Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada mata kuliah:
Dosen pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 5
2022
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang ayat transaksi bisnis
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada anggota kelompok yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “Pemeriksaan Dalam Sidang Secara
Manual dan Elektronik” ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
Kelompok 5
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial memiliki kepentingan
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan kepentingan ini bisa mengarah terbentuknya
pertentangan, perselisihan, dan sengketa. Tidak menutup kemungkinan juga terdapat perbedaan-
perbedaan kepentingan antar anggotanya, bahkan perbedaan tersebut dapat menimbulkan
pertentangan hukum antara anggota-anggota masyarakat.
Apabila pertentangan ini telah muncul diantara masyarakat maka akan timbul pada suatu
perkara hukum. Setiap perkara hukum yang timbul haruslah mendapatkan penyelesaian. Maka
demi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis, penyelesaian perkara hukum yang terbaik
adalah dengan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berperkara.
Apabila tercapai mufakat dipandang telah dapat menyelesaikan perkara hukum mereka secara
damai dan kekeluargaan. Sehingga dalam kehidupan masyarakat tidak timbul pertentangan
kepentingan. Namun apabila ternyata penyelsaian perkara melalui jalan musyawarah tidak
berhasil, maka sesuai dengan prinsip negara hukum, perkara tersebut harus diselesaikan melalui
badan peradilan, salah satunya adalah melalui Pengadilan Negeri atau Peradilan Agama. Dalam
penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri atau Peradilan Agama, pihak yang merasa
kepentingannya dirugikan haruslah mengajukan gugatan terlebih dahulu.
Melaksanakan suatu pekerjaan bagi aparat Pengadilan Agama dengan menggunakan media
elektronik adalah suatu keniscayaan. Terlebih bagi hakim sangat dituntut untuk tidak gaptek ketika
membuat putusan, menginput SIPP tentang amar putusan, edoc putusan dan sebagainya. Oleh
karena itu bagi majelis hakim pengadilan agama saat ini harus mampu bekerja melayani
masyarakat di bidang hukum secara elektronik.
E-Litigasi merupakan kelanjutan dari E-Court sejak 2018 lalu untuk perkara perdata,
perdata agama, tata usaha militer, tata usaha negara dengan Perma No 1 /2019 merupakan
perubahan dari Perma 3 /2018 mengenai E-Court. E-Litigasi merupakan inovasi lebih meluas dari
sistem E-Court, yangmana E-Court melakukan administrasi pelayanan Publik pengadilan seperti
1
pendaftaran gugatan, pembayaran perkara, notifikasi secara online serta Pemanggilan (Relas
Panggilan) secara online. Sedangkan E-Litigasi dilakukan secara menyeluruh terhadap tahapan
persidangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Upaya Perdamaian atau Mediasi ?
5. Apa yang dimaksud dengan Perkara gugur, Perkara dibatalkan, Perkara Verstek ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Upaya Perdamaian atau Mediasi
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mediasi
Dalam Kamus Besar Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikut sertaan
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.1
Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa non-litugasi, salah satunya ialah melalui
Mediasi. Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Selanjutnya disebut dengan PERMA No.
1/2016) yang merupakan pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
Dalam penyelesaian sengketa, proses mediasi wajib dilakukan terlebih dahulu. Apabila tidak
menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan pasal 130
HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama
berupa wilayah privat atau perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga,
waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa
perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Mediasi yang dijalankan di
pengadilan merupakan bagian rentetan proses hukum di pengadilan, sedangkan apabila
mediasi diluar pengadian maka proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang
terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau
menghasilkan kesepakatan yang dapat di terima pihak-pihak yang bersengketa untuk
mengakhiri persengketaan.
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm.569.
3
b. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi
c. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para
pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
d. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi.
e. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan
kepada para pihak menempuh proses mediasi.
f. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada para pihak
yang bersengketa.
2
Ketentuan Pasal 24, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016
4
b. Jika mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara
tertulis persetujuan atau kesepakatan yang dicapai.
c. Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari Sidang yang telah
ditentukan untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut.
d. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk
dikuatkan dalam bentuk “Akta Perdamaian”.
