Anda di halaman 1dari 22

Kelompok 6

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah : Pengantar Hukum Bisnis
Dosen : Ramadhani Alfin Habibie, M.H

Disusun Oleh

Alya L
2212130036
Maulida
2212130031
Ahmad Sihabuddin
2212130037

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
TAHUN 2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kesempatan
sertakemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
waktu yang di tentukan. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di dunia dan akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas putaran kedua Mata kuliah Pengantar Hukum Bisnis dengan judul
“Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis”.
Kami selaku penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar
makalah ini nantinya bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian,
apabila ada kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat, Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Palangkaraya, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................II


DAFTAR ISI...................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................2
D. Metode penulisan............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................3
A. Pengertian Sengketa Bisnis.................................................................3
B. Dasar Hukum Sangketa Bisnis............................................................4
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Litigasi.......................................7
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Non Litigasi..............................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................17
A. Kesimpulan ......................................................................................17
B. Saran.................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di zaman modern seperti saat ini bangsa Indonesia banyak mengalami
berbagai polemic yang beredar di dalam masyarakat yang menimbulkan suatu
pertentang bahkan sampai menimbulkan perikaian diantara masyarakat.
Pertikaianyang ada muncul dari berbagai masalah yang biasanya timbul karena
perbedaan pendapat atau paham yang mereka anut. Pertikaian bermula dari suatu
persoalanyang kecil karena tidak cepat diselesaikan maka persoalan tersebut
menjadi besar.Persoalan ini sebaiknya cepat diselesaikan agar tidak menjadi besar.
Di dalam suatu pertikaian biasanya memerlukan perantara atau biasa disebut
pihak ketiga yangdapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut.Banyak cara
menyelesaikan suatu pertikaian diantaranya yaitu dengan Negosiasi, Mediasi, dan
Arbitrase. Ketiga cara penyelesaian ini bisa digunakan agar pertikaian dapat
segera teratasi.bermula dari penyelesaian dengan membicarakan baik-baik
diantara kedua pihak yang bertikai, berlanjut bila pertikaian tidak
dapatdiselesaikan diantara mereka maka dibutuhkan pihak ketiga yaitu sebagai
mediasi,selanjutnya jika tidak dapat melalui mediasi maka dibutuhkan pihak yang
tegasuntuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika tidak dapat diselesaikan
jugamaka membutuhkan badan hokum seperti pengadilan untuk menyelesaikan
masalahtersebut, cara ini bisa disebut dengan Ligitasi. Secara keseluruhan cara-
cara tersebut dapat digunakan sehingga pertikaian dapat terselesaikan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Itu Sengketa Bisnis?
2. Apa Dasar hukum sangketa Bisnis?
3. Apa Pengertian Dari Penyelesaian Sengketa Litigasi?
4. Apa Pengertian Dari Penyelesaian Sengketa Non Litigasi?

iv
C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian dari Sengketa Bisnis


2. Untuk Mengetahui dasar hukum sangketa Bisnis
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Penyelesaian Sengketa Litigasi
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Penyelesaian Sengketa Non
Litigasi

D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan di dalam pembuatan makalah ini adalah
library and google research.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SENGKETA BISNIS

Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton “a


commercial disputes is one which arises during the course of the exchange
or transaction processis central to market economy”. Dalam kamus
Bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antar kelompok atau organisasi
terhadap satu objek permasalahan.

Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara


individu–individu atau kelompok–kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antarasatu dngan yang lain.

Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak


ataulebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara
keduanya.

Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah


perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi
hukum bagi salah satu diantara keduanya. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis.
1

Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak


mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihakyang terlibat.
Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yangmelatar
1 Academia.edu, Penyelesaian Sengketa Bisnis

vi
belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para
pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam
berbagaimacam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa.

B. DASAR HUKUM SANGKETA BISNIS


Pasal 56-65 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung,Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 7 Mei
1996 tentang petunjuk permohonan pemeriksaan sangketa wenang.

