HUKUM KESEHATAN
Pengertian
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan
kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan
termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara
kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal
yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.
1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan
negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan
hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non
scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan
secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan
berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan
mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa
Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang
sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan
masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum
adat.
3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi
dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan
hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.
4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat
oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-
undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi
pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi
salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan
pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang
sering merasa tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.
Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi Hukum Kesehatan yaitu menertibkan
pemecahan konflik -konflik misalnya kelalaian penyelenggaraan pelayanan
bersumber dari kelalaian tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya
Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama
melalui do’a atau upacara pengorbanan. Pada masa itu profesi kedokteran menjadi
monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang
tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta
merekrtu muridnya dari kalangan atas. Memiliki kewenangan untuk membuat
undang-undang, karena dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-
undang di muka bumi.
Undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat,
misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter
dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis
sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini.
Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga
memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai
dikembangkan dimana penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan
yang dibiayai oleh masyarakat. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang
bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku
standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau
mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di
Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai
dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa
dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal,
bukan dari Mesir)
Dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan
pula ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat
kelalian dokter ketika menangani budak tersebut. Salah satu filosof yunani
HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah berhasil menyusun landasan
bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
Abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di
bidang kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan
oleh perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran. Hukum dan etika
berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih menitik
beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk
kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat
memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.
Dalam Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman
Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik
Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB.
IDI, menyebutkan beberapak Hak dan Kewajiban Pasien serta kewajiban dari
Rumah Sakit, diantaranya:
Hak pasien :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar
profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanp diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi
keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
6. Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan
yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medik yg akan dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh
dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau
masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu
ketertiban & ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit
terhadap dirinya
15. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
17. Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis
miliknya.
Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
kepada dokter yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam
pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban
memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya
Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya yang baik/yang layak. Yang
baik / yang layak ini ukurannya orang banyak. Secara lebih luas, etika merupakan
norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam
memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat,
wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Katanya, kedokteran adalah profesi yang paling duluan menyusun etika. Yang mana
etika kedokteran itu adalah prinsip-prinsip moral atau azas-azas akhlak yang harus
diterapkan oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien, sejawat, dan
masyarakat umum. Sedangkan etika ahli kesehatan masyarakat adalah bagaimana
bertingkah laku dalam memberikan jasa dalam pelayananya nanti.
Yang diatur menyangkut hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana
pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta
sumber-sumber hukum lainnya.
ETIKA
1. Berlaku untuk lingkungan professional
2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
3. Tidak seluruhnya tertulis
4. Pelanggaran diselesaikan oleh majelis kehormatan etik
5. Sanksi pelanggaran tuntunan
6. Penyelesaian pelanggaran tidak selalu disertai bukti fisik
HUKUM
1. Berlaku untuk umum
2. Disusun oleh badan pemerintah / kekuasaan
3. Tercantum secara rinci dalam kitab UU dan lembaran/berita negara
4. Pelanggaran diselesaikan melalui pengadilan
5. Sanksi pelanggaran tuntutan
6. Penyelesaian pelanggaran memerlukan bukti fisik
Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang disetujui atau
ditolak dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap/bertindak secara
pantas di dalam bidang kesehatan.
Konsekwensi dari perkembangan hukum acara pidana tersebut, tidak mudah untuk
mengetahui pengaturan hukum acara pidana yang tersebar diberbagai peraturan
perundang-undangan. Hal ini tentunya dapat menyulitkan masyarakat yang ingin
mengetahui dan memahami hukum acara pidana secara komprehensif. Pada sisi
lain, tersebarnya pengaturan hukum acara pidana itu dapat mengganggu kelancaran
proses penegakan hukum, mengingat institusi penegak hukum dan lembaga lain
yang terkait dengan penegakan hukum pidana memiliki aturan hukum acara
pidananya masing-masing.
