan filsafat hukum, terdapat satu teori atau ajaran cita hukum

(idee des recht) yang dikembangkan oleh Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh

Sudikno Mertokusumo, yang menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) unsur cita atau tujuan hukum

yang harus ada secara proposional, yaitu kepastian hukum (rechssicherkeit), keadilan

(gerechtikeit), dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).3 Formulasi ketiga unsur dari cita atau

tujuan hukum tersebut, harus dibangun dalam penalaran hukum (legal reasoning) seorang

hakim secara seimbang.4

Yahya Harahap menyebutkan bahwa kebebasan hakim disini bukan kebebasan tanpa batas,

dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan

memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut

harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan,

dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (recht vinding).

Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 6, No. 3, November 2017, Jakarta Selatan,

4
Sulardi dan Yohana puspitasari Wardoyo, Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan Terhadap Perkara
Pidana Anak, Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 3, Desember 2015, Jakarta Pusat, hlm. 259.
Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 3, Desember 2015,

http://www.pa-marabahan.go.id/en/artikel-tentang-hukum/644-kebebasan-hakim-dalam-sebuah-putusan-

memaknai-dissenting-opinion.html

Dalam hukum Islam, Perlindungan hukum terhadap hak-hak manusia secara garis

besar dikategorikan kepada 2 (dua) bentuk, pertama, jaminan terwujudnya hak-hak manusia

sehingga dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan (min janib al-wujud). Kedua,

melindungi hak-hak manusia dari berbagai pelanggaran (min janib al-‘adam).5 Maka hakikat

perlindungan anak dalam hukum Islam adalah pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya

dari hal-hal yang dapat membahayakan diri, jiwa, dan hartanya, yang mencakup aspek fisik,

mental, spiritual, dan sosial anak.6 Perlindungan hukum terhadap hak anak selaras dengan

tujuan hukum (maqasid al-shari’ah), yakni terhadap lima aspek (al-kulliyat al-khams atau ad-

daruriyah al-khams). Lima aspek perlindungan itu mencakup agama (hifz ad-din), jiwa (hifz

an-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-mal).

Anda mungkin juga menyukai