Jawaban:
Diana Kusumasari, S.H., M.H.
Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI)
terdiri dari beberapa jenis (disarikan dari Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak
terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, hal 7-17), yaitu:
Kami tidak akan membahas semua prosedurnya satu persatu, kami ambil contoh salah
satunya adalah untuk pengangkatan anak antar WNI. Lebih jauh mengenai pengangkatan
anak dapat Anda baca dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak atau dalam
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya yang kami sebutkan pada akhir dari artikel ini.
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
d. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan
belas)
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.
3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.
c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon
orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon
orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai
penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua
angkat yang disahkan oleh instansi social tingkat Kabupaten/Kota setempat,
termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang
diragukan (domisili anak berasal).
(Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan
diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun
1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai
Pengangkatan Anak). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan
anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama).
Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada
panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat.
g. Penetapan Pengadilan.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat
dilakukan dengan Akte Notaris. Namun, Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta)
tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan (dikutip dari artikel Adopsi
Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK).
3. Berikut penjelasan hak waris anak angkat yang kami kutip dari artikel Adopsi Anak oleh
Lembaga Bantuan Hukum APIK:
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa
memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum
adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh
karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas
waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga
angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan
kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi
Hukum, AKAPRESS, 1991).
Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan
darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).
Peraturan Perundang-undangan:
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut
secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan
karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Dasar hukum:
4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat
Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.