Umum

-Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa
tentang kewenangan mengadili : antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang
satu dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain; antara dua
Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang
berlainan dari Lingkungan Peradilan yang sama; antara dua Pengadilan Tingkat
Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan Peradilan
yang berlainan.

-Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :

jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara


yang sama;jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak
berwenang mengadili perkara yang sama.

Pengajuan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili dalam


Perkara Perdata

-Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili


dalam perkara perdata, diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Agung
disertai pendapat dan alasannya oleh:

a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;

b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.

vii
-Ketua Pengadilan karena jabatannya, mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus sengketa
Kewenangan mengadili. Jika yang mengajukan pihak berperkara, permohonan
diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama

-Permohonan sengketa kewenangan mengadili yang diajukan oleh pihak


berperkara, dikenakan biaya yang besarnya ditaksir oleh Ketua Pengadilan, dan
biaya pemeriksaan di Mahkamah Agung.

-Permohonan sengketa kewenangan mengadili yang diajukan oleh Ketua


Pengadilan tidak dikenakan biaya perkara.

-Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam buku daftar


sengketa tentang kewenangan mengadili perkara perdata dan atas perintah
Ketua Mahkamah Agung mengirimkan salinannya kepada pihak lawan yang
berperkara dengan pemberitahuan bahwa ia dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan jawaban
tertulis kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasan- alasannya.

-apabila permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan


mengadili telah diajukan oleh pihak berperkara, atau diajukan oleh Ketua
Pengadilan kerena jabatannya, maka Pengadilan harus menunda pemeriksaan
perkaranya tersebut yang dituangkan dalam bentuk "PENETAPAN", sampai
sengketa kewenangan mengadili tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.

-Pengadilan yang telah menunda pemeriksaan karena adanya sengketa


kewenangan mengadili, harus mengirimkan salinan "PENETAPAN" penundaan
tersebut kepada Pengadilan lain yang mengadili perkara yang sama;

-Pengadilan lain yang menerima salinan "PENETAPAN" penundaan tersebut,


harus menunda pemeriksaan perkara di maksud sampai sengketa kewenangan
mengadili tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.

-Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada :

viii
para pihak melalui Ketua Pengadilan; Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pengajuan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili dalam Perkara


Pidana

-Permohonan untuk memeriksa dan memutuskan sengketa kewenangan


megadili perkara pidana, diajukan secara tertulis oleh Penuntut Umum atau
terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.

-Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58 diajukan oleh


Penuntut Umum maka surat permohonan dan berkas perkaranya dikirimkan oleh
Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung, sedangkan salinannya dikirimkan
kepada Jaksa Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejaksaan
lain serta kepada terdakwa.

-Penuntut Umum pada Kejaksaan lain, demikian pula terdakwa selambat-


lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyampaikan pendapat masing-
masing kepada Mahkamah Agung.

-Apabila permohonan diajukan oleh terdakwa, maka surat permohonannya


diajukan melalui Penuntut Umum yang bersangkutan, yang selanjutnya
meneruskan permohonan tersebut beserta pendapat dan berkas perkaranya kepada
Mahkamah Agung.

-Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) mengirimkan salinan


surat permohonan dan pendapatnya kepada Penuntut Umum lainnya.

-Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2) mengirimkan


pendapatnya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah menerima salinan permohonan tersebut.

-Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1) secepat-cepatnya


menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada para Ketua Pengadilan
yang memutus perkara tersebut.

ix
-Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan perkara oleh
Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai sengketa tersebut diputus oleh
Mahkamah Agung.

-Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang memeriksa perkara


meminta keterangan dari terdakwa tentang hal-hal yang dianggap perlu.

-Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah tersebut ayat (1)


segera memuat berita acara pemeriksaan dan mengirimkannya kepada Mahkamah
Agung.

-Dalam hal sengketa kewenangan sebagaimana dimaksudkan Pasal 58,


Mahkamah Agung memutus sengketa tersebut setelah mendengar pendapat
Jaksa Agung.

-Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat (1) kepada terdakwa


dan Penuntut Umum dalam perkara tersebut.

C. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA LITIGASI


a. Pengadilan Umum

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai


karakteristik:

a) Prosesnya sangat formal


b) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
c) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
d) Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
e) Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
f) Persidangan bersifat terbuka

b. Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan


pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan

x
memutuskanPermohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga
mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a) Prosesnya sangat formal


b) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
c) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
d) Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
e) Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
f) Proses persidangan bersifat terbuka
g) Waktu singkat

D. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

Menghadapi tantangan penyelesaian sengketa dagang era perdagangan bebas


(global market and competition) di masa datang, tidak ada cara lain, bangsa Indonesia
perlu mencari sistem penyelesaian sengketa model ADR sebagai alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dan mengembangkan metode serta cara-cara
penyelesaiannya. Dunia bisnis perlu mengkaji dan mengembangkan berbagai bentuk
ADR termasuk mekanismenya yang diselaraskan dengan kebutuhan penyelesaian
sengketa dagang di Indonesia, sehingga terdapat pemahaman masyarakat mengenai
manfaat dan kelebihan negosiasi, mediasi dan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud di sini mengenai tata cara atau
proses penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi (negosiasi, mediasi dan arbitrase) dan
lika-likunya, seperti misalnya strategi dan tekniknya dari proses awal sampai diperoleh
putusan akhir. Cara tersebut akan diuraikan sebagaimana berikut ini :

a. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Negoisasi

Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa, untuk


mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah,

xi
sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya
diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut.
Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal,
yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja. Supaya
negosiasi dapat berhasil dengan baik dan memuaskan para pihak, maka seorang
negosiator harus menggunakan strategi dan taktik. Strategi-strategi negosiasi
merupakan cara dasar dalam mengendalikan hubungan kekuatan, pertukaran
informasi, dan interaksi diantara para pihak pelaku negosiasi. Menurut Garry
Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme negosiasi sangat kompleks dan
beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar negosiasi yaitu :2

1. Bersaing (competiting); Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif,


disebut juga “hard bargaining” (tawar-menawar bersikeras), distributif,
posisional, “zero-sum bargaining” (menang tawar-menawar sebesar
kekalahan pihak lawan) atau “win-lose bargaining” (tawar-menawar
menang kalah). Negosiasi bersaing mempunyai maksud memaksimalisasi
keuntungan yang didapat pelaku tawar-menawar kompetitif terhadap pihak
lain, yaitu untuk mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga
termurah, laba yang besar, biaya rendah, persyaratan yang lebih
menguntungkan dibandingkan dengan pihak lain.

2. Kompromi (compromising)
Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft bargaining” (negosiasi
lunak), “win-some-lose-some” (mendapat dengan member) atau “take and
give bargaining”. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak harus memberi
ganti atas beberapa yang diinginkan agar mendapat sesuatu. Pada
prinsipnya satu pihak harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan
kesepakatan, negosiator tidak mendapatkan semua yang diinginkannya,
tetapi hanya Sebagian.

2 Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar Hukum


Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm 21-24

xii
3. Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving).
Negosiasi berkolaborasi pemecahan masalah (problem solving) disebut
juga negosiasi integratif atau kepentingan (positive-sum atau win-win).
Strategi ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan sendiri, juga
kepentingan pihak mitra untuk memaksimalkan keuntungan, para pihak
harus berkolaborasi guna menyelesaikan problem dari penemuan tindakan
bersama yang dapat mereka lakukan guna memenuhi kepentingan masing-
masing.

b. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dengan Mediasi

Seperti halnya penyelesaian sengketa melalui negosiasi, maka penyelesaian


sengketa melalui mediasi juga memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui.
Menurut Jacqueline M. & Nolan-Haley ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan dalam mediasi, yaitu : (1) screening; (2) mediator describes process
and role of mediator; (3) mediator assists parties in drafting agreement.3

Dalam mekanisme penyelesaian sengketa menggunakan mediasi perlu


dikemukakan mengenai peran dan fungsi mediator sebagaimana yang
dikemukakan oleh Raiffa yaitu sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang
terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan
perannya, yakni :4

1) Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan.


