MENURUT BUDIYANTO
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang
berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
Perbedaan hukum kesehatan (Health Law) dan hukum kedokteran (medical law):
hanya terletak pada ruang lingkupnya saja
Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan
kesehatan (yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan)
Ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di
dalam ruang lingkup kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian
dari hukum kesehatan.
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum
maupun kedokteran.
Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan
mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli
tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh
hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
SUMBER-SUMBER HUKUM
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum;
sumber yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah
tempat di mana kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum.
Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi,
hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi
bentuknya.
ad.1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan
negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan
hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non
scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan
secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
– UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan
cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam
arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1
UUD’45).
– UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat
dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
ad.2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan
berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan
mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa
Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang
sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan
masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum
adat.
Prof.Dr. Sunaryati Hartono, SH, tidak sependapat bahwa hukum kebiasaan itu
disamakan dengan hukum adat, dengan mengatakan :
“Apakah sudah benar dan tepat pemahaman sementara sarjana hukum kita
sekarang ini untuk menyamakan saja, Hukum Kebiasaan dengan hukum Adat ?
Karena di negara kita sudah berkembang hukum kebiasaan dalam arti yang lebih
luas, seperti hukum kebiasaan yang dikembangkan di kalangan eksekutif
(Administrasi Negara), di Pengadilan, hukum kebiasaan dikalangan profesi hukum
(notaris dan pengacara), khususnya dalam bidang hukum kontrak, hukum dagang
(hukum bisnis) dan hukum ekonomi pada umumnya”.
Prof. Ronny Hanitijo Soemitro, SH dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH,
memberikan 3 unsur agar kebiasaan dapat diterima dalam masyarakat, yaitu :
a. Syarat kelayakan, pantas atau masuk akal. Kebiasaan yang yang tidak memenuhi
syarat harus ditinggalkan. Ini berarti bahwa otoritas kebiasaan adalah tidak mutlak
tetapi kondisional, tergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan dan
kemanfaatan umum;
b. Pengakuan akan kebenarannya. Ini berarti bahwa kebiasaan itu hendaknya
diikuti secara terbuka dalam masyarakat, tanpa mendasarkan pada bantuan
kekuatan di belakangnya dan tanpa persetujuan dari dikehendaki oleh mereka yang
kepentingannya dikenal oleh praktek dari kebiasaan tersebut. Persyaratan ini
tercermin dalam bentuk norma yang oleh pemakainya harus tidak dengan
kekuatan, tidak secara diam-diam, juga tidak karena dikehendaki.
c. Mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya.
Kebiasaan adalah bukan praktek yang baru tumbuh kemarin dulu atau beberapa
tahun yang lalu, tetapi telah menjadi mapan karena dibentuk oleh waktu yang
panjang.
Ad.3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi
dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan
hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.
Ad.4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah
dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai
undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan
mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan
perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian
dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak
bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
(telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
Ad.5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara
lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara
peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.
Untuk itu suatu traktat untuk bias menjadi sumber hukum (formal) harus disetujui
oleh DPR terlebih dahulu, kemudian baru di RATIFIKASI oleh Presiden dan
setelah itu baru berlaku mengikat terhadap negara peserta dan warganegaranya.
Traktat yang memerlukan persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung
materi :
1. Soal-soal Politik atau dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti
perjanjian tentang perubahan wilayah.
2. Soal-soal perjanjian kerjasama ekonomi seperti hutang luar negeri.
3. Soal-soal yang menurut system perundang-undangan Ri harus diatur dengan
Undang-undang, seperti Kewarganegaraan.
Ad.6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi
pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi
salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
Pertemuan II
29-03-2007
Peran hukum
– sebagai “as a tool of social control” dalam arti berperan sebagai alat untuk
mempertahankan stabilitas masyarakat, atau berperan untuk mempertahankan apa
yang tetap dan diterima di dalam masyarakat.
– berperan sebagai “as a tool of social engineering” (sebagai alat untuk merubah
masyarakat), disini hukum berperan untuk mengadakan perubahan di dalam
masyarakat. Prof. Mochtar Kusuma Atmadja, SH, menyatakan “sebagai sarana
pembaharuan masyarakat, hukum bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia ke
arah yang dikehendaki oleh pembangunan”.
