Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

MAKALAH DISKRIMINASI PENDIDIKAN


ILMU SOSIAL BUDAYA ( ISBD )

Oleh

Muhamad Sahil
NIM : 015 12 051

AKADEMI TEKNIK ELEKTRO MEDIK SEMARANG


2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk
terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan
terhadap manusia merupakan tuntutan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh
umat manusia terhadap sesamanya tanpa terkecuali. Sejak dilahirkan
manusia telah memiliki hak asasi. Hak asasi tersebut merupakan hak dasar
dari Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki ragam
budaya dibandingkan dengan negara lainnya . Tidak hanya itu, di Indonesia
juga terdapat perbedaan atas ras, suku, agama, dan adat-istiadat yang
merupakan ciri khas daerah masing-masing. Namun demikian, perbedaan
itulah yang mengantarkan Indonesia pada persatuan dan kesatuan.
Dengan adanya UUD 1945 sebagai dasar negara, segala hal mengenai
perbedaan itu terangkum didalamnya dan menjadi tolok ukur bagi
kesejahteraan warga negara sehingga diharapkan tidak ada batas antara
kelompok satu dengan yang lainnya dan tidak ada yang merasa di anak-
tirikan oleh pemerintah atau merasa menjadi kaum minoritas. Hal ini
tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Dasar negara ini menekankan tiap orang berhak untuk mendapatkan
segala hal yang menjadi tumpuan, penunjang ataupun alat dalam
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraannya tanpa harus
merugikan orang lain dan lingkungannya. Hal yang menjadi penentu tingkat
kualitas kehidupan dan kesejahteraan salah satunya adalah tingkat
pendidikan. Melalui pendidikan seseorang dapat mendapatkan ilmu
pengetahuan dan segala hal yang dapat membantunya meningkatkan
kualitas hidupnya. Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak tiap
warga negara dan negara berkewajiban memberikan secara merata dan
seimbang kepada tiap warganya tanpa terkecuali.
Namun pada kenyataannya, pemerintah belum memberikan pendidikan
yang layak dan berkualitas kepada setiap warganya. Di daerah perkotaan,
pendidikan yang berkualitas semakin sulit dijangkau oleh masyarakat
menengah ke bawah. Sedangkan di daerah pelosok, permasalahan yang
terjadi sering kali kurangnya tenaga pendidikan dan fasilitas pendidikan. Hal
ini merupakan contoh bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap
kaum minoritas atau terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat menengah
kebawah dalam bidang pendidikan.
Dengan melihat adanya kasus diskriminasi yang banyak terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini, maka saya akan membahas lebih lanjut masalah
diskriminasi pendidikan terhadap kaum minoritas di Indonesia dalam
makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami kaum minoritas?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami kaum minoritas
atau masyarakat menengah ke bawah
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian HAM


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok manusia
yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan
pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup
dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bias terlepas dari dan
dalam kehidupan manusia.
Dalam undang-undang tentang hak asasi manusia pasal 1 dinyatakan :
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan mertabat manusia”.
Menurut Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 atau yang dikenal dengan
sebagai piagam hak asasi manusia Indonesia, hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia kodrati, universal, dan abadi sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun. Selanjutnya, manusia hak dan tanggung jawab yang
timbul sebagai akibat perkembangan dan kehidupannya dalam masyarakat.
2.2. Macam-macam HAM
Manusia selalu memiliki hak-hak dasar (basic rights) antara lain :
1. Hak hidup
2. Hak untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilikai atau dibunuh oleh orang
lain
3. Hak kebebasan
4. Hak untuk bebas, hak untuk memiliki agama/kepercayaan, hak untuk
memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat dan
sebagainya
5. Hak kepemilikan
6. Hak untuk memiliki sesuatu, seperti pakaian, rumah, mobil, perusahaan,
dan sebagainya

2.3. Pengertian Diskriminasi


Secara formal, pengertian diskriminasi diatur di dalam UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat (3). Undang-undang tersebut
menyatakan, ‘Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya’.
Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku
apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau
pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan
individu atau jasanya”.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu
tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh
individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai
dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk
membeda-bedakan yang lain.
2.4. Pengertian Kelompok Minoritas
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), Kelompok
minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan
perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat
prasangka [prejudice] atau diskriminasi, istilah ini pada umumnya dipergunakan
bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk
menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan
seringkali juga kepada kelompok mayoritas daripada kelompok minoritas.
Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok
(lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa
penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam
masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam
telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah
memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi
tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam
kelompok minoritas.

2.5. Dasar Hukum Mengenai Pendidikan


Pendidikan merupakan amanat Pasal 31 ayat 1 Perubahaan Keempat
Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Penerapan pasal ini ditindak lanjuti dalam Undang-
undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5
Undang-undang ini menyatakan bahwa: “Setiap warga negara, laki-laki, dan
perempuan berhak mendapatkan pendidikan bermutu”. Pendidikan bermutu
disinilah tentunya termasuk sekolah percontohan yang saat ini tengah
dikembangkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerapan Pasal ini
bersifat anti diskriminatif. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 4, Bab III, Undang-
undang No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia”.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kasus Diskriminasi Pendidikan


