Anda di halaman 1dari 10

ADOPSI

A. Pandangan Umum
1. Pengertian
Adopsi suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak
yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.

2. Latar Belakang Lembaga Adopsi dapat dilihat dalam :


a. Sejak jaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara
dan motivasi yang berbeda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan
hukum yang hidup serta berkembang di daearh ybs.
b. Tujuan dari lembaga pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan
keturunan.
c. Perkembangan menunjukkan bahwa tujuan adopsi tidak lagi semata-
mata motivasi untuk meneruskan keturunan, tetapi lebih beragam, hal ini
diakibatkan karena adanya pengaruh dari pelbagai faktor , yaitu politik,
sosial, ekonomi dan agama.
d. Secara umum yang terpenting dalam pengangkatan anak adalah demi
kebahagiaan kepentingan anak.

3. Perkembangan
Adopsi antarnegara mulai dilakukan setelah Perang Dunia II. Hal ini berawal
dari keinginan orang-orang negara maju untuk mengangkat anak dari anak
negara miskin/negara ketiga yang tujuannya karena adanya rasa kemanusiaan
dan segi sosial. Selain itu karena di negara maju banyak wanita yang tidak
punya anak / tidak menikah. Dari fakta tersebut, masalah pengangkatan anak
yang tadinya dasarnya kekeluargaan akhirnya menjelma menjadi problema
masyarakat ---------- antarnegara.
Dampak negatifnya : adanya perdagangan anak
Dampak positif : adanya upaya pemerintah di bidang sosial, yaitu
pengurusan anak terlantar, perawatan anak di Panti
Asuhan, rumah singgah untuk anak jalanan.
Dengan demikian keberadaan lembaga adopsi merupakan suatu keperluan
masyarakat yang mengandung nilai-nilai positif, walaupun seringkali timbul
problema dalam hal pengangkatan anak ini. Hal ini berangkat dari masalah
motivasi pengangkatan anak itu sendiri dengan perkembangan lebih lanjut
setelah anak itu mempunyai status anak angkat, misalnya : faktor yuridis
(berkenan dengan akibat hukum dari adopsi), faktor sosial, faktor psikologis
yaitu masalah reaksi kejiwaan yang ditimbulkan dari adopsi.

B. Perbandingan tiga sistem hukum

Adopsi menurut Hukum Barat


1. Pendahuluan :
- Dalam KUHPerdata/BW tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang adopsi, karena menurutnya anak adalah keturunan
darah.
- Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan tersendiri
tentang adopsi , dengan dikeluarkan Staatblad N0. 129 Tahun
1917, yang mengatur masalah adopsi untuk golongan
masyarakat Tionghoa ( golongan Timur Asing). Staatsblad
ini merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW, maka
untuk mengemukakan adopsi menurut versi Hukum Barat ini
yang dimaksud adalah menurut Staatsblad No. 129 Tahun
1917.

2. Siapa yang boleh mengadopsi

Pasal 5 Stbl. 129 Th 1917 :


- Sepasang suami-istri yang tidak mempunyai anak laki-laki
- Seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki
- Seorang janda yang tidak mempunyai anak sepanjang tidak ada surat
wasiat dari suami yang menyatakan tidak menghendaki mengangkat
anak.

3. Siapa yang dapat diadopsi


Pasal 6 :
- Orang Tionghoa laki-laki dan yang tidak sedang diangkat oleh
orang lain
Pasal 7 :
- Batas usia 18 th lebih muda dari suami
15 th lebih muda dari istri

4. Motif /Tujuan
Mengapa yang boleh diangkat anak laki-laki .
Hal ini berdasar dari sistem kepercayaan adat Tionghoa bahwa : anak laki-laki
untuk melanjutkan keturunan, memelihara abu leluhur, tujuan akan mendapat
anak kandung.