Oleh karena itu diperlukan sarana yang dapat mengumpulkan seluruh aturan hukum
acara pidana. Kompilasi hukum acara pidana dalam bentuk website ini merupakan
kumpulan dari berbagai peraturan yang mengatur hukum acara pidana. Dengan kata
lain website ini merupakan database tentang hukum acara pidana yang dikumpulkan
dari berbagai peraturan perundangundangan. Tujuannya adalah untuk menghimpun
seluruh aturan atau ketentuan hukum acara pidana yang masih berlaku, sekaligus
sebagai sarana sosialisasi hukum acara pidana kepada masyarakat secara
komprehensif dan aktual. Artinya, website ini juga bersifat living document yang
setiap perubahan-perubahan hukum acara pidana dapat segera diketahui dan
diinformasikan.
Modul ini menyajikan ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang terkait,
termasuk prinsipprinsip hukum acara pidana yang ada dalam konstitusi (UUD 1945)
dan Konvensi Internasional. Penyajiannya disusun mengikuti kerangka atau
sistematika tahapan-tahapan yang ada didalam KUHAP, mulai dari
penyelidikan/penyidikan, penuntutan, persidangan sampai pasca putusan.
Disamping itu penyajiannya dibuat pula berdasarkan pengelompokkan atas
klasifikasi hukum acara pidana khusus dan peraturan lain yang terkait. Agar tidak
kehilangan sejarah, dijelaskan pula selayang pandang mengenai hukum acara
pidana di Indonesia beserta perkembangannya.
Saat ini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum untuk kegiatan
pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup aspek-aspek di bidang
pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan sudah memasuki aspek hukum
tatanegara. Persyaratan pendidikan keahlian, menjalankan pekerjaan profesi, tata
cara membuka praktek pengobatan, berbagai pembatasan serta pengawasan
profesi dokter masuk dalam bagian hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter-pasien serta
keluarganya, akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan kesehatan
masuk bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan
kesehatan, menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat keras atau
narkotika, pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka
masuk bagian hukum pidana.
UU NO 36 TH 2014
TENTANG TENAGA KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan
berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat
menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi
Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah
lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi
yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai
kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk
menjalankan praktik.
10.Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga
Kesehatan yang telah diregistrasi.
11.Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
12.Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan.
13.Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan
dalam melakukan pelayanan kesehatan.
14.Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah
yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
15.Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas
secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16.Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang
seprofesi.
17.Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh
Organisasi Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas
mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
18.Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi
tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan.
19.Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
20.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota serta perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
21.Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan
Pasal 11
UU NO 36 TH 2014
TENTANG TENAGA KESEHATAN
Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi
harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan,
atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh
Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan
oleh Menteri.
5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi.
6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus
Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan
Tinggi.
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
Menimbang :
a. bahwa Penata Anestesi merupakan salah salah satu dari jenis tenaga kesehatan
yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
berupa asuhan kepenataan anestesi sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
b. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat penerima pelayanan kesehatan,
setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik keprofesiannya harus
memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
c. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi, dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dinamika hukum dan kebutuhan masyarakat penerima
pelayanan kesehatan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (7) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang -2- Tenaga Kesehatan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata
Anestesi;
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG IZIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penata Anestesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan bidang
keperawatan anestesi atau Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
3. Surat Tanda Registrasi Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat STRPA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Penata Anestesi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Surat Izin Praktik Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat SIPPA adalah bukti
tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik keprofesian Penata
Anestesi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
5. Standar Profesi Penata Anestesi adalah batasan kemampuan minimal berupa
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan
dimiliki oleh seorang Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik
keprofesiannya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh Organisasi
Profesi.
6. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
7. Organisasi Profesi adalah Ikatan Penata Anestesi Indonesia.
BAB II
PERIZINAN
Bagian Kesatu
STRPA
Pasal 2
1) Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya harus memiliki
STRPA.
2) Untuk dapat memperoleh STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penata
Anestesi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun.
4) STRPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh sesuai ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 3
STRPA yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan. Bagian Kedua SIPPA
Pasal 4
1) Penata Anestesi yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki SIPPA.
2) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Penata Anestesi
yang telah memiliki STRPA.
3) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
4) SIPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk 1 (satu) tempat.
