Oleh:
1. SISKA WULANDARI (12120424635)
2022/2023
Kata Pengantar
﷽
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak henti hentinya
memberikan segala nikmatnya kepada saya. Sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul Dinamika Politik Islam Tahun 1945-Orde Baru di Indonesia
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang di berikan
bapak Muhammad Abdi Al Maktsur selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam
Asia Tenggara jurusan Hukum Tata Negara. Selain itu, makalah ini bertujuan sebagai
penambah wawasan bagi saya dan semua yang membacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Abdi Al Maktsur
selaku dosen sejarah Islam asia tenggara yang telah memberikan tugas makalah sebagai
penambah wawasan sesuai bidang yang kami tekuni.
Terima kasih kepada semua aspek yang telah memberi masukan dan saran dalam
proses pengerjaan makalah ini.
Dengan banyaknya kekurangan di makalah ini, mohon kritik dan sarannya agar
saya dapat memperbaiki nya di hari selanjutnya.
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Politik Islam di Indonesia Masa Demokrasi Revolusi (1949- 1959)........3
B. Politik Islam di Indonesia Masa Demokrasi Parlementer (1959- 1965)...5
C. Politik Islam di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (1959- 1965).....6
D. Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998).........................8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
1
umat dari dunia politik. Dalam konsep Islam Kultural, Power Politics bukanlah satu-
satunya alternatif bagi perjuangan Islam di Indonesia tetapi juga terdapat sarana lain
bagi keberhasilan perjuangan tersebut antara lain melalui dakwah, pendidikan, sosial,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
B.Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
2
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945
suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang
berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam
ini terdapat anak kalimat pengiring pada sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemelukpemeluknya.”
Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali
tidak digunakan. Sukarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat
karena ditulis dengan tergesa-gesa.10 Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta
rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri
dari tujuh atau delapan perkataan tersebut dirasakan oleh sebagian bangsa kita di
belahan Timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.
3
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berbeda dengan BPUPKI yang khusus
untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan Indonesia.
Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan
berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekuler”
yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka demi
persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 agustus 1945 dibuang
dari pembukaan UUD 1945. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam
sila pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi.
Bahkan kantor urusan agama seperti yang diperoleh Islam selam pendudukan Jepang,
oleh panitia pun ditolak.
Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan Komite
Nasional Islam Pusat (KNIP), pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26, dan 27
November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sutan Syahir, pimpinan utama Partai
Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain membahas usul agar dalam Indonesia merdeka
ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi
diperlakukan sebagai bagian tangung jawab Kementerian Pendidikan. Sedikit banyak
keputusan tentang kementerian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum
muslimin yang bersifat kompromi; kompromi antara teori sekuler dan teori muslim.
4
negara. Negara baru tersebut menegaskan bahwasanya negara memberikan
perlindungan yang sama di muka hukum, hak standar kehidupan yang tinggi, dan
kebebasan beribadah, berbicara, dan perwakilan untuk seluruh warga. Pertempuran
militer melawan Belanda dan belakangan melawan Republik Indonesia terus
berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.
5
kabinet Burhanuddin bubar. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar, yaitu PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Tidak ada yang menang mayoritas. PNI urutan pertama
denagn 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4%, sedangkan sisa terbagi di
antara partai-partai kecil lainnya.
Demokrasi gaya baru ini memang sudah lama ia dambakan, tapi karena
posisinya tidak kokoh, sistem inilah yang membawanya kepada kehancuran untuk
selamanya. Lebih jauh ia mengantarkan negeri ini kepada kehancuran ekonomi sebagai
akibat dari pengeluaran yang sangat besar dan akumulasi hutang asing yang
membengkak.
6
1960 diperintahkan presiden Sukarno bubar. Sedangkan NU dan Perti tetap diizinkan
untuk eksis dalam setiap pemilu, karena mereka mendukung Demokrasi terpimpin.