e. Apabila para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam
bentuk Akta perdamaian maka harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan
atau clausula yang menyatakan perkara telah selesai.3
3
Ketentuan Pasal 27, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016
4
Ketentuan Pasal 11, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016
5
C. Jawaban Replik dan Duplik Secara Manual
Setelah pembacaan surat gugatan atau permohonan anjuran damai tetapi belum juga
berhasil, ketua majlis akan menanyakan kepada tergugat ataupun termohon, apakah ia akan
melanjutkan menjawab pernyataan penggugat dengan lisan atau tertulis. Jika akan
menjawab dengan bentuk tertulis, apakah sudah siap, atau kalau belum siap, kapan tergugat
akan siap untuk menjawab. Proses pemeriksaan inilah yang disebut dengan Replik dan
Duplik baik antara pihak penggugat dan tergugat maupun antara hakim dengan kedua belah
pihak.5
Replik yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik
diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya, dengan mematahkan alasan-
alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Setelah penggugat
mengajukan Replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya ialah Duplik, yaitu jawaban tergugat
terhadap Replik yang diajukan penggugat. Sama seperti Replik, Duplik juga dapat diajukan
dalam bentuka tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan
jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.6
Dalam prakteknya yang terjadi di Pengadilan Negeri sekarang biasanya proses Replik –
Duplik antara penggugat dan tergugat diajukan dengan bentuk tulisan, sehingga untuk
menyiapkan segala kebutuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, dengan cara
menunda sidang selama beberapa hari sampai kedua belah pihak siap dan dapat
melanjutkan persidangan.
Hal-hal yang perlu diingat dalam proses Replik- Duplik ialah sebagai berikut28:
1. Tergugat selalu mempunyai hak bicara terakhir.
2. Pertanyaan hakim kepada kedua belah pihak hendaklah terarah, hanya menanyakan
yang berkaitan dengan hukum, begitupula Replik-Duplik yang diajukan oleh
penggugat dan tergugat.
3. Semua jawaban atau pertanyaan dari kedua belah pihak atau dari hakim harus
melalui izin dari ketua majlis.
5
Roihan A Rasyid Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hlm.130 Jakarta : CV. Rajawali, 2001
6
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, hlm.72 Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000
6
4. Pertanyaan dari hakim kepada penggugat dan terguggat yang bersifat umum selalu
oleh ketua majlis.
Jawaban atau pertanyaan yang relevan dan terarah misalnya dalam perkara gugatan
pelanggaran ta’liq talaq, tentunya hal-hal yang berkaitan dengan kapan kedua belah pihak
kawin, dimana melangsungkan perkawinan, dimana kutipan akta nikahnya, apakah pihak
suami mengucapkan ta’liq talaq pada saat akad nikah, bagaimana bunyi lafaz ta’liq talaq
yang diucapkan, mana syarat ta’liq yang telah dilanggar oleh suami. Hal-hal yang di luar
itu mungkin tidak relevan atau kurang penting untuk dipertanyakan.
Kemudian ketika perkara waris misalnya, maka pertanyaan yang relevan tentunya
tentang siapa yang wafat, kapan wafatnya, dimana wafatnya, ketika wafat apakah dalam
kondisi Islam atau tidak, siapa sajakah keluarga si mayyit yang terdekat yang ada dan hidup
ketika si mayyit wafat. Apa sajakah harta peninggalan si mayyit ketika wafat, apa ada biaya
penguburan si mayyit yang perlu dibayarkan dari harta peninggalan, apakah ada utang si
mayyit yang belum terbayar baik sesama manusia maupun kepada Allah, apakah ada wasiat
yang disampaikan oleh mayyit, kalau ada apa wasiatnya, apakah tidak melampaui sepertiga
harta peninggalan. Apakah wasiat itu kepada ahli waris sendiri atau kepada orang lain.
Apakah harta yang dimiliki mayyit itu harta individual ataukah perserikatan.
D. Eksepsi
Eksepsi merupakan bagian dari jawaban Tergugat terhadap gugatan yang diajukan oleh
Penggugat. Eksepsi pada pokoknya membuat bantahan – bantahan tertentu adalah suatu
tangkisan atau sanggahan yang tidak berkaitan langsung pokok perkara. Eksepsi pada
dasarnya mempersoalkan keabsahan formal dari gugatan Penggugat. Pada
perkembangannya, ternyata eksepsi tidak menyangkut masalah keabsahan formal belaka,
namun menyangkut pokok perkara yang menentukan dapat tidaknya pemeriksaan pokok
perkara dilanjutkan. Eksepsi secara garis besarnya mencakup eksepsi kewenangan
mengadili dan eksepsi selain kewenangan mengadili. Kedua bentuk eksepsi tersebut masih
terbagi atas beberapa jenis eksepsi yang dikenal dalam teori dan praktek hukum acara
perdata.