2) Merumuskan titik temu/ kesepakatan para pihak; membantu para pihak
agar menyadari, bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk
dimenangkan, tapi diselesaikan.
3) Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah.
4) Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.

3 Suyud Margono, Op. Cit., hlm 53-54


4 Ibid, hlm 55

xiii
Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, menyebutkan 7
(tujuh) fungsi mediator, yakni :5

1) Sebagai katalisator (catalyst) mengandung pengertian bahwa kehadiran


mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana
yang konstruktif bagi diskusi.
2) Sebagai pendidik (educator) berarti seorang mediator harus berusaha
memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha
dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam
dinamika perbedaan diantara para pihak.
3) Sebagai penerjemah (translator), berarti mediator harus berusaha
menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak
lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak
lainnya, tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
4) Sebagai narasumber (resource person), berarti seorang mediator harus
mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5) Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti seorang
mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam proses perundingan
dapat bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan
terpisah dengan pihak-pihak untuk menampung berbagai usulan.
6) Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti mediator harus berusaha
memberi pengertian secara terang kepada salah satu pihak bahwa
sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal untuk dicapai melalui
perundingan.
7) Sebagai kambing hitam (scapegoat), berarti seorang mediator harus siap
disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Lebih lanjut, mekanisme mediasi sebenarnya tergantung pada situasi sosial


dan budaya masyarakat dimana para pihak berada. Secara garis besar dapat
dikemukakan tahapan-tahapan mediasi sebagai berikut :

1) Tahap Pembentukan Forum


5 Ibid, hlm 56

xiv
Pada awal mediasi, sebelum rapat antara mediator dan para pihak,
mediator menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk,
diadakan rapat bersama. Mediator memberi tahu kepada para pihak
mengenai bentuk dari proses, menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasar
hubungan perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan
sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya
dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak
sepakat melanjutkan perundingan, para pihak diminta komitmen untuk
mentaati aturan yang berlaku.
2) Pengumpulan dan Pembagian Informasi
Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskannya dengan
mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan atau penjelasan
pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap
informasi, para pihak dan mediator saling membagi informasi dalam acara
bersama dan secara sendiri-sendiri saling bagi informasi dengan mediator,
dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi,
mediator kemudian mempersilakan masing-masing pihak menyajikan
versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa
tersebut. Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan
informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan
pertanyaan atau melakukan interupsi apapun. Mediator memberi setiap
pihak dengar pendapat mengenai versinya atas sengketa tersebut. Mediator
harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta
yang disampaikan para pihak merupakan kepentingan-kepentingan yang
dipertahankan oleh masingmasing pihak agar pihak lain menyetujuinya.
Para pihak dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang
berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini
semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan
diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak,
untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak, mediator
secara netral membuat kesimpulan atas penyajian masingmasing pihak,

xv
mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan
mengenai sengketa.
3) Penyelesaian Masalah
Selama tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem,
mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan terkadang
terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan
permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan
mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator
mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi. Suatu
caucus merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi atau suatu
pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator. 6
Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan
pribadi dengan para pihak secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat
melakukan tanya jawab secara mendalam dan akan memperoleh informasi
yang tidak diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama. Mediator
juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatifalternatif
untuk menyelesaikannya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-
pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka.
Apabila mediator akan mengadakan caucus, harus menjelaskan
penyelenggaraan caucus ini kepada para pihak, menyusun perilaku
mediator sehubungan dengan caucus yang mencakup kerahasiaan yaitu
mediator tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali
sudah diberi wewenang untuk itu. Hal ini untuk menjaga netralitas dari
mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
4) Pengambilan Keputusan
Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator
untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi
yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para
pihak mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus
memutuskan sendiri apa yang akan mereka setujui atau sepakati. Akhirnya

6 Gary Goodpaster, Op. Cit., hlm 246

xvi
para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang
kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu
untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian
agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang
tertinggal di dalam perundingan.

c. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Arbitrase

Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase pada hakekatnya secara


umum tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Karena baik arbitrase maupun litigasi sama-sama merupakan mekanisme
adjudikatif, yaitu pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa
tersebut sama-sama mempunyai kewenangan memutuskan sengketa tersebut.
Arbitrase termasuk adjudikatif privat sedangkan litigasi termasuk adjudikatif
public. Sehingga baik arbitrase maupun litigasi sama-sama bersifat win-lose
solution.