Jadi, secara garis besar, ada dua kelompok partai Islam saat itu. Kelompok
pertama Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai
penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga Muslim (NU, PSII, dan
Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam demokrasi terpimpin adalah sikap
realistis dan pragmatis.
7
Nahdlatul Ulama, HPMI (Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia), ISSI (Ikatan
Sarjana Islam Indonesia), dll.
Gagalnya kudeta PKI di tahun 1965 dan turunnya mandat dari Soekarno
kepada Soeharto yang dikenal dengan dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas
Maret 1966) menandai berakhirnya Orde Lama dan digantikan oleh Orde Baru.
Harapan umat Islam untuk bisa ambil banyak bagian dalam politik di
Indonesia setelah ikut membantu menumpas pengikut PKI pada awal pemerintahan
Orde Baru tidak terwujud. Menurut Facry Ali, hal ini disebabkan oleh warisan
kesalahpamahan dari pemerintah kolonial yang menganggap Islam sebagai sumber
pemberontakan dan munculnya berbagai pemberontakan kelompok Islam seperti
DI/TII (Nasution, Mindayun, Gesuri 1990:37), pemerintah Orde Baru cenderung fobi
terhadap gerakan politik umat Islam. Hubungan Islam dengan negara pada masa ini
(1967-1982) oleh Bakir disebut dengan periode antagonistik. Pada masa ini negara
diselimuti mitos pembangkangan umat Islam dan Islam sendiri masih kental dengan
corak politik ideologisnya (1996:108).
Islamic fobia dikalangan pemerintah baru ini diduga oleh beberapa tokoh
Islam juga disebabkan oleh kuatnya pengaruh CSIS bagi kebijakan-kebijakan
pemerintah Orde Baru terhadap Islam. Sebagaimana disinyalir oleh beberapa tokoh
Islam, menguatnya militansi politik Islam pasca G-30-S PKI 1965 telah mampu
menyatukan gerakan politik Ali Moertopo dengan elit Katolik-Cina seperti Harry Tjan
Silalahi; Sofyan Wanandi dan Jusuf Wanandi.Pada tahun 1971 mereka mendirikan
sebuah lembaga think-thank yang diberi nama CSIS (Center for Strategic and
International Studies) (Anderson 2000:250). CSIS menurut tokoh Islam mempunyai
pengaruh besar terhadap pemerintahan Suharto lebih dari 15 tahun, dan mampu
menciptakan atmosphere bahwa musuh besar pemerintah adalah Islam (Suhadi 2002).
Sehingga Effendy berpendapat bahwa, “Faktor Kristen dalam politik Indonesia
muncul secara agak mencolok pada dua puluh tahun pertama kekuasaan Orde Baru”
(1999:138- 139).
Fusi partai-partai Islam ke dalam PPP pada tahun 1973 juga dianggap sebagai
penciutan kekuatan Islam dalam bidang politik.Bisa dikatakan bahwa pada awal
kekuasaan Suharto yang mendapat posisi penting adalah orang-orang Islam dari kubu
sekuler dan kalangan Kristen. Sebagaimana politik Belanda yang lebih memberi
kesempatan kepada aristokrat Jawa untuk menduduki posisi-posisi penting di
8
birokrasi, pemerintah Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Sehingga pada awal
Orde Baru Kebatinan justru memperoleh kemajuan dengan kepemimpinan militer
yang berlatar Jawa abangan.
Umat Islam yang sudah terpinggirkan dalam panggung politik ini menjadi
semakin kecewa ketika MPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 1971 pada tahun 1973
berdasarkan GBHN Tap. MPR RI No IV/MPR/1973/22 Maret, menetapkan kebatinan
mendapat pengesahan secara hukum dan disejajarkan dengan agama-agama lainnya
(Subagya 1989:124), sehingga Hefner melihat hal ini sebagai perlawanan MPR
terhadap Islam terorganisir (2001:150). Sampai tahun 1973 proses abangisasi pada
birokrasi kekuasaan baik pada sipil maupun militer boleh dikatakan cukup berhasil.
