Anda di halaman 1dari 7

Pertanyaan:

Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya


1. Bagaimana prosedur melakukan adopsi? Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi? 2.
Apakah ada pembedaan jenis kelamin anak yang akan diadopsi? 3. Bagaimana status anak
yang diadopsi, apakah ia berhak mewaris dari orang tua angkatnya?
Ronald

Jawaban:
Diana Kusumasari, S.H., M.H.

Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI)
terdiri dari beberapa jenis (disarikan dari Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak
terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, hal 7-17), yaitu:

1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption);

2. Pengangkatan Anak secara langsung (Private Adoption);

3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent);

4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat.

Kami tidak akan membahas semua prosedurnya satu persatu, kami ambil contoh salah
satunya adalah untuk pengangkatan anak antar WNI. Lebih jauh mengenai pengangkatan
anak dapat Anda baca dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak atau dalam
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya yang kami sebutkan pada akhir dari artikel ini.

1. Persyaratan dan Prosedur Pengangkatan Anak antar warganegara Indonesia (Domestic


Adoption).

Kategori Calon Orang Tua Angkat


Orang tua lengkap yakni:

a. Suami dan Istri Warga Negara Indonesia (WNI); atau

b. Suami WNI, dan Istri Warga Negara Asing (WNA).

Persyaratan Pengangkatan Anak (Pasal 12 & Pasal 13 PP No. 54 Tahun 2007


tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak)

Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:

a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d. memerlukan perlindungan khusus.

Usia anak angkat sebagaimana dimaksud di atas meliputi:

a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,

c. sepanjang ada alasan mendesak; dan

d. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan
belas)

e. tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:


a. sehat jasmani dan rohani;

b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;

c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f. tidak merupakan pasangan sejenis;

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan


terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan

m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Prosedur Pengangkatan Anak

a. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota


dengan melampirkan:

1) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial;

2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada


Organisasi Sosial (orsos);
3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat;

4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri


calon orang tua angkat;

5) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;

6) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;

7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter


Pemerintah;

8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter Psikiater;

9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.

b. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas


Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup;

2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri);

3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.

c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon
orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon
orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai
penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua
angkat yang disahkan oleh instansi social tingkat Kabupaten/Kota setempat,
termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang
diragukan (domisili anak berasal).

d. Proses Penelitian Kelayakan

e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah


f. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota bahwa
calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan
ketetapan sebagai orang tua angkat.

(Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan
diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun
1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai
Pengangkatan Anak). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan
anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama).

Untuk proses pemeriksaan oleh pengadilan, Anda perlu mempersiapkan


sedikitnya dua orang saksi untuk memperkuat permohonan Anda dan meyakinkan
pengadilan bahwa Anda secara sosial dan ekonomis, moril maupun materiil
mampu menjamin kesejahteraan anak yang akan diangkat.

Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada
panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat.

g. Penetapan Pengadilan.

h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan.

Artikel lain terkait adopsi yang dapat Anda baca:

- Urus Surat-suratnya Setahun, Sidangnya 45 Menit dan

- Hukum Indonesia Melarang Adopsi Anak oleh Pasangan Sejenis.


2. Terhadap anak yang akan diadopsi, berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129, diatur tentang
pengangkatan anak yang hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat
dilakukan dengan Akta Notaris. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi
orang-orang Tionghoa yang, selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang
terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun
bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang
isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat
melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat
dilakukan dengan Akte Notaris. Namun, Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta)
tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan (dikutip dari artikel Adopsi
Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK).

3. Berikut penjelasan hak waris anak angkat yang kami kutip dari artikel Adopsi Anak oleh
Lembaga Bantuan Hukum APIK:

Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa
memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum
adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh
karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas
waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga
angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan
kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi
Hukum, AKAPRESS, 1991).

Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan
darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).

Peraturan Perundang-undangan:
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut
secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan
karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

2. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

3. Staatblaad 1917 No. 129

4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat
Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.

Anda mungkin juga menyukai