Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK XIII

DOKTRIN – DOKTRIN YANG BERLAKU DALAM PELAYANAN KESEHATAN


Untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HUKUM KESEHATAN ”
Dosen Pengampu : Dr. Maryati, S.ST. S.Pd. MARS. MH

Disusun oleh :

1. Henni Katumlas
2. Irma Ayu Wijayanti
3. Oktofina Rumaropen

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAHAN ABDI NUSANTARA JAKARTA


PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat  Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia, berkat dan rahmat

Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Doktrin Doktin Yang

Berlaku Dalam Kesehatan”. 

Kami berharap semoga dengan diterbitkannya makalah ini dapat  membantu

menambah pengetahuan dan wawasan  bagi para pembacanya. Kami  menyadari bahwa

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat kesalahan-kesalahan, oleh

karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan

demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam

pembuatan makalah ini.

Jakarta, 03 Maret 2022

Kelompok XIII

DAFTAR ISI
1. Cover / halaman judul ........................................................................................ i
2. Kata pengantar ................................................................................................... ii
3. Daftar isi ............................................................................................................. iii
4. BAB I Doktrin - Doktrin Yang Berlaku Dalam Kesehatan................................ 1
5. BAB II Penutup...................................................................................................
6. Daftar Isi.............................................................................................................

BAB I
DOKTRIN – DOKTRIN YANG BERLAKU DALAM PELAYANAN KESEHATAN
A. PENDAHULUAN
1. Definisi Hukum Kesehatan Menurut pakar ahli hukum
Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi
penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara
Leenen  Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan
hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.

2. Subjek dan Objek:


Subjek Hukum Kesehatan adalah Pasien dan tenaga kesehatan termasuk institusi
kesehatan sedangkan objek Hukum Kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg
voor de gezondheid).

3. Tujuan Hukum Kesehatan:


Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti
memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan, pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan
kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal
berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-
sama.

Tujuan hukum Kesehatan pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat


yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya
ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi
dan terlindungi (Mertokusumo, 1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa
tujuan hukum kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari tujuan umum
hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial
dan kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan
baik.

4. Sumber Hukum Kesehatan


Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli
hukum maupun kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi,
mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus
atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat
dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu
menemukan hukum baru.
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum;
sumber yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum
adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil  adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi
hukum. Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur
ekonomi, hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi
bentuknya.
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1) Undang-undang (UU);
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat
perlengkapan negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di
sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum
yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan
secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum
khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
a) UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari
bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan
ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena cara
pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh
Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b) UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang
dilihat dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara
umum.

2) Kebiasaan ( costum )
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan
berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif,
kekuatan mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang
berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat
merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi
yang mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu
dapat menimbulkan adanya hukum adat.
3) Yurisprudensi
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang
menjadi dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara,
sehingga keputusan hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.

4) Traktat (Perjanjian antar negara)


Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan
persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat
perjanjian dengan negara lain. Perjanjian antaranegara yang sudah
disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya
masing-masing.

5) Perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu
sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata.

Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :


Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah
dan mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan
perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi
perjanjian dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan
perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum
dan undang-undang.
Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para
pihak (telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.

6) Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya
bagi pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk
dapat menjadi salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma
menjadi keputusan hakim.

B. PENGERTIAN DOKTRIN SECARA UMUM

Doktrin adalah istilah yang berkaitan dengan ajaran tertentu. Istilah doktrin sering
terdengar jika muncul ajaran-ajaran yang terkait dengan agama dan kepercayaan.
Doktrin juga sering digunakan untuk memantapkan keyakinan seseorang terhadap
satu hal.

Doktrin adalah bagian dari penegasan suatu kebenaran. Doktrin adalah kata yang
sering digunakan dalam konteks agama, hukum, politik, hingga militer. Doktrin
adalah istilah untuk menegaskan apa yang biasanya benar.

Doktrin adalah konsep yang dapat digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang telah
diajarkan. Doktrin adalah hal yang mengacu pada ajaran atau prinsip tertentu. Tujuan
doktrin adalah menunjukkan kebenaran terhadap suatu ajaran.

Doktrin berasal dari bahasa Latin, doctrina yang berarti "pengajaran, instruksi".
Menurut Vocabulary, kata doktrin dan doktor berasal dari satu kata latin docere yang
berarti mengajar. Doctor berarti guru, dan doctrina berarti mengajar.

Menurut KBBI, doktrin adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik atau
keagamaan. Doktrin juga berarti pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan,
keagamaan, ketatanegaraan secara bersistem, khususnya dalam penyusunan kebijakan
negara. dalam sejarah Amerika kita kenal -- Monroe

Menurut Cambridge Dictonary, doktrin adalah sebuah keyakinan atau seperangkat


keyakinan, khususnya politik atau agama yang diajarkan dan diterima oleh tertentu
kelompok. Menurut Merriam Webster, doktrin adalah prinsip, posisi atau kumpulan
prinsip dalam cabang pengetahuan atau sistem kepercayaan.