7
E. Gugatan Balik (Gugat Rekonvensi)
Dalam pasal 132a dan b HIR memberi pengertian bahwa gugatan rekovensi ialah
gugatan yang diajukan oleh tergugat dalam gugat konvensi sebagai gugatan balasan atas
gugatan penggugat kepadanya pada saat proses pemeriksaan gugatan. Dalam hal ini
seseorang yang awalnya berkedudukan sebagai penggugat dalam konvensi menjadi
tergugat dalam rekonvensi, sedangkan tergugat dalam konvensi kedudukannya merangkap
sebagai penggugat dalam gugat rekonvensi.
Menurut Soepomo, tujuan adanya gugat rekovensi ini untuk mempermudah prosedur
karena gugat konvensi dan rekonvensi ini diperiksa dan diputus bersama dalam satu proses
dan dituangkan dalam satu putusan. Selain itu juga dapat menghemat waktu dan biaya bagi
pihak yang berperkara, serta dapat terhindar dari kemungkinan adanya putusan yang saling
bertentangan.7
Pada dasarnya dalam Undang-Undang tidak mengatur bahwa antara tuntutan penggugat
konvensi dan tuntutan rekonvensi harus memiliki hubungan yang erat. Namun dalam
prakteknya seringkali dikaitkan bahwa dasar tuntutan rekonvensi harus mempunyai
hubungan dengan tuntutan konvensi. Hal tersebut didasarkan agar tujuan gugat rekonvensi
dapat terealisasikan dengan baik, jadi sedapat mungkin harus ada konektifitas antara
keduanya sehingga dapat diselesaikan secara bersamaan.
Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat baik tertulis
maupun lisan. Jika jawab menjawab antara penggugat dan tergugat telah selesai dan
dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak diperbolehkan mengajukan gugatan
rekonvensi. Selanjutnya menurut pasal 132a ayat 2 HIR telah ditentukan bahwasanya jika
gugatan rekonvensi dalam persidangan tingkat pertama tidak diajukan, maka dalam tingkat
banding tidak dapat diajukan lagi.
Disini perlu digaris bawahi bahwa gugatan rekonvensi ini hanya berlaku dalam perkara
yang terdiri dari dua pihak yang berlawanan, oleh karena itu dalam permohonan (voluntria)
penuh tidak berlaku gugat balik (rekonvensi).
Gugatan rekonvensi dalam Pasal 244 Rv adalah gugatan balik yang diajukan tergugat
terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.
7
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan),
hlm. 468-473 Jakarta : SinarGrafika, 2008
8
Syarat materiil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan materi
gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak
mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi, ketentuan Pasal 132 huruf a hanya
berisi penegasan, yaitu:
1. Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi
2. Tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas
yang substantial
Adapun larangan rekonvensi dalam Pasal 132a ayat (1) Herzeine Inlandsch Reglement
(“HIR”), mengatur bahwa tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi dalam setiap
perkara. Akan tetapi, ternyata pasal tersebut mencantumkan pengecualian, berupa larangan
mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara tertentu.
Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:
1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak
berdasarkan status kualitas.
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan
pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah
bertindak sebagai penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal).
Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang
sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam ini
undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan rekonvensi
kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C secara tersendiri
kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.
2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara.
Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 2 HIR, namun larangan dalam pasal
ini hanya dapat diterapkan sepanjang mengenai pelanggaran yurisdiksi absolut, tetapi
dapat ditolerir apabila yang dilanggar adalah kompetensi relatif. Contohnya, A
menggugat B atas sengketa jual beli tanah. Terhadap gugatan tersebut, B mengajukan
gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat
dibenarkan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
9
1989 tentang Peradilan Agama, sengketa hibah bagi yang beragama Islam menjadi
yurisdiksi absolut lingkungan peradilan agama.
Gugatan rekonvensi yang melanggar kompetensi relatif dapat dibenarkan demi tegaknya
asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Contohnya, A berdomisili di
Bogor mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung kepada B yang bertempat
tinggal di Bandung. Dalam kasus tersebut, B dibenarkan mengajukan gugatan
rekonvensi kepada A meskipun hal ini melanggar kompetensi relatif berdasar asas actor
sequitur forum rei Pasal 118 ayat (1) HIR, yang menggariskan, gugatan harus diajukan
di daerah hukum Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Berarti secara
konvensional, jika B hendak menggugat A sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1)
HIR, harus diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Akan tetapi untuk tegaknya
pelaksanaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, B dibenarkan mengajukan
gugatan rekonvensi di Pengadilan Negeri Bandung, meskipun terjadi pelanggaran
yurisdiksi relatif.
3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi.