Pasal 5
1) Penata Anestesi hanya dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIPPA.
2) Permohonan SIPPA kedua dapat dilakukan dengan menunjukkan bahwa Penata
Anestesi telah memiliki SIPPA pertama.
Pasal 6
1) Untuk memperoleh SIPPA sebagaimana dimakud dalam Pasal 4, Penata Anestesi
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
dengan melampirkan:
a. fotokopi ijazah yang dilegalisasi;
b. fotokopi STRPA;
c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
d. surat pernyataan memiliki tempat praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
e. pas foto terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar berlatar belakang
merah;
f. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang
ditunjuk; dan
g. rekomendasi dari Organisasi Profesi.
2) Dalam hal SIPPA dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, persyaratan
rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak diperlukan.
3) Contoh surat permohonan memperoleh SIPPA sebagaimana tercantum dalam
formulir I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4) Contoh SIPPA sebagaimana tercantum dalam formulir II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
1) Penata Anestesi warga negara asingdapat mengajukan permohonan
memperoleh SIPPA setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-
undangan;
c. mengikuti evaluasi kompetensi;
d. memiliki surat izin kerja dan izin tinggal serta persyaratan lainnya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.
2) Penata Anestesi warga negara Indonesia lulusan luar negeri dapat mengajukan
permohonan memperoleh SIPPA setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
b. mengikuti evaluasi kompetensi.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
1) SIPPA berlaku sepanjang STRPA masih berlaku dan dapat diperpanjang kembali
selama memenuhi persyaratan.
2) Penata Anestesi dan Penata Anestesi warga negara Indonesia lulusan luar negeri
yang akan memperpanjang SIPPA harus mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).
3) Penata Anestesi warga negara asing yang akan memperpanjang SIPPA harus:
4) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2);
dan
5) membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 9
1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan Penata Anestesi
yang tidak memiliki SIPPA.
2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaporkan Penata Anestesi yang
bekerja dan berhenti di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada
Organisasi Profesi.
BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPROFESIAN PENATA ANESTESI
Bagian Kesatu
Wewenang
Pasal 10
Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya berwenang untuk
melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi pada:
a. praanestesi;
b. intraanestesi; dan
c. pascaanestesi.
Pasal 11
1) Pelayanan asuhan kepenataan praanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf a yaitu melakukan pengkajian penatalaksanaan pra anestesia yang
meliputi:
a. persiapan administrasi pasien;
b. pemeriksaan tanda-tanda vital;
c. pemeriksaan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan pasien baik secara
inspeksi, palpasi, maupun auskultasi;
d. pemeriksaan dan penilaian status fisik pasien;
e. analisis hasil pengkajian dan merumuskan masalah pasien;
f. evaluasi tindakan penatalaksanaan pelayanan pra anestesia, mengevaluasi
secara mandiri maupun kolaboratif;
g. mendokumentasikan hasil anamnesis/ pengkajian;
h. persiapan mesin anestesia secara menyeluruh setiap kali akan digunakan dan
memastikan bahwa mesin dan monitor dalam keadaan baik dan siap pakai;
i. pengontrolan persediaan obat-obatan dan cairan setiap hari untuk
memastikan bahwa semua obat-obatan baik obat anestesia maupun obat
emergensi tersedia sesuai standar rumah sakit; dan
j. memastikan tersedianya sarana prasarana anestesia berdasarkan jadwal,
waktu, dan jenis operasi tersebut.
2) Pelayanan asuhan kepenataan intraanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf b, terdiri atas:
a. pemantauan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik
anestesia;
b. pemantauan keadaan umum pasien secara menyeluruh dengan baik dan
benar; dan
c. pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan agar seluruh tindakan
tercatat baik dan benar.
