Anda di halaman 1dari 15

Makalah Adopsi

Untuk Memenuhi Tugas Etika Keperawatan dan Hukum Kesehatan

Disusun oleh : 1. Ayuning Catur 2. Debora Danis S.B 3. Dimas Rio 4. Wahyu Kristiadi

AKADEMI KEPERAWATAN NGESTI WALUYO PARAKAN 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang ASPEK HUKUM DARI ADOPSI. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan dan memerlukan banyak perbaikan . Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.

Penulis

Maret 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.

Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh). Adopsi anak karenanya adalah masalah hak dan legal status seorang sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, proses dan materi hukum adopsi anak diatur dalam materi UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Bagi orang Indonesia asli ketentuan yang mengatur hubungan diantara orangtua dan anak sebagian terbesar terdapat dalam Hukum Perdata yang tidak tertulis yang dikenal dengan Hukum Adat atau kebiasaan di suatu tempat yang kemudian dipatuhi olhe masyarakatnya sebagai suatu aturan yang harus dipenuhi. Bila kebiasaan ini dilanggar, orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Negeri dan juga akan mendapatkan sanksi dari masyarakat umpamanya mengakibatkan rasa malu atau dikucilkan dari pergaulan oleh masyarakat tersebut. Lambat laun untuk menjamin kedudukan anak yang diangkat maupun untuk melindungi orangtua yang mengangkat anak, berkembanglah kebiasaan untuk mengadakan perjanjian tertulis dengan keputusan pengadilan.

Pada hukum perdata Indonesia ada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis mengatur hubungan antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di Hukum Perdata (KUHP). Namun kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia yaitu mereka yang oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang dipersamakan dengan orang Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia yang dengan tindakan hukum menyatakan diri tunduk pada hukum itu. Didalam hukum tertulis tidak terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun bagi golongan Tionghoa tunduk pada B.W. ada pengaturannya secara tertulis dalam Stb. 1917 No. 129.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Aspek Hukum Menurut Pancasila, UU, UUD, PERPU, PERDA, KUHP? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui tentang Aspek Hukum Menurut Pancasila UU, UUD, PERPU, PERDA, KUHP.

BAB II PEMBAHASAN Pada hukum perdata Indonesia ada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Hukum yang tertulis mengatur hubungan antara orangtua dan anak adalah aturan yang ada di Hukum Perdata (KUHP). Namun kitab ini hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia yaitu mereka yang oleh Undang-Undang dinamakan golongan penduduk yang dipersamakan dengan orang Eropa serta orang Timur Asing dan orang Indonesia yang dengan tindakan hukum menyatakan diri tunduk pada hukum itu. Didalam hukum tertulis tidak terdapat aturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Namun bagi golongan Tionghoa tunduk pada B.W. ada pengaturannya secara tertulis dalam Stb. 1917 No. 129. Bagi orang Indonesia asli ketentuan yang mengatur hubungan diantara orangtua dan anak sebagian terbesar terdapat dalam Hukum Perdata yang tidak tertulis yang dikenal dengan Hukum Adat atau kebiasaan di suatu tempat yang kemudian dipatuhi olhe masyarakatnya sebagai suatu aturan yang harus dipenuhi. Bila kebiasaan ini dilanggar, orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Negeri dan juga akan mendapatkan sanksi dari masyarakat umpamanya mengakibatkan rasa malu atau dikucilkan dari pergaulan oleh masyarakat tersebut. Lambat laun untuk menjamin kedudukan anak yang diangkat maupun untuk melindungi orangtua yang mengangkat anak, berkembanglah kebiasaan untuk mengadakan perjanjian tertulis dengan keputusan pengadilan. Pasal 12 (1) UU Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979) berbunyi Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Di dalam ayat 3 menyebutkan pengangkatan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan dilaksanakan berdasar peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan ini belum ada sampai sekarang maka untuk memenuhi kebutuhan dilaksanakan melalui SEMA No. 6 tahun 1987 dan SEMA 4 tahun 1989. Menurut agama Islam, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungannya. Namun demikian, tidak jarang terjadi kasus dimana,