Larangan gugatan rekonvensi yang menyangkut sengketa perlawanan terhadap eksekusi
putusan, contohnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan peradilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut, pihak
terlawan tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. Alasan larangan tersebut,
gugatan pelawan terhadap putusan eksekusi dianggap sebagai perkara yang sudah
selesai diputus persengketaannya.
Tetapi Pasal 379 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), menyatakan tata cara
pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan,
baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak ketiga) atau partay
verzet (perlawanan para pihak), hal ini berarti hukum memperbolehkan terlawan
mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi.
Sehubungan adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke 3 (tiga) HIR
dengan Pala 379 Rv, dalam praktik terdapat acuan penerapan yaitu terhadap perlawanan
berbentuk derden verzet yang mengandung dalil dan argumentasi lain yang masih
berkaitan langsung dengan pokok materi yang dilawan, secara kasuistik dimungkinkan
mengajukan gugatan rekonvensi. Akan tetapi, apabila gugatan perlawanan
10
berbentuk partay verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi
dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.
4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding.
Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Pasal 132 a ayat (2) HIR
mengatur bahwa apabila dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan
Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam
tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Sehubungan dengan larangan ini, apabila tergugat
mempunyai tuntutan kepada penggugat, tetapi lalai mengajukannya sebagai gugatan
rekonvensi pada saat proses pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar
yang harus ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan perkara biasa.
5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi.
Tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang secara tegas pengajuan
gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi. Dengan demikian, berdasarkan prinsip
penafsiran a contrario boleh mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi,
karena undang-undang sendiri tidak tegas melarangnya. Akan tetapi, fungsi Mahkamah
Agung sebagai peradilan kasasi, bukan peradilan judex facti yang berwenang
memeriksa dan menilai permasalahan fakta (feitelijke kwesties). Sehingga tidak
dibenarkan dibenarkan mengajukan rekonvensi kepada Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi, meskipun tidak ada ketentuan yang melarangnya. Larangan tentang itu
dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung No. 209 K/Sip/1970 yang mengatakan
gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi tidak dapat diajukan.8
Mencabut gugatan adalah tindakan menarik kembali suatu gugatan yang telah
didaftarkan dikepaniteraan pengadilan agama. Tindakan ini banyak dilakukan dalam
praktek dari berbagai macam alasan. Umpamanya gugatan telah didaftarkan di
kepaniteraan, pengadilan agama penggugat mengetahui bahwa tergugat tidak hadir namun
penggugat mencabut gugatannya.9 HIR dan RBG tidak ada yang mengatur masalah
8
Larangan Mengajukan Gugatan Rekonvensi (hukumacaraperdata.com)
9
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, Edisi 3, 2004),
11
pencabutan gugatan, akan tetapi diatur dalam RV. Oleh karena itu dalam prakteknya
gugatan dapat dicabut kembali, selama tergugat belum mengajukan jawabannya. Apabila
tergugat telah mengajukan jawabannya, maka pencabutan itu dapat dibenarkan apabila
pihak tergugat telah menyetujuinya dengan dicabutnya gugatan maka keadaan kembali
seperti semula sebelum ada gugatan menurut RV pencabutan itu dapat dilakukan:
a) Sebelum perkara diperiksa di persidangan atau
b) Sebelum tergugat memberikan jawabannya atau
c) Setelah diberikan jawaban oleh tergugat
Pencabutan gugatan diperkenankan, asal diajukan pada hari sidang pertama dimana para
pihak hadir, tetapi hal tersebut harus dinyatakan pada pihak lawan guna pembelaan
kepentingannya. Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa tetapi
jika perkara telah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawabannya, maka pencabutan
perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat. Apabila perkara belum ditetapkan hari
sidangnya maka gugatan dapat dicabut dengan surat. Pencabutan dapat pula dilakukan
dengan lisan di muka sidang yang dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila perkara
dicabut maka hakim membuat penerapan bahwa perkara telah dicabut. Pencabutan tersebut
dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom keterangan, yaitu
bahwa perkara dicabut pada tanggal berapa.10
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, Edisi 7, 2006), hlm. 104
12
a. Penggugat memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
b. Surat pencabutan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama.
c. Panitera mengeluarkan akta pencabutan perkara tersebut.
a. Ketua memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester
Induk Perkara Perdata Gugatan/Permohonan dan menyelesaikan administarasi
yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.11
3. Pencabutan perkara dalam sidang yang tidak dihadiri tergugat. Dalam kasus ini:
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya.
b. Majelis hakim2 memberikan vonis pencabutan dalam bentuk penetapan
(beschikking).
c. Majelis hakim memerintahkan kepada juru sita untuk menyampaikan salinan
penetapan tersebut kepada tergugat.
d. Hakim memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku
Regester Induk Perkara Perdata Gugatan atau Permohonan.