Pada masa demokrasi sekarang ini, banyak sekali pelanggaran-
pelanggaran mengenai HAM yang semakin kompleks, baik pelanggaran
HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan. Misalnya pada kasus
diskriminasi pendidikan yang dialami anak di Sumut. Berdasarkan data
dari Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), sepanjang tahun
2011 terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak di bidang pendidikan.
Kasus-kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan tersebut terutama
berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah.
Di Kota Padang Sidempuan misalnya, ada anak yang ditolak mendaftar di
sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah menyatakan
penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota. Kondisi ini merupakan
pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan
Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga UU
Sistem Pendidikan Nasional menjamin tidak ada diskriminasi dalam
pendidikan.
Ironisnya, dalam kasus Sumut diskriminasi dalam bidang
pendidikan tidak saja terjadi terhadap anak-anak cacat, tapi juga terhadap
orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya
biaya. Terlebih untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah
statusnya menjadi Rintisan Sekolah Berstatus Internasional (RSBI).
Tidak hanya itu, kasus diskriminasi dalam hal pendidikan juga
banyak sekali ditemukan di Indonesia. Sebut saja Immi, gadis kecil yang
mendaftar ke SD Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta Timur pada bulan
Februari lalu. Sebelumnya diberitakan, Immi ditolak masuk sekolah
karena ayahnya yang seorang penulis terinfeksi HIV/AIDS. Immi tidak
terinfeksi HIV seperti ayahnya, namun ia tetap menerima diskriminasi
karena menjadi anak seorang HIV. Immi yang baru saja diterima di SD
Don Bosco Kelapa Gading, tiba-tiba saja ditolak dan penerimaannya
dibatalkan hanya melalui pesan singkat (SMS). Pihak sekolah beralasan
membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua
siswa menolak keberadaan Immi.
Kemudian kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia bagian
Timur, dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya, dalam ujian nasional
setiap tahunnya di Indonesia bagian Timur mendominasi tingkat kelulusan
yang rendah dibanding Indonesia bagian Barat. Hal ini dikarenakan sangat
minimnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan proses
belajar mengajar untuk para siswa di tempat tersebut.
Saat ini, banyak dari kita yang tinggal di kota,sangat di perhatikan
sekali dalam bidang pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tapi
coba kita bayangkan sejenak, bagaimana dengan kondisi proses belajar
mengajar di Indonesia bagian Timur yang sangat dianaktirikan oleh
pemerintah kita. Sebenarnya, potensi anak bangsa Indonesia sangat besar
asal mereka di asah secara baik sehingga kemampuan yang ada pada
mereka bisa terus dikembangkan dan terarah.

3.2 Analisa Kasus


Manusia diciptakan oleh Tuhan lebih sempurna dari makhluk-
makhluk lainnya. Namun demikian, bukanlah menjadi masalah jika ada
beberapa diantara mereka yang dilahirkan dengan kondisi cacat atau lahir
secara premature. Di Indonesia, baik orang yang dilahirkan secara normal
maupun cacat memiliki persamaan hak di mata hukum. Hak-hak tersebut
tercantum dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999, salah satunya adalah
hak untuk memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan,
dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi
serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak,
sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif
oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak
berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara
serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan
diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan
menarik; penerimaan siswa baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang
berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah ke
atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan
pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana yang tersedia,
mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat,
bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami
kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis
mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk
melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk
dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.
Kita semua pasti merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak
diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi
oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka
tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh
pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil
oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman
sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai
pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk
sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai
pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang
subur.
Diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri ini tidak hanya
disebabkan oleh penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tetapi juga
disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada
rakyat kecil. Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat
dari beberapa aspek berikut ini. seperti diskriminasi pembangunan
pendidikan antara pedesaan dan perkotaan. Rendahnya fasilitas
pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi.
Anak-anak yang sekolah di pedesaan harus ikhlas dengan gedung dan
fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar nasional
pendidikan.
Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya
akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya
reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu
amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang
terdidik yang mampu menjadi penggerak.
Masalah diskriminasi pendidikan merupakan cerita lama yang
kurang diperhatikan oleh kita sebagai sesama orang Indonesia. Karena
permasalahan ini merupakan kunci utama dari kualitas dan kuantitas
bangsa Indonesia kedepan, untuk bersaing didunia Internasional. Banyak
hal yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, terutama masalah
diskriminasi pendidikan. Pemerintah mengeluarkan ketetapan-ketetapan
untuk melindungi warga negaranya terhadap tindak diskriminasi agar tidak
terjadi marginalisasi antara kelompok mayoritas dan kelompok yang
dianggap minoritas.
Sungguh sangat disayangkan, adanya iklan ‘Ayo Sekolah’ di
televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di
sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya atau berbagai
alasan yang tidak bisa dibenarkan dalam segi hukum. Padahal, Undang-
Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang layak tanpa terkecuali.
BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap
perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok
yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang
mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau
diskriminasi.
Banyak kasus diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri kita
ini, kasus ini terjadi pada anak cacat yang ditolak untuk bersekolah.
Tidak hanya itu, kasus diskriminasi pendidikan juga dialami oleh
orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya
biaya.
Kasus ini sungguh sangat disayangkan, karena ketetapan yang
dibuat oleh pemerintah sepertinya dibuat untuk diselewengkan atau
dilanggar. Ini berarti pemerintah gagal melakukan tugasnya untuk
melindungi serta menyejahterakan warga negaranya.

4.2.Saran
Mewujudkan pendidikan untuk semua tanpa diskriminasi bukanlah
merupakan hal yang mudah, namun bukan pula mustahil untuk
diwujudkan jika diikuti dengan niat baik dan political will pemerintah
untuk memajukan bangsa ini. Sebab kemajuan hanya akan
menghampiri bangsa yang punya perhatian tinggi terhadap pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai