Anda di halaman 1dari 86

Hukum Kesehatan

A. Pengertian
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses
membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk
membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan
pribadinya dan orang lain.
Definisi Hukum Kesehatan Menurut pakar ahli hukum
Van Der Mijn, pengertian dari hukum kesehatan diartikan sebagai hukum yang
berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang meliputi penerapan perangkat
hukum perdata, pidana dan tata usaha negara atau definisi hukum kesehatan adalah sebagai
keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi
ilmiahnya.
Leenen Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di
bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan
yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan /
pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari
perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman
standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut
asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)

Subjek dan Objek:


Subjek Hukum Kesehatan adalah Pasien dan tenaga kesehatan termasuk institusi kesehatan
sedangkan objek Hukum Kesehatan adalah perawatan kesehatan (Zorg voor de gezondheid).
Tujuan Hukum Kesehatan:

Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti
memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan,
lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya
derajat kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan
swasta bersama-sama.

Tujuan hukum Kesehatan pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban didalam masyarakat
diharapkan kepentingan manusia akan terpenuhi dan terlindungi (Mertokusumo, 1986). Dengan
demikian jelas terlihat bahwa tujuan hukum kesehatanpun tidak akan banyak menyimpang dari
tujuan umum hukum. Hal ini dilihat dari bidang kesehatan sendiri yang mencakup aspek sosial
dan kemasyarakatan dimana banyak kepentingan harus dapat diakomodir dengan baik.

Azas Hukum Kesehatan:


1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan
perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4. Asas adil dan merata
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan
individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.

Ruang lingkup hukum kesehatan:

1. Hukum Medis (Medical Law);


2. Hukum Keperawatan (Nurse Law);
3. Hukum Rumah Sakit (Hospital Law);
4. Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law);
5. Hukum Limbah (dari industri, rumah tangga, dsb);
6. Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear);
7. Hukum Keselamatan Kerja;
8. dan Peraturan-peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia.

Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)


1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra
Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan
kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban
pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum
Sumber Hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun
kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat
(the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak mempunyai
kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan
kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang
menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat
menemukan hukum.

Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :


a. Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya,
hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik,
pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.
1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang
berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta)
sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa
diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus
(speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
a. UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya,
sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena
cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b. UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya
dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.

2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-
ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan
biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan.
Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang
mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya
hukum adat.

3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar
bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi
keputusan hakim yang tetap.

4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh
kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur
dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat)
apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas
menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek
hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban
umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah
disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)


Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain.
Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk
warga negaranya masing-masing.
6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan
(hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum
(formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.

Fungsi Hukum Kesehatan


a. Menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di dalam sub
sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar bagi ketertiban
masyarakat secara keseluruhan.
b. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan).
Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
c. Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-halangi dokter untuk
melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka tindakan
tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang tidak
dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat
melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika
perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan
masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang
jika berhadapan dengan proses peradilan.
Sedangkan Menurut bredemeier Fungsi Hukum Kesehatan yaitu menertibkan pemecahan
konflik -konflik misalnya kelalaian penyelenggaraan pelayanan bersumber dari kelalaian tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugasnya

B. Sejarah Hukum Kesehatan

Pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit menyerang
seseorang dan tidak menyerang lainnya. Pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan
kekuatan yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang
yang yang melanggar hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang
melawan dewa pelindung manusia. Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau
pemuka agama melalui do’a atau upacara pengorbanan. Pada masa itu profesi kedokteran menjadi
monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang tertutup, yang
mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta merekrtu muridnya dari
kalangan atas. Memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena dipercayai sebagai
wakil Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.
Uundang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya
hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan
metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki
profesi ini. Di Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga
memiliki hukum kesehatan. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana
penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.
peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. tidak ada hukuman bagi
dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti. profesi kedokteran masih di dominasi kaum
kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran. sebenarnya ilmu kedokteran sudah
maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai
dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien,
besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
Dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula ketentuan
yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika menangani
budak tersebut. Salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah
berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran yang
bersifat coba-coba
b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien serta
adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia dan
aborsi
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil
keuntungan.
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
Abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi profesi
kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang kedokteran menjadi
sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum untuk mengontrol
profesi kedokteran. Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek
hukum lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk
kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat memaksa, etika
berupa pengucilan dari masyarakat.
C. Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit
Saat ini pasien menyadari bahwa dia harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta apa yang
akan dilakukan dokter atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering kali pasien merasa perlu
berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan demikian hubungan pasien-dokter atau
pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi lebih bersifat ”partnership” atau kemitraan.
Hak Dan Kewajiban Pasien
Dalam Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak
dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik Indonesia No. 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, menyebutkan beberapak Hak dan
Kewajiban Pasien serta kewajiban dari Rumah Sakit, diantaranya:

o Hak pasien :
1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak
atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi
kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan
4. Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku di rumah sakit
5. Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya
tanpa campur tangan dari pihak luar
6. Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
7. Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali
apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku
8. Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg akan
dilakukan thd dirinya.
9. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan
dengan penyakit yang dideritanya
10. Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas
tentang penyakitnya.
"Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">
11. Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam
keadaan kritis atau menjelang kematian).
12. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban &
ketenangan umum/pasien lainya.
13. Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
14. Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya
15. Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
16. Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
(memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
17. Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.

o Kewajiban Pasien
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter
yang merawat
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
3. Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal yang
telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya

Hubungan Pasien Dengan Rumah Sakit


o Hak Rumah Sakit
1. Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS.nya sesuai dengan kondisi/keadaan yang ada
di RS tersebut.
2. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan RS
3. Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter
kepadanya
4. Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS. melalui panitia kredential
5. Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dll)
6. Mendapat jaminan dan perlindungan hukum
7. Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada pasien

o Kewajiban Rumah Sakit


1. Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
2. Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien
3. Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak memebedakan kelas perawatan (Duty of Care)
4. Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care)
5. Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi
terlebih dahulu
6. Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
7. Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku
8. Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang
diperlukan
9. Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana
10. Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana dalam
melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum
dari pasien atau keluarganya
11. Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut
12. Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang medik, maupun non
medik.
13. Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI)

D. Penerapan Hukum Kesehatan dengan Hukum Lain

1. Hukum Perdata
Yaitu : hubungan antara dokter dengan pasien bias merupaka relasi medis, relasi hukum
yang biasa disebut dengan perjanjian medis dalam hal penyembuhan pasien disebut dengan
Kontrak Terapeutis.
Pasal-pasal yang dapat diterapkan:

1. Pasal 1320 BW (KUH PERDATA) tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.


2. Pasal 1365 BW (KUH PERDATA).

Perlu diketahui bahwa kontrak medis bisa tertulis dan bias juga tidak tertulis. Dan bila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya bias disebut dengan wan-prestasi.

2. Hukum Pidana
Pasal – pasal yang dapat diterapkan adalah:

1. Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian


2. Pasal 360 KUHP kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat.

3. Hukum Administrasi Negara

1. Izin yang dikeluarkan oleh pihak Depkes harus dimiliki oleh dokter
2. Perizinan Rumah sakit dan Apotek harus melalui Depkes.

E. Rahasia Medik
Rahasia Medik adalah adalah segala sesuatu yang dianggap rahasia oleh pasien yang
terungkap dalam hubungan medis dokter-pasien baik yang diungkapkan secara langsung oleh
pasien (subjektif ) maupun yang diketahui oleh dokter ketika melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang ( objektif). Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan
perundang-undangan antara lain:

1. Pasal 57 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas
kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan
2. Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia
kedokteran
3. Pasal 32 (i) UU No,44 Tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk
mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya

Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut diancam pidana kurungan


badan sebagai mana yang diatur dalam pasal 322KUHP yang mengatakan : " barang siapa yang
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib ia simpan karena jabatannya atau karena
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah.

Rahasia medis ini hanya dapat dibukan oleh rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan
lainnya dalam hal telah mendapatkan persetujuan dari pasien yang bersangkutan, demi untuk
kepentingan orang banyak atau untuk kepentingan penegakan hukum.
F. Informed Consent
“ Informed Consent “ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari
persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan. Informed
diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan Consent yang
berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian
pengertian bebas dari informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada
dokter untuk berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi. lebih lanjut diatur
dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai
berikut :
1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan
lengkap
3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
 Diagnosis dan tatacara tindakan medis
 Tujuan tindakan medis dilakukan
 Alternatif tindakan lain dan resikonya
 Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
 Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi
pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan
sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat
dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun
perawatan yang akan di terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent
merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus
dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya .

Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan bahwa


informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan

Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata pasien
gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari bahwa upaya
memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus tetap memberikan ruang
yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan
medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan
yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau
meringankan sakit pasien.

Rujukan
Wikipedia bahasa Indonesia
Dewi,A.I,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher :Yogyakarta
Hukum Medik (Medical Law) karangan J. Guwandi. Balai Penerbit Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia.

Sosiologi Hukum

A. Pengertian

Sosiologi Hukum merupakan cabang Ilmu yang termuda dari cabang ilmu Hukum yang lain, hal itu
tampak pada Hasil karya tentang sosiologi hukum Yang hingga kini masih sangat sedikit. Hal itu di
karenakan eksistensi sosiologi Hukum sebagai ilmu yang baru yang Berdiri sendiri, banyak di tentang oleh
para ahli,baik ahli hukum ataupun ahli sosiologi. Sosiologi hukum merupakan suatu Cabang ilmu
pengetahuan yang antara Lain meneliti mengapa manusia patuh Pada hukum dan mengapa dia gagal
Untuk menaati hukum tersebut serta Faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum
merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.

Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya suatu Hukum dalam masyarakat,
yang merupakan hal utama bagi para pengguna Hukum agar tahu betapa berpengaruhnya Hukum dalam
suatu masyarakat, hal inilah yang membuat betapa harus kita belajar mengenai Sosiologi Hukum.
Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya suatu Hukum dalam masyarakat, yang
merupakan hal utama bagi para pengguna Hukum agar tahu betapa berpengaruhnya Hukum dalam suatu
masyarakat, hal inilah yang membuat betapa harus kita belajar mengenai Sosiologi Hukum.

Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari
hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang
demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

1. Sosiologi hukum bertujuan untukmemberian penjelasan terhadap praktek prektek hukum. Apabila
praktek itu dibedakan kedalam pembuatan undang undang, penerapanya, dan pengadilanya,maka ia
juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Dengan demikian
makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang
hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”.

Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi
juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang.
Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah
laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek
pengamatan dari ilmu ini.

Contohnya : Lampu Kuning di perempatan harusnya pelan-pelan, siap-siap berhenti, tapi dalam
kenyataannya malah ngebut, Kemudian, lampu merah di perempatan, kalau tidak ada polisi, pengemudi
terus jalan. Paradigma di Indonesia bahwa, Polisi, Hakim, Jaksa, sebagai hukum

2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau
pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya
peraturan tersebut?”, “Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?”

Perbedaan yang besar antara Pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis
adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara yang
kedua menguji dengan data (empiris). Misalnya :terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan
seterusnyaApakah sesuai dengan realitas empirisnya?

Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang Mentaati hukum atau
yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang
demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin
membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum.

Pendekatan yang demikian itu kadang Kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum
ingin membenarkan praktek praktek yang melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak
memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum Sebagai obyektifitas semata dan Bertujuan untuk
menjelaskan terhadap Fenomena hukum yang nyata.

Semua perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar, karena sosiologi
hukum sesungguhnya adalah seinwissenschaaft ( ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi
hukum tidak boleh apriori, contoh : pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat.

B. Obyek sosiologi Hukum

Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language:


IN;">a. Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau Law in Action & pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat.

b. Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial& lapisan sosial

c. Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial

Menurut Soetandyo :

Mempelajari hukum sebagai alat Pengendali sosial (by government ).

1.Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.

2. Stratifikasi sosial dan hukum.

3. Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto :

1. Hukum dan struktur sosial masyarakat.

Hukum merupakan Social Value masyarakat.

2. Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.


3. Stratifikasi sosial dan hukum.

4. Hukum dan nilai sosial budaya.

5. Hukum dan kekerasan.

6. Kepastian hukum dan keadilan hukum.

7. Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.

Obyek sasaran Sosiologi Hukum adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan
hukum, seperti pengadilan, polisi, advokat, polisi, dan lain-lain.

C. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum


Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola
kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal,
yaitu :

1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila,
dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.

2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh : UU PMA terhadap gejala ekonomi, UU
Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik, UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza, UU
Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.

Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi
lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus
siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan
peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban
yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).

Kegunaan Sosiologi Hukum:

a. Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dlm ngr/masyarakat.
b. Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.
c. Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
d. Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.
e. Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.

Batasan Ruang Lingkup maupun perspektif sosiologi hukum,maka dpt dikatakan,bahwa kegunaan sosiologi
hukum adl sbb:
a. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap
hukum di dalam konteks sosial;
b. Penguasaan konsep2 soskum memberikan kemapuan-kemampuan utk mengadakan analisis terhadap
efektifitas hukum dlm masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah
masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi Sosial agar mencapai keadaan2 sosial tertentu;
c. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.

Alasan Mempelajari Sosiologi Hukum :

a. Sosiologi Hukum mempunyai kegunaan dalam Praktik Hukum.

Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, ciri dan fungsi dari Sosiologi Hukum kemudian dapat dipakai
dalam praktik Hukum, dikarenakan apa yang dianalisa berupa empiris, maka dalam praktiknya sangat
diperlukan, karena berupa hal yang nyata dan tidak bersifat abstrak.

b. Pembahuruan dalam proses Hukum , Undang-Undang dan Kebijakan Sosial.

Dalam sebuah analisa Sosiologi Hukum, maka akan ditemukan mana Undang-Undang, Hukum maupun
Kebijakan Sosial yang diterapkan telah berjalan dengan baik dan mana yang tidak. Hasil dari
penganalisaan itu, kemudian dapat dijadikan dasar dalam pengembangan ataupun pembahuruan dalam
semua proses tadi. Dapat dilihat bagaimana Sosiologi Hukum sangat turut serta dalam pembangunan
masyarakat Indonesia, terlebih lagi Indonesia berdasarkan Hukum.

c. Hukum memasuki masa Sosiologi.

Seperti yang dipelajari dalam Sejarah Hukum, dulunya Hukum dibuat atas dasar kemauan Raja ataupun
golongan tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman, Hukum yang bersifat dinamis kemudian
berubah, hal inilah juga yang menjadi alasan mengapa kita mempelajari Sosiologi Hukum. Perubahan ini,
meninjau bahwa pembuatan Hukum tidak saja hanya melibatkan apa yang dibutuhkan Negara tapi apa
yang dibutuhkan dalam perkembangan masyarakat atau yang dikenal dengan istilah tinjauan empiris.
Perkembangan Hukum inilah yang Menyebabkan Hukum masuk ke masa Sosiologi, karena ditinjau dari
apa yang dibutuhkan masyarakat.

d. Studi tentang Sosiologi dalam mempersiapkan Hukum.

Menjadi mahasiswa Hukum, hal inilah yang menjadi dasar dalam penelitian Hukum itu sendiri.
Dikarenakan Subjek Hukum itu sendiri adalah Orang maka hal ini sangat erat hubungannya dengan
interkasi. Studi Sosiologi inilah yg kerap Dijadikan Mahasiswa dalam analisa suatu penerapan Hukum.

e. Tujuan dari pembuatan Hukum yang efektif yang berfokus pada masyarakat
Efektif atau tidak efektifnya suatu penerapan Hukum dlm masy. semua itu dpt diketahui lwt analisa
empiris. Analisa Sosiologi akan mengemukakan apakah hukum tsb efektif dlm penggunaannya dlm masy
ataukah masy. mengadakan kekebalan thdp hkm yg diterapkan.