C. PENGERTIAN PELAYANAN KESEHATAN SECARA UMUM


Komaruddin (1997 : 394) mengartikan pelayanan merupakan suatu prestasi yang
dilakukan atau dikorbankan agar dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pihak
lain. Pengertian yang lain menyatakan bahwa pelayanan adalah sesuatu hal yang dapat
menolong, menyambut, membalas, mengindahkan, memuaskan, menghidangkan,
menyuguhkan, membantu, menanggapi, menyediakan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan atau sesuatu hal yang diperlukan oleh pihak lain (Syafii, 1998: 39)

Gronroos (1990: 27) dalam Ratminto (2005:2) “Pelayanan adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi
sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain
yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan”

Menurut Levey Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh
suatu organisasi baik secara sendiri atau bersama-sama untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
perseorangan, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 1994: 42).
Hodgetts dan Casio (Azwar, 1994: 43) menyatakan bahwa bentuk dan jenis pelayanan
kesehatan tersebut terbagi menjadi dua yaitu :
a. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran
(medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat berdiri
sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi
(institution). Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan
kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat (publik health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang
umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dan sasaran
utamanya adalah untuk kelompok dan masyarakat.
Pelayanan Kesehatan ini terdiri a

D. MACAM – MACAM DOKTRIN DALAM PELAYANAN KESEHATAN


1. RES IPSA LOQUITUR
Doktrin res ipsa loquitur dalam bahasa Inggris berarti the thing speaks for itself,
terjemahan harfiahnya “benda tersebut yang berbicara”. Doktrin ini dalam hukum
perdata hanya relevan dan berlaku untuk kasus perbuatan melawan hukum dalam
bentuk kelalaian (negligence) dan tidak berlaku untuk perbuatan melawan 403
hukum dalam bentuk “kesengajaan” atau “tanggung jawab mutlak.
Doktrin ini merupakan doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu
pihak korban (Penggugat) untuk membuktikan kasusnya. Di dalam pembuktian
dalam hukum perdata, pihak yang mengajukan gugatan harus membuktikan
kesalahan dari pelaku, jika merupakan kelalaian maupun kesengajaan. Pembuktian
ini seringkali sangat menyulitkan korban untuk membuktikan bahwa terdapat
kelalaian pelaku sehingga terjadi perbuatan melawan hukum yang merugikan
korban.
Menurut Munir Fuady (2002) pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum
dalam bentuk kelalaian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu membuktikan
adanya unsur kelalaian dari pihak pelaku, akan tetapi cukup dengan menunjukkan
fakta yang terjadi dan menarik sendiri kesimpulan bahwa pihak pelaku
kemungkinan besar melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, bahkan tanpa
perlu menununjukkan bagaimana pihak pelakunya berbuat sehingga menimbulkan
perbuatan melawan hukum tersebut.
Doktrin ini sebenarnya merupakan semacam bukti sirkumstansial (circumstantial
evidence), yakni suatu bukti tentang fakta dari fakta-fakta mana suatu kesimpulan
yang masuk akal ditarik. Misalkan saja dari letak mobil atau kerusakan mobil
dapat ditarik kesimpulan kecepatan mobil yang bersangkutan. Atau misalkan
seseorang yang jatuh atau cedera karena eskalator tiba-tiba berhenti di suatu hotel
atau tempat lain, menurut kelaziman hal ini tidak akan terjadi jika tidak terdapat
kelalaian, dalam hal ini doktrin ini dianggap terbukti.
Doktrin res ipsa loquitur diterapkan di Inggris sejak 1809, yaitu dalam kasus
terkenal Christie v. Grigg yang menerapkan doktrin tersebut dalam kasus
kelalaian pengangkut orang terhadap penumpangnya. Tujuan sebenarnya doktrin
ini bukan untuk membalikkan beban pembuktian dan juga bukan untuk mengubah
kriteria tanggung jawab, akan tetapi semata-mata bertujuan untuk mempermudah
korban dalam hal membuktikan siapa yang bersalah, dengan menunjukkan kepada
bukti sirkumstansial. Kadangkala korban dalam kasus-kasus tertentu sangat sulit
membuktikan unsur kelalaian dari pihak pelaku, apalagi bukti-bukti berada atau
dalam akses dan kekuasaan pelaku yang sulit didapatkan oleh korban. Kesulitan
membuktikan perbuatan melawan hukum dapat diatasi dengan menggunakan titik
tolak dalam prinsip hukum fakta yang berbicara sehingga tidak perlu dibuktikan
lagi. Jadi di sini berlaku praduga bersalah (presumption of fault or negligence).
Mengingat kejadian tersebut tidak akan terjadi dalam keadaan normal tanpa
adanya kealpaan pihak-pihak yang berkompeten.
Dengan demikian doktrin res ipsa loquitur berjalan seiring dengan doktrin
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) dan juga dengan doktrin
tanggungjawab mutlak (strict liability), meskipun diantara ketiga doktrin tersebut
sebenarnya mengandung perbedaan. Seperti telah dijelaskan bahwa berdasarkan
doktrin res ipsa loquitur seorang korban dari perbuatan melawan hukum dengan
unsur kelalaian, dapat menarik kesimpulan bahwa telah terjadi suatu perbuatan
melawan hukum meskipun tidak mengetahui siapa persisnya yang melakukan dan
dengan cara bagaimana perbuatan tersebut dilakukan. Akan tetapi agar dapat
diterapkan doktrin res ipsa loquitur, sehingga kesimpulan dapat ditarik dari suatu
fakta yang sebenarnya merupakan presumsi bersalah terhadap pihak pelakunya,
ilmu hukum memberikan beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Harus ditunjukkan bahwa kejadian tersebut biasanya tidak terjadi tanpa
adanya kelalaian (atau kesengajaan)dari pihak pelakunya.
b. Harus ditunjukkan pula bahwa kerugian tidak ikut disebabkan oleh tindakan
korban atau pihak ketiga.
c. Dalam kasus-kasus tertentu, pada saat kejadian, instrument yang
menyebabkan kerugian dalam control yang eksklusif dari pihak yang dituduh
pelakunya.
d. Penyebab kelalaian tersebut haruslah dalam lingkup kewajiban yang ada oleh
pelaku kepada korban.
e. Bukan kesalahan dari korban (atau tidak ada kelalaian kontributif.
Selain dari lima syarat seperti tersebut di atas, maka juga layak untuk
dipertimbangkan apakah pembuktian atas kejadian tersebut lebih gampang
diakses oleh pihak pelaku dari pihak korban. Tentang persyaratan harus
dibuktikan bahwa pada saat kejadian, instrument yang menyebabkan kerugian
dalam control yang eksklusif dari pihak yang dituduh pelakunya, dalam banyak
hukum modern persyaratan tersebut tidak terlalu ketat. Jika sebelumnya
ditekankan bahwa instrument tersebut “sepenuhnya dikontrol” oleh pihak pelaku
perbuatan melawan hukum, maka dalam banyak hukum modern pihak korban
cukup membuktikan bahwa “kemungkinan besar” kelalaian dilakukan oleh pihak
yang dituduh pelaku.

Karena itu doktrin res ipsa loquitur biasanya tidak diterapkan terhadap kasus
kejadian dimana penyebabnya tidak dalam keadaan bersalah, sepertikematian
yang disebabkan oleh tumbangnya pohon. Di samping itu kebiasaan dari pelaku
dapat pula dipakai sebagai pedoman bagi penerapan doktrin res ipsa loquitur.
Misalnya kebiasaan pelaku untuk bertindak ceroboh terhadap orang lain.
Sehingga besar kemungkinan dalam kasus yang sedang terjadi dia akan
mengulangi sikap ceroboh tersebut. Dalam hal ini pihak korban cukup menunjuk
bahwa dia memang punya sikap yang ceroboh tersebut. Tanpa perlu
membuktikan bahwa memang dia yang sebenarnya melakukan tindakan yang
tergolong perbuatan melawan hukum tersebut. Namun demikian, kajian terhadap
doktrin res ipsa loquitur secara historis menunjukkan bahwa penerapan doktrin ini
banyak dilakukan terhadap pihak-pihak pelaku perbuatan tertentu yang menuntut
tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Dalam sejarah hukum doktrin res ipsa loquitur paling sering diterapkan terhadap
pihak perusahaan pengangkutan umum, khususnya yang mengangkut manusia,
seperti terhadap perusahaan pengangkutan dengan kapal laut, bus umum, kereta
api dan lain-lain, yang memang sangat diharapkan untuk melaksanakan pekerjaan
dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Hampir setiap kasus dalam
bidang-bidang tersebut, misalnya jika terjadi kecelakaan umumnya mereka dapat
dituding sebagai pelaku perbuatan melawan hukum tanpa perlu membuktikan
kesalahannya, akan tetapi cukup dengan menunjukkan adanya peristiwa
kecelakaan tersebut dan pihak korban mengalami kerugian tertentu. Sebaliknya
kepada pihak pengangkutan dibebankan beban pembuktian bahwa dia sebenarnya
dalam keadaan tidak bersalah (tidak lalai).

Konsekuensi Yuridis Apabila Doktrin Res Ipsa Loquitur Diberlakukan atau


Diterapkan Dalam Tata Hukum Indonesia Apabila doktrin res ipsa loquitur
diterapkan maka akan membawa beberapa konsekuensi yuridis sebagai berikut:

a. Lebih memberikan rasa keadilan Dirasakan sangat tidak adil manakala pihak
korban dari perbuatan melawan hukum harus menaggung sendiri suatu
kerugian yang sebenarnya merupakan akibat dari kelalaian dari orang lain,
hanya karena pihak lain tersebut yang sebenarnya lebih banyak mengetahui
kejadiannya, akan tetapi tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara pihak korban memang tidak mengetahui kejadiannya yang persis
karena tidak memiliki akses kepada kejadian tersebut, sehingga di pengadilan
tidak bisa membuktikan kesalahan pelaku perbuatan melawan hukum
tersebut. Ketidak adilan karena terbentur tembok hukum pembuktian ini
diterobos dengan memperkenalkan doktrin res ipsa loquitu, yakni dengan
memindahkan beban pembuktian (pembelaan tidak bersalah) kepada pihak
pelaku perbuatan, sementara pihak korban tidak perlu membuktikan
kesalahan pelaku, tetapi cukup membeberkan akibat yang terjadi terhadapnya
dan bagaimana sampai akibat tersebut terjadai, serta membuktikan bahwa
biasanya akibat seperti itu baru terjadi jika ada kelalaian (atau kesengajaan)
dari pihak pelaku perbuatan melawan hukum tersebut.
b. Merupakan presumsi kelalaian. Dengan diberlakukannya doktrin res ipsa
loquitur tersebut, maka terjadilah suatu presumsi kelalaian, artinya dengan
hanya membeberkan suatu akibat dan fakta yang menimbulkan akibat
tersebut, oleh hukum telah dipresumsi bahwa pihak yang disangka pelaku
perbuatan melawan hukum dianggap telah melakukannya dengan kelalaian
(atau kesengajaan), tanpa korban perlu membuktikan kelalaian (atau
kesengajaan) tersebut. Dengan demikian beban pembuktian bahwa pihak
pelaku tidak bersalah ada pada pundak pelakunya sendiri, karena pihak
pelakulah yang banyak mengetahui tentang hal ihwal terjadinya kejadian
tersebut. Sehingga apa yang terjadi sebenarnya adalah semacam pembalikan
alat bukti dari pundak korban ke pundak pelaku, atau yang disebut dengan
pemberlakuan bukti terbalik (omkering van bewijslast).
c. Menjadi bukti sesuai situasi dan kondisi. Sesuai dengan namanya bahwa
istilah res ipsa loquitur berarti benda tersebut yang berbicara, maka ketika
pihak korban membuktikan apa yang dialaminya sehingga menimbulkan
kerugian dari fakta, situasi dan kondisi kejadian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa biasanya kerugian seperti itu terjadi karena adanya
kesalahan dari pihak tertentu dalam hal ini oleh hukum dipresumsi sebagai
kesalahan pihak yang diduga sebagai pelakunya. Dengan demikian pihak
korban hanya membuktikan fakta, situasi dan kondisi (circumstantial
evidence) disekitar kejadian yang menimbulkan kerugian tersebut, dengan
menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu dan membiarkan fakta tersebut
sendiri yang berbicara.
d. Memaksa pelaku untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Salah satu
pertimbangan mengapa doktrin res ipsa loquitur diberlakukan adalah karena
pihak pelaku perbuatan melawan hukum lebih banyak mengetahui dan banyak
akses untuk membuktikan apa sebenarnya yang terjadi mengenai kejadian
tersebut. Dia pula yang memiliki banyak saksi atau alat bukti lainnya. Karena
itu dalam keadaan yang demikian sepantasnyalah jika oleh hukum dia digiring
untuk menjelaskan kejadian tersebut dengan cara membebankan pembuktian
seandainya dia tidak bersalah.
e. Konsekuensi terhadap pelaku ganda. Pemberlakuan doktrin res ipsa loquitur
mempunyai dampak khusus bagi perbuatan melawan hukum dengan pelaku
ganda atau pelaku salah atu diantara banyak orang, orang mana persisnya
tidak diketahui oleh korban. Memang kaidah hukum yang berlaku umum
adalah bahwa pihak korban dari perbuatan melawan hukum harus
membuktikan siapa diantara banyak orang yang pada kenyataannya
melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, sehingga kepadanya oleh
hukum dibebankan tanggungjawab untuk memberikan suatu ganti kerugian.
Akan tetapi dalam kasus-kasus res ipsa loquitur tertentu salah satu atau lebih
dari pelaku dapat dimintakan tanggungjawabnya secara hukum, meskipun
korban tidak dapat menunjukkan siapa diantara mereka yang bersalah dan
melakukan tindakan tersebut. Adalah kewajiban dari pihak yang disangka
sebagai pelaku untuk membuktikan bahwa dirinya sebenarnya tidak bersalah
atau bahkan tidak melakukan tindakan tersebut.
2. BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar sepanjang hayat disebut juga Lifelong learning, Belajar sepanjang hayat
adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan
(continuing-learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase
perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase perkembangan pada
masing-masing individu harus dilalui dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-
tugas perkembanganya, maka belajar itu dimulai dari masa kanak-kanak sampai
dewasa dan bahkan masa tua.

3. INFORM CONSENT
Informed Consent lahir karena ada hubungan teurapeutik antara tenaga
kesehatan dengan pasiennya. Masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dihormati. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang
akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula
sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan
hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu
tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di
dalam masyarakat dapat terwujud.
Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut
sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut.
Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan
dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-
haknya. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan
sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga memunculkan
doktrin informed consent. Sejarah hukum tentang informed consent berjalan
seiring dengan sejarah hukum tentang riset di bidang kedokteran.
Di Perancis walaupun Nuremberg code acapkali dikatakan sebagai asal
mulanya informed consent, namun yurisprudensi Perancis memastikan kebutuhan
untuk memperoleh informed consent baru pada tahun 1920. Opini ini dipastikan
oleh Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942, bahwa semua dokter
mempunyai kewajiban fundamental terhadap negara untuk memperoleh
persetujuan dari pasien terlebih dahulu. Pada awal mulanya, dikenal hak atas
Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal ha katas informasi yang kemudian
menjadi “Informed Consent” . penambahan kata Consent menjadi Informed
Consent di dala, prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka di katakana bahwa
Informed Consent itu adalah suatu Comunication Proses. Appelbaum
menekankan “….. Consent as a process, not an Event” memberi definisi doktrin
Informed Consent sebagai “ the lehal model of the medical decision making
process”.

Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua) hal pokok, yaitu:
Equity, dalam arti kepatutan, dan Battery, dalam arti
penyentuhan/pencederaan tubuh seseorang tanpa izinnya.

Keputusan-keputusan pengadilan yang menyangkut masalah Equity sudah


dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam sejarahnya, hal ini berkaitan
dengan masalah hubungan yang didasarkan atas suatu kepercayaan penuh pasien
yang awam tentang kesehatan dengan dokternya yang dianggap profesi yang
menguasai ilmunya dengan baik karena sudah ditempuh melalui jalur pendidikan.
Maka, menjadi kewajiban dokter untuk memberi penjelasan kepada pasiennya,
sehingga pasien bisa memutuskan atau mempertimbangkan suatu tindakan yang
akan dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan istilah “ battery” , sering digunakan
dengan istilah “Assault” , sehingga menyatu menjadi “ assault and battery” ,
(assault artinya serangan). “ assault and battery” termasuk tindakan yang bersifat
kriminal, merupakan istilah kuno, namun masih dipergunakan dalam sistem
Anglo Saxon sebagai arti pencederaan. Kasus “ assault and battery” yang pertama
sudah ditemukan pada tahun 1348.

Pengertian informed consent berasal dari kata ”informed” yang berarti


telah mendapat penjelasan, dan kata “consent” yang berarti memberikan
persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud “informed consent” adalah adanya
persetujuan yang timbul dari informasi yang dianggap jelas oleh pasien terhadap
suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya sehubungan dengan
keperluan diagnosa dan/atau terapi kesehatan.
“Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut”.
Maka jika seorang dokter akan melakukan tindakan kedokteran / tindakan medis,
terlebih dahulu dokter tersebut harus memberikan penjelasan (informasi)
mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan, apa resikonya, tindakan alternatif
lainnya, apa kemungkinan yang akan terjadi jika tindakan tersebut tidak
dilakukan. Keterangan ini harus diberikan secara jelas dan dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh pasiennya dengan memperhitungkan tingkat pendidikan
dan intelektualnya. Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan
persetujuan (izinnya), maka barulah dokter tersebut boleh melakukan
tindakannya.

Informasi yang disampaikan oleh dokter kepada pasien mencakup hal-hal


diantaranya:
a. keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik
diagnostik maupun terapeutik;
b. informasi yang diberikan secara lisan;
c. informasi dberikan secara jujur dan benar, kecuali bila dokter menilai hal itu
dapat merugikan kepentingan pasien;
d. informasi yang dapat diberikan kepada keluarga pasien, setelah dokter meminta
persetujuan pasien;

Yang berwenang memberikan penjelasan (informasi) kepada pasien yang akan


diberikan tindakan medik, yaitu :
a. Dalam hal tindakan medik yang akan dilakukan adalah tindakan bedah
(operasi) atau tindakan invasif lainnya, maka penjelasan (informasi) harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
b. Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter yang akan mengoperasi
tersebut, penjelasan (informasi) harus diberikan oleh dokter lain dengan
pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
c. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya,
penjelasan (informasi) dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan
pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.