4. Pencabutan perkara dalam sidang yang dihadiri tergugat dan tergugat belum
memberikan jawaban. Dalam kasus ini:
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan
jawabannya. Majelis hakim memberikan vonis pencabutan dalam bentuk
penetapan (beschikking).
b. Majelis hakim memberikan vonis pencabutan dalam bentuk penetapan
(beschikking).
5. Pencabutan perkara setelah tergugat memberikan jawabannya. Dalam kasus ini,
apabila tergugat menyetujuinya:
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya.
b. Setelah penggugat menyatakan mencabut gugatannya, hakim segera menanyakan
pendapat tergugat. Namun tergugat dapat meminta waktu untuk berpikir dengan
tidak segera memberi jawabannya
c. Apabila tergugat menyetujui pencabutan perkara tersebut, majelis hakim
memberikan vonis dalam bentuk penetapan (beschikking) Akan tetapi, menurut
M. Yahya Harahap. “Karena tergugat telah menyetujui pencabutan perkara,
11
R.Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, Cet. Ke-3, 1989),hlm. 156
13
berarti penyelesaian perkara bersifatfinal. Sedangkan penyelesaian perkara
berdasarkan persetujuan(agreement), maka vonisnya, lebih tepat bersifat putusan.
Karena pencabutan seperti ini tunduk kepada ketentuan Pasal 1338 erdata, maka
kesepakatan para pihak tersebut merupakan undang bagi mereka).
d. Majelis hakim memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku
Regester Induk Perkara Perdata Gugatan atau Permohonan.
e. Pencabutan tersebut bersifat final, dengan pengertian bahwa sengketa di antara
penggugat dan tergugat berakhir.
6. Pencabutan perkara setelah tergugat memberikan jawabannya.
Pada kasus ini, apabila tergugat tidak menyetujui pencabutan perkara tersebut:
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya;
b. Setelah penggugat menyatakan mencabut gugatannya, hakim segera menanyakan
pendapat tergugat. Namun tergugat dapat meminta waktu untuk berpikir dengan
tidak segera memberi jawabannya.
c. Apabila tergugat tidak menyetujui permohonan pencabutan gugatan perkara
tersebut, pemeriksaan perkara harus dilanjutkan.
d. Hakim harus memberikan putusan sesuai ketentuan yang berlaku.12
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses berperkara di
pengadilan adalah pencabutan gugatan, pihak penggugat mencabut gugatannya sewaktu
atau selama pemeriksaan berlangsung. Alasan pencabutan sangat bervariasi. Mungkin
disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau
barang kali dalil gugatan bertentangan dengan hukum dan terjadi perdamaian di antara
kedua belah pihak.13
Sedangkan menurut, Tarsi Hawi bahwasannya pencabutan perkara sering dilakukan
oleh berbagai sebab, adakalanya pencabutan itu karena para pihak ingin menyelesaikan
perkaranya dengan damai, atau kepentingan penggugat telah terpenuhi atau penggugat
12
Artikel Tarsi Hawi, Pencabutan Perkara di Pengadilan Agama, (Banjarmasin: Bina Cipta, Cet. ke-3, 1987 ), hlm.150
13
Yahya Harap, Hukum Acara Perdata ,(Jakarta: Sinar Grafika,Cet. Ke-2 , 2001), hlm. 81
14
ingin memperbaiki gugatannya. tetapi untuk yang terakhir ini tidak berlaku dalam hal
pencabutan yang dilakukan penggugat dalam persidangan atas persetujuan tergugat.
Tata cara pencabutan gugatan berpedoman pada ketentuan Pasal 271 -272 Rv, mengenai
beberapa hal tentang pencabutan gugatan yaitu:
a. Pihak yang berhak melakukan pencabutan gugatan Pihak yang berhak melakukan
pencabutan gugatan adalah penggugat sendiri pribadi, hal ini dikarenakan
penggugat sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam kasus
yang bersangkutan. Selain penggugat sendiri, pihak lain adalah kuasa yang ditunjuk
oleh penggugat. penggugat memberikan kuasa kepada pihak lain dengan surat
kuasa khusus sesuai pasal 123 HIR dan di dalam surat kuasa tersebut dengan tegas
diberi penugasan untuk mencabut gugatan.
b. Pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa dilakukan dengan surat
pencabutan gugatan atas perkara yang belum diperiksa mutlak menjadi hak
penggugat dan tidak memerlukan dari persetujuan tergugat. Pencabutan dilakukan
dengan surat pencabutan gugatan yang ditunjukkan dan disamakan kepada
Pengadilan Agama tingkat pertama.
c. Pencabutan gugatan atas perkara yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang.