Hukum Kepailitan
A. Pengertian

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan
untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga,
dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada
para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.

Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia:

 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;

 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

 UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

 UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia

 Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.

 Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar
Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)

Pihak yang Dapat Mengajukan Pailit:

 Atas permohonan debitur sendiri

 Atas permintaan seorang atau lebih kreditur

 Kejaksaan atas kepentingan umum

 Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank

 Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.

Syarat Yuridis Pengajuan Pailit:

 Adanya hutang
 Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih

 Adanya debitur

 Adanya kreditur (lebih dari satu kreditur)

 Permohonan pernyataan pailit

 Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga

Langkah-Langkah dalam Proses Kepailitan:

1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang
telah ditulis di atas.

2. Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai keputusan pailit
berkekuatan tetap adalah 90 hari.

3. Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan
berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang
paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing
kreditur.

4. Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan
ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan.

5. Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian
diterima.

6. Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar – benar tidak mampu membayar, atau
dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan hutangnya.

7. Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepada kreditur
konkruen, setelah dikurangi biaya – biaya.

8. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses
perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada.

9. Kepailitan berakhir.

Akibat Hukum Putusan Pengadilan

Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum dari putusan pailit. Hal yang utama adalah
dengan telah dijatuhkannyaputusan kepailitan, si debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan
pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut
beralih ke tangan curator/Balai Harta Peninggalan.

Namun, tidak semua harta bendanya akan beralih penguasaan dan pengurusannya ke curator/ Balai
Harta Peninggalan. Dikecualikan dari hal ini (kepalitan) adalah:
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan sehubungan dengan pekerjaannya,
perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahkan makanan untuk tiga puluh
hari bagi debitur dan keluarganya.

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian suatu jabatan atau
jasa, upah, uang tunggu, dan uang tunjangan, sejauh yang dientukan oleh Hakim Pengawas

c. Uang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya member nafkah. (pasal 22 UU No. 37
tahun 2004)

Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum apabila dengan


perbuatan hukum tersebut akan menambah harta kekayaannya.

Apabila ternyata di kemudian hari, perbuatan hukum itu merugikan kekayaan pailit, curator/ Balai
Harta Peninggalan dapat mengumukakan pembatalan perbuatan hukum tersebut. Pasal 36 UU No. 37
Tahun 2004 menentukan sebagai berikut:

a. Dalam hal pada saat penyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbale balik yang belum atau
sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada curator
untuk memeberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu
yang disepakati oleh curator dan pihak tersebut.

b. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan antara pihak tersebut dengan curator mengenai jangka waktu
di atas, Hakim Pengawas yang akan menetapkan jangka waktu tersebut.

c. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan curator menyatakan kesanggupannya, curator wajib
memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Sebaliknya, jika
curator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian, maka
perjanjian tersebut dinyatakan berakhir dan pihak yang bersangkutandapat menuntut ganti rugi dan akan
diberlakukan sebagai kreditor konkuren.

d. Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, telah diperjanjikan untuk menyerahkan
benda dagangan yang biasa diperdagangkan dalam jangka waktu tertentu, dan pihak yang harus
menyerahkan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dalam jangka waktu tertentu, dan pihak yang
harus menyerahkan benda tersebut belum menyerahkannya setelah putusan pailit dikeluarkan,
perjanjian tersebut menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan (yang mengadakan perjanjian) dirugikan
karena penghapusan perjanjian tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor
konkuren untuk mendapatkanganti rugi.

e. Dalam hal debitur telah menyewa suatu benda, baik curator maupun pihak yang menyewakan
barang/benda dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian
dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat istiadat setempat dalam jangka waktu
paling singkat Sembilan puluh hari. Jika pembayaran uang sewa telah dilakukan, pemberitahuan
perjanjian sewa tidak bisa dilakukan sebelum habisnya jangka waktu pembayaran sewa tersebut. Sejak
diputuskannya keadaan pailit, uang sewa dinyatakan sebagai boedel pailit.
f. Pekerja/buruh yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja, atau curator dapat
menghentikan hubungan kerja dengan mengindahkan perjanjian kerja dan peraturan yang berlaku,
dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan memberitahukan paling
singkat 45 hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan pailit ditetapkan, upah kerja/buruh yang terutang
sebelum maupun sesudah pernyataan pailit dinyatakan sebagai utang boedel pailit.

g. Warisan dan hibah yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh curator tidak dapat diterima
dengan izin Hakim Pengawas, kecuali apabila menguntungkan harta pailit.

h. Pembayaran suatu utang yang sudah jatuh tempo hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa
penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitur sudah didaftarkan, atau
dalam hal pembayaran utang tersebut merupakan akibat dari persengkokolan antara debitor dengan
kreditor dengan maksud menguntungkan kreditor tersebut melebihi kreditor lainnya. Jika pembayaran
yang sudah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk karena memang sudah jatuh
tempo, pembayaran tersebut tidak dapat diambil kembali.

Dengan demikian, apabila suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dan perbuatan
hukum tersebut dapat merugikan para kreditor serta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum
pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, (kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya) debitur dan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan dianggap
mengetahui/sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditor. Perbuatan hukum tersebut:

a. Merupakan perikatan dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan
tersebut dilakukan.

b. Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum
dapat ditagih

c. Dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau terhadap:

 Anggota atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga.

 Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angaka 1 adalah
anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama,
ikut serta secara langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 5o% dari
modal disetor.

d. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau terhadap:

 Anggota direksi atau pengurus debitur atau suami/istri atau anak angkat atau keluarga sampai derajat
ketiga, dari anggota direksi atau pengurus tersebut.

 Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami/istri atau anak angkat/keluarga sampai derajat
ketiga dari perorangan tersebut, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan
pada debitur paling kurang sebesar 50 % dari modal disetor.
 Perorangan yang suami/istri atau anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut secara langsung
atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor.

 Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum/dengan atau terhadap badan hukum lainnya,
apabila:

 Perorangan anggota direksi atau penghubung pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang
yang sama.

 Suami/istri/anak angkat/keluarga sampai derajat ketiga merupakan anggota direksi/pengurus pada badan
hukum lainnya, atau sebaliknya

 Perorangan anggota direksi atau pengurus, anggota badan pengawas pada debitur, atau suami/istri/anak
angkat/keluarga sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan
pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor.

 Debitur adalah anggota direksi/pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

 Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama, baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya,
dan atau para anak angkatnya dan keluarga sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan pada debitur paling kurang sebesar 50% dari modal disetor

e. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lainnya dalam
kelompok badan hukum di mana debitur merupakan anggotanya.

Selain itu, hal yang terpenting sebagai akibat hukum dijatuhkannya putusan kepailitan, adalah
hal-hal yang berkaitan dengan sebagai berikut:

a. Penghibahan. Dalam hal ini ditentukan bahwa hibah yang dilakukan debitur dapat dimintakan pembatalan
apabila curator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau
patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkankerugian bagi kreditor (pasal 44 UU No.
37 Th 2004

b. Pembayaran utang yang belum dapat ditagih (belum jatuh tempo), atau debitur melakukan perbuatan
yang tidak wajiib, perbuatan itu dapat dibatalkan demi keselamatan harta pailit. Hal tersebut harus
dibuktikan bahwa pada waktu dilakukannya perbuatan tersebut, baik debitur maupun pihak ketiga
mengetahui bahwa perbuatannya (debitur) itu akan merugikan pihak kreditor (pasal 45 UU No. 37 Th
2004).

Penundaan Pembayaran

Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dan oleh
penasihat Hukumnya, disertai dengan :

1. Daftar-daftar para kreditor beserta besar piutangnya masing-masing;

2. Daftar harta kekayaan (aktiva/pasiva) dari si debitur.


Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat
oleh semua pihak yang berkepentingan.

Selanjutnya, prosedur permohonan penundaan pembayaran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan pembayaran, secara langsung atau seketika
pengadilan harus mengabulkan permohonan untuk sementara dengan memberikan izin penundaan
pembayaran.

2. Hakim pengadilan paling lambat 45 hari melalui panitera harus memanggil para kreditor, debitur dan
pengurus untuk diadakan sidang.

3. Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk memutuskan apakah
penundaan pembayaran tersebut dikabulkan atau ditolak. Berdasarkan hasil pemungutan suara inilah
pengadilan akan dapat memutuskan secara definitif terhadap permohonan penundaan pembayaran.

4. Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan pembayaran definitif tersebut, ditetapkan pula
lamanya waktu penundaan pembayaran paling lama 270 hari terhitung sejak penundaan sementara
ditetapkan.

5.

7pt;"> Pengurus wajib segeramengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang


sementara dalam berita Negara Republik Indonesia, dan paling sedikit dalam dua surat kabar harian
yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, dan pengumuman tersebut harus memuat undangan untuk hadir
dalam persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu
siding tersebut, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat pengurus.

6. Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang, panitera pengadilan wajib
mengadakan daftar umum perkara penundaan kewajiban pembayaran utang dengan mencantumkan
untuk setiap penundaan kewajiban pembayaran utang, di antaranya:

a. Tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan tetap berikut perpanjangannya

b. Kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
maupun tetap dan perpanjangannya

c. Nama hakim pengawas dan pengurus yang diangkat

d. Ringkasan isi perdamaian dan pengesahan perdamaian tersebut oleh pengadilan,dan

e. Pengakhiran perdamaian

Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan pembayaran, atas permintaan
pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atas prakarsa pengadilan, penundaan kewajiban pembayaran
utang dapat diakhiri dengan alasan-alasan berikut ini (pasal 255 UU No. 37 Th 2004)
1. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan iktikad tidak baik dala
melakukan pengurusan terhadap hartanya.

2. Debitur mencoba merugika para kreditornya

3. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari
hartanya

4. Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang disyaratkan oleh pengurus

5. Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi bagi debitur untuk
melakukan kewajibannya pada waktunya

Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat menetapkan si debitur
dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur. Debitur yang memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang dapat mengajukan rencana perdamaian melalui pengadilan.
Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Hal ini berbeda dengan perdamaian pada kepailitan, yaitu sebagai berikut:

1. Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah permohonan penundaan
pembayaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan hakim

2. Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada siding pengadilan memeriksa permohonan penundaan
pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat rapat verifikasi, yaitu setelah adanya
putusan pengadilan

3. Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui setengah dari jumlah kreditor
konkuren yang diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat permusyawaratan hakim, yang
bersama-sama mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tesebut, dan mewakili tiga perempat dari jumlah
piutang yang diakui. Sementara itu, akor pada kepailitan harus disetujui oleh dua pertiga dari kreditor
konkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah semua tagihan yang tidak mempunyai tagihan istimewa.

4. Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang berlaku pada semua kreditor
(baik konkuren maupun prepent), sedangkan akor kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren.

Akibat hukum apabila akor penundaan kewajibanpembayaran utang ditolak adalah hakim dapat
langsung menyatakan debitur dalam pailit. Sementara itu, apabila akor diterima, harus dimintakan
pengesahan kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui perdamaian (akor) yang telah
disahkan, berakhirlah penundaan kewajiban pembayaran utang.

Berakhirnya Kepailitan
Suatu kepailitan dapatdikatakan berakhir apabila telah terjadi hal-hal sebagai berikut.

a. Perdamaian

Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Rencana
perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan
piutang. Keputusan rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari
seperdua jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili paling sedikit dua pertiga
dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara diakui oleh kreditor konkuren
atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Apabila lebih dari seperdua jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan mewakili paling
paling sedikit seperdua dari jumlah piutang kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk
menerima rencana perdamaian, dalam jangka waktu paling sedikit delapan hari setelah pemungutan
suara pertama diadakan, harus diselenggarakan pemungutan suara kedua. Pada pemungutan suara kedua
kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.

Dalam setiap rapat kreditor wajib dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Hakim
Pengawas dan panitera pengganti.

Berita acara rapat tersebut harus memuat:

1. Isi perdamaian

2. Nama kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap

3. Suara yang dikeluarkan

4. Hasil pemungutan suara, dan

5. Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat (pasal 154 UU No. 37 Th 2004)

Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan Cuma-Cuma berita acara rapat yang
disediakan paling lambat tujuh hari setelah tanggal berakhirnya rapat di Kepaniteraan Pengadilan.

Isi perdamaian yang termuat dalam berita acara perdamaian harus dimohonkan pengesahan
kepada pengadilan yang megeluarkan keputusan kepailitan. Pengadilan harus mengeluarkan penetapan
pengesahan paling lambat tujuh hari sejak dimulainya sidang pengesahan.

Namun demikian, pengadilan wajib menolak pengesahan apabila:

a. Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda, jauh lebih
besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian

b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, dan

c. Perdamaian itu terjadi karena penipuan, atau persengkongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau
karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain
bekerja sama untuk mencapai perdamaian. (pasal 159 ayat (2) UU No.37 Th 2004).
Selanjutnya, dalam hal permohonan pengesahan perdamaian ditolak, baik kreditor yang
menyetujui rencana perdamaian maupun debitur pailit, dalam jangka waktu delapan hari setelah putusan
pengadilan diucapkan dapat mengajukan kasasi. Sebaliknya, dalam hal rencana perdamaian sisahkan atau
dikabulkan, dalam jangka waktu delapan hari setelah putusan pengadilan diucapkan dapat diajukan kasasi
oleh:

a. Kreditor yang menolak perdamaian atau yang hadir pada saat pemungutan suara

b. Kreditor yang menyetujui perdamaian setelah mengetahui bahwa perdamaian tersebut dicapai
berdasarkan alasan yang tercantum dalam pasal 159 ayat (2) UU No. 37 Th 2004 diatas

b. Insolvensi

Insolvensi merupakan fase terakhir kepailitan. Insolvensi adalah suatu kejadian di mana harta
kekayaan (boedel) pailit harus dijual lelang di muka umum, yang hasil penjualannya akan dibagikan
kepada kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang disahkan dalam akor.

Dengan adanya insolvensi tersebut, Zainal Asikin menulis bahwa curator/Balai Harta Peninggalan
mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta pailit,yaitu:

1. Melakukan pelelangan atas seluruh harta pailit dan melakukan penagihan terhadap piutang-piutang si
pailit yang mungkin ada di tangan pihak ketiga, di mana penjualan terhadap harta pailit itu dapat saja
dilakukan di bawah tangan sepanjang mendapat persetujuan dari Hakim Komisaris

2. Melanjutkan pengelolaan perusahaan si pailit apabila dipandang menguntungkan, namun pengelolaan itu
harus mendapat persetujuan Hakim Komisaris

3. Membuat daftar pembagian yang berisi: jumlah uang yang diterima dan dikeluarkan selama kepailitan,
nama-nama kreditor dan jumlah tagihan yang disahkan, pembayaran yang akan dilakukan terhadap
tagihan tersebut

4. Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelang atau diuangkan itu.

5. Dengan demikian, apabila insolvensi sudah selesai dan para kreditor sudah menerima piutangnya sesuai
dengan yang disetujui, kepailitan itu dinyatakan berakhir. Debitur kemudian akan kembali dala keadaan
semula, dan tidak lagi berada di bawah pengawasan curator/Balai Harta Peninggalan.