Meskipun demikian pada umumnya dalam dunia bisnis orang lebih memilih
arbitrase karena memiliki beberapa keunggulan daripada cara litigasi, seperti
jaminan kerahasiaan/pemeriksaan dilakukan tertutup, menghindari kelambatan
prosedural administrasi, mempunyai kebebasan memilih arbiter, bebas
menentukan pilihan hukum, dan tempat penyelenggaraan serta pelaksanaan
putusan arbitrase, serta putusan arbitrase bersifat final dan berkekuatan hukum
tetap.

Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya mekanisme


penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu : tahap
persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap
pelaksanaan. Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala
sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain
meliputi :

1) Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis,

xvii
2) Penunjukan arbiter,
3) Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon,
4) Jawaban surat tuntutan oleh termohon,
5) Perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang arbitrase.

Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya sidang
pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses
pembuktian, sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter. Selanjutnya adalah tahap
pelaksanaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap untuk merealisasi putusan arbiter
yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara
sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan negeri.

Setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka secara lex generalis ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
termasuk arbitrase. Adapun mekanisme arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999
adalah sebagai berikut :

a) Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk tertulis dengan cara


menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang
memuat identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai
dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat
tuntutan dan surat permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang
disertai perintah untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14
(empat belas) hari sejak diterimanya tuntutan oleh termohon, selanjutnya
diteruskan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis
arbitrase memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang
arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya
surat perintah tersebut.
b) Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan secara tertulis, kecuali
disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara

xviii
tertutup. Jumlah arbiter harus ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan
oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk
arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis arbitrase.
Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri,
kecuali atas persetujuan para pihak.
c) Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka
arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya
final dan mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan
perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan
terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak
apabila diperlukan.
d) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak
dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar
kesaksiannya yang sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat
memberikan keterangan tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang
arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
e) Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum
atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada
kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan


menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan
kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga
yang dipilih, kecuali ditetapkan lain.7

BAB III

7 Gary Goodpaster, Op. Cit., hlm 246

xix
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan


antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks
melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis.

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis,


mempunyai karakteristik: Prosesnya sangat formal, keputusan dibuat oleh
pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim), para pihak tidak terlibat
dalam pembuatan keputusan, sifat keputusan memaksa dan mengikat
(Coercive and binding), orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak
yang bersalah) dan persidangan bersifat terbuka.

Sedangkan Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada


di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk
memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI.
Pengadilan Niaga mempunyai karakteristikkarakteristik: Prosesnya sangat
formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(hakim), para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan, sifat
keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding), orientasi pada
fakta hukum (mencari pihak yang salah), proses persidangan bersifat
terbuka dan waktu singkat.

Mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud di sini mengenai


tata cara atau proses penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi (negosiasi,
mediasi dan arbitrase) dan lika-likunya, seperti misalnya strategi dan
tekniknya dari proses awal sampai diperoleh putusan akhir.

xx
B. SARAN

Semoga makalah yang kelompok kami buat dapat memberikan


manfaat pengetahuan tentang Mekanisme Penyelesaian sengketa Bisnis
kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat membantu para pembaca
untuk pembuatan makalah tentang Pengantar Hukum Bisnis. Kami
menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, maka kami
meminta saradan kritik dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah
kami.

xxi
DAFTAR PUSTAKA

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar


Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.

I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.


Denpasar -Bali : Udayana University Press, 2010.

Mas Achmad Santoso, Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute


Resolution/ ADR). Jakarta : Indonesian Center for Environment Law, 1995.

penyelesaian sengketa bisnis | Andah Andah - Academia.edu

xxii

Anda mungkin juga menyukai