dalam mengangkat anak, orang tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orangtua kandungnya dengan maksud agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Tetapi pada umumnya maksud tersebut menjadi kontra produktif terutama setelah anak angkat menjadi dewasa dan memperoleh informasi mengenai kenyataan yang sesungguhnya. Akibat dari Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil, yang memungkinkan Pegawai Negeri Sipil untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi melalui penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan pengadilan. Sementara itu, bagi mereka yang termasuk ke dalam golongan penduduk keturunan Cina, berlaku peraturan adopsi yang diatur dalam Staatsblad 1917 No. 129 yang memungkinkan dilakukannya adopsi anak laki-laki Akan tetapi, berdasarkan jurisprudensi tetap tahun 1963, Mahkamah Agung menganggap sah pula adopsi anak perempuan. Adopsi menurut ketentuan Staatsblad 1917 No. 129 ini cukup dilakukan hanya dengan akte notaris saja. Masih sehubungan dengan tata cara adopsi bagi penduduk keturunan Cina, berlaku pula ketentuan hukum perdata (pasal 302 dan 304). Pengangkatan anak dengan mekanisme surat edaran Mahkamah Agung meliputi :

Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia (domestic adoption) Adopsi anak Indonesia oleh orang tua angkat berkewarganegaraan asing (intercountry adoption)

Adopsi anak berkewarganeraan asing oleh warga negara Indonesia (intercountry adoption)

Sementara itu, menurut ketentuan Departemen Sosial, tata cara pengangakatan anak dilangsungkan melalui tiga proses tahapan sebagai berikut :

Calon orang tua angkat mengajukan permohonan ijin kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial setempat (dengan tembusan kepada Menteri Sosial dan private institution dimana calon anak angkat berada).

Kantor Wilayah Departemen Sosial mengadakan penelitian terhadap calon orang tua angkat, dan paling lama dalam waktu 3 bulan harus memberikan persetujuan atau penolakan.

Jika permohonan disetujui, dilakukan pengesahan/pengukuhan oleh pengadilan. Selain berbagai ketentuan diatas, ketentuan lain menyangkut adopsi yang berlaku di

Indonesia sebelum periode ini dapat disebutkan, inter alia, Undang-undang Perkawinan tahun 1979 (pasal 12 (3)) dan Keputusan Menteri Sosial RI No. 44/86. Masalah Pengangkatan Anak juga diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56: 1. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orangtua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. Dalam hal orangtua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Disamping itu juga diatur dalam pasal 57. Ketentuan ini ternyata sejalan dengan Konvensi Hak Anak pada pasal 21 (a) Negara-negara peserta yang mengakui dan/atau membolehkan sistem adopsi akan menjamin bahwa kepentingan terbaik anak yang bersangkutan akan merupakan pertimbangan paling utama negara-negara itu akan:

a. menjamin bahwa adopsi anak hanya disahkan oleh penguasa yang berwenang yang menetapkan, sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku dan berdasarkan dengan semua informasi yang terkait dan terpercaya bahwa adopsi itu diperkenankan mengingat status anak sehubungan dengan keadaan orangtua, keluarga, walinya yang sah dan jika disyaratkan, orangorang yang berkepentingan telah memberi persetujuan mereka atas adopsi tersebut atau dasar nasehat yang mungkin diperlukan. Hal tersebut diatas ternyata juga telah diakomodasikan di dalam RUU Perlindungan Anak pasal 39: 1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku

2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya 3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat 4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir 5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat Hal ini juga diatur dalam pasal 40 dan 41. Di dalam peraturan dan RUU itu jelas diatur bahwa untuk pengangkatan anak itu harus berlandaskan pada kepentingan terbaik untuk anak dan sesuai dengan asas perlindungan anak. Masalah Yang Berkaitan dengan Pengangkatan Anak Pengangkatan anak untuk golongan orang Indonesia Asli ternyata masih berlaku berbedabeda sesuai dengan hukum adatnya. Walaupun pada umumnya dalam hukum adat tidak disyaratkan adanya surat/akte mengenai pengangkatan anak, namun kenyataannya banyak dibuat surat dibawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Kampung, Kepala adat setempat atau akte pengangkatan anak oleh Notaris. Dalam praktek banyak dipermasalahkan dasar hukum dari pembuatan akta pengangkatan anak di hadapan notaris. Hukum Islam, tidak mengenal lembaga pengangkatan anak yang memberikan hak mewarisi. Bahkan untuk daerah-daerah yang pengaruh hukum Islamnya masih kuat juga tidak mengenal lembaga pengangkatan anak. Hukum Islam hanya mengenal lembaga pemeliharaan anak terutama anak yatim piatu. Selama beberapa periode ini langkah administratif baru yant telah ditempuh berupa Keputusan Menteri Sosial RI No. 13?HUK/93 (tahun 1993) tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain itu, perlu disampaikan pula mengenai Surat Edaran KMA/III/II/1994 (tahun 1994) tentang Pengangkatan Anak yang diterbitkan oleh Makamah Agung RI. Selain itu, belum ada langkah baru yang ditempuh selama periode pelaporan, dan prosedur adopsi dilaksanakan dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang sudah