Salah satu tujuan abangisasi ini adalah untuk mengimbangi kekuatan politik Islam.
Kekuatan politik Islam oleh ORBA dipandang sebagai ancaman kedua yang patut
diperhitungkan setelah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perubahan posisi Politik Islam di Indonesia mulai terjadi pada akhir tahun
1970-an. Hal ini disebabkan oleh kebangkitan secara menyeluruh (holistic revival)
yang terjadi di kalangan Islam pada akhir 1970-an. Seperti bagian-bagian dunia Islam
lainnya, Indonesia mengalami kebangkitan Islam pada akhir tahun 1970- an.
Kebangkitan ini bukan hanya terjadi ditingkat urban tetapi juga di daerah-daerah yang
dulunya merupakan kantong kejawen. Daerah-daerah yang dulunya mengalami
konversi ke Hindu dan Kristen pada masa 1990-an mulai banyak yang kembali ke
Islam.
Di sisi lain menurut Nurcholish Madjid sejak awal 1980-an telah terjadi
ledakan intelektual Islam yang disebabkan sejak tahun 1950 yaitu sejak dimasukkan
kurikulum agama dalam sekolah umum banyak kalangan santri yang memasukkan
sekolah anakanaknya ke sekolah umum, sehingga pada tahun 1962 atau 1963 banyak
terjadi lonjakan jumlah santri yang masuk universitas. Maka setelah enam atau tujuh
9
tahun kemudian, mereka menjadi boom sarjana Islam yang pertama (Nasution, dkk.,
1990:35). Demikian juga Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pada tahun 1980-an
bermunculan penyandang Ph.D., seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin,
dimana komitmen mereka terhadap Islam sangat kuat (Nasution, dkk., 1990:35).
Berkat pendidikan modern yang mereka peroleh, mereka mampu mengembangkan
kecakapan baik intelektual maupun profesional mereka. Hal ini melahirkan suatu
proses yang disebut embourgeisement atau priyayisasi kaum santri (Anwar 1994:33).
Pada tahun 1980-an para lulusan ini menduduki jabatan menengah di birokrasi,
mereka melakukan perubahan dari dalam, sehingga mendorong terjadinya Islamisasi
di kalangan para birokrat (Anwar 1994:33). Gelombang umat Islam yang belajar
keluar negeri menurut Marwah Daud Ibrahim telah mengubah image Islam. Islam itu
universal, sangat terbuka, kosmopolit bukan image seperti Islam itu sarungan, Islam
itu fanatik (Nasution, dkk., 1990:31).
Kebangkitan Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an tersebut
berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung
mengakomodasi aspirasi umat Islam. Hal yang sebelumnya sangat jarang terjadi. Ini
merupakan sebuah tanda bahwa kekuatan politik Islam sudah mulai tampak dalam
birokrasi pemerintahan sejak tahun 1980-an.
Jika pada tahun 1970-an Suharto sangat berhati-hati terhadap Islam, namun
pada akhir 1980-an Suharto dengan para pembantunya mulai merangkul kalangan
Muslim dan meninggalkan mereka yang non-Muslim dan abangan. Hal ini disebabkan
dukungan dari pihak militer untuk mengokohkan kekuasaannya sudah mulai melemah
(ICG 2001:12; Ramage 2002:139). Seperti yang diamati oleh Bruinessen bahwa sejak
1987 Soeharto terlibat konflik terbuka dengan sang Jenderal Beny Moerdani seorang
tokoh militer Katolik yang sangat berpengaruh (1999:311). Pada awal tahun 1980-an
pengaruh dan peranan politik CSIS juga mulai merosot. Hal ini tampak pada Munas
III Golkar tahun 1983, kelompok Tanah Abang hanya mendapat dua kursi, sedangkan
Sudarmono atas rekomendasi Suharto terpilih sebagai ketua Golkar periode 1983-
1988 (Suhadi 2002; Bruinessen 2002). Di bawah kepemimpinan Sudharmono, Golkar
secara intensif melakukan pendekatan dengan Ormas-ormas Islam. Tahun-tahun
setelah ini merupakan tahun-tahun rujuknya pemerintah dengan kelompok Islam,
yang ditandai dengan semakin akomodatif-nya pemerintah terhadap kepentingan
Islam. Sikap akomodatif pemerintah ini ditunjukkan dengan diberlakukannya dua
Undang-undang pada tahun 1989 yaitu Undang-undang Peradilan Agama dan Sistem
Pendidikan Nasional. Kasus Monitor juga merupakan pertanda baik hubungan Islam
dengan pemerintah.