Tujuan hukum
– Kepastian Hukum
– Keadilan.
Berakhirnya suatu uu
a. jangka waktu berlakunya sudah lampau
b. keadaan atau hal berlakunya uu itu sudah tidak ada lagi
c. uu itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat
d. telah ada uu yang baru yang sisinya bertentangan dengan yang dulu berlaku.
Lembaran Negara: suatu Lembaran (kertas) tempat mengundangkan
(mengumumkan) semua peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku.
Tambahan Lembaran Negara: Penjelasan daripada suatu uu
2. Kaidah kesopanan
Peraturan hidup yang timbul dari pergaulan sekelompok manusia. Peraturan itu
diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap
manusia yang ada disekitarnya. Norma kesopanan dapat dibentuk oleh masyarakat,
artinya masyarakat berdasarkan kesadaran dan kemauannya dapat menentukan apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seseorang dalam masyarakat.
Misalnya:
– Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua.
– Murid harus menghargai dan mengormati gurunya.
– Berilah tempat kepada terlebih dahulu kepada wanita di bis, dll. (terutama wanita
hamil, tua, membawa bayi).
Norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas dibanding
dengan norma kesusilaan dan agama. Artinya hanya berlaku bagi bagi masyarakat
tertentu saja dan bersifat khusus.
3. Kaidah kesusilaan
Peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Oleh karena
itu agar manusia menjadi makhluk sempurna, maka salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan yang bersumber dari hati
sanubari.
Hendaklah berlaku jujur
Hendaklah engkau berbuat baik sesamamu manusia
Jangan berbuat jahat.
4. Norma/Kaidah hukum:
Peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat setiap orang dan
berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara. misalnya: Pasal 362 KUHP,
barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Hukum Perdata, Pasal 1471 KUH Perdata “jual beli barang orang lain adalah
batal”. Maksudnya apabila terjadi perselisihan mengenai jual beli tersebut
sebagaimana dimaksud uu, maka negara dapat memaksakan pembatalan tsb agar
pihak yang berselisih bersedia mematuhi (mentaati).
Kesimpulannya:
1. kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan bertujuan untuk membina ketertiban di
dalam kehidupan manusia, tetapi ketiga norma tsb belum cukup memberi jaminan
untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.
2. ketiga norma tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas.
– Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, tapi berlakunya
diakhirat.
– Pelanggaran norma kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari
lingkungan masyarakat.
– Pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal kepada
si pelanggar.
3. si pelanggar tidak terikat kepada jenis peraturan hidup ketiga norma tsb, mereka
bebas untuk berbuat sesukanya. Sikap demikian akan membahayakan masyarakat,
oleh karena itu diperlukan norma lain (hukum) yang mempunyai sifat memaksa
dan sanksi yang tegas.
PERTEMUAN III
TANGGAL 5 APRIL 2007
UPAYA KESEHATAN
Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat meliputi:
1. upaya peningkatan kesehatan (promotif)
2. upaya pencegahan penyakit ( preventif)
3. upaya penyembuhan penyakit (kuratif)
4. upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung
sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya
terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada
kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah
dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang
satu terhadap lainnya. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan
antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar
manusia.
Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi
hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan
antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling
mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai
‘partner’.
Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan
sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan,
yaitu:
1. Activity – passivity.
Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah
dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.
Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam,
atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
2. Guidance – Cooperation.
Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola
ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi
baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki
perasaan serta kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan
bersedia bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak
semata-rna ta menjalankan kekuasaan, namun meng harapkan kerjasama pasien
yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.
3. Mutual participation.
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat
dan hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara
kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien
secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak
dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang
rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan mental tertentu.
Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu
perjanjian atau kontrak. Di mulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter
dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter
rnenegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu ‘working
diagnosis’ atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif.
Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep
obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang
perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien. Dalam proses
pelaksanaan hubungan dokter pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan
Perencanaan terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records
(Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai
dengan dipenuhinya standar profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis
atau melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan suatu tindakan medik.
Tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau
menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medis itu
sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.
2. dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.
kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.
3. harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.
Perbedaan antara kedua jenis perjanjian terse¬but secara yuridis terletak pada
beban pembukti¬annya. Pada inspanningsverbintenis, penggugat yang harus
mengajukan bukti-bukti bahwa ter¬dapat kelalaian pada pihak dokter atau rumah
sakit sebagai tergugat. Sebaliknya pada resulta¬atverbintenis, beban pembuktian
terletak pada dokter.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji
kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Untuk sahnya perjanjian terapetik, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai
perjanjian, maka harus dipenuhi syarat-syarat (unsur-unsur) yang ditentukan dalam
Pasal 1320 K U H Perdata, sebagai berikut:
1 . Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
2, Kecakapan untuk membuat suatu perikat¬an,
3. mengenai Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal/diperbolehkan.
Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif yang
harus dipenuhi, yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh
pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian (persyaratan dari subjek
yang me¬lakukan kontrak medis), sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek
kontrak medis tersebut. Apabila dilihat terutama dari persyaratan subyektifnya,
maka perjanjian medis mempunyai keunik¬an tersendiri yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya.
Ad. 1. Kesepakatan
Dalam kesepakatan harus memenujhi kriteria Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Jadi secara yuridis bahwa yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau
penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya. Sepakat ini merupakan
persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana kedua belah pihak
mempunyai persesuaian kehendak yang dalam transaksi terapetik pihak pasien
setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya.
Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para
pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak
boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan di dalamnya.
Untuk itulah diperlukan adanya informed consent (persetujuan tindakan medik)
Dalam perjanjian medis, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal
khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif
lemah kedudukannya dibandingkan dokter. Oleh karena itu syarat ini menjelma
dalam bentuk “informed consent”, suatu hak pasien untuk mengizinkan
dilakukannya suatu tindakan medis. Secara yuridis “informed consent’ merupakan
suatu kehendak sepi¬hak, yaitu dari pihak pasien. Jadi karena surat persetujuan
tersebut tidak bersifat sua¬tu persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut
menandatanganinya. Di sam¬ping itu pihak pasien dapat membatalkan pernyataan
setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut K U H
Perdata pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas persetujuan kedua
belah pihak; pembatalan sepihak da¬pat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti
kerugian.
Ad. 2. Kecakapan
Pasal 1329 KUH Perdata: setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-
perikatan, jika ia oleh uu tidak dinyatakan tak cakap.
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur
minimal 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah
meni¬kah. Pasal 1330 K U H Perdata, menyata¬kan bahwa seseorang yang tidak
cakap un¬tuk mernbuat perjanjian adalah
a. orang yang belum dewasa; ( Pasal 330 K U H Perdata adalah belum ber¬umur
21 tahun dan belum menikah)
b. mereka yang ditaurh dibawah pengampuan (Berada dibawah pengampuan, yaitu
orang yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada
gangguan mental)
c. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
(dalarn hal ini masih berstatus istri) pada umumnya semua orang kepada siapa uu
telah melarang mern¬buat perjanjian-perjanjian tertentu.
Oleh karena perjanjian medis mem¬punyai sifat khusus maka tidak semua
ke¬tentuan hukum perdata di atas dapat dite¬rapkan. Peraturan Menteri Kesehatan
RI. No.: 585/MEN-KES/PER/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) yang dimaksud dewasa
adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk orang yang belum
berusia 21 tahun dan belum menikah maka transaksi terapetik harus ditandatangani
oleh ortu atau walinya yang merupakan pihak yang berhak memberikan
persetujuannya. Hal ini perlu diper¬timbangkan dalam prakteknya. Dokter ti¬dak
mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang
sendirian ke tempat prakteknya. Untuk mengatasi hal tersebut ketentuan hukum
adat yang rne¬nyatakan bahwa seseorang dianggap de¬wasa bila ia telah ‘kuat
gawe’ (bekerja), mungkin dapat dipergunakan. (orang dewasa yang tidak cakap
seperti orang gila, tidak sadar maka diperlukan peresetujuan dari pengampunya)
sedang anak dibwah umur dari wali/ortunya.