5. Tata cara pengangkatan anak (Pasal 8 dan 9 ) :


- persetujuan orang yang mengangkat
- Jika anak itu yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya,
maka diperlukan ijin orang tua itu, jika bapaknya sudah wafat dan
ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya
dan dari Balai Harta Peninggalan selaku wali pengawas. Jika anak
yang akan diangkat itu lahir di luar perkawinan, maka diperlukan
ijin dari orang tua yang mengakui sebagai anak.
- Jika anak yang akan diangkat itu sudah berusia 19 th, maka
diperlukan persetujuan dari anak itu sendiri.
- Jika janda yang akan mengangkat anak, maka harus ada
persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum
suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang
masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka
harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga
almarhum suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat keempat.
Persetujuan in dapat diganti dengan suatu ijin dari Pengadilan
Negeri di walayah kediaman janda tersebut.
Pasal 10 : Adopsi dilakukan dengan akta notaris.
6. Akibat Hukum
Pasal 11 : anak angkat berhak atas nama keluarga orang tua angkat
Pasal 12 : kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung
Pasal 13 ; apabila seorang janda mengangkat anak, maka Balai Harta
Peninggalan wajib mengambil tindakan yang perlu, guna
mengurus dan menyelamatkan barang kekayaan anak angkat
Pasal 14 : putusnya hubungan hukum antara anak diangkat dengan orang tua
kandung.
Pasal 15 : pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan
sendiri.
Apabila mengangkat anak perempuan atau mengangkat anak
tidak dengan akte notaris akibatnya batal dengan sendirinya.
Pengangkatan anak dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan
Pasal 5, 6,7,8,9, dan 10 ayat 2 dan 3 Staatsblad 1917 No. 129.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, pengangkatan anak versi
hukum Barat dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak Tionghoa laki-laki
oleh seorang laki-laki beristri atau pernah beristri, atau seorang janda cerai
mati, tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, baik
keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang
berakibat hukum kepada anak yang diangkat mendapat nama keluarga yang
mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus hubungan perdata dengan
keluarga asalnya, tidak mewaris dari keluarga asalnya, tetapi mewaris dari
keluarga ayah dan ibu angkatnya.
Staatblad 129 th 1917 telah mengalami perubahan dan perkembangan sejak
tahun 1963 yaitu membolehkan mengangkat anak perempuan (berdasarkan
putusan beberapa Pengadilan Negeri). Berdasarkan Penetapan PN Bandung,
No. 32 tahun1970 seorang wanita yang tidak menikah diperbolehkan untuk
mengadopsi.

Dalam perkembangannya , berdasarkan SEMA no. 6 Tahun 1983 ,


pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan Tionghoa melaui notaris
tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan. Demikian pula
berdasarkan Peraturan pemerintah RI No. 7 Tahun 1977, anak angkat dapat
diajukan untuk mendapatkan tunjangan anak bagi pegawai negeri sipil, maka
banyak permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke pengadilan negeri.

C. Adopsi menurut Hukum Adat

Pengertian Adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang memungut anak dan anak yang dipungut timbul
suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada
antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Motivasi adopsi di Indonesia menurut hukum Adat ada :


1. karena tidak mempunyai anak
2. karena belas kasihan kepada anak yang disebabkan orang tua anak
tidak mampu
3. karena kasihan yang disebabkan anak sudah tidak mempunyai orang
tua.
4. karena hanya mempunyai anak laki-laki
5. untuk menambah jumlah keluarga
6. karena faktor kepercayaan
7. untuk menyambung keturunan
8. agar anak mendapat pendidikan yang lebih baik
9. misi kemanusiaan
10. diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tuanya.
11. untuk mempererat hubungan keluarga
12. anak kandung yang berpenyakitan atau punyai anak yang sering
meninggal.
Ketentuan :
a. Di dalam hukum Adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja
yang boleh mengangkat anak dan batas usianya, kecuali perbedaan umur 15
tahun.
b. Dalam hal siapa yang dapat diadopsi, masyarakat Adat tidak membedakan
anak laki-laki atau anak perempuan. Kecuali dibeberapa daerah yang
menganut sistem garis keturunan patrilineal atau matrilineal. Batas usia di
daerah berbeda-beda : di Garut di bawah 15 th, Pontianak 40 hari sampai
dengan 5 tahun, Kendari 1 s/d 6 tahun.
c. Pengangkatan anak dari kalangan keluarga sendiri disertai penyerahan
barang magis atau uang kepada keluarga si anak (sifat hukum Adat : visual,
corak : religius magis)
d. Adopsi dalam hukum Adat harus terang ---- ( wajib dilakukan dengan
upacara Adat dengan diketahui Kepala Adat)
e. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung (untuk beberapa
daerah)
f. Hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara Adat menjadi putus
( dibeberapa daerah, mis : di Lampung, Gayo, Pulau Nias, di Bali). Di Jawa
pengangkatan anak tidak mematuskan hubungan hukum atau kekeluargaan
dengan orang tua kandung.
Dalam hal pemutusan hubungan hukum atau kekeluargaan ini di setiap
daerah berbeda-beda, dengan kata lain tidak semua daerah hukum Adat
mengenai pengangkatan anak memutuskan hubungan dengan keluarganya.
g. Hak waris , ada beberapa ketentuan yang di tiap daerah hukum Adat
berbeda-beda:
- anak angkat berhak atas harta gono-gini (harta bersama) orang tua
angkat
- anak angkat tidak mendapat waris dari orang tua kandung (mis :
Lampung Utara, Gresik)
- anak angkat mendapat dari orang tua angkat dan orang tua kandung.

D. Adopsi menurut Hukum Islam


Adopsi menurut istilah dalam ajaran Islam disebut Tabanni
1. Pengertian
Adopsi adalah pengangkatan anak yang diberlakukan sebagai anak dalam segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala
kebutuhannya, bukan diberlakukan sebagai anak kandung
sendiri .
Dengan demikian dalam hukum Islam tidak dikenal adopsi apabila pengertian
adopsi itu seperti pengertian hukum Adat atau hukum Barat . Yang dikenal
adalah adopsi/pengangkatan anak yang bersifat pengasuhan, pemberian
nafkah, pendidikan, kecintaan dan mencukupi segala kebutuhannya, dengan
tujuan agar anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. (ingat dalam Al-Qur’an kita disuruh menyantuni anak
yatim)

2. Dasar hukum
Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, artinya : “ ......... dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri,
yang demikian itu hanyalah perkataannu saja, dan Alloh
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil
pada sisi Alloh dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi ( yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dari surat Al-Ahzab tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Ajaran Islam mengenal pengangkatan anak sepanjang tidak
diangkat sebagai anak kandung ( mangapa ? ; karena anak kandung
mempunyai konsekuensi akan mewaris sebagai ahli waris dan juga akan
menghilangkan hak-hak atau memutuskan kedudukan anak dengan orang tua
kandungnya). Ajaran Islam tidak ada ketentuan mengenai pembagian waris
untuk anak angkat dan tidak mengenal pemutusan hubungan kekeluargaan
dengan orang tua kandung.
b. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu
c. Panggillah anak angkatmu menurut nama bapak
kandungnya , misal : orang tua kandung bernama Bpk. Raharjo dan nama
orang tua angkat Bpk Sukiat, maka panggilan anak tersebut Bagus bin
Raharjo.

Sedangkan hadis yang berkaitan dengan pengangkatan anak, adalah sebagaimana


dijelaskan dalam HR Bukhari dan Muslim :
Dari Abu Dzar r.a bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “ Tidak
seorangpun yang mengakui ( membangsakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia mengetahui behwa orang itu bukan ayahnya, melainkan
ia telah kufur”

Dari Saad bin Abi Waqqas r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Barang
siapa mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayahnya, padahal ia
mengetahui bahwa ia bukan ayah kandungnya, haram baginya surga”.
Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah maula Rasulullah SAW dan kami
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat : “
Panggillah mereka dengan nama ayah (kandung) mereka, maka itulah yang
lebih adil disisi Allah”, lalu Nabi bersabda :” Engkau adalah Zaid bin
Harisah”. (maula = anak angkat).

Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan anak yang


bersumber pada AL-Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia
yang diformulasikan dalam pelbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam
bentuk fiqih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan,
termasuk Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama,
memberikan pengertian anak angkat dalam Pasal 171 huruf h, anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam Pasal 171 itu hanya memberi batasan tanggungjawab sebagaimana tersebut di
atas, sedangkan hubungan nasab, wali nikah bagi anak angkat perempuan, dan hak
saling mewarisi dengan orang tua kandungnya tidak terputus.

Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi
ketentuan-ketenttuan sebagai berikut :
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandung dan keluarganya.
b. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung dari orang tua
kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam hukum Islam
tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang
dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang
tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh. Dengan
demikian Akta Kelahiran anak angkat tidak gugur atau hapus dengan
sendirinya setelah ditetapkannya Penetapan Pengangkatan Anak oleh
pengadilan agama.
c. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak
angkatnya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat mendapat wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari orang tua angkatnya dan sebaliknya orang tua
angkat mendapat 1/3 dari anak angkatnya -- Pasal 209 KHI
d. Anak angkat tidak boleh mempergunakan memakai nama orang tua
angkatnya (kecuali sebagai tanda pengenal/alamat)
e. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak
angkatnya, yang menjadi wali tetap orang tua kandungnya.
f. Anak angkat tetap bukan sebagai mahram orang tua angkatnya.

3. Pencatatan Pengangkatan Anak (yang diangkat berdasar penetapan


pengadilan agama)
Dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama memiliki
kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara
permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Produk hukum
pengadilan agama tentang pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam berbentuk “Penetapan”. Setelah mendapat “penetapan” dari
pengadilan agama, dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatat yaitu dengan
“membuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak, bahwa anak yang
bersangkutan sekarang telah menjadi anak angkat A dan B” . Dengan
demikian hak dan kewajiban pemeliharaan anak telah beralih dari orang tua
kandung ke orang tua angkatnya. Yang dimaksud catatan pinggir adalah
catatan mengenai perubahan status atas terjadinya peristiwa penting dalam
bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang
memungkinkan (dihalaman/bagian muka atau belakang akta) oleh Pejabat
Pencatatan Sipil.
Orang tua angkat sebagai pemohon dalam penetapan pengangkatan anak
wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta
Kelahiran. Apabila pemohon tidak mampu melaksanakan sendiri terhadap
pelaporan tersebut dapat dibantu oleh Instansi Pelaksana atau emminta
bantuan kepada orang lain sebagaiman ketentuan Pasal 57 UU RI Nomor 23
Tahun2006. Tenggang waktu pelaporan paling lambat 30 hari setelah
diterimanya salinan penetapan pengadilan.

E. Pengertian dan dasar hukum pengangkatan anak menurut perundang-


undangan RI
Pengangkatan anak ini termasuk dalam hukum keluarga --- bidang perkawinan.
Namun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang pengangkatan
anak. Pengertian pengangkatan anak ini dalam perundang-undangan RI ini dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa
yang dimaksud anak angkat adalah : “ Anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan penetapan
pengadilan “ .
Dalam penjelasan Pasal 47 Ayat (1) Undang - Undang RI No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, memberikan pengertian bahwa yang
dimaksud pengangkatan anak adalah: “ Perbuatan hukum untuk mengalihkan hak
anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau penetapan pengadilan”.

Hal penting mengenai pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan


(Pasal 39 UU No. 35 Th 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)
yaitu :
(1). Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundanga-undangan .
(2). Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
(2a). Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan
dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.
(3). Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat.
(4). Pengangkatan anak oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(4a). Dalam hal anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat
anak tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (4).
(5). Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat”.

Pasal 27 ayat (4 ) berbunyi : Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak
diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta
kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang
menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian

Pasal 41 UU Perlindungan Anak : “Pemerintah, Pemerintah Daerah dan


Masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak “
Pasal 41A UU Perlindungan Anak : “ Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

F. Tata cara Pengangkatan anak di Indonesia


Tata cara pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia yaitu : pengangkatan anak
secara Adat, pengangkatan anak melalui notaris, pengangkatan anak lewat
pengadilan (PN, atau PA).