diberlakukan sebelumnya. Dalam kaitan ini dapat disampaikan bahwa, akibat dari Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1977 maka praktek pengangkatan anak, terutama oleh pegawai negeri sipil, mulai menggunakan penetapan pengadilan. Sehubungan dengan intercountry adoption, belum ada langkah khusus lain yang ditempuh termasuk pengaturan bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain. Akan dilakukan upaya untuk mereview segenap perundangan dan ketentuan, sistem serta tata cara adopsi yang ada, untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai tingkat kompleksitasnya terhadap ketentuan dalam Konvensi Hak Anak. Sementara itu, akan dilakukan pula upaya administratif dalam kerangka ketentuan yang ada untuk meningkatkan jaminan perlindungan terhadap anak yang diadopsi, serta terus mengikuti perkembangan situasi menyangkut kasus adopsi yang terjadi.(YKAI/Idh) Pengangkatan anak atau adopsi anak secara yuridis formal merupakan perbuatan hukum yang mengubah atau mengalihkan hak dan status legal seorang anak, dari lingkungan kekuasaan orangtua biologisnya atau wali yang sah, atau oranglain yang bertanggungjawab kepada lingkungan keluarga orangtua angkatnya dengan putusa atau penetapan pengadilan. Adopsi anak karenanya adalah masalah hak dan legal status seorang sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, proses dan materi hukum adopsi anak diatur dalam materi UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU Nomor 23/2002, adopsi anak diberikan persyaratan yang eksplisit, dan perintah membentuk Peraturan Pemerintah mengenai tatacara pengawasannya. Oleh karena itu, adopsi anak, sangat ketat dalam (1) kepatuhan hukum atas syarat/ketentuan normatif adopsi anak, dan (2) konsistensi dalam proses tata cara

penyelenggaraannya. NORMA HUKUM Dengan disahkannya UU No 23/2002, maka terlahirlah norma hukum (legal norm) baru yang mengikat termasuk dalam hal anak-anak yang diadopsi. Secara normatif, dalam UU No. 23/2002 mengatur tentang :

1) prosedur adopsi). 2)

UU No 23/2002 Pasal 39 dan 40 (mengatur tentang syarat, kriteria dan

UU No. 23/2002 Pasal 41 (mengatur kewajiban/tanggungjawab Pemerintah i.c.

Dep. Sosial melakukan bimbingan (counselling); pengawasan (supervision, controlling) atas adopsi anak; 3) UU No. 23/2002 Pasal 41 ayat (2) memerintahkan pembuatan Peraturan

Pemerintah (PP) pengasuhan dan pengangkatan anak. Selanjutnya saat ini sudah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Ketentuan PP No. 54/2007 ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan pasal 39 s/d pasal 41 UU No 23/2002. Dalam PP No 54/2007 diatur mengenai berbagai hal : a) prinsip: (1) seagama antara anak dengan orangtua angkat (Pasal 3); (2) dilakukan untuk kepentigan terbaik bagi anak (Pasal 2); (3) tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orangtua kandungnya (Pasal 4); (4) pengangkatan anak intercountry hanya uaya terakhir (Pasal 5), dan; (5) Kewajiban memberitahukan asal usul anak (Pasal 6). b) Jenis Pengangkaan anak, yakni domestik dan antar Negara (Pasal 7 s/d pasal 11); c) Syarat-syarat engangkatan Anak (pasal 12 s/d pasal 18); d) Tatacara Pengangkatan Anak (Pasal 19 s/d Pasal 25); Ketentuan Umum termasuk prinsip pengangkatan anak yang dilakukan dengan

e) Bimbingan dalam Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 26 s/d Pasal 31); f) Pengawasan Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 32 s/d Pasal 38).