B. Sejarah Hukum Kepailitan

Sejarah hukum kepailitan Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata “ bangkrut”,
dalam bahasa Inggris disebut “Bangkrupt” , berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca nipta .
Sementara itu, di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran
bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa
harta para kreditor. Bagi Negara-negara dengan tradisi hukum common law, di mana hukum berasal dari
Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.
Peristiwa ini ditandai dengan diundangkannya sebuah undang-undang yang disebut Act Againts
Such Person As Do Make Bangkrup oleh parlemen di masa kekaisaran raja Henry VIII. Undang-undang ini
menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang ngemplang untuk membayar
utang sembari menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok
kreditor secara individual. Sementara itu, sejarah hukum pailit di AS dimulai dengan perdebatan
konstitusional yang menginginkan kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan uniform
mengenai kebangkrutan. Hal ini diperdebatkan sejarah diadakannya constitutional convention di
Philadelphia pada tahun 1787.

Dalam the Federalis Papers, seorang founding father dari Negara Amerika serikat, yaitu James
Medison, mendiskusikan apa yang disebut Bankrupcy clause. Kemudian, kongres pertama kali
mengundangkan undang-undang tentang kebangkrutan pada tahun 1800, yang isinya mirip dengan
undang-undang kebangkrutan di Inggris pada saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa Negara
bagian USA telah ada undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitor yang
disebut insolvency law. Selanjutnya, undang-undang federasi AS tahun 1800 tersebut diubah atau diganti
beberapa kali. Kini di USA hukum kepailitan diatur dalam Bankrupcy. B. sejarah berlakunya kepailitan di
Indonesia Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni:
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku.

Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat
yaitu dalam: 1. Wet Book Van Koophandel atau WvK 2. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Sejarah
masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel
(KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan
sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan
dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri. Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan
Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No.
348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan
sangat beragam.

Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi
Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi
menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan
(UUPK). Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka
waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93
Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU
Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah
Kepailitan pada masa itu.

Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan


Belanda diberlakukan kembali. Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang
menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU
No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda.
Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu.
Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam
perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan
disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai
pengganti UU No. 4 tahun 1998.

Perkembangan Substansi Hukum Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum


antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:

1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam
penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-
undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur
sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.

2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta
Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan
terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.

3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan
yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat
dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang
ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.

4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan
kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.

5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan. Masa
berlakunya Faillisements Verordening.

Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb.
1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan
golongan Timur Asing (Stb.1924-556).

1. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van
onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah
peraturan kepailitan untuk pedagang.

2. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul
Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata
dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:

1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,

2. Biaya tinggi.

3. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.

4. Perlu waktu yang cukup lama.


Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka
lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan
tersebut. Masa berlakunya Faillisements Verordening . Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam
Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya
berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). kesulitan yang
sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam
mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka
pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak
segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.

Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah
kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-
348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordeningmasih baik. Namum sementara
seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan
sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil,
terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap
kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan
atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan
pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No.
135.31.

Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998
diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya
perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil,
cepat, terbuka dan efektif.

Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara
tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi
pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

Hukum Humaniter Internasional


A. Pengertian
Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan
dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak
atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum
Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata
(laws of armed conflict).

Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang
menjadi hukum konflik bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah
hukum humaniter.

Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu :

a. Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi ambil bagian dalam
pertempuran dan orang – orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil,
sedangkan
b. Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihak – pihak yang berperang dalam
melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan – batasan mengenai sarana yang boleh dipakai
untuk mencelakai musuh
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni,
Bandung, 2002. mengemukakan bahwa definisi hukum humaniter adalah: “ Bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang
mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang Itu sendiri”.

B. Azas Hukum Humaniter Internasional


Hukum Humaniter Internasional sendiri mengenal tiga asas utama di dalamnya, yang merupakan
sebuah landasan terciptanya peraturan hukum, yaitu:

1. Asas kepentingan militer (military necessity), Asas ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan
dengan adanya penerapan prinsip – prinsip sebagai berikut:
a. Prinsip pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan
terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa.
b. Prinsip proporsionalitas (Proportionality Principle), yang menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita
oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity), adalah keharusan pihak bersengketa untuk memperhatikan rasa
perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Asas kesatriaan (chivalry), Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidatk terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat
khianat dilarang.
Selain itu juga terdapat satu asas, yang yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu
negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata kedalam dua golongan yaitu,
kombatan yang merupakan golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam peperangan dan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan, yang disebut dengan
“asas pembedaan” atau “prinsip pembedaan “.

C. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter


Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:

1. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)


Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan
yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang
serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula
bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak
terbatas.

2. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)


Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak
diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah
menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan
dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari
akibat perang.

3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)


Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.

4. Prinsip pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau
membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik
bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan
adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip
pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan
mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan
penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :

a. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil
untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
b. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).
c. Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.
d. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk
menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak
sengaja menjadi kecil.
e. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
f. Rule of Engagement (ROE)

D. Sumber Hukum Humaniter Internasional

1. Hague Convention (Konvensi Den Haag)


Sumber yang pertama adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri karena
dibuat di wilayah ini (salah satu wilayah di Belanda). Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali. Dimana
yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun 1907. Sebenarnya isi dari kedua
konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan alat yang diperbolehkan dalam perang yang dilakukan
oleh Negara-negara yang melakukannya. Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan
dari konvensi pertama.

Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan enam konvensi dan deklarasi. Sedangkan pada
tahun 1907 menghasilkan empat belas konvensi yang beberapa diantaranya tidak digunakan. Akan tetapi
sebagian lainnya digunakan hingga sekarang, yang paling terkenal dalam konvensi ini adalah konvensi
keempat yang menyangkut tentang “Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat”.

Isi dari Konvensi Den Haag ;

a. Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional.


b. Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
c. Pembukaan Perang/ cara memulai peperangan.
d. Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
e. Hak dan Keajiban Negara dan Orang Netral bilamana terjadi Perang.
f. Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecahnya Sebuah Perang.
g. Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang.
h. Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis.
i. oleh Pasukan Angkatan Laut dimasa Perang.
j. Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut.
k. Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut.
l. Pendirian Pengadilan Hadiah International (salah satu konvensi yang tidak digunakan/tidak diratifikasi).
m. Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.

2. Geneva Convention (Konvensi Jenewa)

Apabila Konvensi Den Haag lebih membahas tentang tata cara serta alat yang dipergunakan dalam
berperang, maka dalam Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada tata cara dalam memperlakukan
dalam melindungi korban dari perang yang terjadi. Konvensi ini juga sama dengan Den Haag, dimana nama
yang diambil berasal dari daerah tempat terjadinya Konvensi ini, yaitu Jenewa yang merupakan salah satu
wilayah di Swiss. Konvensi ini terjadi pada tahun 1949. dalam Konvensi ini terdapat banyak pasal yang
sangat mengarah atau membahas tentang cara memperlakukan korban maupun penduduk sipil yang
tidak boleh tersentuh ketika perang berlangsung.

Setelah perang dunia kedua, Konvensi ini disempurnakan menjadi empat Konvensi, yang kesemua
isinya menyangkut tentang pasal-pasal yang menyangkut tentang perlindungan bagi warga sipil, orang-
orang yang tertangkap perang, perlindungan bagi korban perang, serta para pelayan kesehatan dalam
perang. Konvensi 1949 menghasilkan empat hukum yang isinya :
1) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in
the Field (Convention I) – Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan
Sakit di Darat.
2) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members
of Armed Forces at Sea (Convention II) – Mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Terluka, Sakit, dan Karam di Laut.
3) Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (Convention II) – Mengenai Perlakuan
Terhadap Tawanan Perang.
4) Geneva Convention relative to Protection of Civilian Persons in Time of War (Convention IV) – Mengenai
Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang.

Kemudian selain empat Konvensi yang dihasilkan diatas, terdapat dua protocol tambahan yang
dihasilkan pada Diplomatic Conference 8 Juni 1977 :

1) Protocol Additional to the Geneva Convention of 1949, and relating to the Protection of Victims of
International Armed Conflicts [Protokol I].
2) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-
International Armed Conflicts [Protokol II].

Selain dua konvensi tadi, ada banyak perjanjian yang juga berhubungan serta menyangkut Hukum
Humaniter Internasional yang mana diangkat sebagai sumber HHI, diantaranya ;

1) The 1925 Geneva Protokol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating, Poisonous, or other
Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare.
2) The 1954 UNESCO Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict.
line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">3) The
1980 Geneva Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain Conventional Weapon
Which May be Deemed to be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects

E. Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM


Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun antara
Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi-konvensi
tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang.
Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya
umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh
dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari
Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam
Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.

Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam
keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut
meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku
surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak
dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan
(slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan,
pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan
menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3
ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.

Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran
pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum
Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM
pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata
diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.

Terdapat 3 aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional;

1. Aliran integritas

Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain.
Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:

a. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum
humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson,
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan
berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan
species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

b. Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi
manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum
humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia
dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.

2. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum
yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak
pada obyek, sifat, dan saat berlakunya.

3. Aliran komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui
proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi.

Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak
asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap
berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada
keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia
dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya
tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan
kewajiban mereka secara timbal balik.

F. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai

1. Perang

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von
Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan
politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah
suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.

Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer
terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu
ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini,
mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan
senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan
perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri
atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang
bersifat nasional maupun internasional.

Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena
dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain.
Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa
sama atau dapat melebihi.

Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan
berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif
terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman
penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan
banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak
negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik
menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah
menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya
penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum
kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak
akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin
berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
2. Konflik Bersenjata

Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum
Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977 yaitu :

1. “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta

2. “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).

Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Haryomataram, membagi
dan menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :

1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional

Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang
pembebasan Nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang
diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni”
adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata
internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-
state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak
bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4)
protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata
internasional.

Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah
suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga
berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang
dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal
3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak
dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat
pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar
negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari
beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.

2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang


pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war)
(misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan
reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari
negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan
satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II
tahun 1977.

Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut


Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui
bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana
pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata
non-internasional:

1. Dieter Fleck

Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku
dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang
melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu
kekerasan bersenjata atau perang saudara.

2. Pietro Verri

Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara
dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu
konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik
bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti
intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya,
dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang
saudara.

3. Hans-Peter Gasser

Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu
antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok
perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner,
kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya
berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam
negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab
dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas
atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan
timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan
perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de
combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus
diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas
ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya
serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk
dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :

1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan
kejam dan penganiayaan;

2. Penyanderaan;

3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu
pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui
sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata


internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi
Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status
apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat
Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-
konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya
Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan
dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan
jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha
untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan
lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi
kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk
melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa
terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian
demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan
hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata
didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu
negara.

Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter


Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur
dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang
berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti
huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir, serta tindakan-tindakan yang
bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat
tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor
ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.

G. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The Sumerrians sampai dengan Hague Convention 1949
Sejarah perkembangan hukum humaniter tersusun atas berbagai lembaga hukum dan aturan
hukum yang berkaitan dengan hukum perang atau sekarang yang lebih dikenal dengan hukum
humaniter.Usaha menafsirkan sejarah perkembangan hukum humaniter berarti suatu upaya
menginterpretasikan lebih lanjut mengenai wawasan kita terhadap persoalan masa lalu yang
mempengaruhi perkembangan hukum perang. Sejarah hukum perang demikian penting sebagai upaya
manusia memahami perkembangan lembaga-lembaga hukum yang menguasai kehidupan manusia di
masa lalu untuk lebih dapat memahami hukum yang berlaku sekarang.( Nugroho Notosusanto , hakikat
Sejarah serta asas dan metode sejarah). Mengkaji sejarah berarti mengkaji kehidupan masa lalu yang lebih
bagi masa sekarang (Zurcher Arnold J, 1951, Constitutions and constitutional trends since world war II ,
New York University Press).

Oleh karenanya dalam paper ini akan dibahas sejarah perkembangan hukum perang mulai dari
jaman sumeria sampai dengan Hague Convention 1949 sebagai suatu fakta atau lebih tepatnya realita
yuridik dibawah pengertian mengenai hukum perang itu sendiri. Sasaran studi bagi paper ini adalah fakta
hukum yang berkaitan dengan hukum humaniter masa lalu yang diperoleh berdasarkan sumber literature
baik resmi maupun tidak resmi. Hal ini sangat dimungkinkan karena sesuai dengan pendapat Morris
Greenspan dalam Modern Law of Warfare, 1959 pada halaman 4 menyatakan bahwa :
“War like the most other fields of human activity today is regulated and contained by a body of laws.”

Melalui hal ini maka dimungkinkan upaya penelusuran aturan hukum perang tersebut yang
disusun berdasarkan kronologi waktu kehadirannya. Menurut Friedman dikatakan bahwa perang adalah
suatu perkembangan sejarah panjang yang pada tahap awalnya hanya memiliki kesamaan dalam taraf
yang kecil dengan international humanitarian law. Dari abad pertengahan sampai kepada abad ke 17
diskusi-diskusi mengenai perang didominasi oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian
belum terjadi sebelum abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang dipandang sebagai
perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang dan diakhiri dengan perjanjian
damai. Menurut Singh (Swinarski,1984:531) dikatakan bahwa perang yang menganut tindakan sengketa
telah diorganisasikan dalam banyak sekali kebudayaan dikatakan olehnya :
“ The law regulating the conduct of hostilities were recognized in many early cultures. theory that
humanitarian is essentially “Eurocentric” is in reality more a criticism of most literature on the subject
than a reflection of historical fact.”

Bahkan hukum perang pun dapat ditemui dalam berbagai literature keagaamaan, seperti dikatakan
Khadurri :
“Islam is also acknowledge the essential requirement of humanity. In his order to his commanders, the
first caliph, Abu Bakar Stipulated for instance the following : The Blood of women, children and old
people shall not stain your victory. Do not destroy a palm tree, nore burns houses and cornfield with fire
and do not cut any fruitful tree, You must not slay any flocks or herds, save your subsistence.”
Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip humaniter telah dikenal oleh Agama Islam bahkan menurut
Khadduri dalam The law of war and Peace in Islam (1955) dikatakan bahwa :
“Several studies have now shown that many of the central principles of humanitarian law were deeply
rooted in Islamic tradition, Although Salladin was unusual amongst both muslim and Christian during the
crusaders in his humane treatment of prisoners and the wounded, he was by no means alone in
regarding warfare as subject of principle to law. These centuries after saladin, the Turkish Sultan
Mehmet extended to the population of Constantinople a greater degree of mercy than might have been
expected given the city had been taken by storm.”
Dalam literature Kristen dapatlah diketahui misalnya melalui St Agustine yang meng espoused beberapa
prinsip yang sangat keras menyangkut perlindungan terhadap wanita, anak-anak dan penegakan atas
tersedianya tempat yang damai menghasilkan suatu pemikiran mengenai hak kekebalan atau hak untuk
mengungsi. Menurut St Agustine keterlibatan kaum Kristiani untuk terlibat dalam perang yang adil dan
maksud yang benar dimungkinkan (Russel,The Just war in middle ages,1975).
Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis tahun 1625 Hugo Goritus menyiratkan perilaku
dalam berperang. Pada abad ke 18 pendapat Rousseau adalah sebuah landmark bagi pembangunan
hukum humaniter dinyatakan olehnya bahwa diakui suatu prinsip bagi tujuan penggunaan kekerasan
untuk mengalahkan Negara lawan dan tindakan-tindakan yang membuat musuh tidak dapat bertahan,
pembedaan antara combatan dan cilivilians diperlukan dan harus diperlakukan secara humanis. Dari
sinilah pilar hukum humaniter modern dimulai. Pada abad ke 19 telah ditunjukan bahwa praktek pada
abad 18 akhir telah diterima sebagai sesuatu yang praktis. Sejumlah besar perjanjian internasional
beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi beberapa dari aturan hukum kebiasaan dalam berperang.
Insiatif tersebut terlihat dari organisasi privat internasional ICRC (International Commite of the Red
Cross), yang telah memainkan peranan sentral dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter
(Wolfrum, United Nations : law, Policies and Practice,1995:814). Pada tahun 1861 seorang professor dari
Jerman telah mempersiapkan suatu manual yang berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan
Lieber Code. Lieber Code berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara
khusus bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban perang. Isi
dari Lieber Code tersebut berturut-turut adalah :
- Section I Martial law-military jurisdiction-military necessity
- Section II Public and private property of the enemy, protection of persons, religion, art and sciences,
punishment of crimes
- section III Deserters- Prisoners of war, hostages, booty on the battlefield.
- Section IV Partisants- armed enemies not belonging to the hostile army
- Section V Safe conduct , spies, war traitors, captured messenger, abuce of the flag of truce
- Section VI Exchange of prisoners-Flags of truce-flags of protection
- Section VII The Parole
- Section VIII Armistis-Capitulation
- Section IX Assasination
- Section X Inssurrection –civil war- Rebellion
Lieber code dikenal sebagai the origin of what has come to known as Hague Law.Melalui beberapa
pengaturan yang terbagi kedalam section-section tersebut telah ditunjukan bahwa Lieber code adalah
sebuah pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak bersenjata harus dihormati. Melalui inspirasi dari
Lieber code menurut Schindler dilakukanlah Brussels Declaration dengan inisiatif yang berasal dari
Rusia.Deklarasi itu sendiri memiliki banyak kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun
keduanya bukanlah suatu ketentuan yang mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum
perang yang mengacu kepada keduanya.

Pada tahun 1907 Hague Convention mengikat tidak hanya bagi para pihak tetapi telah secara
luas dikenal sebagai suatu hukum kebiasaaan internasional. Beberapa dokumen yang terkait dengan
Hague Convention tersebut adalah :
- Hague Convention III Concerning the Opening of Hostilities
- Hague convention IV concerning the laws ad customs of war on land and annex to the
convention:Regulations concerning the laws and custom of war and land.
- Hague Convention V concerning the rights and duties of neutral powers and person in case of war on
land
- Hague Convention VI Concerning the status of enemy merchant ships at the outbreak of hostilities.
- Hague Convention VII concerning the conversion of merchanc ships into warships
- Hgue Convention VIII concerning the laying of automatic submarine contact mines
- Hague Conventions IX concerning the bombarmendt by naval force in timies of war
- Hague Convention XI concerning certain restriction with regard to the exercise of the right of capture
in naval war.

Pada tahun 1923 The Hague Rules Of Aerial Warfare (HRAW 1923) diformulasikan berikut peraturan
mengenai radio komunikasi dalam perang. HRAW ini mrmiliki arti penting dalam mencapai
keseimbangan antara kepentingan militer dan perlindungan rakyat sipil (Spaight,Air power and war
rights 3rd,1947).

Pada tahun 1929 convention for the amelioration of the condition of the wounded and sick
armies in the field and the convention relative to the treatment of prisoner of war ditandatanganidi
Genewa. menurut Baxter dalam United States v vonleeb 15, annual digest dikemukakan bahwa :
“The 1929 Geneve conventions were influenced by the experience of world war I and contained more
detailed regulations for the treatment of the wounded and prisoners of war than their predecessors.”
Konvensi genewa tahun 1929 tampaknya lebih memfokuskan diri kepada para pihak dalam perang yang
terluka dan juga termasuk didalamnya para tawanan perang. Pada tahun 1949 Konvensi Genewa telah
mencapai paritispiasi pada level yang lebih universal. Pada tahun 1949 terdapat dua konvensi yaitu
Geneva Convention I for the amelioration of the wounded , sick and shipwrecked embers of armed
forces at sea dan Geneva convention III concerning the treatment of prisoners of war.
Hukum Adat

A. Pengertian Hukum Adat


Secara bahasa hukum adat terbagi dari dua kata yakni hukum dan adat. Hukum adalah kumpulan
aturan atau norma yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi, dan yang membuat hukum adalah orang
yang memiliki kewenangan atasnya. Sedangkan kata adat, menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari
bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang
lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato
berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim
diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia
menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.

Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai
berikut:

1. Prof. Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat
sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada
satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud
memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk
Hukum Adat pada masa kini.

2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis
di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum
Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

3. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat
hukum, komplek ini disebut Hukum Ada.

4. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang
bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh
masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada
kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum
dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).

5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang
merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dan bersifat kekeluargaan.

6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apaada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi).

Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun tidak tertulis di
sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh
di bawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak menyimpang
dari rasa keadilan.

Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman kuno dan
zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar yang cukup
mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur
Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan akulturasi dari berbagai kultur
pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama
adalah kegiatan yang sebenarnya dengan melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan
menggunakan kerangka mengenai unsur-unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur
riil. Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat
dalam diri manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan
ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.

Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah sistem hukum adat, dimana suatu sistem hukum sudah hidup
dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, setiap hukum merupakan suatu sistem yang
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan pemikiran, begitu pula
hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar pemikiran bangsa indonesia, yang tidak sama
dengan yang ada dalam sistem hukum barat. Agar kita sadar terhadap sistem hukum adat, kita harus
mengetahui dasar-dasar pemikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu untuk
memahami lebih lanjut, akan di bahas masalah sistem hukum adat tersebut.

Sumber Hukum Adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Adapun Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan
besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Manfaat Mempelajari Hukum Adat :

Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan manfaat hukum adalah tersebut adalah:
dengan memepelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya hukum Indonesia, kita tidak
menolak budaya hukum asing sepanjang ia tidak bertentangan dengan budaya hukum Indonesia. Begitu
pula dengan mempelajari hukum adat maka akan dapat kita ketahui hukum adat yang mana yang
ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana yang mendekati
keseragaman yang dapat diperlakukan sebagai hukum nasional.

Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagiskomun, kontant, dan
konkret. Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem hukum barat maka akan tampak
perbedaan pokok sebagai berikut:
a. SistemHukum Barat

1) Menjunjung tinggi nilai kondifikasi

2) Memuat peraturan yang kasuistis artinya merinci

3) Hakim terikat penetapan darikodifikasi.

4) Mengenal benda kebendaan,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan hak-hak
perorangan yaitu hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja.

5) Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum publik.

6) Dikenal perbedaan benda dalam benda tetap dan benda bergerak

7) Perlu adanya sanski sebagai jaminan terlaksananya penertipan.

b. Sistem Hukum Adat

a) Tidak menghendaki kodifikasi

b) Menyadarkanpada asas-asas hukum saja artinya hanya mengatur dalam garis besar saja.

c) Karena tidak ada penetapan yang prae existence maka hakim diberi kebebasan leluasa dalam
mewujudkan keadilan yang hidup dalam masryarakat karena hakimnya aktif.

d) Hak-hak kebendaan dan perorangan seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat.

e) Tidak dikenal pembagian seperti itu

f) Perbedaan benda seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat

g) Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin terlaksananya
ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.

Dasar Berlakunya Hukum Adat :

a. Dasar yuridis dahulu dan sekarang

b. Dasar berlaku sosiologis

c. Dasar berlaku filosofis

B. Perbedaan Hukum Adat Dan Hukum Barat

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah pasti berlainan
dengan pemikiran yang menguasai hukum Barat. Dan untuk dapat memahami serta sadar akan hukum
adat, orang harus memahami dasar-dasar pemikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Hukum adat memiliki corak-corak sebagai berikut:

1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan
makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum
adat.
2. Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan
banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh
karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang
fundamental, seperti:

1. Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak
atas benda yang bersifat “zakelijk”, artinya berlaku terhadap tiap orang, jadi merupakan hak
mutlak/absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap
sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif. Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam
dua golongan seperti di atas. Hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal
perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena
corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat dan pandangan hidup yang
mendukung kedua macam hukum itu juga jauh berlainan.
3. Aliran dunia Barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis intelektualistis. Aliran Timur, khususnya
Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib; dunia manusia
berhubungan erat dengan segala hidup di dalam alam ini.
mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">

4. Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut sistem hukum barat, dibagi-bagi dalam golongan peanggaran
yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana atau (strafrechter), dan pelanggaran-
pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lingkup perdata, maka pelanggaran-pelanggaran itu
harus diadili oleh hakim perdata.

C. Sejarah Politik Hukum Adat

Hukum adat (adatrecht) dipergunakan untuk pertama kalinya secara ilmiyah pada tahun 1893
untuk menamakan hukum yang berlaku bagi golongan pribumi (warga negara Indonesia asli) yang tidak
berasal dari perundang-undangna Pemerintah Hindia Belanda.

1. Zaman V.O.C. (1602 – 1800)

Penanaman kekuasaan asing secara teratur dan sistematis, dimulai dengan didirikannya kongsi
Dagang Hindia Timur atau Verenigde Oost Indische Compangnie (VOC) pada tahun 1602 oleh kongi-kongsi
dagang Belanda atas anjuran John van Oldenbarneveld, agar mampu menghadapi persaingan dengan
kongsi dagang lainnya. Tanggal 20 Maret 1602 VOC mendapat hak oktroi yang antara lain meliputi
pemberian kekuasaan untuk membuat benteng pertahanan, mengadakan perjanjian dengan raja-raja di
Indonesia, mengangkat pegawai penuntut keadilan dan sebagainya.

Oleh karena itu VOC ini mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai
lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Pada aman VOC hukum yang berlaku di pusat pemerintahan dengan di luar itu tidak sama :

a. Di Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan, untuk semua orang dari golongan bangsa apapun
berlakulah “Hukum Kompeni”, yaitu hukum Belanda. Jadi bagi mereka semuanya berlaku satu macam
hukum (unifikasi) baik dalam lapangan hukum tatanegara, perdata maupun pidana.
b. Di luar dareah Pusat Pemerintahan, dibiarkan berlaku hukum aslinya, yaitu hukum adat. Demikian pula
pada pengadilan-pengadilan golongan asli tetap dipergunakan hukum adat.

Usaha penerbitan itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli,
yaitu :

a. Pada tahun 1750 untuk keperluan Landraad Semarang, dibuatlah suatu compendium (pegangan, Kitab
Hukum) dari Undang-undang orang Jawa yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharraer yang
ternyata sebagian besar berisi hukum pidana Islam”.
b. Pada tahun 1759 oleh Pimpinan VOC disahkan suatu Compendium van Clootwijck tentang undang-undang
Bumiputera di lingkungan Kraton Bone dan Ga.
c. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan VOC dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak dan warisan untuk dipakai oleh Pengadilan VOC.
d. Oleh Mr. P. Cornelis Hasselaer (Residen Cirebon tahun 1757 – 1765) diusahakan pembentukan Kitab
Hukum Adat bagi hakim-hakim Cirebon. Kitab hukum adat ini terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”.

2. Zaman Pemerintahan Daendels (1808 – 1811)

Pada tahun 1795 di Negeri Belanda terjadi perubahan ketatanegaraan dengan jatuhnya
kekuasaan Raja Willem van Oranje dan berdirilah pemerintaan baru, yaitu Bataafsche Republiek (Republik
Batavia). Pada tahun 1806 Bataafsche Republik dihapuskan dan diganti menjadi Kerjaaan Holland yang
merupakan bagian dari Kekaisaran Perancis.

Daendels beranggapan bahwa hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, meskipun
mempunyai kelemahan-kelemahan, namun perlu tetap dipelihara dan ia merasa enggan untuk
menggantinya dengan hukum Eropa. Pada pokoknya hukum adat akan tetap dipertahankan bagi bangsa
Indonesia, namun hukum adat ini tidak boleh diterapkan kalau bertentangan dengan perintah.

3. Zaman Pemerintahan Raffles (1811 – 1816)

Dengan banyaknya pengaduan tentang berbagai kecurangan dalam bidang keuangan dan
tindakan Daendels yang sewenang-wenang terhadap bangsa Indonesia, maka pemerintah kerajaan
Belanda mengangkat Jendral Jan Willem Janssens sebagai pengganti Daendels, yang serah terimanya
dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 1811. Sikap Raffles terhadap hukum adat terlihat jelas dalam
maklumatnya tertanggal 11 Pebruari 1814 yang memuat “Reguiations for more effectual administration
of justice in the Provincial Court of Java” yang terdiri dari 173 pasal.

Seperti halnya Daendels, Raffles ini juga menganggap bahwa hukum adat itu tidak lain adalah
hukum Islam dan kedudukannya tidak sederajat tetapi lebih rendah dari hukum Eropa.

4. Masa Antara Tahun 1816 – 1848

Tahun 1816 – 1848 merupakan masa penting dalam hukum adat, karena merupakan pulihnya
kembali pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, yang merupakan permulaan politik hukum dari
Pemerintah Belanda yang dengan kesadarannya ditujukan kepada bangsa Indonesia. Dalam reglement
tahun 1819 ditentukan bahwa hukum adat pidana akan dinyatakan berlaku bagi golongan Bumiputera.

Mengenai hukum materiil yang diterapkan oleh Pengadilan-pengadilan berlaku asas : hukum dari
pihak tergugat. Ini berarti bahwa jika dalam sengketa antara orang Bumiputera dengan orang Eropa yang
menjadi tergugatnya adalah orang Bumiputera, maka yang akan mengadili adalah Landraad yang akan
memperlakukan hukum adat.

5. Masa Antara Tahun 1848 – 1928

Tahun 1848 dapat dianggap sebagai masa permulaan dari politik Pemerintah Belanda terhadap
hukum adat. Mereka yang ingin mengganti hukum adat dengan suatu kodifikasi hukum yang berlaku bagi
semua golongan rakyat (unifikasi), pada umumnya berpendapat bahwa :

a. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
b. Penggunaan sistem hukum adat yang berbeda-beda untuk golongan penduduk yang berlainan sifatnya
dianggap akan menimbulkan kekacauan dalam asas-asas hukum dan keadilan.
c. Hukum adat itu dinilai lebih rendah dari hukum Eropa dan karena itu sudah sewajarnya kalau diganti
dengan hukum yang lebih baik lagi.

6. Masa Kemerdekaan

Untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, Permerintah Bala Tentara Dai Nippin


mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1943 untuk menjalankan pemerintahan balatentara yang dimuat
dalam Kan No. Istimewa bulan Maret 1943. Peraturan ini menyatakan bahwa semua badan pemerintahan
dengan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintahan Belanda untuk sementara waktu
tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan Peraturan Militer Jepang.

Bedasarkan pasal 131 jo 163 I.S hukum adat untuk golongan pribumi masih tetap berlaku. Oleh
karena kekejaman Jepang sehingga banyak pemuka masyarakat dan pemuka hukum adat takut dan
melarikan diri sehingga banyak sekali peraturan hukum adat yang tidak diterapkan karena hal ini.

Hukum adat tidak sempat dibentuk dalam wujudnya sebagai hukum perundang – undangan
nasional, yang akan digunakan sebagai sumber hukum formal setidak – tidaknya hukum adat ini dapat
digunakan sebagai sumber hukum material oleh siapapun ditengah menangani masalah pertahanan
daerah.

7. Era Reformasi

Di zaman modern, setelah Indonesia memasuki era reformasi, ketentuan yang mengatur mengenai
hukum adat lebih jelas dasar yuridisnya. Setelah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18B
ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara, Pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”. Pasal tersebut telah membuktikan bahwa dasar yuridis
berlakunya hukum adat di Indonesia ada, dan diakui oleh pemerintah.

Tak hanya itu, dalam beberapa Undang-Undang juga mengatur keberlakuan hukum adat. Contoh
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, lebih tepatnya pada Pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.”.