Puncak bulan madu antara pemerintah dengan Islam terjadi pada tahun 1990
yaitu ketika Presiden Suharto pada tanggal 6 Desember 1990 memukul bedug sebagai
tanda secara resmi dibukanya Kongres Nasional I ICMI di Malang Jawa Timur.
Feillard menyebut peristiwa ini sebagai “puncak rujuknya antara pemerintah dengan
Islam politik” (1999:400). Pendirian ICMI ini mempunyai dampak besar terhadap
wacana politis maupun ideologis pada tahun 1990-an (Ramage 2002:134).
10
Bulan madu Islam dengan pemerintah ini menghantarkan beberapa kebijakan
pemerintah yang mengadopsi aspirasi umat Islam. Misalnya, sejak dikeluarkan SK
Dirjend Dikdasmen 052/C/Kep/D/1982 siswi Muslimah dilarang memakai seragam
sekolah dengan menggunakan Jilbab, namun pada tahun 1990 banyak protes
dilakukan atas kebijakan tersebut, maka pada tahun 1991 jilbab diijinkan. Dalam
kabinet pemerintahan yang baru, yang dibentuk setelah pemilu 1992, menteri-menteri
Kristen yang sudah lama mengendalikan departemen-departemen keuangan diganti
dengan menteri-menteri Muslim yang punya hubungan dengan ICMI. Pada tahun
1993 SDSB ditutup atas desakan dari Umat Islam. Demikian juga Suharto untuk
meyakinkan komitmennya terhadap Islam maka pada tahun 1991 dengan keluarganya
naik haji ke Mekkah.
Pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, akhirnya
Suharto tidak bisa mempertahankan sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia
sehingga pada tanggal 21 Mei 1998 dia menyerahkan kekuasaanya pada Habibie.
11
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Masa awal Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an bisa dikatakan bahwa
politik Islam di Indonesia banyak berada di luar arena kekuasaan. Keadaan seperti
Situasi ini mulai mengalami perubahan pada akhir tahun 1970-an, hal ini disebabkan
oleh kebangkitan secara menyeluruh (holistic revival) yang terjadi di kalangan Islam
pada akhir 1970-an. Kebangkitan Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an
tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung
mengakomodasi aspirasi umat Islam.
B. SARAN
12
susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik
yang bisa membangun dari para pembaca. Sebelum dam sesudah penulis ucapkan
terima kasih.
13
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, ‘’Islam Politik dan Islam Kultural’’ : Islam Masa Pasca-Soeharto.
Maarif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demkrasi
Terpimpin. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Maryam, Siti, dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern.
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Putra, Okrisal Eka, ‘’Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru,’’ dalam jurnal
Dakwah, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember 2008
Sukamto, Dinamika Politik Islam di Indonesia; Dari Masa Orde Baru Sampai Masa
Reformasi, Bandung: Enlightenment, 2008
Syamsuddin , Muh. dan Muh. Fatkhan, Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru,
Jurnal Dakwah, Vol.XI No.2 Juli-Desember 2010
Syamsuddin, Din dan Muh. Fatkhan, Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru, Jurnal
Dakwah, Vol.XI No.2 Juli-Desember 2010
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
14