g) Pelaporan (Pasal 39 s/d pasal 42) Adopsi anak selain berdimensi kesejahteraan sosial dan memberikan keluarga alternatif bagi anak, namun juga memiliki aspek hukum dan implikasi hukum, bahkan ancaman sanksi pidana. Karena itu perlu mewaspadai dan kepatuhan prosedur dan syarat serta penyelengaraan adopsi anak. Jika tidak bisa terjebak ke berbagai resiko ancaman sanksi pidana, baik dalam Pasal 79 UU No. 23/2002, maupun Pasal 5 dan 6 UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta berbagai ketentuan hukum lainnya. Berikut ini dikutip ketentuan hukum pidana terkait kejahatan adopsi anak. Pasal 79 UU No. 23/2002: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah); Pasal 5 UU No. 21/2007 berbunyi : Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud unuk dieksploitasi, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah); Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2007 berbunyi sebagai berikut, Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan ara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah);

Adopsi anak berbeda dengan isu pelayanan sosial anak lainnya seperti anak jalanan, pendidikan anak, dan atau masalah buruh anak. Adopsi selain berdimensi kesejahteraan sosial dan memberikan keluarga alternatif bagi anak, namun juga memiliki aspek hukum dan implikasi hukum bak perdata maupun pidana. Dengan demikian kepatuhan prosedural dan syarat serta penyelenggaran adipsi anak perlu ditegakkan, demi melindungi anak-anak Indonesia. DINAS Sosial dan Tenaga kerja Pangkalpinang akan mengadopsi peraturan daerah yang di keluarakan pemprov DKI Jaya untuk menertibkan gelandang dan pengemis. Berikut petikan perda tersebut. Pasal 40 Perda DKI tersebut diatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis. Pada pasal 40 Perda DKI Jakarta nomor 8 tahun 2007 menyebutkan setiap orang atau badan dilarang, menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Yang melanggar PERDA tersebut akan dikenakan sanksi seperti, pelanggaran Pasal 40 huruf a Perda DKI Jakarta nomor 8 tahun 2007 diancam dengan pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 30 juta (Pasal 61 ayat (2) Perda DKI nomor 8 tahun 2007). (l4) Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pengangkatan anak adalah: 1) Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki. 2) Suami istri bersama-sama. 3) Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.

Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan: 1) Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya. 2) Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut. 3) Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak. 4) Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak mendiang suaminya. Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia. Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15 tahun.1[7] Sedangkan menurut kitab undang-undang hukum perdata pasal 331 a dan b menyatakan bahwa perwalian mulai berlaku: 1. Bial oleh hakim di angkat seorang wali yang hadir, pada saat pengangkatan itu dilakukan, atau apabila pengangkatan itu dihadirinya, pada waktu pengangkatan diberitahukan kepadanya. 2. Bila seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua, pada saat pengangkatan itu, karena meninggalnya pihak yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dan pihak yang diangkat menyatakan kesanggupannya untuk menerima pengangkatan itu. 3. Bila seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali oleh hakim atau oleh salah seorang dari kedua orang tua, pada saat ia, dengan bantuan atau kuasa hakim, menyatakan sanggup menerima pegangkatan itu. 4. Bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pengangkatan itu. Perwalian berakhir :
1[7]Elise T. Sulistini, petunjuk praktis menyelesaikan perkara-perkara perdata, Jakarta: Bina aksara, hal. 104-105

pada saat menyatakan sanggup menerima

1)

Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali kekuasaan orang tua, karena bapak atau ibunya mendapat kekuasaan kembali, pada saat penetapan sehubungan dengan itu diberitahukan kepada walinya.

2) Bila anak belum dewasa, setelah berada dibawah perwalian, kembali dibawah kekuasaan orang tua berdasarkan pasal 206 a atau 323a, pada saat berlangsungnya perkawinan. 3) Bila anak belum dewasa yang lahir diluar perkawinan diakui menurut undang-undang, pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya si anak, atau pada saat pemberian surat pengesahan yang diatur dalam pasal 274. 4) Bila dalam hal yang diatur dalam pasal 453 orang yang dibawah pengampuan memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.2[8] Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu: a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata. Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut. b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka. c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan :Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan.3[9

2[8]Soedharyo Soimin, kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta: sinar grafika, 2001, hal. 90-91

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.

Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benarbenar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta

menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya.

B. DAFTAR PUSTAKA http://bangka.tribunnews.com/2014/03/13/adopsi-perda-dki-jakarta-nomor-8tahun-2007-tentang-ketertiban-umum http://www.advokatmuhammadjoni.com/component/content/article/61perlindungan-anak/177-intercountry-adoption--kasus-dan-implikasi-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai