Anda di halaman 1dari 31

Mata kuliah Etika Profesi dan Hukum Kesehatan

Sarjana Terapan Keperawatan Anestesi


Kamis, 7 Oktober 2021

HUKUM KESEHATAN
Pengertian
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan
kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan
termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara
kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal
yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.

Definisi Hukum Kesehatan Menurut pakar ahli hukum


Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi
penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara

Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di


bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan


Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini
menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana,
pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta
sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang
menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)

Subjek dan Objek:


Subjek Hukum Kesehatan adalah Pasien dan tenaga kesehatan termasuk institusi
kesehatan sedangkan objek Hukum Kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg
voor de gezondheid).

Tujuan Hukum Kesehatan:


Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti
memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan, pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan
kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk,
jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di
tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-sama.
Tujuan hukum Kesehatan pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya
ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan
terlindungi (Mertokusumo, 1986). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tujuan
hukum kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari tujuan umum hukum. Hal
ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial dan
kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.

Azas Hukum Kesehatan:


1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti
bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas        perikemanusiaan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan
golongan, agama, dan bangsa;
2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap                warga negara;
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4. Asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap
lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional
seluas-luasnya.

Ruang lingkup hukum kesehatan:


1. Hukum Medis (Medical Law);
2. Hukum Keperawatan (Nurse Law);
3. Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
4. Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
5. Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
6. Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);
7. Hukum Keselamatan Kerja;
8. dan Peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat
mempengaruhi kesehatan manusia.

Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11


UUK)
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra

Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan


kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta
identifikasi kewajiban pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum

Sumber Hukum Kesehatan


Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum
maupun kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi,
mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus
atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan
pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan
hukum baru.

Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber


yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di
mana kita dapat menemukan hukum.

Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :


a. Sumber hukum materiil  adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum.
Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi,
hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi
bentuknya.

Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :


1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.

1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan
negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan
hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non
scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan
secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).

UU dapat dibedakan dalam arti :


a. UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan
cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam
arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1
UUD’45).
b. UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat
dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.

2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan
berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan
mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa
Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang
sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan
masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum
adat.

3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi
dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan
hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.

4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat
oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-
undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :


1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan
mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan
perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi
perjanjian dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian,
asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-
undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
(telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara
lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara
peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.

 6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi
pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi
salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.

Fungsi Hukum Kesehatan


a. Menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata
kehidupan di dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi
sumbangan yang besar bagi ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
b. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang
kesehatan). Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat.
c. Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-
halangi dokter untuk melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka
karena tembakan, maka tindakan tersebut sebenarnya keliru dan perlu
diluruskan.

Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai


dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter
adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan
profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika perbuatannya memang pantas untuk
dihukum.

Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan
pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang
sering merasa tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.
Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi Hukum Kesehatan yaitu menertibkan
pemecahan konflik -konflik misalnya kelalaian penyelenggaraan pelayanan
bersumber dari kelalaian tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya

Sejarah Hukum Kesehatan


      
Pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak
ada seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu
penyakit menyerang seseorang dan tidak menyerang lainnya.

Pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat


supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang
yang melanggar hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang
berperang melawan dewa pelindung manusia.

Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama
melalui do’a atau upacara pengorbanan. Pada masa itu profesi kedokteran menjadi
monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang
tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta
merekrtu muridnya dari kalangan atas. Memiliki kewenangan untuk membuat
undang-undang, karena dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-
undang di muka bumi.
Undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat,
misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter
dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis
sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini.

Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga
memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai
dikembangkan dimana penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan
yang dibiayai oleh masyarakat. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang
bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku
standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau
mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di
Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai
dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa
dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal,
bukan dari Mesir)

Dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan.  Dan
pula ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat
kelalian dokter ketika menangani budak tersebut. Salah satu filosof yunani
HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah berhasil menyusun landasan
bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:

a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek


kedokteran yang bersifat coba-coba
b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi
kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan             hal-hal yang
dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap
euthanasia dan aborsi
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang
mengambil keuntungan.
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.

Abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di
bidang kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan
oleh perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran. Hukum dan etika
berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih menitik
beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk
kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat
memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.

Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit


Saat ini pasien menyadari bahwa dia harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta
apa yang akan dilakukan dokter atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering
kali pasien merasa perlu berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan
demikian hubungan pasien-dokter atau pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi
lebih bersifat ”partnership” atau kemitraan.
Hak Dan Kewajiban Pasien

Dalam Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman
Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik
Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB.
IDI, menyebutkan beberapak Hak dan Kewajiban Pasien serta kewajiban dari
Rumah Sakit, diantaranya:

Hak pasien :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar
profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanp diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi
keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah              sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
6. Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda                        menurut peraturan
yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medik yg akan dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau
masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu
ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit
terhadap dirinya
15. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
17. Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis
miliknya.

Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam
pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban
memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya

Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit


Hak Rumah Sakit
1. Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS.nya sesuai dengan
kondisi/keadaan yang ada di RS tersebut.
2. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS
3. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan
dokter kepadanya
4. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui panitia kredential
5. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak
ketiga, dll)
6. Mendapat jaminan dan perlindungan hukum
7. Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada
pasien

Kewajiban Rumah Sakit


1. Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
2. Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status
pasien
3. Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak memebedakan kelas perawatan
(Duty of Care)
4. Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care)
5. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta
jaminan materi terlebih dahulu
6. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
7. Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku
8. Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan
dan tenaga yang diperlukan
9. Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan
dan penanggulangan bencana
10. Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana
dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar
atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya
11. Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di rumah sakit
tersebut
12. Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang medik,
maupun non medik.
13. Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI)

Penerapan Hukum Kesehatan dengan Hukum Lain

1.      Hukum Perdata


Yaitu : hubungan antara dokter dengan pasien bias merupaka relasi medis, relasi
hukum yang biasa disebut dengan perjanjian medis dalam hal penyembuhan pasien
disebut dengan Kontrak Terapeutis. Pasal-pasal yang dapat diterapkan: Pasal 1320
BW (KUH PERDATA) tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Pasal 1365 BW
(KUH PERDATA). Perlu diketahui bahwa kontrak medis bisa tertulis dan bias juga
tidak tertulis. Dan bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya bias disebut
dengan wan-prestasi.

2.      Hukum Pidana


Pasal – pasal yang dapat diterapkan adalah: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian
yang mengakibatkan kematian Pasal 360 KUHP kelalaian yang mengakibatkan luka
berat atau cacat.

3.  Hukum Administrasi Negara


Izin  yang dikeluarkan oleh pihak Depkes harus dimiliki oleh dokter
Perizinan Rumah sakit dan Apotek harus melalui Depkes.

Etika dan hukum kesehatan


Etika berhubungan dengan moral orang
Hukum kesehatan merupakan aturan-aturan dalam kesehatan
Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan
kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah itu tidak keluar dari etika
dan hukum agar apa yang dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan
hukum terhadap diri sendiri dan orang lain.

Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya yang baik/yang layak. Yang
baik / yang layak ini ukurannya orang banyak. Secara lebih luas, etika merupakan
norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam
memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat,
wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Katanya, kedokteran adalah profesi yang paling duluan menyusun etika. Yang mana
etika kedokteran itu adalah prinsip-prinsip moral atau azas-azas akhlak yang harus
diterapkan oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien, sejawat, dan
masyarakat umum. Sedangkan etika ahli kesehatan masyarakat adalah bagaimana
bertingkah laku dalam memberikan jasa dalam pelayananya nanti.

Ciri-ciri pekerjaan profesi :


1. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan
5. Anggotanya belajar sepanjang hayat (longlife education)
6. Mempunyai organisasi profesi (ex: IDI, IAKMI, PWI, dll)

Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan


dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur.
Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek dalam hubungan interrelasi
(kedudukan sederajat)(1887)

Hukum pidana adalah peraturan mengenai hokum KUHP di Indonesia (1 Januari


1918)
Hukum kesehatan (No. 23 tahun 1992) adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan penerapannya.

Yang diatur menyangkut hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana
pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta
sumber-sumber hukum lainnya.

Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan


kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin
(Gakin).

Persamaan etika dan hukum :


1. Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Objeknya tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior
Etika disusun oleh pengalaman senior
Hukum disusun oleh yang memiliki kekuasaan
Perbedaan etik dan hukum :

ETIKA
1. Berlaku untuk lingkungan professional
2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
3. Tidak seluruhnya tertulis
4. Pelanggaran diselesaikan oleh majelis kehormatan etik
5. Sanksi pelanggaran tuntunan
6. Penyelesaian pelanggaran tidak selalu disertai bukti fisik

HUKUM
1. Berlaku untuk umum
2. Disusun oleh badan pemerintah / kekuasaan
3. Tercantum secara rinci dalam kitab UU dan lembaran/berita negara
4. Pelanggaran diselesaikan melalui pengadilan
5. Sanksi pelanggaran tuntutan
6. Penyelesaian pelanggaran memerlukan bukti fisik
Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang disetujui atau
ditolak dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap/bertindak secara
pantas di dalam bidang kesehatan.

Landasan pembentukan perundang-undngan pelayanan kesehatan (WB Van


Der Mijn 1982)
1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
3. Kebutuhan akan keterarahan
4. Kebutuhan akan pengendalian biaya
5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan
kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah
6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
9. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum

HUKUM KESEHATAN INDONESIA :


Suatu Pengantar Selayang Pandang: Hukum Pidana di Sektor Kesehatan

Hukum Acara Pidana di Indonesia telah mengalami perkembangan yang demikian


pesat. Perkembangan tersebut ditandai dengan banyaknya aturan mengenai hukum
acara pidana didalam peraturan perundang-undangan. Hal itu terjadi karena Kitab
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi rujukan utama hukum acara pidana
tidak mengatur secara lengkap, sehingga masih membutuhkan peraturan lain atau
aturan pelaksana didalam penerapannya. Selain itu perkembangan yang ada di
masyarakat, mempengaruhi perubahan dan penambahan yang diperlukan dalam
hukum acara pidana.

Konsekwensi dari perkembangan hukum acara pidana tersebut, tidak mudah untuk
mengetahui pengaturan hukum acara pidana yang tersebar diberbagai peraturan
perundang-undangan. Hal ini tentunya dapat menyulitkan masyarakat yang ingin
mengetahui dan memahami hukum acara pidana secara komprehensif. Pada sisi
lain, tersebarnya pengaturan hukum acara pidana itu dapat mengganggu kelancaran
proses penegakan hukum, mengingat institusi penegak hukum dan lembaga lain
yang terkait dengan penegakan hukum pidana memiliki aturan hukum acara
pidananya masing-masing.

Oleh karena itu diperlukan sarana yang dapat mengumpulkan seluruh aturan hukum
acara pidana. Kompilasi hukum acara pidana dalam bentuk website ini merupakan
kumpulan dari berbagai peraturan yang mengatur hukum acara pidana. Dengan kata
lain website ini merupakan database tentang hukum acara pidana yang dikumpulkan
dari berbagai peraturan perundangundangan. Tujuannya adalah untuk menghimpun
seluruh aturan atau ketentuan hukum acara pidana yang masih berlaku, sekaligus
sebagai sarana sosialisasi hukum acara pidana kepada masyarakat secara
komprehensif dan aktual. Artinya, website ini juga bersifat living document yang
setiap perubahan-perubahan hukum acara pidana dapat segera diketahui dan
diinformasikan.
Modul ini menyajikan ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang terkait,
termasuk prinsipprinsip hukum acara pidana yang ada dalam konstitusi (UUD 1945)
dan Konvensi Internasional. Penyajiannya disusun mengikuti kerangka atau
sistematika tahapan-tahapan yang ada didalam KUHAP, mulai dari
penyelidikan/penyidikan, penuntutan, persidangan sampai pasca putusan.
Disamping itu penyajiannya dibuat pula berdasarkan pengelompokkan atas
klasifikasi hukum acara pidana khusus dan peraturan lain yang terkait. Agar tidak
kehilangan sejarah, dijelaskan pula selayang pandang mengenai hukum acara
pidana di Indonesia beserta perkembangannya.

Definisi Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan


Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan/ pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut
hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan
medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang
menyangkut asuhan/ pelayanan kedokteran (medical care / service).

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembangannya


dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia tahun 1967.
Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of the Association for Medical
Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini. Di Indonesia perkembangan
hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya Kelompok studi untuk Hukum
Kedokteran FK-UI/RS Ciptomangunkusumo di Jakarta tahun 1982. Perhimpunan
untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun
1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)
pada kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.

Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang


bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran/Kedokteran Gigi,
Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum
Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas
PERHUKI, 1993). Sumber Rujukan: Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999, Etika Kedokteran
dan Hukum Kesehatan, EGC : Jakarta.

Aspek Hukum Kesehatan

Saat ini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk kegiatan
pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di bidang
pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki aspek hukum
tatanegara. Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi, tata
cara membuka praktek pengobatan, berbagai pembatasan serta pengawasan
profesi dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter-pasien serta
keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan kesehatan
masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan
kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat keras atau
narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka
masuk bagian hukum pidana.

Di negara hukum yang sudah meningkat kearah negara kesejahteraan menjadi


kewajiban negara dengan alat perlengkapannya untuk mewujudkan keadaan bagi
kehidupan. Kehidupan bagi setiap orang, keluarga dan masyarakat memperoleh
kesejahteraan (well being) menurut pasal 1-6 Undang-Undang no. 9/1960 berarti
melibatkan tenaga kesehatan atau dokter turut secara aktif dalam semua usaha
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Usaha kesehatan pemerintah yang melibatkan tenaga kesehatan selaku aparat


negara yang berwenang merupakan pengembangan aspek hukum tatanegara
didalam hukum kedokteran kesehatan. Seluruh aspek hukum dalam peraturan
hukum kedokteran kesehatan menjadi perangkat hukum yang secara khusus
menentukan perilaku keteraturan/perintah keharusan/larangan perbuatan sesuatu itu
berlaku bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan usaha kesehatan.

Disamping norma-norma hukum yang terdapat didalam hukum kedokteran


kesehatan, berlaku juga norma etik kesehatan / norma etik kedokteran sebagai
petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dalam kehidupan
yang susila sehari-hari. Tugas pekerjaan yang dilaksanakan secara profesional
memerlukan dukungan yang ditaati berdasarkan kekuasaan moral dan salah satu
diantaranya tercantum dalam rumusan kode etik kedokteran maupun kode etik
tenaga kesehatan yang lainnya.

Sebagaimana norma etika sukarela ditaati berdasarkan keluhuran sikap / tanggung


jawab moral dari setiap orang yang menjalankan pekerjaan profesi. Akan tetapi
sebagian yang lain harus dikuatkan menjadi tatanan sosial yang dirumuskan secara
tertulis, baik mengenai kewajiban moril/akhlak dalam kode etik profesi maupun
mengenai kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas pekerjaan profesi dalam
hukum disipliner. Sanksi berupa celaan / teguran dan atau tindakan tata tertib /
administratif diserahkan kepada kebijaksanaan badan organisasi profesi yang
bertindak bukan sebagai badan peradilan.

Kedudukan Hukum Kesehatan

Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan dapat ditelaah


mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan ilmunya, dan proyeksinya.
Seringkali terdapat keraguan pemakaian istilah mana yang dapat dipakai untuk
memilih istilah hukum kedokteran ataukah hukum kesehatan ataukah hukum
kedokteran-kesehatan. Bagi ahli hukum pidana sudah kenal dengan istilah ilmu
kedoteran kehakiman dan/atau ilmu kedokteran forensik yaitu ilmu yang
menghasilkan bahan penyelidikan melalui pengetahuan kedokteran untuk membantu
menyelesaikan dan pembuktian perkara pidana yang menyangkut korban manusia.
Oleh karena itu dalam hal memahami peraturan-peraturan hukum tentang kegiatan
pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran, akan dirasakan lebih serasi dengan
menyebut istilah Hukum Kedokteran Kesehatan (HKK).

Penggunaan kata majemuk hukum kedoteran-kesehatan mempunyai latar belakang


dari rumusan kalimat "kesehatan berdasarkan ilmu kedokteran" sebagaimana
tercantum dalam penjelasan umum eks Undang-Undang tentang pokok-pokok
kesehatan No. 9/1960. Sebab selama ini telah dikembangkan pemikiran baru
dibidang kesehatan mengenai keluarga/sosial dalam kaitannya dengan
kependudukan yang ruang lingkup tatanan peraturan hukumnya dihimpun dalam
hukum keluarga berencana dan kependudukan yang diselenggaran oleh BKKBN.

Kedudukan hukum kedokteran kesehatan menjadi bagian dari pertumbuhan ilmu


hukum dan sebagai cabang hukum yang diharapkan dapat berkembang lebih jauh
menjadi sub bidang tersendiri hukum kesehatan dan hukum kedokteran termasuk
teknologi kedokteran. Kemajuan pembidangan hukum yang demikian itu dapat
terlihat pada hukum acara pidana menjadi beberapa bagian antara lain hukum
pembuktian dan hukum kepolisian yang mengandung teknologi penegakan hukum.
Sumber Artikel : Prof.DR.H. Bambang Poernomo, SH, 2008,

UU NO 36 TH 2014
TENTANG TENAGA KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan
berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat
menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi
Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah
lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi
yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai
kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk
menjalankan praktik.
10.Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga
Kesehatan yang telah diregistrasi.
11.Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
12.Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan.
13.Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan
dalam melakukan pelayanan kesehatan.
14.Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah
yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
15.Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas
secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16.Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang
seprofesi.
17.Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh
Organisasi Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas
mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
18.Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi
tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan.
19.Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
20.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota serta perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
21.Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan

Pasal 11

1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:


a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain.

2) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi,
dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
3) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
4) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat.
5) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah bidan.
6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian.
7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog
kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan
kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan
kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas tenaga
sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan
dietisien.
10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik
sebagaimana dimaksud 6 / 28 www.hukumonline.com pada ayat (1) huruf i
terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur.
11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis
dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah,
refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi
dan mulut, dan audiologis.
12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik
biomedika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas radiografer,
elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis,
dan ortotik prostetik.
13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok Tenaga Kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l terdiri atas tenaga
kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
14) Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan
oleh Menteri.

UU NO 36 TH 2014
TENTANG TENAGA KESEHATAN
Bagian Kedua

Pengadaan

Pasal 17

1) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan


pendayagunaan Tenaga Kesehatan.
2) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang
kesehatan.
3) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diarahkan untuk menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi.
4) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan
dinamika kesempatan kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
b. keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan
sumber daya yang tersedia; dan
c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

1) Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin sesuai


dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan
rekomendasi dari Menteri.
3) Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh Menteri.
4) Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
5) Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan, penyelenggara
pendidikan tinggi bidang kesehatan harus mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan dan berkoordinasi dengan Menteri.
6) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

1) Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang


kesehatan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
2) Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan
Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah
berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 20

1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi Standar


Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan.
2) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
3) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi institusi pendidikan, dan
Organisasi Profesi.
4) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendidikan.
Pasal 21

1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi
harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan,
atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh
Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan
oleh Menteri.
5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi.
6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus
Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi.
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG


IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN


REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Penata Anestesi merupakan salah salah satu dari jenis tenaga kesehatan
yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
berupa asuhan kepenataan anestesi sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
b. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat penerima pelayanan kesehatan,
setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik keprofesiannya harus
memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
c. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi, dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dinamika hukum dan kebutuhan masyarakat penerima
pelayanan kesehatan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (7) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang -2- Tenaga Kesehatan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata
Anestesi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambaran Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medik;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 224);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 915);
10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977);
11.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG IZIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Penata Anestesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan bidang
keperawatan anestesi atau Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
3. Surat Tanda Registrasi Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat STRPA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Penata Anestesi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Surat Izin Praktik Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat SIPPA adalah bukti
tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik keprofesian Penata
Anestesi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
5. Standar Profesi Penata Anestesi adalah batasan kemampuan minimal berupa
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan
dimiliki oleh seorang Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik
keprofesiannya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh Organisasi
Profesi.
6. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
7. Organisasi Profesi adalah Ikatan Penata Anestesi Indonesia.

BAB II
PERIZINAN
Bagian Kesatu
STRPA

Pasal 2
1) Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya harus memiliki
STRPA.
2) Untuk dapat memperoleh STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penata
Anestesi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun.
4) STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan.

Pasal 3
STRPA yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan. Bagian Kedua SIPPA
Pasal 4
1) Penata Anestesi yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki SIPPA.
2) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Penata Anestesi
yang telah memiliki STRPA.
3) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
4) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk 1 (satu) tempat.

Pasal 5
1) Penata Anestesi hanya dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIPPA.
2) Permohonan SIPPA kedua dapat dilakukan dengan menunjukkan bahwa Penata
Anestesi telah memiliki SIPPA pertama.
Pasal 6
1) Untuk memperoleh SIPPA sebagaimana dimakud dalam Pasal 4, Penata Anestesi
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
dengan melampirkan:
a. fotokopi ijazah yang dilegalisasi;
b. fotokopi STRPA;
c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
d. surat pernyataan memiliki tempat praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
e. pas foto terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar berlatar belakang
merah;
f. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang
ditunjuk; dan
g. rekomendasi dari Organisasi Profesi.
2) Dalam hal SIPPA dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, persyaratan
rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak diperlukan.
3) Contoh surat permohonan memperoleh SIPPA sebagaimana tercantum dalam
formulir I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4) Contoh SIPPA sebagaimana tercantum dalam formulir II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 7
1) Penata Anestesi warga negara asingdapat mengajukan permohonan
memperoleh SIPPA setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-
undangan;
c. mengikuti evaluasi kompetensi;
d. memiliki surat izin kerja dan izin tinggal serta persyaratan lainnya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.
2) Penata Anestesi warga negara Indonesia lulusan luar negeri dapat mengajukan
permohonan memperoleh SIPPA setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
b. mengikuti evaluasi kompetensi.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
1) SIPPA berlaku sepanjang STRPA masih berlaku dan dapat diperpanjang kembali
selama memenuhi persyaratan.
2) Penata Anestesi dan Penata Anestesi warga negara Indonesia lulusan luar negeri
yang akan memperpanjang SIPPA harus mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).
3) Penata Anestesi warga negara asing yang akan memperpanjang SIPPA harus:
4) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2);
dan
5) membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 9
1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan Penata Anestesi
yang tidak memiliki SIPPA.
2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaporkan Penata Anestesi yang
bekerja dan berhenti di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada
Organisasi Profesi.

BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPROFESIAN PENATA ANESTESI
Bagian Kesatu
Wewenang

Pasal 10
Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya berwenang untuk
melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi pada:
a. praanestesi;
b. intraanestesi; dan
c. pascaanestesi.

Pasal 11
1) Pelayanan asuhan kepenataan praanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf a yaitu melakukan pengkajian penatalaksanaan pra anestesia yang
meliputi:
a. persiapan administrasi pasien;
b. pemeriksaan tanda-tanda vital;
c. pemeriksaan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan pasien baik secara
inspeksi, palpasi, maupun auskultasi;
d. pemeriksaan dan penilaian status fisik pasien;
e. analisis hasil pengkajian dan merumuskan masalah pasien;
f. evaluasi tindakan penatalaksanaan pelayanan pra anestesia, mengevaluasi
secara mandiri maupun kolaboratif;
g. mendokumentasikan hasil anamnesis/ pengkajian;
h. persiapan mesin anestesia secara menyeluruh setiap kali akan digunakan dan
memastikan bahwa mesin dan monitor dalam keadaan baik dan siap pakai;
i. pengontrolan persediaan obat-obatan dan cairan setiap hari untuk
memastikan bahwa semua obat-obatan baik obat anestesia maupun obat
emergensi tersedia sesuai standar rumah sakit; dan
j. memastikan tersedianya sarana prasarana anestesia berdasarkan jadwal,
waktu, dan jenis operasi tersebut.
2) Pelayanan asuhan kepenataan intraanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf b, terdiri atas:
a. pemantauan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik
anestesia;
b. pemantauan keadaan umum pasien secara menyeluruh dengan baik dan
benar; dan
c. pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan agar seluruh tindakan
tercatat baik dan benar.
3) Pelayanan asuhan kepenataan pascaanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf c meliputi:
a. merencanakan tindakan kepenataan pasca tindakan anestesia;
b. penatalaksanaan dalam manajemen nyeri sesuai instruksi dokter spesialis
anestesi.
c. pemantauan kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
d. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika regional;
e. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika umum;
f. evaluasi hasil kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
g. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia
regional;
h. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia umum;
i. pelaksanaan tindakan dalam mengatasi kondisi gawat;
j. pendokumentasian pemakaian obat-obatan dan alat kesehatan yang dipakai;
dan
k. pemeliharaan peralatan agar siap untuk dipakai pada tindakan anestesia
selanjutnya.

Bagian Kedua
Pelimpahan Wewenang

Pasal 12
Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, Penata
Anestesi dapat melaksanakan pelayanan:

a. di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter


spesialis anestesiologi atau dokter lain; dan/atau
b. berdasarkan penugasan pemerintah sesuai kebutuhan.

Pasal 13
Pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter spesialis anestesiologi atau
dokter lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dalam rangka
membantu pelayanan anestesi yang meliputi:

a. pelaksanaan anestesia sesuai dengan instruksi dokter spesialis anestesiologi;

b. pemasangan alat monitoring non invasif;

c. melakukan pemasangan alat monitoring invasif;

d. pemberian obat anestesi;

e. mengatasi penyulit yang timbul;

f. pemeliharaan jalan napas;

g. pemasangan alat ventilasi mekanik;

h. pemasangan alat nebulisasi;

i. pengakhiran tindakan anestesia; dan

j. pendokumentasian pada rekam medik.

Pasal 14
1) Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan dalam hal tidak terdapat dokter
spesialis anestesiologi di suatu daerah.
2) Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Penata Anestesi yang telah mendapat
pelatihan.
3) Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi pelayanan anestesi sesuai dengan kompetensi tambahan yang
diperoleh melalui pelatihan.
4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah
kabupaten/kota bekerjasama dengan organisasi profesi terkait.
5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) harus terakreditasi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah hanya dapat
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.

Pasal 15
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) telah terdapat
dokter spesialis anestesiologi, wewenang untuk melakukan pelayanan berdasarkan
penugasan pemerintah tidak berlaku.

Pasal 16
1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa, Penata Anestesi dapat
melakukan tindakan pelayanan anestesi di luar wewenangnya dalam rangka
pertolongan pertama.
2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
mengurangi rasa sakit dan menstabilkan kondisi pasien.
3) Penata Anestesi wajib merujuk pasien kepada tenaga kesehatan yang
berkompeten setelah pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selesai dilakukan.

Pasal 17
1) Penata Anestesi dalam melaksanakan praktik keprofesiannya wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
2) Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh dokter spesialis anestesiologi.
3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja
sama dengan organisasi profesi. Bagian Ketiga Pencatatan

Pasal 18
1) Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi wajib melakukan
pencatatan.
2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban

Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik
keprofesiannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan
standar operasional prosedur;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan/atau keluarga;
c. melaksanakan pelayanan sesuai dengan kompetensi;
c. menerima imbalan jasa profesi; dan
d. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan
dengan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
1) Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai
kewajiban:
a. menghormati hak pasien;
b. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memberikan informasi tentang masalah kesehatan dan pelayanan yang
dibutuhkan;
d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan kepada pasien; dan
e. mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional
prosedur.
2) Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya harus senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan, dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan
bidang tugasnya.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 21
1) Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan praktik
keprofesian Penata Anestesi.
2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat melibatkan organisasi profesi.
3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan melindungi
masyarakat dari segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
Pasal 22
1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dapat memberikan tindakan administratif kepada Penata Anestesi yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik keprofesian
Penata Anestesi dalam Peraturan Menteri ini.
2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan SIPPA.
Pasal 23
1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat merekomendasikan pencabutan STRPA
terhadap Penata Anestesi yang melakukan pekerjaan Penata Anestesi tanpa
memiliki SIPPA.
2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin Fasilitas Pelayanan Kesehatan
kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Penata
Anestesi yang tidak mempunyai SIPPA.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Semua nomenklatur Perawat Anestesi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 224) harus dibaca dan dimaknai sebagai Penata Anestesi;
dan
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan Perawat Anestesi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
673) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2016
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 719


Formulir I

Perihal : Permohonan Surat Izin Praktik Penata Anestesi (SIPPA)

Kepada Yth,
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota .............
di ..............................……..

Dengan hormat, Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama Lengkap : ......................................................
Alamat : ......................................................
Tempat/Tanggal Lahir : ......................................................
Jenis Kelamin : ......................................................
Tahun Lulusan : ......................................................
Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Praktik
Penata Anestesi pada ................................................... (sebut nama fasilitas pelayanan
kesehatan, alamat, nama kota, kabupaten/kota) sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor ...................................................
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi.

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan:


a. Fotokopi ijazah Diploma III Keperawatan Anestesi yang disahkan oleh pimpinan
penyelenggara pendidikan;
b. Fotokopi STRPA yang masih berlaku;
c. Surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP;
d. Pas foto ukuran 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar;
e. Surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau yang menyatakan
masih bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan;
f. Rekomendasi dari IPAI.

Demikian atas perhatian Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.


Yang memohon,

(……………………………)
Formulir II

DINAS KESEHATAN KABUPATEN / KOTA…………………..

________________________________________________________________
__________________

SURAT IZIN PRAKTIK PENATA ANESTESI NALIS


NOMOR .............................

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor ...........................................
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi, maka kepada:
Nama : ........................................................................
Tempat/Tanggal Lahir: ........................................................................
Alamat : ........................................................................
STRPA Nomor : ........................................................................
Dikeluarkan oleh : ........................................................................
Pada Tanggal : ........................................................................
Diberikan izin praktik untuk melakukan pekerjaan dalam bidang asuhan kepenataan anestesi
sebagai Penata Anestesi, lulusan .................................(jenis pendidikan) pada:
Nama Fasilitas pelayanan kesehatan : .....................................................
Alamat : .....................................................
Kabupaten/kota : .....................................................

Surat Izin Praktik Penata Anestesi (SIPPA) ini berlaku sampai dengan
tanggal .............................

Dikeluarkan pada tanggal .....


Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota.......................

Nama .............................
NIP .................................

Tembusan :
1. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
2. Organisasi Profesi (IPAI)

Selesai

Anda mungkin juga menyukai