Dasar yuridis tersebutlah yang dapat menjelaskan berlakunya hukum adat secara sah di Indonesia.
Hukum adat adalah hukum yang yang harus diperjuangkan karena ia merupakan hukum tertua yang telah
dimiliki Indonesia dan juga karena Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya dengan
keanekaragaman budaya, suku, dan ras, dan dengan hukum adat, maka segala kepentingan masyarakat
adat dapat diayomi olehnya, untuk Indonesia yang lebih baik.

D. Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat


Hasil seminar Hukum adat dan pembinaan hukum nasional diselenggarakan di Yogyakarta
oleh pakar-pakar hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dinyatakan bahwa terwujudnya hukum adat
itu dipengaruhi oleh agama. Menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto unsur-unsur adat itu adalah:

“Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian
terbesar terdapat di dalam hukum adat, maka jawabanya adalah hukum Melayu Polinesia yang asli itu
dengan di sana sini sebagai bahagian yang sangat kecil adalah hukum agama”

Menurut Prof. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama beliau menyatakan bahwa:

“unsur lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya adalah unsur-unsur
keagamaan, teristimewa unsur-unsur dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama Kristen, dan agama
Hindu”.

a. Unsur Kenyataan

Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta
berkesinambungan dan rakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada
masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban
hukum (opinion yuris necessitatis).

E. Sifat Hukum Adat

Menurut Prof. Mr, F.D HOLEMAN ada empat sifat umum Hukum Adat:

a. sifat Relegium Magis

Sehubung dengan sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ninggrat dalam tesnya menulis bahwa”alam fikiran
Religio Magis” itu mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kepercayaan kepada mahluk Halus,Roh_roh Dan Hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan
khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuhan, binatang, tibuh manusia, dan benda-benda lainya.
2. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat pada
pristiwa-peristiwa luar baisa,tumbuh-tumbuhan yang luarbiasa ,benda-benda yang luar biasa,dan suara-
suara yang luar biasa.
3. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang fasip itu dipergunakan sebagai “magischeb kracht”dalam berbagai
perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai kemauan manusia untuk menolak bahaya ghaib.
4. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan krisis ,menyebabkan
timbulnya berbagaimacam bahaya ghaib yang hanya dapat di hindari atau di hindarkan dengan berbagai
macam pantangan.

b. Sifat Komun ( Comun/ Masyarakat )

adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih sangat terpencil atau dalam
kehidupan sehari-hari masih sanagat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Masyarakat desa
atau senantiasa memegang peranan yang menentukan pertimbangan putusan yang tidak boleh dan tidak
dapat disia-siakan. Keputusan desa adalah berat berlaku terus dalam keadaan apaun juga harus di patuhi
dengan hormat.

Prof.Dr. Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991 : 126 ) Ditegaskan Bahwa dalam hal sifat Comun ini:

“setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat bukan sebagai oknum yang berdiri
sendiri terlepas dari imbangan-imbangan sesamanya, ia menerima hak serta menanggung kewajiban
sesuai dengan kedudukannya. Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum.
Demikaian sama pula halnya dengan hak–hak pribadi seseoranng selalu di imbangi dengan kepentingan
umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan memperhatikan fungsi sosialnya.

Ia terikat kepada sesamanya, kepada kepala adat dan kepada masyarakatnya. Lahirlah keinsyafan
akan keharusan tolong menolong, gotong royong, dalam mengerjakan suatu kepentingan dalam
masyarakat. Cara-cara bertindak dalam hubungan sosial ataupun hukum selalu di sertai asas-asas
permusyawaratan, kerukunan, perdamaian, keputusan dan keadilan”.
c. Sifat Kontant

Sifat kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata atau suatu
perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di maksud telah selesai seketika itu juga
dengan serentak bersama itu juga dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh adat.

Contoh :

Jual beli lepas, Perkawinan Jujur, melepaskan Hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.

d. sifat konkrit ( Visual )

Didalam arti berfikir yang tentu senantiasa di coba dan di usahakan supaya hal-hal yang dimaksud,
dininginkan, dikhendaki atau di kerjakan, di transpormasikan atau diberi wujud suatu benda, diberi tanda
yang kelihatan baik langsung maupun menyerupai obyek yang di kehendaki.

Contoh :

Panjer di dalam jual beli atau dalam hal memindahkan hak atas tanah, Paningset (payangcang) dalam
pertunanangan, membalas dendam terhadap yang membuat patung, boneka atau barang lain lalu barang
itu di musnahkan, dibakar atau di pancung.

Proses Terbentuknya Hukum Ada:t


a. sejak dilahirkan manusia pada hakekatnya dianugrahi naluri oleh Tuhan YME untuk hidup bersama
b. muncul kehendak atau perasaan untuk bergaul yang kemudian menghasilkan interaksi yang dinamis
c. interaksi sosial mula-mula berpangkal tolak pada cara atau usage yang merupakan bentuk perbuatan
d. apabila perbuatan tersebut dinilai baik, maka perbuatan itu berubah manjadi kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang
e. apabila kebiasaan tersebut selalu dilakukan dalam kehidupan masyarakat, maka kebiasaan tersebut
berubah menjadi suatu adat istiadat, yang apabila kebiasaan tersebut dilanggar akan muncul celaan dari
masyarakat, sehingga adat istiadat tersebut diakui, dihargai, dan juga ditaati

Contoh Tentang Dan Sifat Dari Hukum Adat:


a. Tidak dikodifikasikan = hukum adat tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab UU menurut
sistem tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari eropa barat. contoh: hukum adat
biasanya tidak dituliskan namun diterapkan dalam suatu kebiasaan
b. Tradisional = bersifat turun temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan
dan dihormati. contoh: Orang minangkabau tetap memerhatikan dan menghormati adat-istiadt dari
zaman nenek moyangnycikal bakal pembuat adat-istiadat yaitu datuk ketemanggungan
c. Dapat berubah = walaupun hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional tidak berarti hukum
adat tidak dapat berubah, hukum adat dapat dirubah tapi tidak mudah untuk dirubah. contoh:
peribahasa minangkabau yang menyatakan sekali aek gadang, sekalian tapian baranja, sekali raja
berganti sekali adat berubah-ubah, yang maksudnya jika alir besar tepian beralih, jika raja berganti maka
adat berubah
Yang Menjadi Dasar Sahnya Berlaku Hukum Adat:
a. Dasar filosofis
dasar filosofis berlakunya hukum adat dapat dianalisis dari aspek kebudayaan yaitu suatu nilai sosial
budaya yang hidup dalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat.Pancsila yang berisi lima dasar
sebagai filsafat bangsa hakekatnya merupakan keyakinan bangsa indonesia terhadap manusia sebagai
Mahluk Tuhan Yang Maha Esa, hidup brsama dengan manusia lainnya sebagai umat manusia.
b. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis berlakunya hukum adat terkait erat dengan efektifitas hukum. karena hukum adat
merupakan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat indonesia maka secara sosiologis hukum
yang berlakunya efektif adalah hukum adat.
c. Dasar yuridis
Dasar yuridis berlakunya hukum adat dapat dianalisis melalui pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan UU
pokok kekuasaan kehakiman untuk dapat mengetahui sistem hukum adat harus mengetahui dulu dasar-
dasar alam pikiran bangsa indonesia unsur sistem hukum adat tidak ada pembedaan seperti pembedaan
hukum barat.

Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Yang Lain
menurut Soepomo :
a. hukum barat mengenal perbedaan hak atas sesuatu barang sedangkan hukum adat tidak mengenal
pembagian yang hakiki.
b. hukum barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat sedangkan hukum adat
tidak mengenal perbadaan-perbedaan demikian.
c. hukum barat membedakan pelanggaran dibidang hukum pidana yang harus diperiksa dan diputs oleh
hakim pidana begitu juga perdata, sedangkan hukum adat tidak mengenal pembedaan yang demikian,
tiap pelanggaran hukum membutuhkan pembetulan hukum kembali.

6. Jelaskan mengapa politik hukum yang dijalankanbelanda terhadap hukum adat pada masa tahun 1848
mendapat kegagalan?
dikarenakan mendapat tentangan dari Van Vollen Hoven melalui parlemen, menurutnya hukum belanda
tidak cocok diberlakukan untuk masyarakat indonesia.

Contoh Tentang Masyarakat Hukum Adat:


yaitu, kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratus dan kekal serta memiliki pengurus
sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun kekayaan yang immateriil.
contoh: famili minangkabau disebut masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum karena memilki:
a. Tata susunan yang teta, yaitu terdiri atas beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai, selanjutnya
jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anak-anaknya laki-laki dan perempuan.
b. Pengurus sendiri, yaitu yang diketahui oleh seseorang penghulu andiko, sedangkan jurai dikepalai
oleh seorang tungganai atau mamak kepala-waris
c. harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko

Faktor apa sajakah yang menyebabkan perubahan masyarakat hukum adat:


a. magis dan animisme
b. agama
c. kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat
d. hubungan dengan orang-orang atau kekuasaan asing.

F. Hukum Adat Dan Ilmu Lain

1. Hukum Adat Sebagai Salah Satu Tipe Hukum

Apabila diperhatikan secara teliti,hukum nasional yang berbeda dari berbagai negara itu ciri, sistem
asal-usul hukum itu, sehingga pada saat itu menurut ilmu pengetahuan perbandingan hukum dapat
dikelompokan kedalam kelompok-kelompok yang menunjukan tipe itu tersendiri berbeda dengan
kelompok lain.

2. Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan

Hukum adat (dalamartisempit) yaitu hukum yang berasal dari adat istiadat, merupakan norma-
norma kemasyarakatan yang sejak dahulu ada dalam suatu masyarakat untuk mengatur masyarakat itu.

Hukum kebiasanan adalah norma-norma yang berasal dari kebiasaan,yaitu perbuatan-


perbuatanyangdilakukan secara tetap dan terus menerus dan penyimpangan dari cara itu dianggap tidak
biasa dan dianggap bertentangan dengan suatu kewajiban hukum yang timbul karena kebiasaan dilakukan
secara tetap dan terus menerus itu.

A. Pengertian dan ruang lingkup PHI

Pengantar ilmu hokum (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht
sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia
Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam
undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920.

Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan
tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta 13 maret 1946
Pengantar Hukum Indonesia artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk
mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi
yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa sanksi. Sanksi itu ada dua bentuknya adalah berupa
sanksi positif seperti penghargaan dan sanksi negatif meliputi pemulihan keadaan, pemenuhan keadaan,
dan hukuman. Hukuman dapat pula dirinci berupa Hukuman dalam perkara perdata, pidana, tata usaha
negara, dan hukuman dalam perkara pidana.

Ruang lingkup PHI

Pengantar ilmu hokum (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht
sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia
Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam
undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Di zaman kemerdekaan
pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang
didirikan di yogyakarta 13 maret 1946.

Persamaan antara PIH dan PHI yaitu :

 Baik PIH maupun PHI, sama‐sama merupakan mata kuliah dasar, keduanya merupakan mata kuliah yang
mempelajari hukum.
 Istilah PIH dan PHI pertama kalinya dipergunakan sejak berdirinya Perguruan Tinggi Gajah Mada tanggal 13
Maret 1946. Selanjutnya pad atahun 1992 bersamaan dihapusnya jurusan di fakultas hukum istilah PTHI
dalam kurikulum berubah menjadi PHI (Pengantar Hukum Indonesia). Namun demikian adanya
perubahan istilah diatas bukan berarti materi ajarnya juga mengalami perubahan karena pada dasarnya
baik PTHI maupun PHI sama mempelajari tata hukum Indonesia (hukum positif = ius constitutum).

Perbedaan antara PIH dan PHI :

Perbedaan antara PIH dengan PHI dapat dilihat dari segi obyeknya yaitu PHI berobyek pada
hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang ini, atau obyeknya khusus mengenai hukum positif (ius
constitutum). Sedangkan obyek PIH adalah aturan tentang hukum pada umumnya, tidak terbatas pada
aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.

Hubungan antara PIH dengan PHI :

 PIH mendukung atau menunjang kepada setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia (Tata
Hukum Indonesia).
 PIH menjadi dasar dari PHI, yang berarti bahwa, untuk mempelajari PHI (Tata Hukum Indonesia) harus
belajar PIH dahulu karena pengertian-pengertian dasar yang berhubungan dengan hukum diberikan di
dalam PIH. Sebaliknya pokok-pokok bahasan PHI merupakan contoh kongkrit apa yang dibahas di dalam
PIH.

Fungsi dasar PTHI/PHI :

 Sebagai ilmu yang mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar hukum di Indonesia bagi para calon sarjana
hukum yang menuntut ilmu di Indonesia yang penting bagi mereka untuk memahami pengetahuan dan
pengertian tentang hukum ditingkat pendidikan yang lebih tinggi.
 Mengantar setiap orang yang akan mempelajari hukum yang sedang berlaku di Indonesia (hukum positif).
o Maka dapat disimpulkan Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI) atau sekarang Pengantar Hukum
Indonesia (PHI) adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang tata hukum Indonesia dan segala seluk beluk
yang terdapat di dalamnya. Jadi yang ,menjadi objek pembicaraan dalam pengantar hukum Indonesia
ialah hanya tata hukum Indonesia (hukum positif) seperti HTN, HAN, Hukum Pidana, Hukum Perdata,
Hukum Dagang, dll.

B. Hukum Perdata
Rangkaian aturan hokum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan
keluarga.
Definisi hokum perdata Menurut Abdul kadir Muhammad

Hukum perdata ialah semua peraturan hokum yang mengatur hubungan hokum antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya, ( pribadi yang satu dengan pribadi yang lain).

Azas-Azas hukum Perdata:

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum
Perdata adalah:

1. Asas kebebasan berkontrak,

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga,
baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat
Pasal 1338 KUHPdt).

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

 Membuat atau tidak membuat perjanjian;


 Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
 Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsesualisme,
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepercayaan,

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian
akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari

4. Asas Kekuatan Mengikat,

Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi
para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat ke dalam

Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini
mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317
KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu
syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk


kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318
KUHPdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian untuk
pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt
mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPdt memiliki ruang lingkup yang luas.

5. Asas Persamaan hukum,

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan
antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

6. Asas Keseimbangan,

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan
dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik

7. Asas Kepastian Hukum,

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.

8. Asas Moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral).

9. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi
oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada
pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi
pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana
sebagaimana diinginkan oleh para pihak

10. Asas Kepatutan.

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya

11. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

12. Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

C. Hukum Dagang
Hukum Dagang dapat di Definisi kan sebagai:
• Hukum yang mengatur soal-soal perdagangan yaitu soal soal yang timbul karena tingkah laku manusia

• Bagian dari hukum perdata pada umumnya, yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan yang diatur
dalam Buku III BW / serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu
lintas perdagangan

• Keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan sejauh mana diatur
dalam KUHD dan peraturan tambahan
• Hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan

• Serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan

Azas-Azas Hukum Dagang:

D. Hukum Adat
Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun tidak tertulis di
sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh
di bawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak menyimpang
dari rasa keadilan.

Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman kuno dan
zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar yang cukup
mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur
Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan akulturasi dari berbagai kultur
pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama
adalah kegiatan yang sebenarnya dengan melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan
menggunakan kerangka mengenai unsur-unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur
riil. Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat
dalam diri manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan
ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.

Azas-azas Hukum Adat:

1. Asas Religio Magis (Magisch-Religieus)


Asas religio magis adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau
cara berpikir seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan lain-lain.

2. Asas Komun (Commun)


Asas Komun berarti mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas korum
merupakan segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau
dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam
masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan individual.

3. Asas Contant (Tunai)


Asas contant atau tunai mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu
perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu
juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh
Adat. Dengan demikian dalam Hukum Adat segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang
terima secara contan itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan memang tidak tersangkut patu atau
tidak bersebab akibat menurut hukum.