Pasal 108 K U H Perdata, menyebut¬kan bahwa seorang istri, memerlukan izin
tertulis dari suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran
Mahkamah Agung No 3/1963 tanggal 4 Agus¬tus 1963 menyatakan bahwa tidak
adanya wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di pengadilan tanpa izin atau tanpa bantuan suaminya, tidak berlaku
lagi. Jadi wanita yang berstatus istri yang sah diberi kebebas¬an untuk membuat
perjanjian.
Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka
kita dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan
kesehatan atau pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari
usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian
medis dapat merupakan
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi
sehat atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan
dengan usaha promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan
secara umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi
seseorang yang mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien
yang menderita Hepatitis B, dianjurkan se¬kali untuk mendapatkan vaksinasi
Hepati¬tis B. Usaha preventif ini bersifat spesifik untuk mencegah penularan
penyakit Hepatitis B.
3. Keluarga Berencana
Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai
keturunan, secara umum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebaha¬giaan keluarga secara umum.
5. Meringankan penderitaan
Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya
menghilangkan gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi.
Misalnya obat-obat penghilang rasa nyeri.
6 . Memperpanjang hidup
Seperti halnya ad.5. , di sini pun penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya
sehingga sewaktu-waktu perlu dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada
pasien gagal ginjal yang memerlukan ‘cuci darah’.
7. Rehabilitasi
Tindakan medis yang dilakukan untuk re¬habilitasi umumnya dilakukan terhadap
pasien yang cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka
bakar atau trauma. Ada pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang
cantik sehingga menginginkan dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang
kadang menimbulkan masalah apabila ha¬rapan yang didambakan untuk
memper¬oleh kecantikan yang dijanjikan tidak ter¬penuhi.
Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek
hukum yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah
inspanningsverbintenis atau suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam
kaitamya dengan ‘beban pembuktian’ apabila ter¬jadi suatu gugatan hukum. Akan
tetapi apabila dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur
kelalaian serta hubungan dok¬ter-pasien merupakan hubungan yang saling pe¬nuh
pengertian, umumnya tidak akan ada perma¬salahan yang menyangkut jalur
hukum.
Dengan demikian maka Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.
Oleh karena itu jika perjanjian terapetik telah memenuhi pasal 1320 KUH Perdata,
maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasien.
Pasal 1338 (2) perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh uu dinyatakan cukup untuk itu.
PERTEMUAN V
TANGGAL 10 MEI 2007
Menurut Subekti suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji
kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana
diatur dalain Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
Unsur pertama dan kedua disebut sebagai Syarat subjektif, karena kedua unsur ini
langsung menyangkut orang atau subjek yang rnembuat perjanjian. Apabila salah
satu dari Syarat subjektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut atas
Permohonan pihak yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Maksudnya
perjanjian tersebut selama belum dibatalkan tetap berlaku, jadi harus ada putusan
hakim untuk membatalkan pejanjian tersebut. Pembatalan mulai berlaku sejak
putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap jadi perjanjian itu batal
tidak sejak semula atau sejak perjanjian itu dibuat.
Unsur ketiga dan keempat disebut unsur objektif, dikatakan demikian karena kedua
unsur ini menyangkut Objek yang diperanjikan. Jika salah satu dari unsur ini tidak
terpenuhi, perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan atau
secara ex officio dalam putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum oleh
hakim. Oleh karena perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian
tersebut dianggap tidak pemah ada. Jadi pembatalannya adalah sejak semula (ex
tunc), konsekuensi hukumnya bagi para pihak, posisi kedua belah pihak
dikembalikan pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat.
Pengertian kesalahan diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif
tidak patut dilakukan.
kesalahan dapat terjadi akibat:
1. kurangnya pengetahuan,
2. kurangnya pengalaman,
3. kurangnya pengertian, serta
4. mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
Apabila hal itu dilakukan oleh dokter, baik dengan sengaja maupun karena
kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan
kepada pasien, maka pasien atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban
(responsibility) pada dokter yang bersangkutan. Bentuk pertanggungjawaban yang
dimaksud di sini meliputi pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban
pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.
Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum
(liability), yaitu:
1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji
sebagaimana diatur dalarn Pasal 1239 KUHPerdata.
2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Jika seorang dokter melakukan penyimpangan terhadap standar pelaksanaan
profesi ini, secara bukum sang dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau
perbuatan melanggar hukum.
Dari keempat unsur tersebut yang paling erat kaitannya dengan kesalahan yang
dilakukan oleh dokter adalah unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang
harus dipenuhi adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan
demikian apabila pasien atau keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan
wanprestasi, pasien harus membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang
diterimanya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam informed
consent atau dokter menggunakan obat secara keliru atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana mestinya.
Sedangkan untuk mengajukan gugatan terhadap rumah sakit, dokter, atau tenaga
kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan Perbuatan melanggar hukum harus
dipenuhi empat unsur berikut.
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada
dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.
2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk rnemberikan instruksi yang
harus ditaati oleh bawahannya.
3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan.
4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya, di mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi
pasien.
Aspek negatif dari bentuk tanggung gugat dalam pelayanan kesehatan, adalah
karena pasien mengalami kesulitan membuktikannya. Pada umumnya pasien tidak
bisa membuktikan bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan
dan atau keialaian dokter dalam perawatan atau dalam pelayanan kesehatan.
Kesulitan dalam Pembuktian ini karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai terapi dan diagnosa yang dialaminya atau yang dilakukan dokter
kepadanya. Menyadari hal ini, dengan maksud untuk melindungi kepentingan
hukum pasien yang dirugikan akibat Pelayanan kesehatan, beberapa sarjana
mengusulkan diterapkannya pembuktian terbalik bagi kepentingan pasien.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gugatan atas kesalahan atau keialaian
yang dilakukan dokter, pasien harus mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan
dalil gugatannya. Berdasarkan alat-alat bukti inilah hakim mempertimbangkan
apakah menerima atau menolak gugatan tersebut.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain
menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana. Aspek
pidana baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan,,berakibat
atau menyebabkan pasien mati atau menderita cacat sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Apabila hal ini terjadi maka sanksinya bukan hanya suatu ganti rugi yang berupa
materi, akan tetapi juga dapat merupakan hukuman badan sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 KUHP.
Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai surnpah atau kaidah
etika profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter
Indonesia (H)I), dan atau atasan langsung yang berwenang (yaitu pihak
Departemen Kesehatan Republik Indo¬nesia). Pemeriksaan dibantu oleh perangkat
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) atau Panitia Pertimbangan dan Pembinaan
Etik Kedokteran (P3EK). Lembaga ini merupakan badan non-struktural
Departemen Kesehatan yang dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 5 54/Menkes/Per/Xll/ 1 982. Tugas lembaga ini
memberi pertimbangan etik kedokteran kepada menteri kesehatan, menyelesaikan
persoalan etik kedokteran dengan memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan. Dasar hukum yang digunakan adalah hukum
disiplin dan atau hukum administrasi sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan, surat kepuu~
menteri kesehatan yang bersangkutan. Misalnya seorang dokter berbuat yang dapat
dikualifikasikan melanggar sumpah dokter. setelah diadakan pemeriksaan dengan
teliti dapat dijatuhi sanksi menurut Pasal 54 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Poernomo (1 984: 76); unsur melawan
hukum menjadi dasar bagi suatu tindak pidana, karena selain bertentangan dengan
undang-undang, termasuk pula perbuatan yang bertentangan dengan hak seseorang
atau kepatutan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum seperti apa yang dikemu¬kakan oleh J.B.
van Bemmelen (1 987 : 149 – 150):
1 . Bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat
mengenai orang lain atau barang.
2. Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-¬undang.
3. Tanpa hak atau wewenang sendiri.
4. Bertentangan dengan hak orang lain.
5. Bertentangan dengan hukum objektif
Dalam hukum pidana terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum, yakni:
ajaran melawan hukum formal dan ajaran melawan hukun materiil. Menurut ajaran
melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu
telah memenuhi semua unsur-unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau
telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan.