Apabila pencabutan gugatan dilakukan pada saat pemeriksaan perkara sudah
berlangsung, maka pencabutan gugatan tersebut harus mendapatkan persetujuan
dari tergugat. Majelis hakim akan menanyakan pendapat tergugat mengenai
pencabutan gugatan tersebut. Apabila tergugat menolak pencabutan gugatan, maka
hakim akan menyampaikan pernyataan dalam sidang untuk melanjutkan
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memerintahkan panitera
untuk mencatat penolakan dalam berita acara sidang, sebagai bukti otentik atas
penolakan tersebut. Apabila tergugat menyetujui pencabutan maka majelis hakim
akan menerbitkan penetapan atas pencabutan tersebut. dengan demikian sengketa
15
antara penggugat dan tergugat telah selesai dan Majelis hakim memerintahkan
pencoretan perkara dari register atas pencabutan gugatan.14
G. Perubahan gugatan
Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam hal
mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini, baik
hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk mengubah
gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai hukum
yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai perubahan
gugatan tidak diatur dalam Herziene Indonesich Reglement (“HIR”) maupun
Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”), namun diatur dalam Pasal 127 Reglement op
de Rechtsvordering (“Rv”), yang menyatakan bahwa: “Penggugat berhak untuk mengubah
atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa penggugat memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun hanya yang
bersifat mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau
peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat merugikan
kepentingan tergugat. Dengan kata lain, perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak
merubah materi gugatan, melainkan hanya segi formal dari gugatan (misalnya: perubahan
atau penambahan alamat penggugat, nama atau alias dari penggugat atau tergugat).
Peraturan mengenai syarat mengajukan perubahan gugatan tidak terdapat dalam Pasal
127 Rv. Namun, dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (“MA”),
terdapat syarat formil untuk mengajukan perubahan gugatan, dimana hal tersebut sangat
penting diterapkan dalam praktik peradilan. Dalam buku pedoman MA, dijelaskan
mengenai syarat formil dalam mengajukan perubahan gugatan, yaitu:
A. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat Syarat formil ini,
ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang menyatakan:
1. diajukan pada hari sidang pertama, dan
2. dihadiri oleh para pihak
14
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet. Ke- 2, 2001), hlm. 87
16
Dari ketentuan tersebut, penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan
gugatan.
1. di luar hari sidang, dan
2. pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang,
meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah,
sedangkan tergugat atau ku asanya yang sah datang, maka gugatan digugur kan dan
15
Chatib Rasyid, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta : UII Press,
2009), 81
17
penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan gu gatan
tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telab dilakukan
sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.
Dalam hal-hal yang tertentu, misalnya apabila penggugat tempat tinggalnya jauh atau ia
benar mengirim kuasanya, namun surat kuasanya tidak memenuhi syarat, Hakim boleh
mengundurkan dan menyuruh memanggil penggugat sekali lagi. Kepada pihak yang
datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil
dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga penggugat tidak hadir
lagi, perkara nya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR).
Perkara dibatalkan
Syarat sah perjanjian dimaksud diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yakni:
Angka 1 dan 2 merupakan syarat yang bersifat subjektif, sedangkan angka 3 dan 4
merupakan syarat yang bersifat Objektif. Keempat hal tersebut merupakam syarat sahnya
suatu perjanjian yang memiliki akibat hukum jika salah satu atau lebih di antaranya tidak
terpenuhi, akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Misalnya dalam perjanjian perdamaian terdapat kesepakatan yang mengandung
pemaksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1859 KUHPer, maka perjanjian perdamaian tersebut dapat dimohonkan ke
pengadilan untuk dibatalkan. Atau semisal salah satu pihak dalam perjanjian belum cukup
umur berdasarkan Pasal 330 KUHPer adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan belum kawin. Maka salah satu pihak bisa mengajukan pembatalan perjanjian
dengan dasar pihak lain dalam perjanjian belum cakap hukum.
18
Sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, semisal dikarenakan
tidak ada unsur sebab yang halal dalam perjanjian dan bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Maka perjanjian tersebut batal demi hukum
sejak awal artinya dari semula, pembuatan perjanjian itu sendiri sudah dianggap tidak
pernah ada atau tidak pernah dilahirkan.