4. Asas Konkrit ( Visual )


Pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan perbuatan hukum itu selalu konkrit
(nyata); misalnya dalam perjanjian jual-beli, si pembeli menyerahkan uang/uang panjer.
E. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau
dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat
disebut Islamic Law. Dalam al-Qur’an dan sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.

Azas-azas Hukum Islam:


Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18).
Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum
yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
1. Azas Nafyul Haraji ; meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam
batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga
tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan
melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif ; tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak
mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj ; bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap
disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia ; Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada
dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata ; artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu
terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika ; artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn
segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat ; Hukum Islam dalam
penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam ; artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan
yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran
dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

F. Hukum Antar Tata Hukum


Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih
yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda atau dapat didefinisikan sebagai hokum yang
mempelajari sistim hokum pada suatu Negara tertentu pada saat tertentu (hokum positive/ius constitum).

Azas-azas Hukum Antan tata Hukum:

G. Hukum Internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks
pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku
organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.

Dalam pelaksanaan hukum internasional sebagai bagian dari hubungan internasional, dikenal ada
beberapa asas atau prinsip hukum antara lain:

1. Pacta Sunt Servanda, yaitu setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak-pihak yang
mengadakannya.

2. Equality Rights yaitu negara yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama.

3. Reciprositas (asas timbal-balik) yaitu tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal,
baik tindakan yang bersifat negatif atau pun posistif.

4. Courtesy yaitu asas saling menghormati dan saling menjaga kehormatan masing-masing negera.

5. Rebus Sic Stantibus yaitu asas yang dapat digunakan untuk memutuskan perjanjian secara sepihak apabila
terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian
internasional yang telah disepakati.

6. Asas Teritorial, menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang
ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang berada di wilayah tersebut, berlaku hukum
asing (internasional) sepenuhnya.

7. Asas Kebangsaan, asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya, menurut asa ini
setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya. Asas ini
mempunyai kekuatan ekstrateritorial, artinya hukum negera tersebut tetap berlaku juga bagi warga
negaranya, walaupun ia berada di negara asing.

8. Asas Kepentingan Umum, asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur
kepentingan dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua
keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas-
batas wilayah suatu negara.

H. Hukum Agraria
Didalam UUPA pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti atau makna yang sangat
luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (Pasal 1 ayat (2). Ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang
lingkup sumber daya agraria / sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Azas Hukum Agraria:

Hukum agraria di Indonesia menggunakan berbagai azas antara lain ialah:

1. Azas nasionalisme dimana hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau
yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki
dan perempuan serta warga negara asli dan keturunan.
2. Asaz hukum adat, mengandung maksud bahwa hukum adat yang digunakan dalam hukum agraria adalah
hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.
3. Asaz dikuasai oleh negara, seperti yang termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
4. Azas fungsi sosial, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun
1960 yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain
dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan.
5. Azas gotong royong, disebutkan dalam pasal 12 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang
menyatakan bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama
dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk usaha gotong royong
lainnya dan negara dapat bersama-sama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan usaha bersama
dalam lapangan agraria.
6. Azas kebangsaan menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia baik asli maupun warga Indonesia
keturunan berhak memiliki hak atas tanah.
7. Azas unifikasi, menyatakan bahwa hukum agraria disatukan dalam sebuah undang-undang yang
diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia, yang berarti hanya ada satu hukum agraria yang
berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Pokok Agraria.
8. Azas non-diskriminasi dengan tegas menyebutkan bahwa azas yang melandasi hukum agraria (Undang-
Undang Pokok Agraria) adalah bahwa undang-Undang Pokok Agraria tidak membedakan antara sesama
warga negara Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing.
9. Azas pemisahan horizontal. Terdapat pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda atau
bangunan yang terdapat diatas tanah tersebut. Asas ini merupakan lawan asas vertikal atau asas
perlekatan yang menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan
satu bagian dengan benda tersebut dianggap menjadi satu dengan bagian tersebut atau dengan kata lain
tidak terdapat pemisahan antara hak atas tanah dengan bangunan yang terdapat diatasnya.

I. Hukum Tata Negara


Hukum tata negara di belamda dikenal dengan istilah staatsrech. Di perancis hukum tata negara
disebut dengan Droit Constitutionnel. Di Jerman disebut dengan Verfassungrecht dan di Inggris disebut
dengan istilah Constitutionnal law. Menurut Van Volenhoven, adalah: Hukum yang mengatur seluruh
masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan menentukan
wilayah lingkungan masyarakatnya serta menentukan badan dan fungsinya masing-masing serta susunan
dan wewenang badan tersebuta.

Asas-asas Hukum Tata Negara yaitu:

1. Asas Pancasila
Setiap negara didirikan atas filsafah bangsa. Filsafah itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyat dan
bangsanya. Dalam bidang hukum, pancasila merupakan sumber hukum materil, karena setiap isi
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya dan jika hal itu terjadi, maka
peraturan tersebut harus segera di cabut. Pancasila sebagai Azas Hukum Tata Negara dapat dilihat dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2. Asas Hukum, Kedaulatan rakyat dan Demokrasi
Asas kedaulatan dan demokrasi menurut jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat dalam negara
Indonesia, mencari keseimbangan individualisme dan kolektivitas dalam kebijakan demokrasi politik dan
ekonomi. Azas kedaulatan menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan dengan
kemauan rakyat dan pada akhirnya pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat
melalui wakil-wakilnya sesuai dengan hukum.
3. Asas Negara Hukum
margin-bottom: 0cm; mso-add-space: auto; text-align: justify;"> Yaitu negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Asas Negara hukum (rechtsstaat) cirinya yaitu
pertama, adanya UUD atau konstitusi yang memuat tentang hubungan antara penguasa dan rakyat,
kedua adanya pembagian kekuasaan, diakui dan dilindungi adanya hak-hak kebebasan rakyat.

4. Asas Demokrasi
Adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah baik secara langsung maupun tak
langsung. Azas Demokrasi yang timbul hidup di Indonesia adalah Azas kekeluargaan.
5. Asas Kesatuan
Adalah suatu cara untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu dan damai tanpa adanya perselisihan
sehingga terciptanya rasa aman tanpa khawatir adanya diskriminasi.
6. Asas Pembagian Kekuasaan dan Check Belances
Yang berarti pembagian kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian baik mengenai
fungsinya.
7. Asas legalitas
Dimana asas legalitas tidak dikehendaki pejabat melakukan tindakan tanpa berdasarkan undang-undang
yang berlaku. Atau dengan kata lain the rule of law not of man dengan dasar hukum demikian maka harus
ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.

J. Hukum Administrasi Negara


Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan
antara warga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. (R. Abdoel
Djamali).

Asas-Asas Hukum Administrasi Negara:

1. Asas yuridikitas (rechtmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh
melanggar hukum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan).
2. Asas legalitas (wetmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar
hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya). Apalagi indonesia adalah negara hukum, maka asas
legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.
3. Asas diskresi yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan
berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan legalit.

K. Hukum Pajak
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum
antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib
pajak).

Asas pemungutan:

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four
Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang
dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh
bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

 Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

 Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak
harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak
baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

 Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin,
jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Asas Pengenaan Pajak:

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan
lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan
berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-
asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama
yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle): berdasarkan asas ini
negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident)
atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam
kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah
sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya
akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan
baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept).
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak
itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang
berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak
adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di
Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah
Indonesia.

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship
principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari
orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari
mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem
pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas
nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

L. Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa
yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk

ASAS-ASAS HP DALAM KUHP (WvS)

Azas Berlakunya Hukum Pidana

Waktu :

1. Azas Legalitas (Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali)

Dasar : Pasal 1 ayat 1 KUHP : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Azas ini melindungi rakyat dari kesewenangan penguasa, dan merupakan fungsi instrumental bagi
penguasa.

2. Azas Retroaktif

Pasal 1 ayat (2) KUHP : Jika sesudah perbuatan pidana dilakukan terjadi perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Perubahan :

Hukum pidana : sanksi pidana, sifat tindak pidana, daluwarsa

Hukum perdata : batas umur


Pasal 1 ayat (2) KUHP ini melemahkan :

Azas legalitas : memperbolehkan suatu aturan hukum pidana berlaku surut;

Azas lex temporis delicti : memperbolehkan suatu tindak pidana diadili oleh peraturan hukum yang belum
berlaku pada saat tindak pidana dilakukan

Asas-asas hukum pidana ini bersumber dalam bagian Buku I menyangkut asas-asashukum pidana dan
uraian umum dari ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 8 KUHP.Berikut penjelasan mengenai Asas-asas
Hukum Pidana, yaitu

1. Asas Teritorial
Berlaku bagi setiap orang yg melakukan tin pdna di wil indonesia (pasal 2 kuhp).

tidak perlu berada di wil. Indonesia-di luar negeri ; berada di perahu Indonesia (Pasal 3)

“tempat terjadinya delik/locus delicti”

2. Asas personalitas (nasional aktif)


Berlaku bagi SETIAP W N I, yg melakukan TP dalam negeri maupun luar negeri.

per-UU pidana mengikuti orangnya (WNI)

3. Asas Nasional Aktif


KEJAHATAN :

 KEAMANAN NEGARA
 Indonesia >> kejahatan, di luar neg tempat kejahatan dilakukan
o diancam pidana
(Pasal 4 ke 1, 2, 3, 4 batasannya dalam Pasal 5 dan Pasal 6 KUHP)

PERKECUALIAN:

UU No. 4/1976 memperluas asas teritorial Psl. 3 KUHP (ke pesawat udara) dan

4. Asas Universal
Psl. 4 ke-4 KUHP (ke beberapa kejahatan penerbangan);
o UU No. 22/1997 berlaku terhadap barang siapa melakukan TP narkotika dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83,
84 dan Pasal 87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 97).
o UU No. 31/1999 berlaku terhadap tiap orang di luar wilayah RI yang memberikan bantuan untuk terjadinya
TPK dalam Pasal 2, 3, 5 s/d 14” (Pasal 16).
o Perpu No. 1/2002 jo. UU No. 15/2003 berlaku berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau
bermaksud melakukan TP terorisme di negara lain
o UU No. 15/2002 (TP Pencucian Uang) berlaku terhadap WNI/korporasi Indonesia di luar wilayah RI yang
memberikan bantuan untuk terjadinya TPPU dalam Pasal 3 (Pasal 7).
M.Hukum Acara:

1. Hukum Acara pidana


Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa,
yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan
mengadakan hukum pidana.
Asas-Asas Hukum Acara Pidana:

 Equality Before the Law


Perlakuan yang sama atas setiap diri orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan
perlakuan. (Penjelasan umum angka 3 huruf A KUHAP)
 Peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan
Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak
memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. (Penjelasan umum Angka
3 Huruf E)

 Presumption of Innocence
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. (Penjelasan umum angka 3 huruf C)
 Opportunitas
Monopoli penuntut umum, tidak wajib menuntut seseorang jika menurut pertimbangannya akan
merugikan kepentingan umum. (Pasal 36 C UU 4/2004)
 Peradilan Terbuka untuk Umum
Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat 3 KUHAP)
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP)
 Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak
 Akusatoir (Tersangka Menjadi Subyek Pemeriksaan, Bukan Obyek)
Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka
tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan
atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. (Penjelasan Pasal 52 KUHAP)
 Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa
Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,
pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi. (Pasal 154 ayat 4 KUHAP)
 Hak Mendapat Bantuan Hukum
Guna kepentingan pembelaan, tersangka, atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang
atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara
yang ditentukan dalam undang-undang ini. (Pasal 54 KUHAP)
 Hak Mendapat Kompensasi dan Rehabilitasi
Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan
diadili atau dikarenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (Pasal 95 KUHAP)

2. Hukum Acara Perdata


Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap pihak orang lain di muka pengadilan itu harus bertindak untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Wirjono Prodjodikoro).

Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata
Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru
(RIB).

Asas-Asas Hukum Acara Perdata

 Hakim bersifat menunggu

Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak
yang berkepentingan.
 Hakim dilarang menolak perkara

Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan
mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Bila hakim tidak dapat
menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari
dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)
 Hakim bersifat aktif

Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

 Persidangan yang terbuka

Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga
diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no
14/1970)
 Kedua belah pihak harus didengar

Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak
memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam
Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya
harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka
sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
 Putusan harus disertai alasan

Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan
hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang
dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak
yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa
 Sederhana, cepat dan biaya ringan

Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat menunjuk pada jalannya
peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda
bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara
dilanjutkan oleh ahli waris). Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.
 Obyektivitas

Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila
ternyata sikap hakim tidak obyektif.
 Hak menguji tidak dikenal

Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam
pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa
Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
sah

3. Hukum Acara Tata usaha Negara


Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum yang secara bersama-sama diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang – Undang
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hukum acara dalam arti luas, karena undang-undang ini tidak saja
mengatur tentang cara-cara berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga sekaligus mengatur
tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Asas Hukum Acara PTUN, terdiri dari :

 Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada
pasal 67ayat 1UU PTUN.
 Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada
kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
 Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem.
 Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun
kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
 Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan
kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi
keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.
 Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).
 Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat
permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau
dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui
apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU
PTUN).
 Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan
pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN)
 Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata
Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
 Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan
sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).
 Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan
diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami
atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim
dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas,
atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan
sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

Hukum Laut Internasional

A. Pengertian
Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan
kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya
(national jurisdiction).

Sejarah Hukum Laut Internasional


Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah
pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu : a.
Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia,
dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara; b. Res Nulius,
yang menyatakan bahwa laut tidak yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh
masing-masing negara. Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan
sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya
menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan
di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga
semua orang dapat mempergunakan lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh
pihak Imperium Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi trhadap laut didasarkan atas doktrin
res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut
bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan
pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut diatas, tamapk
bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh
sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam
sejarah hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam
zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.
Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasrkan atas
konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa
menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata romawi dikenal sebagai
konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya
Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang
masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun
penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi
pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti
perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi yang
disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang
berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut
internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial
dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut
internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah
negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan
yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu
tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas
laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga
mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk
melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-
tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-
kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di
zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan
dan netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah perkembangan hukum
laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu pengakuan Paus Alexander VI
pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk
kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat,
Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang
mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik
Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Perjanjian
Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis
perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika.
Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara
antar Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris
(Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menuntup
laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era penjajahan kedua
kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan
samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut tertutup (mare
clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar
(freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari
oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu
bapak Hukum Laut Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang
paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis
asas kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-
armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab pelayaran ini menjadi
suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat
adalah pertarungan antara penganut doktrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare
clausum)
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori mengenai
lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui pessession ini hanya bisa
terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegah
teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah
sesuatu yang mempunyai batas, sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak
terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih
padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasaan
tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk memperoleh pemilikan atas laut.
Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair,
dapat dimiliki karena ada batas -batas nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang
lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare Liberium, di
bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudra India dalam
usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda
untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu,
sama hal nya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal,
Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya,
khususnya Indonesia.