Pada ajaran melawan hukum materiil untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap
suatu perbuatan tidak cukup hanya dengan melihat: apakah perbuatan itu telah
memenuhi rumusan pasal tertentu dalam KUHP, melainkan perbuatan itu juga
harus dilihat secara materiil. Maksudnya apakah perbuatan itu bersifat melawan
hukum secara sungguh-sungguh yaitu dilakukan dengan bertanggungjawab atau
tidak.
kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, Yaitu melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya mesti dilakukan. Mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan,
menurut Simons: Kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan
perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukannya yang
sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tersebut.
Kesalahan berarti bukan hanya perbuatan yang dilakukan itu dinilainya secara
objektif tidak patut akan tetapi juga dapat dicelakan kepada pelakunya karena
perbuatan itu “dianggap” jahat. Antara perbuatan dan pelakunya selalu membawa
celaan, oleh karenanya kesalahan itu juga dinamakan sebagai yang dapat
dicelakan. Namun harus diingat bahwa sesuatu yang dapat dicelakan bukanlah
merupakan inti dari suatu kesalahan melainkan merupakan akibat dari kesalahan
itu. Bila hal ini dikembahkan pada asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” berarti
untuk dapat dijatuhi suatu pidana, disyaratkan bahwa orang tersebut telah berbuat
yang tidak patut secara objektif dan perbuatan itu dapat dicelakan kepada
pelakunya.
Zainal Abidin (1995 : 293) menerjemahkan Inkauf Nehmen sebagai teori apa boleh
buat, sebab resiko yang diketahui kemungkinan adanya itu (resiko) sungguh-
sungguh timbul, di samping hal yang dimaksud, apa boleh buat pembuat delik
berani memikul resiko yang tidak dikehendaki.
Zainal Abidin (1995) mengajukan dua syarat bagi kelengkapan teori inkauf
nehmen, yaitu :
(a) Terdakwa (pembuat delik) mengetahui kemungkinan adanya akibat atau
keadaan yang merupakan delik;
(b) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul akibat, ialah apa
boleh buat, dapat disetujui dan berani mengambil resiko.
Intinya bahwa keadaan tertentu yang kemungkinan dipikir atau dibayangkan terjadi
dan memang benar terjadi.
2.b. Culpa
Culpa adalah kebalikan dari sengaja melakukan delik. Culpa terbagi manjadi culpa
lata dan culpa lepis (kelalaian yang sedemikian ringannya sehingga tidak
menyebabkan seseorang dapat dipidana). Focus yang dibicarakan adalah
berkaiatan dengan culpa lata (kelalaian yang besar, kesalahan berat). Bila
dikatakan kesalahan, maksudnya ialah kesalahan dalam arti sempit yakni hanya
merupakan terjemahan dari culpa, bukan kesalahan dalam arti luas yang mencakup
kesengajaan.
Disamping pembagian culpa lata dan culpa lepis; didalam culpa lata sendiri terbagi
dua yaitu antara culpa lata yang disadari dan culpa lata tak disadari. Pembagian
culpa lata ini sebetulnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) Criminal Code of
Yugoslavia, yaitu :
Culpa lata disadari; bila mana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya
dapat mewujudkan suatu akibat yangdilarang oleh undang-undang, tetapi dia
beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampuuntuk
mencegahnya;
Culpa lata tak disadari; bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan
akan terwujudnya akibat, sedangkan didalam keadaan ia berbuat oleh karena
kualitas pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.
Dalam Buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat delik-delik culpa,
contoh :
(1). Pasal 188 KUHP : karena kealpaan menimbulkan letusan, kebakaran.
(2). Pasal 231 KUHP : karena kealpaan sipenyimpan menyebabkan hilangnya
barang yang disita;
(3). Pasal 359 KUHP : karena kelalaian mengakibatkan matinya orang;
(4). Pasal 360 KUHP : karena kelalaian menyebabkan orang luka berat;
(5). Pasal 409 KUHP : karena kealpaan mengakibatkan alat-alat perlengkapan jalan
kereta api hancur.