3) Pelayanan asuhan kepenataan pascaanestesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf c meliputi:
a. merencanakan tindakan kepenataan pasca tindakan anestesia;
b. penatalaksanaan dalam manajemen nyeri sesuai instruksi dokter spesialis
anestesi.
c. pemantauan kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
d. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika regional;
e. pemantauan kondisi pasien pasca pemberian obat anestetika umum;
f. evaluasi hasil kondisi pasien pasca pemasangan kateter epidural;
g. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia
regional;
h. evaluasi hasil pemasangan kateter epidural dan pengobatan anestesia umum;
i. pelaksanaan tindakan dalam mengatasi kondisi gawat;
j. pendokumentasian pemakaian obat-obatan dan alat kesehatan yang dipakai;
dan
k. pemeliharaan peralatan agar siap untuk dipakai pada tindakan anestesia
selanjutnya.
Bagian Kedua
Pelimpahan Wewenang
Pasal 12
Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, Penata
Anestesi dapat melaksanakan pelayanan:
Pasal 13
Pelimpahan wewenang secara mandat dari dokter spesialis anestesiologi atau
dokter lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dalam rangka
membantu pelayanan anestesi yang meliputi:
Pasal 14
1) Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan dalam hal tidak terdapat dokter
spesialis anestesiologi di suatu daerah.
2) Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Penata Anestesi yang telah mendapat
pelatihan.
3) Pelayanan dalam rangka pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi pelayanan anestesi sesuai dengan kompetensi tambahan yang
diperoleh melalui pelatihan.
4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah
kabupaten/kota bekerjasama dengan organisasi profesi terkait.
5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) harus terakreditasi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Pelimpahan wewenang berdasarkan penugasan pemerintah hanya dapat
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
Pasal 15
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) telah terdapat
dokter spesialis anestesiologi, wewenang untuk melakukan pelayanan berdasarkan
penugasan pemerintah tidak berlaku.
Pasal 16
1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa, Penata Anestesi dapat
melakukan tindakan pelayanan anestesi di luar wewenangnya dalam rangka
pertolongan pertama.
2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
mengurangi rasa sakit dan menstabilkan kondisi pasien.
3) Penata Anestesi wajib merujuk pasien kepada tenaga kesehatan yang
berkompeten setelah pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selesai dilakukan.
Pasal 17
1) Penata Anestesi dalam melaksanakan praktik keprofesiannya wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
2) Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh dokter spesialis anestesiologi.
3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja
sama dengan organisasi profesi. Bagian Ketiga Pencatatan
Pasal 18
1) Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi wajib melakukan
pencatatan.
2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik
keprofesiannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan
standar operasional prosedur;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan/atau keluarga;
c. melaksanakan pelayanan sesuai dengan kompetensi;
c. menerima imbalan jasa profesi; dan
d. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan
dengan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
1) Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai
kewajiban:
a. menghormati hak pasien;
b. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memberikan informasi tentang masalah kesehatan dan pelayanan yang
dibutuhkan;
d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan kepada pasien; dan
e. mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional
prosedur.
2) Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya harus senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan, dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan
bidang tugasnya.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
1) Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan praktik
keprofesian Penata Anestesi.
2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat melibatkan organisasi profesi.
3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan melindungi
masyarakat dari segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
Pasal 22
1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dapat memberikan tindakan administratif kepada Penata Anestesi yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik keprofesian
Penata Anestesi dalam Peraturan Menteri ini.
2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan SIPPA.
Pasal 23
1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat merekomendasikan pencabutan STRPA
terhadap Penata Anestesi yang melakukan pekerjaan Penata Anestesi tanpa
memiliki SIPPA.
2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin Fasilitas Pelayanan Kesehatan
kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Penata
Anestesi yang tidak mempunyai SIPPA.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Semua nomenklatur Perawat Anestesi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 224) harus dibaca dan dimaknai sebagai Penata Anestesi;
dan
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan Perawat Anestesi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
673) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2016
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
NILA FARID MOELOEK
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
Kepada Yth,
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota .............
di ..............................……..
(……………………………)
Formulir II
________________________________________________________________
__________________
Surat Izin Praktik Penata Anestesi (SIPPA) ini berlaku sampai dengan
tanggal .............................
Nama .............................
NIP .................................
Tembusan :
1. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
2. Organisasi Profesi (IPAI)
Selesai