B. Garis Pangkal
Garis pangkal merupakan titik” air terendah yang penetapanya disesuaikan dengan cara
penarikan garis” pangkal tersebut.
1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut,
yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai teluk yang lebar mulutnya tidak lebih
dari 24 mil dan pelabuhan garis air terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus.
syaratnya:
- mulut sungai
-teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
-pelabuhan
2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik” pangkal berupa titik
terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
- garis pantai yang menikung jauh kedalam
- ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
- ada delta
- kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
- adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut

Garis pangkal lurus :


- tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
- tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.
3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang menghubungkan titik” terluar
pada pulau /karang kering yang terluar dari wilayah negara tersebut.
syaratnya:
- harus meliputi pulau utama suatu negara
- perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1 sampai 1 banding 4

C. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS
1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat
garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis
pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan
dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa,
“Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air
rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang
terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan
Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan
Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali
pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp
tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),hukum
laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan
pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah
berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini
tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah
yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian
perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4
/Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman.
Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan
suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah
perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas
damai melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan
pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960
merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan
pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.
2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut
pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing.
Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut
wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan
yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi
1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena
kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang
mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.Sebagai tambahan,
pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini
dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on
the Law of the Sea yang ketiga.

D. Laut Territorial
Laut teritorial atau perairan teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah wilayah
kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan
bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina, laut teritorial meliputi pula
suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal
termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut
teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan
dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang
paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar (baseline-sea).
wilayah laut dengan batas 12 mil dari titik ujung terluar pulau-pulau di Indonesia pada
saat pasang surut ke arah laut. Perlu kalian tahu, bahwa jarak antara satu negara dengan negara
lain ada yang tidak terlalu jauh. Bagaimanakah bila dua negara menguasai satu laut yang
lebarnya tidak sampai 24 mil? Bila hal itu terjadi maka wilayah laut teritorial ditentukan atas
kesepakatan dua negara yang bersangkutan. Batas laut teritorialnya ditentukan dengan garis di
tengah-tengah wilayah laut kedua negara yang bersangkutan.
Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.500 pulau baik yang besar
maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis
pantai yang panjang. Panjang garis pantai di Indonesia sejauh 81.000 km dan merupakan salah
satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang akan
menguntungkan bagi negara itu, sebab kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi hak
milik negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia
internasional.

E. Selat
Selat adalah sebuah wilayah perairan yang relatif sempit yang menghubungkan dua bagian
perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak di antara dua permukaan daratan.
Selat buatan disebut terusan atau kanal. Selat disebut juga Laut Sempit di antara dua daratan.
Daftar selat di Indonesia
 Selat Alas
 Selat Alor
 Selat Badung
 Selat Bali
 Selat Bangka
 Selat Berhala
 Selat Batahai
 Selat Benggala
 Selat Gaspar
 Selat Lamakera
 Selat Lintah
 Selat Lombok
 Selat Lowotobi
 Selat Madura
 Selat Makassar
 Selat Mola
 Selat Ombai
 Selat Panaitan
 Selat Pantar
 Selat Rote
 Selat Sape
 Selat Selayar
 Selat Singapura
 Selat Solor
 Selat Sumba
 Selat Sunda

F. Kepulauan
Kepulauan adalah rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau, kepulauan yang terbentuk
tektonik. Kata kepulauan berasal dari Yunani ἄρχι- - arkhi- ("kepala") dan πέλαγος - pelagos
("laut") yang berasal dari rekonstruksi linguistik bahasa Yunani abad pertengahan ἀρχιπέλαγος
tepatnya nama untuk Laut Aegea dan, kemudian, dalam penggunaan bergeser untuk merujuk pada
Kepulauan Aegean atau merujuk pada jumlah kumpulan yang besar pulau-pulau. Sekarang
digunakan secara umum yang mengacu pada setiap kelompok besar pulau seperti yang tersebar
pada Laut Aegea.
Daftar pulau di Indonesia
Tahun 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-
fareast-language: IN;"> (LIPI) memublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia.
Pada tahun 1987 Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta ABRI) menyatakan bahwa jumlah
pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.508, di mana 5.707 di antaranya telah memiliki nama,
termasuk 337 nama pulau di sungai. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan
Indonesia yang mencatat sebanyak 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun 2002 berdasarkan hasil
kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah.
Data Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali
kota, pada tahun 2004 menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak
bernama. Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang berpenghuni hanya sekitar 6.000
pulau. Di bawah ini disajikan pulau-pulau utama Indonesia:
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kep Riau
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Banten
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Papua
Papua Barat

G. Zona Tambahan
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan
batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona
tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah
pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah
laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut
lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan
pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah
bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya
tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh
melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu
hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil
laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya
ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum
Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar
laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan
itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis
itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan
laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial,
dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti
yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan
laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya
dibatasi oleh hak lintas damai.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang
penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona
tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM
pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona
Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-
peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya
dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona
Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi
hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah
perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang Zona
Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan di Zona Tambahan untuk
mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan
Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur
selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone)
adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang
ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi
mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara tetangga Indonesia
telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat
penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai
ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara
terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif
pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif
kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan
hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan
Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter
(kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona
Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun
1996 tentang perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona
Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-
undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum
tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982
adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis
menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan
menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum
di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di zona yang
berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat
Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian,
dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak pelanggaran
atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau
laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis
pangkal untuk mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda
sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Pasal 3 ayat
(1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal,
benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat
dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal
yang tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh)
tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh
pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran
hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum
atas ketentuan-ketentuan di zona tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona
Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan
kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan
hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan
harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan hukum
zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU
Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan
Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan
Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus dicapai
pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari kementerian dan
Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan
peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak
terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.

H. Landas kontine
Landas kontinen adalah suatu Negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya yang terletak di laur laut teritorialnya sepanjang merupakan kelanjutan alamiah
wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal atau dapat lebih dari itu dengan
tidak melebihi 350 mil, tidak boleh melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar laut
sedalam 2500 mil.
Landas Kontinen (BLK) adalah daerah di bawah laut yang meliputi dasar laut dan tanah
di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang
kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran laut tepi kontinen, sehingga suatu jarak 200
mil laut dari garis pangkal, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Garis batas luar kondisi kontinen pada dasar laut, tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis
pangkal atau tidak melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500m, kecuali untuk
elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (plateau),
tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar ( banks) dan puncak gunung yang bulat
(spurs).

I. Zona Ekonomi Eklusif


Pada tanggal 21 Maret 1980 Indonesia mengumumkan ZEE. Batas Zona Ekonomi
Eksklusif adalah wilayah laut Indonesia selebar 200 mil yang diukur dari garis pangkal laut
wilayah Indonesia. Apabila ZEE suatu negara berhimpitan dengan ZEE negara lain maka
penetapannya didasarkan kesepakatan antara kedua negara tersebut. Dengan adanya perundingan
maka pembagian luas wilayah laut akan adil. Sebab dalam batas ZEE suatu negara berhak
melakukan eksploitasi, eksplorasi, pengolahan, dan pelestarian sumber kekayaan alam yang berada
di dalamnya baik di dasar laut maupun air laut di atasnya. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung
jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.

J. Laut lepas
Berdasarkan pasal 86 konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan bahwa laut lepas
merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonoi eksklusif, dalam laut
teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu
negara kepulauan. Jadi sesuai definisi ini laut lepas terletak di bagian luar zona ekonomi
eksklusif.adapun prinsip hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip kebebasan.. oleh
karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai laut lepas itu open sea. Namun
demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan tindakan-tindakn pengawasan,
kerena kebebasan tanpa pengawasan dapat mengacau kebebasan itu sendiri.

Prisip kebebasan di laut lepas


Secara umum dan sesuai dengan pasal 87 konvensi, kebebasan dilaut lepas berarti bahwa
laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun. Menurut pasal 87 konvensi tersebut diatas
kebebasan-kebebasan tersebut antara lain :

1. kebebasan berlayar,
2. kebebasan penerbangan,
3. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi ketentuan-
ketentuan bab VI konvensi,
4. kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang
diperbolehkan berdasarkan hukum internasional dengan tunduk kepada babVI,
5. kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam sub
bab II,
6. kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan bab XIII.

Kebebasan ini berarti juga bahwa tidak satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan
apapun di laut lepas di bawah kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat digunakna untuk tujuan-
tujuan damai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal 88 dan 89 konvensi.
Sekarang ini penggunaan laut lepas untuk keperluan khusus bersifat nasional seperti
percobaan nuklir sering menimbulkan permasalahan dengan keseluruhan kebebasan laut lepas
yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Dibuatnya suatu parameter yang melarang navigasi
kapal-kapal waktu pelaksanaan ujicoba nuklir misalnya mendapat tantangan dari banyak negara
karena mengurangi kebebasan dilaut lepas. Kritikan terhadap penggunaan laut lepas untuk ujicoba
nuklir tertsebut terutamadidasarkan atas ketentuan pasal 88 dalam konvensi yang menyatakan laut
diperuntukan untuk tujuan-tujuan damai. Didirikannya suatu zona terlarang selama
berlangsungnya ujicoba tentu saja bertentangan dengan prinsip kebebasan berlayar dan kebebasan
terbang diatasnya. Sehubungan dengan ini banyak negara membuat konvensi yang mengharuskan
perundang-undangan nasionalnya berisikan ketentuan untuk membayarkan ganti rugi pada negara-
negara lain dalam peleksanaan kebebasan –kebebasan tertentu dilaut lepas.

Pengawasan di laut lepas


Pengawasan di laut lepas dirasakan perlu untuk menjamin kebebasan penggunaan laut.
Pengawasan ini dilakukan oleh kapal-kapal perang. Pengawasan yang dilakukan di laut lepas
tersebut dibagi atas dua bagian yaitu pengawasan umum dan pengawasan khusus.

Hukum Adat
A. Pengertian Hukum Adat
Secara bahasa hukum adat terbagi dari dua kata yakni hukum dan adat. Hukum adalah kumpulan
aturan atau norma yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi, dan yang membuat hukum adalah orang
yang memiliki kewenangan atasnya. Sedangkan kata adat, menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari
bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang
lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato
berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim
diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia
menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.

Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai
berikut:

1. Prof. Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat
sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada
satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud
memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk
Hukum Adat pada masa kini.

2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis
di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum
Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

3. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat
hukum, komplek ini disebut Hukum Ada.

4. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang
bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh
masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada
kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum
dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).

5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang
merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dan bersifat kekeluargaan.

6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apaada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi).

Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun tidak tertulis di
sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh
di bawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak menyimpang
dari rasa keadilan.

Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman kuno dan
zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar yang cukup
mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur
Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan akulturasi dari berbagai kultur
pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama
adalah kegiatan yang sebenarnya dengan melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan
menggunakan kerangka mengenai unsur-unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur
riil. Unsur idiil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat
dalam diri manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan
ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.

Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah sistem hukum adat, dimana suatu sistem hukum sudah hidup
dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, setiap hukum merupakan suatu sistem yang
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan pemikiran, begitu pula
hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar pemikiran bangsa indonesia, yang tidak sama
dengan yang ada dalam sistem hukum barat. Agar kita sadar terhadap sistem hukum adat, kita harus
mengetahui dasar-dasar pemikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu untuk
memahami lebih lanjut, akan di bahas masalah sistem hukum adat tersebut.

Sumber Hukum Adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Adapun Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan
besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Manfaat Mempelajari Hukum Adat :

Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan manfaat hukum adalah tersebut adalah:
dengan memepelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya hukum Indonesia, kita tidak
menolak budaya hukum asing sepanjang ia tidak bertentangan dengan budaya hukum Indonesia. Begitu
pula dengan mempelajari hukum adat maka akan dapat kita ketahui hukum adat yang mana yang
ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana yang mendekati
keseragaman yang dapat diperlakukan sebagai hukum nasional.

Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagiskomun, kontant, dan
konkret. Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem hukum barat maka akan tampak
perbedaan pokok sebagai berikut:

a. SistemHukum Barat

1) Menjunjung tinggi nilai kondifikasi


2) Memuat peraturan yang kasuistis artinya merinci

3) Hakim terikat penetapan darikodifikasi.

4) Mengenal benda kebendaan,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan hak-hak
perorangan yaitu hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja.

5) Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum publik.

6) Dikenal perbedaan benda dalam benda tetap dan benda bergerak

7) Perlu adanya sanski sebagai jaminan terlaksananya penertipan.

b. Sistem Hukum Adat

a) Tidak menghendaki kodifikasi

b) Menyadarkanpada asas-asas hukum saja artinya hanya mengatur dalam garis besar saja.

c) Karena tidak ada penetapan yang prae existence maka hakim diberi kebebasan leluasa dalam
mewujudkan keadilan yang hidup dalam masryarakat karena hakimnya aktif.

d) Hak-hak kebendaan dan perorangan seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat.

e) Tidak dikenal pembagian seperti itu

f) Perbedaan benda seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat

g) Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin terlaksananya
ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.

Dasar Berlakunya Hukum Adat :

a. Dasar yuridis dahulu dan sekarang

b. Dasar berlaku sosiologis

c. Dasar berlaku filosofis

B. Perbedaan Hukum Adat Dan Hukum Barat

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah pasti berlainan
dengan pemikiran yang menguasai hukum Barat. Dan untuk dapat memahami serta sadar akan hukum
adat, orang harus memahami dasar-dasar pemikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Hukum adat memiliki corak-corak sebagai berikut:


1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan
makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum
adat.
2. Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan
banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh
karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang
fundamental, seperti:

1. Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak
atas benda yang bersifat “zakelijk”, artinya berlaku terhadap tiap orang, jadi merupakan hak
mutlak/absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap
sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif. Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam
dua golongan seperti di atas. Hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal
perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena
corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat dan pandangan hidup yang
mendukung kedua macam hukum itu juga jauh berlainan.
3. Aliran dunia Barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis intelektualistis. Aliran Timur, khususnya
Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib; dunia manusia
berhubungan erat dengan segala hidup di dalam alam ini.
mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">

4. Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut sistem hukum barat, dibagi-bagi dalam golongan peanggaran
yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana atau (strafrechter), dan pelanggaran-
pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lingkup perdata, maka pelanggaran-pelanggaran itu
harus diadili oleh hakim perdata.

C. Sejarah Politik Hukum Adat

Hukum adat (adatrecht) dipergunakan untuk pertama kalinya secara ilmiyah pada tahun 1893
untuk menamakan hukum yang berlaku bagi golongan pribumi (warga negara Indonesia asli) yang tidak
berasal dari perundang-undangna Pemerintah Hindia Belanda.

1. Zaman V.O.C. (1602 – 1800)

Penanaman kekuasaan asing secara teratur dan sistematis, dimulai dengan didirikannya kongsi
Dagang Hindia Timur atau Verenigde Oost Indische Compangnie (VOC) pada tahun 1602 oleh kongi-kongsi
dagang Belanda atas anjuran John van Oldenbarneveld, agar mampu menghadapi persaingan dengan
kongsi dagang lainnya. Tanggal 20 Maret 1602 VOC mendapat hak oktroi yang antara lain meliputi
pemberian kekuasaan untuk membuat benteng pertahanan, mengadakan perjanjian dengan raja-raja di
Indonesia, mengangkat pegawai penuntut keadilan dan sebagainya.
Oleh karena itu VOC ini mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai
lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Pada aman VOC hukum yang berlaku di pusat pemerintahan dengan di luar itu tidak sama :

a. Di Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan, untuk semua orang dari golongan bangsa apapun
berlakulah “Hukum Kompeni”, yaitu hukum Belanda. Jadi bagi mereka semuanya berlaku satu macam
hukum (unifikasi) baik dalam lapangan hukum tatanegara, perdata maupun pidana.
b. Di luar dareah Pusat Pemerintahan, dibiarkan berlaku hukum aslinya, yaitu hukum adat. Demikian pula
pada pengadilan-pengadilan golongan asli tetap dipergunakan hukum adat.