Orang yang berwenang memberikan informed consent sebagai berikut :


a. Orang dewasa;
Bagi pasien dewasa, persetujuan diberikan oleh pasien tersebut, dengan syarat :
1). Berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
2). Dalam keadaan sadar; dan
3) sehat mental, Pasal 8.
b. Wali/kurator;
Bagi pasien dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan, persetujuan diberikan
oleh wali/kurator (pengampu). Sementara itu, bagi pasien dewasa yang menderita
cacad mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/kurator, Pasal 9.
c. Orang tua/wali/keluarga terdekat;
Bagi pasien yang berada di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun, persetujuan
diberikan oleh orang tuanya/walinya. Apabila tidak mempunyai orang tua/wali
dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan oleh keluarga terdekat atau
induk semang (guardian), Pasal 10.
d. Keluarga terdekat;
Bagi pasien yang tidak sadar/pingsan didampingi oleh keluarga terdekat,
persetujuan diberikan keluarga terdekat. Tetapi apabila tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan darurat yang
memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan
persetujan dari siapapun, Pasal 11.
Penjelasan itu sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosa dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien terhadap tenaga kesehatan / dokter
/ dokter gigi dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Persetujuan lisan
adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk
gerakan menganggukkan kepala yang diartikan sebagai ucapan setuju.
Persetujuan tertulis adalah suatu bentuk persetujuan yang diberikan oleh pasien
kepada tenaga kesehatan / dokter / dokter gigi, dimana isi persetujuan itu telah
dituangkan dalam bentuk formulir Informed consent yang telah dibakukan
dinamakan dengan perjanjian standar. Sedangkan bentuk persetujuan untuk
“tindakan medis beresiko tinggi” harus dibuat dalam bentuk tertulis. Tindakan
medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.

Orang-orang yang berhak memberikan persetujuan. Orang-orang yang berhak


memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medik, yaitu pasien yang
bersangkutan. Namun terdapat pengecualian sebagai berikut :
a. Apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under
curatele), persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh
keluarga terdekat antara lain suami/isteri/ayah/ibu kandung, anak-anak kandung
atau saudara-saudara kandung.
b. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang
sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
c. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
d. Apabila tidak ada keluarganya, sedangkan tindakan medis harus dilakukan,
penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan
pertama pasien sudah sadar.

Tujuan persetujuan tindakan medik atau (informed consent) adalah memberikan


perlindungan hukum bagi pasien dan dokter. Perlindungan hukum kepada pasien
adalah agar pasien mendapat pelayanan kesehatan secara maksimal dari dokter
yang menanganinya. Sementara itu bagi dokter adalah menjaga kemungkinan
timbulnya gugatan oleh pasien atau keluarganya apabila ia lalai dalam
melaksanakan kewajibannya.

Apabila pasien telah memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent)


kepada dokter, maka kedudukan dokter menjadi kuat. Karena di dalam informed
consent telah disebutkan bahwa apabila dokter gagal melaksanakan
kewajibannya, pasien tidak akan menuntut dokter yang bersangkutan. Namun
secara yuridis pasien mempunyai hak untuk menggugat dokter, apabila dokter
tidak melaksanakan standar profesi dengan baik. Disamping itu, pasien juga
diberikan hak menuntut secara pidana dan secara administratif kepada dokter
yang tidak melaksanakan standar profesi.

4. Rekam Medis
“Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien
pada sarana pelayanan kesehatan”.
1. Data medis / klinis, yaitu segala data dan informasi tentang
keadaan medis / klinis pasien.
2. Data sosiologis / non medis, yaitu segala data atau informasi yang
bersangkut paut dengan data identitas pasien yang sifatnya non medis.
Dimana kedua bentuk data tersebut bersifat rahasia (confidential).

Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis,
berkas dan catatan tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun.
Perubahan catatan atau kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan
dengan pencoretan dan dibubuhi paraf petugas yang bersangkutan.
Dokumen rekam medis merupakan milik dokter atau sarana pelayanan kesehatan
sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien, yang dititipkan / diamanatkan
kepada dokter untuk memperlakukan sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan
yang berlaku. Oleh karena itu rekam medis harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Maka
dengan demikian, baik atau buruknya pelayanan kedokteran / pelayanan kesehatan
di suatu sarana pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit), dapat diketahui
antara lain dari baik / buruknya penyelengaraan rekam medik.

Menjaga keseimbangan antara dokter (health provider) dan pasien (health


receivers) dalam pelayanan kesehatan dapat diwujudkan dari kelengkapan
pembuatan rekam medik. Keberadaan rekam medik sangat diperlukan dalam
setiap pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit, baik ditinjau dari segi
pelaksanaan pelayanan medis (praktik kedokteran) maupun dari aspek hukum.

Kegunaan Rekam medis

1. Segi administrasi, karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang


dan tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan dalam mencapai tujuan pelayanan
kesehatan,
2. Segi medis, karena catatan tersebut digunakan sebagai dasar perencanaan atas
pengobatan/perawatan kepada pasien,
3. Segi hukum, karena isinya menyangkut adanya jaminan atas kepastian hukum
serta penyediaan bahan tanda bukti untuk penegakan keadilan,
4. Segi keuangan, karena isinya dapat dijadikan sebagai dasar penetapan biaya
pelayanan kepada pasien,
5. Segi penelitian, karena isinya dapat dijadikan bahan penelitian guna
pengembangan ilmu pengetahuan,
6. Segi pendidikan, karena isinya dapat digunakan sebagai bahan/referensi
pengajaran di bidang profesi si pemakai,
Segi dokumentasi, karena isinya menjadi sumber ingatan yang harus di-
dokumentasikan dan dapat dipakai sebagi bahan pertanggung jawaban rumah
sakit.