Pengangkatan anak secara Adat


Dilakukan secara variasi bagi setiap daerah. Tata cara ini secara umum
dilakukan secara terang dan tunai. Terang adalah suatu prinsip legalitas
yang berarti perbuatan itu diumumkan dan dilakukan dihadapan banyak orang
dengan tujuan agar masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi pengangkatan
anak. Wujud terang yaitu degan upacara adat dengan peran serta kepala adat,
slametan dan doa yang disaksikan oleh lurah. Namun ada juga dilakukan
dengan tidak secara terang, cukup dengan penyerahan anak dari keluarga asal
kepada keluarga yang mengangkat, atau ada yang menuangkan dalam suatu
surat.
Sedangkan secara tunai berarti perbuatan itu akan selesai ketika itu juga,
tidak mungkin ditarik kembali. Wujud dilakukan secara tunai atau kontan
antara lain dengan memberikan sejumlah benda magis kepada keluarga
pemberi anak.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka dalam hal
pengangkatan anak dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak
dilakukan berdasarkan adat-istiadat setempat dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.

Pengangkatan anak melalui Notaris


Pengangkatan anak melalui notaris merupakan perintah Staatsblad 1917
Nomor 129 yaitu terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) yang mennetukan bahwa
pengangkatan anak yang dilakukan dengan cara selain dengan akta notaris
adalah batal demi hukum.

Dalam perkembangannya, pengangkatan anak harus dianggap sebagai suatu


lembaga yang menciptakan hubungan hukum yang sah bagi anak angkat
dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan penetapan
pengadilan. Dengan demikian pengangkatan anak melalui notaris sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dalam masyarakat Indonesia.

Pengangkatan Anak melalui Pengadilan


Menurut Konvensi Adopsi Den Haag Tahun 1965 (Europen Convention on the
Adoption of Children) menetapkan bahwa penetapan atau putusan pengadilan
merupakan syarat esensial bagi sahnya pengangkatan anak.
Adapun kewenangan Pengadilan Agama adalah diperuntukan pengangkatan
anak yang dilakukan baik oleh orang tua kandung/angkat dan anak yang
beragama Islam..
Sedangkan kewenangan Pengadilan Negeri diperuntukkan pengangkatan anak
yang dilakukan oleh orang tua dan anak yang beragama non muslim.
Setelah mendapatkan surat “penetapan pengangkatan anak” lalu dibawa ke
Lembaga Catatan Sipil untuk dilakukan pencatatan.

Pencatatan pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang RI No. 23 Tahun


2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pada bagian Kedelapan UU ini
mengatur mengenai : Pengangkatan anak, Pengakuan Anak, dan Pengesahan
Anak, adapun mengenai Pengangkatan Anak diatur sebagai berikut :
1. Pencatatan Pengangkatan Anak di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia diatur dalam Pasal 74 sebagai berikut :
(1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan
penetapan pengadilan di tempat tinggal pemohon
(2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling
lambat 30 hari setelah diterimanya salinan penetapan
pengadilan oleh Penduduk
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ,
Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada
Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran

2. Pencatanan Pengangkatan Anak Warga Negara Asing (WNA) di luar


Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 48
sebagai berikut :
(1) Pencatatan anak warga negara asing yang dilakukan oleh
Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Negara Indonesia wajib dicatatkan pada instansi
yang berwenang di negara setempat.
(2) Hasil pencatatan pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud pada Ayat(1) dilaporkan kepada Perwakilan
Republik Indonesia.
(3) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) tidak menyelenggarakan pencatatan Pengangkatan Anak
bagi warga negara asing, warga negara yang bersangkutan
melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia
setempat untuk mendapatkan surat keterangan
pangangkatan anak.
(4) Pengangkatan anak warga negara asing sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (3) dilaporkan oleh
Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya
paling lambat 30 hari sejak yang bersangkutan kembali ke
Republik Indonesia.
(5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4),
Instansi Pelaksana mngukuhkan Surat Keterangan
Pengangkatan Anak.

Anda mungkin juga menyukai