Usaha penerbitan itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli,
yaitu :

a. Pada tahun 1750 untuk keperluan Landraad Semarang, dibuatlah suatu compendium (pegangan, Kitab
Hukum) dari Undang-undang orang Jawa yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharraer yang
ternyata sebagian besar berisi hukum pidana Islam”.
b. Pada tahun 1759 oleh Pimpinan VOC disahkan suatu Compendium van Clootwijck tentang undang-undang
Bumiputera di lingkungan Kraton Bone dan Ga.
c. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan VOC dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak dan warisan untuk dipakai oleh Pengadilan VOC.
d. Oleh Mr. P. Cornelis Hasselaer (Residen Cirebon tahun 1757 – 1765) diusahakan pembentukan Kitab
Hukum Adat bagi hakim-hakim Cirebon. Kitab hukum adat ini terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”.

2. Zaman Pemerintahan Daendels (1808 – 1811)

Pada tahun 1795 di Negeri Belanda terjadi perubahan ketatanegaraan dengan jatuhnya
kekuasaan Raja Willem van Oranje dan berdirilah pemerintaan baru, yaitu Bataafsche Republiek (Republik
Batavia). Pada tahun 1806 Bataafsche Republik dihapuskan dan diganti menjadi Kerjaaan Holland yang
merupakan bagian dari Kekaisaran Perancis.

Daendels beranggapan bahwa hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, meskipun
mempunyai kelemahan-kelemahan, namun perlu tetap dipelihara dan ia merasa enggan untuk
menggantinya dengan hukum Eropa. Pada pokoknya hukum adat akan tetap dipertahankan bagi bangsa
Indonesia, namun hukum adat ini tidak boleh diterapkan kalau bertentangan dengan perintah.

3. Zaman Pemerintahan Raffles (1811 – 1816)

Dengan banyaknya pengaduan tentang berbagai kecurangan dalam bidang keuangan dan
tindakan Daendels yang sewenang-wenang terhadap bangsa Indonesia, maka pemerintah kerajaan
Belanda mengangkat Jendral Jan Willem Janssens sebagai pengganti Daendels, yang serah terimanya
dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 1811. Sikap Raffles terhadap hukum adat terlihat jelas dalam
maklumatnya tertanggal 11 Pebruari 1814 yang memuat “Reguiations for more effectual administration
of justice in the Provincial Court of Java” yang terdiri dari 173 pasal.
Seperti halnya Daendels, Raffles ini juga menganggap bahwa hukum adat itu tidak lain adalah
hukum Islam dan kedudukannya tidak sederajat tetapi lebih rendah dari hukum Eropa.

4. Masa Antara Tahun 1816 – 1848

Tahun 1816 – 1848 merupakan masa penting dalam hukum adat, karena merupakan pulihnya
kembali pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, yang merupakan permulaan politik hukum dari
Pemerintah Belanda yang dengan kesadarannya ditujukan kepada bangsa Indonesia. Dalam reglement
tahun 1819 ditentukan bahwa hukum adat pidana akan dinyatakan berlaku bagi golongan Bumiputera.

Mengenai hukum materiil yang diterapkan oleh Pengadilan-pengadilan berlaku asas : hukum dari
pihak tergugat. Ini berarti bahwa jika dalam sengketa antara orang Bumiputera dengan orang Eropa yang
menjadi tergugatnya adalah orang Bumiputera, maka yang akan mengadili adalah Landraad yang akan
memperlakukan hukum adat.

5. Masa Antara Tahun 1848 – 1928

Tahun 1848 dapat dianggap sebagai masa permulaan dari politik Pemerintah Belanda terhadap
hukum adat. Mereka yang ingin mengganti hukum adat dengan suatu kodifikasi hukum yang berlaku bagi
semua golongan rakyat (unifikasi), pada umumnya berpendapat bahwa :

a. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
b. Penggunaan sistem hukum adat yang berbeda-beda untuk golongan penduduk yang berlainan sifatnya
dianggap akan menimbulkan kekacauan dalam asas-asas hukum dan keadilan.
c. Hukum adat itu dinilai lebih rendah dari hukum Eropa dan karena itu sudah sewajarnya kalau diganti
dengan hukum yang lebih baik lagi.

6. Masa Kemerdekaan

Untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, Permerintah Bala Tentara Dai Nippin


mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1943 untuk menjalankan pemerintahan balatentara yang dimuat
dalam Kan No. Istimewa bulan Maret 1943. Peraturan ini menyatakan bahwa semua badan pemerintahan
dengan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintahan Belanda untuk sementara waktu
tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan Peraturan Militer Jepang.

Bedasarkan pasal 131 jo 163 I.S hukum adat untuk golongan pribumi masih tetap berlaku. Oleh
karena kekejaman Jepang sehingga banyak pemuka masyarakat dan pemuka hukum adat takut dan
melarikan diri sehingga banyak sekali peraturan hukum adat yang tidak diterapkan karena hal ini.

Hukum adat tidak sempat dibentuk dalam wujudnya sebagai hukum perundang – undangan
nasional, yang akan digunakan sebagai sumber hukum formal setidak – tidaknya hukum adat ini dapat
digunakan sebagai sumber hukum material oleh siapapun ditengah menangani masalah pertahanan
daerah.

7. Era Reformasi
Di zaman modern, setelah Indonesia memasuki era reformasi, ketentuan yang mengatur mengenai
hukum adat lebih jelas dasar yuridisnya. Setelah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18B
ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara, Pasal tersebut berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”. Pasal tersebut telah membuktikan bahwa dasar yuridis
berlakunya hukum adat di Indonesia ada, dan diakui oleh pemerintah.

Tak hanya itu, dalam beberapa Undang-Undang juga mengatur keberlakuan hukum adat. Contoh
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, lebih tepatnya pada Pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.”.

Dasar yuridis tersebutlah yang dapat menjelaskan berlakunya hukum adat secara sah di Indonesia.
Hukum adat adalah hukum yang yang harus diperjuangkan karena ia merupakan hukum tertua yang telah
dimiliki Indonesia dan juga karena Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya dengan
keanekaragaman budaya, suku, dan ras, dan dengan hukum adat, maka segala kepentingan masyarakat
adat dapat diayomi olehnya, untuk Indonesia yang lebih baik.

D. Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat


Hasil seminar Hukum adat dan pembinaan hukum nasional diselenggarakan di Yogyakarta
oleh pakar-pakar hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dinyatakan bahwa terwujudnya hukum adat
itu dipengaruhi oleh agama. Menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto unsur-unsur adat itu adalah:

“Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian
terbesar terdapat di dalam hukum adat, maka jawabanya adalah hukum Melayu Polinesia yang asli itu
dengan di sana sini sebagai bahagian yang sangat kecil adalah hukum agama”

Menurut Prof. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama beliau menyatakan bahwa:

“unsur lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya adalah unsur-unsur
keagamaan, teristimewa unsur-unsur dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama Kristen, dan agama
Hindu”.

a. Unsur Kenyataan

Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta
berkesinambungan dan rakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Unsur Psikologis

Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada
masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban
hukum (opinion yuris necessitatis).
E. Sifat Hukum Adat

Menurut Prof. Mr, F.D HOLEMAN ada empat sifat umum Hukum Adat:

a. sifat Relegium Magis

Sehubung dengan sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ninggrat dalam tesnya menulis bahwa”alam fikiran
Religio Magis” itu mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kepercayaan kepada mahluk Halus,Roh_roh Dan Hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan
khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuhan, binatang, tibuh manusia, dan benda-benda lainya.
2. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat pada
pristiwa-peristiwa luar baisa,tumbuh-tumbuhan yang luarbiasa ,benda-benda yang luar biasa,dan suara-
suara yang luar biasa.
3. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang fasip itu dipergunakan sebagai “magischeb kracht”dalam berbagai
perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai kemauan manusia untuk menolak bahaya ghaib.
4. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan krisis ,menyebabkan
timbulnya berbagaimacam bahaya ghaib yang hanya dapat di hindari atau di hindarkan dengan berbagai
macam pantangan.

b. Sifat Komun ( Comun/ Masyarakat )

adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih sangat terpencil atau dalam
kehidupan sehari-hari masih sanagat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Masyarakat desa
atau senantiasa memegang peranan yang menentukan pertimbangan putusan yang tidak boleh dan tidak
dapat disia-siakan. Keputusan desa adalah berat berlaku terus dalam keadaan apaun juga harus di patuhi
dengan hormat.

Prof.Dr. Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991 : 126 ) Ditegaskan Bahwa dalam hal sifat Comun ini:

“setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat bukan sebagai oknum yang berdiri
sendiri terlepas dari imbangan-imbangan sesamanya, ia menerima hak serta menanggung kewajiban
sesuai dengan kedudukannya. Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum.
Demikaian sama pula halnya dengan hak–hak pribadi seseoranng selalu di imbangi dengan kepentingan
umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan memperhatikan fungsi sosialnya.

Ia terikat kepada sesamanya, kepada kepala adat dan kepada masyarakatnya. Lahirlah keinsyafan
akan keharusan tolong menolong, gotong royong, dalam mengerjakan suatu kepentingan dalam
masyarakat. Cara-cara bertindak dalam hubungan sosial ataupun hukum selalu di sertai asas-asas
permusyawaratan, kerukunan, perdamaian, keputusan dan keadilan”.

c. Sifat Kontant
Sifat kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata atau suatu
perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di maksud telah selesai seketika itu juga
dengan serentak bersama itu juga dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh adat.

Contoh :

Jual beli lepas, Perkawinan Jujur, melepaskan Hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.

d. sifat konkrit ( Visual )

Didalam arti berfikir yang tentu senantiasa di coba dan di usahakan supaya hal-hal yang dimaksud,
dininginkan, dikhendaki atau di kerjakan, di transpormasikan atau diberi wujud suatu benda, diberi tanda
yang kelihatan baik langsung maupun menyerupai obyek yang di kehendaki.

Contoh :

Panjer di dalam jual beli atau dalam hal memindahkan hak atas tanah, Paningset (payangcang) dalam
pertunanangan, membalas dendam terhadap yang membuat patung, boneka atau barang lain lalu barang
itu di musnahkan, dibakar atau di pancung.

Proses Terbentuknya Hukum Ada:t


a. sejak dilahirkan manusia pada hakekatnya dianugrahi naluri oleh Tuhan YME untuk hidup bersama
b. muncul kehendak atau perasaan untuk bergaul yang kemudian menghasilkan interaksi yang dinamis
c. interaksi sosial mula-mula berpangkal tolak pada cara atau usage yang merupakan bentuk perbuatan
d. apabila perbuatan tersebut dinilai baik, maka perbuatan itu berubah manjadi kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang
e. apabila kebiasaan tersebut selalu dilakukan dalam kehidupan masyarakat, maka kebiasaan tersebut
berubah menjadi suatu adat istiadat, yang apabila kebiasaan tersebut dilanggar akan muncul celaan dari
masyarakat, sehingga adat istiadat tersebut diakui, dihargai, dan juga ditaati

Contoh Tentang Dan Sifat Dari Hukum Adat:


a. Tidak dikodifikasikan = hukum adat tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab UU menurut
sistem tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari eropa barat. contoh: hukum adat
biasanya tidak dituliskan namun diterapkan dalam suatu kebiasaan
b. Tradisional = bersifat turun temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan
dan dihormati. contoh: Orang minangkabau tetap memerhatikan dan menghormati adat-istiadt dari
zaman nenek moyangnycikal bakal pembuat adat-istiadat yaitu datuk ketemanggungan
c. Dapat berubah = walaupun hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional tidak berarti hukum
adat tidak dapat berubah, hukum adat dapat dirubah tapi tidak mudah untuk dirubah. contoh:
peribahasa minangkabau yang menyatakan sekali aek gadang, sekalian tapian baranja, sekali raja
berganti sekali adat berubah-ubah, yang maksudnya jika alir besar tepian beralih, jika raja berganti maka
adat berubah
Yang Menjadi Dasar Sahnya Berlaku Hukum Adat:
a. Dasar filosofis
dasar filosofis berlakunya hukum adat dapat dianalisis dari aspek kebudayaan yaitu suatu nilai sosial
budaya yang hidup dalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat.Pancsila yang berisi lima dasar
sebagai filsafat bangsa hakekatnya merupakan keyakinan bangsa indonesia terhadap manusia sebagai
Mahluk Tuhan Yang Maha Esa, hidup brsama dengan manusia lainnya sebagai umat manusia.
b. Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis berlakunya hukum adat terkait erat dengan efektifitas hukum. karena hukum adat
merupakan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat indonesia maka secara sosiologis hukum
yang berlakunya efektif adalah hukum adat.
c. Dasar yuridis
Dasar yuridis berlakunya hukum adat dapat dianalisis melalui pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan UU
pokok kekuasaan kehakiman untuk dapat mengetahui sistem hukum adat harus mengetahui dulu dasar-
dasar alam pikiran bangsa indonesia unsur sistem hukum adat tidak ada pembedaan seperti pembedaan
hukum barat.

Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Yang Lain
menurut Soepomo :
a. hukum barat mengenal perbedaan hak atas sesuatu barang sedangkan hukum adat tidak mengenal
pembagian yang hakiki.
b. hukum barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat sedangkan hukum adat
tidak mengenal perbadaan-perbedaan demikian.
c. hukum barat membedakan pelanggaran dibidang hukum pidana yang harus diperiksa dan diputs oleh
hakim pidana begitu juga perdata, sedangkan hukum adat tidak mengenal pembedaan yang demikian,
tiap pelanggaran hukum membutuhkan pembetulan hukum kembali.

6. Jelaskan mengapa politik hukum yang dijalankanbelanda terhadap hukum adat pada masa tahun 1848
mendapat kegagalan?
dikarenakan mendapat tentangan dari Van Vollen Hoven melalui parlemen, menurutnya hukum belanda
tidak cocok diberlakukan untuk masyarakat indonesia.

Contoh Tentang Masyarakat Hukum Adat:


yaitu, kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratus dan kekal serta memiliki pengurus
sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun kekayaan yang immateriil.
contoh: famili minangkabau disebut masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum karena memilki:
a. Tata susunan yang teta, yaitu terdiri atas beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai, selanjutnya
jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anak-anaknya laki-laki dan perempuan.
b. Pengurus sendiri, yaitu yang diketahui oleh seseorang penghulu andiko, sedangkan jurai dikepalai
oleh seorang tungganai atau mamak kepala-waris
c. harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko

Faktor apa sajakah yang menyebabkan perubahan masyarakat hukum adat:


a. magis dan animisme
b. agama
c. kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat
d. hubungan dengan orang-orang atau kekuasaan asing.

F. Hukum Adat Dan Ilmu Lain

1. Hukum Adat Sebagai Salah Satu Tipe Hukum

Apabila diperhatikan secara teliti,hukum nasional yang berbeda dari berbagai negara itu ciri, sistem
asal-usul hukum itu, sehingga pada saat itu menurut ilmu pengetahuan perbandingan hukum dapat
dikelompokan kedalam kelompok-kelompok yang menunjukan tipe itu tersendiri berbeda dengan
kelompok lain.

2. Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan

Hukum adat (dalamartisempit) yaitu hukum yang berasal dari adat istiadat, merupakan norma-
norma kemasyarakatan yang sejak dahulu ada dalam suatu masyarakat untuk mengatur masyarakat itu.

Hukum kebiasanan adalah norma-norma yang berasal dari kebiasaan,yaitu perbuatan-


perbuatanyangdilakukan secara tetap dan terus menerus dan penyimpangan dari cara itu dianggap tidak
biasa dan dianggap bertentangan dengan suatu kewajiban hukum yang timbul karena kebiasaan dilakukan
secara tetap dan terus menerus itu.

Anda mungkin juga menyukai