5. Rahasia kedokteran
Hakikat rahasia adalah :
“Suatu hal yang tidak boleh atau tidak dikehendaki untuk diketahui oleh orang yang tidak
berkepentingan atau tidak berhak mengetahui hal itu”.

Dalam bidang medis/kedokteran, segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai
rahasia medik atau rahasia kedokteran dan rahasia ini sepenuhnya milik si pasien.
Merupakan prinsip hukum dan etika bahwa ada informasi tertentu yang tidak boleh
dibuka sembarangan, informasi mana terbit dari hubungan antara para profesional bahkan
hubungan bisnis, termasuk didalamnya hubungan antara dokter dengan pasien.

Masalah larangan membuka rahasia pasien oleh dokter ini merupakan salah satu masalah
klasik dalam bidang kedokteran. Sedemikian klasiknya, sehingga dalam bentuk naskah
kedokteran/kesehatan kita dapat menemukan ketentuan yang pada prinsipnya melarang
dokter untuk membuka rahasia pasien yang oleh pasien telah dibuka kepada dokter yang
bersangkutan.
Perlindungan terhadap kerahasiaan yang terbit dari hubungan antara dokter dan pasiennya
ini dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak individual dari pasien, yaitu melindungi
hak-hak sebagai berikut :
1. Hak otonomi, yakni hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
2. Hak privacy, yakni hak untuk tidak diganggu atau dicampuri masalah pribadi oleh
orang lain.

Kerahasiaan antara dokter dan pasiennya bukan hanya rahasia yang terbit dari hubungan
langsung (konsultasi) antara dokter dan pasiennya, melainkan termasuk juga perlindungan
kerahasiaan dari informasi yang didapatkan dokter dari sumber lain yang berkaitan
dengan pasien yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan hubungan kerahasiaan antara dokter dan pasien adalah :
“Kerahasiaan atas segala informasi atau pengakuan, dokumen, hasil laboratorium,
komunikasi, hasil investigasi, hasil observasi, hasil diagnosis maupun terapeutik, fakta,
data, atau informasi tentang jiwa dan raga yang diperoleh dokter dari pasiennya atau dari
pihak lain yang berhubungan dengan pasiennya itu, yang dilindungi berdasarkan prinsip
hubungan kerahasiaan antara dokter dengan pasiennya, berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, baik jika diminta oleh pasien agar rahasia tersebut dibuka,
ataupun tidak, atau jika rahasia tersebut dibuka, kemungkinan akan memalukan pasiennya
dan atau merugikan kepentingan pasiennya atau kepentingan orang lain dimana rahasia
tersebut tidak boleh dibuka baik oleh dokter, oleh bawahan, atasan, atau rekan, ataupun
mitra kerja dari dokter, baik pada saat pengobatannya bahkan sebelum maupun setelah
pengobatan atau setelah berakhirnya hubungan antara dokter dan pasien tersebut, baik
ketika pasien masih hidup bahkan ketika pasien sudah meninggal dunia.”

Menjaga rahasia pasien oleh dokter berarti :


1. Dokter tidak boleh membuka rahasia pasien.
2. Dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk merugikan kepentingan
pasien tersebut.
3. Dokter tidak boleh menggunakan rahasia pasiennya untuk kepentingan pribadi dokter
atau untuk kepentingan pihak ketiga.

Kewajiban menjaga rahasia tersebut berlaku pada waktu-waktu sebagai berikut :


a. Sebelum berlangsungnya perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien, dalam arti
bahwa segala sesuatu yang terlanjur telah di informasikan oleh pasien tetap dijaga
kerahasiaannya meskipun pasien tersebut kemungkinan tidak jadi menggunakan jasa
dokter tersebut.
b. Pada saat berlangsungnya perjanjian terapeutik.
c. Setelah berakhirnya perjanjian terapeutik.
d. Setelah pasien meninggal dunia.

Tentu saja tidak semua informasi atas pengakuan, dokumen, fakta dan data, jiwa raga,
atau informasi yang diperoleh dokter dari pasiennya atau dari pihak lain yang
berhubungan dengan pasiennya itu merupakan kerahasiaan yang dilindungi oleh hukum.