Perkara Verstek
Dalam pasal 125 ayat (1) HIR Tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang
pertama yang telah ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban. Tergugat atau para
tergugat tersebut tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak
mengirimkan jawaban. Tergugar atau para tergugat telah dipanggil deangan patut. Gugatan
beralasan dan berdasarkan hukum. Dalam hal ini tergugat tidak hadir pada panggilan
sidang pertama dan tidak mengirimkan kuasanya yang sah tetapi ia mengajukan jawaban
tertulis berpa tangkisan tentang pengadilan negeri tidak berwenang mengadili maka
perkara diputus berdasarkan pasal 125 HIR.
Dalam perkara perceraian yang tergugatnya tidak diketaui tempat tinggalnya atau tidak
mempunya kediaman yant tetap, harus diperhatikan dilakukan dengan patut, yaitu dengan
cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih
juga tidak datang, maka diumumkan memalui satu atau beberapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh pengadilan yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan
tenggang waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan pengumuman kedua selanjutnya
tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 bulan (pasal 27 peraturan pemerintah No 9 tahun 1975).
19
1) Mediasi Secara Elektronik
Mediasi Elektronik adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator yang dilakukan
dengan dukungan teknologi informasi dan komunikas, seperti yang tertera pada Perma No.
3 Tahun 2022.
Mediasi Elektronik merupakan alternatif tata cara mediasi di pengadilan dalam hal Para
Pihak menghendaki melakukan proses Mediasi dengan menggunakan sarana elektronik.
16
Ketentuan Pasal 4, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
17
Ketentuan Pasal 8, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
18
Ketentuan Pasal 9, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
20
Elektronik, Mediator dapat bertemu secara tatap muka dengan Para Pihak pada
kesempatan pertama
4. Penentuan Aplikasi Mediasi Elektronik19
Mediator mengajukan usulan kepada Para Pihak untuk menentukan Aplikasi yang
dapat digunakan dalam pertemuan dan pengiriman Dokumen Elektronik. Para Pihak
wajib mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, dan kemudahan dalam penggunaan
serta pembiayaan Aplikasi yang dipilih. Penentuan Aplikasi oleh Para Pihak
dituangkan di dalam persetujuan tertulis.
5. Ruang Virtual Penyelenggaraan Mediasi Elektronik20
Pertemuan Mediasi Elektronik diselenggarakan di ruang virtual yang ada dalam
Apliksi yang telah disepakati oleh Para Pihak. Ruang Virtual Mediasi Elektronik
disediakan oleh Mediator. Pembiayaan Aplikasi dalam hal penyediaan ruang virtual
ditanggung oleh Para Pihak
6. Penyampaian Resume Perkara E-Mediasi21
Dalam hal Para Pihak sejak awal berperkara beracara secara elektronik, Para Pihak
menyampaikan resume perkara kepada Mediator secara elektronik melalui Sistem
Informasi Pengadilan. Dalam hal Para Pihak tidak beracara secara elektronik, dan
memilih Mediasi Elektronik, Para Pihak menyampaikan resume perkara kepada
Mediator secara elektronik.
7. Pertemuan Mediasi Elektronik
Menentukan jadwal pertemuan Mediasi Elektronik setelah mendengar usulan Para
Pihak. Pada setiap pertemuan Mediasi Elektronik, Mediator harus memastikan
kesesuaian data pihak yang hadir dengan identitas Para Pihak dan melakukan
konfirmasi kepada pihak lainnya.
Mediator dan Para Pihak harus menjaga kerahasiaan terhadap hal yang terjadi
termasuk dokumen yang dibagikan dalam pertemuan Mediasi Elektronik. Mediator dan
Para Pihak dilarang melakukan pengambilan foto dan perekaman secara audio atau
audio visual selama pertemuan Mediasi Elektronik.
19
Ketentuan Pasal 10, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
20
Ketentuan Pasal 11, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
21
Ketentuan Pasal 14, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
21
8. Penyampaian Hasil Mediasi22
Mediator menyampaikan pernyataan Mediasi berhasil/tidak berhasil kepada
majelis pemeriksa secara elektronik melalui Sistem Informasi Pengadilan.
9. Penandatanganan Kesepakatan Perdamaian23
Dalam hal Para Pihak berhasil mencapai perdamaian Mediasi secara Elektronik,
penyusunan rancangan kesepakatan perdamaian dilakukan oleh Para Pihak dengan
bantuan Mediator melalui sarana elektronik.
Penandatanganan Kesepakatan Perdamaian oleh Para Pihak dan Mediator dapat
dilakukan secara elektronik dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik. Dalam
hal Para Pihak tidak memiliki Tanda Tangan Elektronik yang tervalidasi,
penandatanganan kesepakatan perdamaian dapat dilakukan secara manual dalam
pertemuan tatap muka antara Para Pihak dengan Mediator.
22
Ketentuan Pasal 23, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
23
Ketentuan Pasal 24, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2022
22
namun apabila disertai alasan yang sah menurut hukum maka sidang dapat ditunda
berikutnya.
Setelah menerima dokumen elektronik yang dikirim pleh para pihak majelis hakim
memeriksa dokemen tersebut melalui e court dengan meng-klik fasilitas yang ada sebagai
tanda dokumen telah diterima dan telah terverifikasi oleh ketua majelis. Dokemen
elektronik yang belum diverifikasi oleh Majelis Hakim tidak dapat dilihat atau diterima
oleh pihak lawan. Setelah majelis hakim selesai memeriksa dan memverifikasi dokumen
tersebut, melalui menu yang telah tersedia pada e court maka dokumen tersebut akan
terkirim kepada pihak lawan seiring dengan majelis hakim menutup serta menetapkan
tundaan persidangan. Panitera sidang mempunyai tugas mengunduh (download) jawaban
yang diajukan oleh Tergugat kemudian menyertakan jawaban tersebut pada berkas perkara
yang bersangkutan. Panitera sidang juga wajib mencatat semua aktifitas persidangan secara
elektronik pada Berita Acara Sidang secara Elektronik dan mencetaknya untuk masuk
dalam berkas.
23
terhadap saksi atau ahli yang akan menyampaikan keterangan secara telecofrence tersebut.
Biaya yang diperlukan untuk pelayanan sidang secara virtual ini dibebankan kepada pihak
yang mengajukan pemeriksaan saksi atau ahli secara elektronik dimaksud. Hakim dan
Panitera Pengganti yang menyaksikan pemeriksaan melalui telekoncrence tersebut tidak
perlu membuat berita acara sidang.
Jika pada bagian akhir pembuktian diperlukan adanya sidang pemeriksaan setempat,
maka sidang pemeriksaan setempat (descente) dapat dihadiri oleh para pihak. Penetapan
Ketua Majelis dan pembayaran biaya untuk sidang pemeriksaan setempat dilakukan pada
saat sidang pembuktian yang dihadiri oleh para pihak. Untuk sidang discente dilakukan
sesuai hukum acara yang berlaku (Pasal 153 HIR) dan hal ini tidak diatur secara
elektronik24.
24
Amran Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenada, Cet. I, Jkt, 2019. H. 99
25
Amran Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenada, Cet. I, Jkt, 2019. H. 101
24
pembacaan putusan atau penetapan yang demikian dianggap telah dihadiri oleh para pihak
dan telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Pengadilan dapat memberikan salinan putusan atau penetapan baik dalam bentuk cetak
maupun elektronik. Penerbitan salinan putusan atau penetapan tersebut dikenai biaya
PNBP yang dapat disetorkan melalui elektronik. Salinan putusan atau penetapan tersebut
dituangkan dalam bentuk dokemen elektronik yang dibubuhi tandatangan elektronik
panitera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan
transaksi elektronik.
25
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam pemeriksaan dalam baik secara manual maupun elektronik terdapat beberapa
tahapan diantaranya upaya perdamaian atau mediasi, jawaban replik dan duplik, eksepsi,
rekonvensi, pencabutan dan perubahan gugatan, perkara gugur, perkara dibatalkan, dan perkara
verstek.
E-litigasi dalam menangani perkara mulai dari tahap pemanggilan, tahap persidangan
upaya damai (mediasi), tahap jawab menjawab, tahap pembuktian, tahap kesimpulan dan tahap
pembacaan putusan secara elektronik.
B. Saran
Demikian makalah tentang Pemeriksaan dalam Sidang Secara Manual dan Secara
Elektronik dan berbagai hal yang berhubungan dengannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca. Besar harapan kami agar dosen maupun sahabat memberikan saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan kita bersama.
26
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rasyid, Roihan A. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : CV. Rajawali.
Syahrani, Riduan. 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.
Harahap, Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan), Jakarta : SinarGrafika.
Suadi, Arman. 2019. Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenada, Cet. I, Jakarta.
Rasyid, Chatib. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,
Yogyakarta : UII Press.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke- 2, 2001.
Subekti, R. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, Cet. Ke-3.
Hawi, Tarsi. 1987. Pencabutan Perkara di Pengadilan Agama, Banjarmasin: Bina Cipta, Cet. Ke-
3.
27