Hanya kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia yang dilindungi yakni rahasia-
rahasia yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Rahasia tersebut sebelumnya belum pernah terbuka untuk umum secara meluas.
Apabila rahasia tersebut telah terbuka untuk umum, tetapi belum meluas atau jika
rahasia tersebut sudah dibuka sebagai alat bukti, rahasia tersebut tetap tidak boleh
dibuka oleh dokter kepada orang lain.
2. Rahasia tersebut merupakan informasi yang substansial dan penting bagi pasien atau
bagi pengobatannya.
3. Rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia untuk publik (public
information).
4. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan rasa malu bagi pasien, dokter, atau
pihak-pihak lainnya.
5. Rahasia yang jika dibuka akan merugikan kepentingan pasiennya.
6. Rahasia yang jika dibuka akan mempersulit pengobatan oleh dokter terhadap
pasiennya.
7. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan kemungkinan pasien tidak lagi
memberikan informasi selanjutnya kepada dokter. Hal tersebut akan mempersulit
dokter dalam melakukan pengobatannya.
8. Bagi pasien, informasi tersebut sangat penting dan sensitif.
9. Jika dibuka rahasia tersebut, akan menimbulkan kemarahan/gejolak atau sikap
masyarakat yang merugikan kepentingan pasien dan atau merugikan kepentingan
pengobatan.
Pasien tidak pernah mengizinkan (no waiver) secara tegas atau secara tersirat untuk
dibuka rahasia tersebut.
Kerahasiaan kedokteran atas pasien dapat di buka kepada:
1. Jika dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien;
2. Jika dilakukan untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum;
3. Jika dilakukan atas permintaan pasien sendiri;
4. Jika dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan lainnya
Pengecualian membuka rahasia pasien juga dapat diberlakukan terhadap :
Hal-hal yang mendesak/membahayakan kepentingan umum atau membahayakan orang
lain, misalnya seorang pasien yang diketahui oleh dokter menderita penyakit AIDS yang
akan menyumbangkan darahnya kepada pihak lain dimana jika tranfusi darah dilakukan
dapat menyebabkan tertularnya pihak lain tersebut. Jadi dokter secara etika dan hukum
wajib memberi tahu bahwa penyumbang darah tersebut adalah penderita AIDS. Contoh
lainnya adalah seorang sopir bus yang mengidap penyakit ayan (epilepsi) yang dapat
membahayakan keselamatan penumpangnya.
Hal-hal yang termasuk untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi,
misalnya untuk kepentingan pendidikan kedokteran atau untuk penelitian dan
pengembangan ilmu kedokteran itu sendiri dimana informasi tentang penyakit pasien
yang seharusnya dirahasiakan tetapi dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan dan
penelitian tersebut.

Dasar yuridis dari adanya kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini, selain diatur dalam
UUPK, juga dapat dikaitkan dengan ketentuan dalam :
1. Pasal 322 KUHP yang menyebutkan :
“Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang ia wajib menyimpan oleh jabatan
atau pekerjaannya, baik sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda.”
2. Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Dimana
disebutkan setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
3. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi pada kelompok kami, telah kami temukan beberapa doktrin
dalam Kesehatan:
Yakni kurang lebih adalah 5 doktrin yang sering di gunankan dalam Kesehatan baik
dalam kedokteran, keperawatan, Kebidanan dan lain-lain.

Secara singkat doktrin adalah konsep yang dapat digunakan untuk merujuk pada hal-
hal yang telah diajarkan. Doktrin adalah hal yang mengacu pada ajaran atau prinsip
tertentu. Tujuan doktrin adalah menunjukkan kebenaran terhadap suatu ajaran.

Doktrin dalam Kesehatan erat kaitannya dengan pelayanan Kesehatan ini dimana
doktrin tersebut bertujuan melindungi pemberi pelayanan tetapi juga yang menerima
pelayanan, tidak sedikit berangkat dari doktrin ini ada beberapa doktin yang telah di
sahkan menjadi suatu SOP dalam pemberian pelanyan Kesehatan.

B. SARAN
Penulis menyadari minimnya sumber Pustaka yang membahas tentang doktrin-doktrin
dalam pelayanan Kesehatan itu sendiri maka, lewat hasil diskusi kami ini mungkin
belum mengcover semua materi yang seharusnya diberikan atau di ketahui oleh
tenaga Kesehatan, khususnya di perkuliahan ini. Sehingga penulis sangat
mengharapakan penambahan meteri tentang doktrin – doktin dalam Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

https://hot.liputan6.com/read/4723235/doktrin-adalah-ajaran-kenali-pengertiannya-dalam-
berbagai-bidang, di post oleh : Sundari. Anugerah ayu pada tanggal 29 November 2021 jam
12.00 WIB.

https://media.neliti.com jurnal Ilmu Hukum -Syariah Hukum/ FH.Unisba.vol.xii. no. 3


Novenber 2010.

https://www.kompasiana.com/rayanmie/5c27767443322f680b447398/wajib-belajar-dan-
doktrin-mahasiswa-kedokteran

https://www.gede-portfolio.com/blog/to-blog-or-not-to-blog-blog.-of-course-wed-say-that

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi9k-
qUzff3AhUj7XMBHTt7BzsQFnoECCcQAQ&url=https%3A%2F%2Fid.scribd.com%2Fdoc
%2F71785848%2FTiga-Doktrin-Hukum-Kedokteran&usg=AOvVaw3WFpiks0gWA7B9Q-
RjsPcB

Anda mungkin juga menyukai