Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FIQH SIYASAH KONTEMPORER

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

Dosen Pengampu :

Agustina Nurhayati, S.Ag., M.H

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Amanda Aulia Putri 2121020012

Andini Widha Zahra 2121020013

Arya Nugraha 1821020511

M. Riyo Yudistira 2021020131

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1445 H / 2024 M
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang

“Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru”. Sholawat dan salam

senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di

yaumul akhir kelak.

Penulisan makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Fiqh Siyasah

Kontemporer. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu

penulisan makalah ini, dalam penulisan ini masih banyak kekurangan baik dalam teknik

penulisan maupun materi. Mengingat kemampuan yang dimiliki, kritik dan saran yang

membangun dari semua pembaca sangat diharapkan demi menyempurnakan penulisan

selanjutnya, terima kasih.

Bandar Lampung, 25 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2

C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Partai Islam Di Era Orde Baru ................................................................................... 3

B. Pemikiran Politik Islam di Indonesia pada Masa Orde Baru .................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................... 18

B. Saran ......................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak

mendukung pembaharuan yang digulirkan oleh pemerintah, sehingga pemerintahan

dikendalikan oleh orang-orang nasionalis, dan partai-partai Islam tidak diberikan

kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai,

yaitu wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di

bawah kendali pemerintah Orde Baru. Sejak runtuhnya orde baru, umat Islam telah

mengalami suatu perubahan pemikiran, baik dalam segi politik pemerintahan, ekonomi

dan lain-lainnya, khususnya setelah reformasi digulirkan oleh para tokoh-tokoh muslim.

Dengan adanya reformasi tersebut, umat Islam telah mengalami suatu kebebasan dalam

berpikir dan bergerak yang tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan

subversif seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

Pembahasan tentang Islam dan umat Islam pra Orde Baru terkait erat dengan

gerakan tajdid yang muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20-an yang dikenal

sebagai gerakan pemikiran Islam modern di Indonesia. Salah satu ciri khasnya ialah

berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Dagang Islam (SDI) berdiri th.

1909; Syarekat Islam (SI) berdiri th. 1911; Muhammadiyah berdiri th. 1912; Persatuan

Islam (Persis) berdiri th. 1923; Nahdlatul „Ulama (NU) berdiri th. 1926, semua organisasi

ini di dirikan di Jawa, sedangkan Tawalib yang berdiri th. 1918 di Sumatera. Proyek

garapannya diarahkan pada perjuangan: Pertama, Pembentukan dan penyempurnaan

Tauhid; Kedua, Mencapai Kemerdekaan.

1
Setelah mencapai kemerdekaan Republik Indonesia (1945), perjuangan bangsa

Indonesia melalui Era Orde Lama (1945-1966), era ini dipimpin oleh Presiden Soekarno.

Pada era ini pemikiran bangsa Indonesia terbagi menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis

Islam. Jika kita mencermati perjuangan umat Islam di era ini, tidak seorang pun yang

menafikan bahwa umat Islam memainkan peran yang sangat besar dalam menghancurkan

kekuatan Komunis di Indonesia Di era Orde Lama, ide Negara Islam (gagasan Negara

Islam sebagai gejala awal abad ke-20-an) harus berhadapan dengan ide Negara Nasional

berdasarkan Pancasila.

Akhirnya melalui Dekrit 5 Juli l959, ide Negara Islam “dikalahkan” sementara

dasar Pancasila “dimenangkan”. Dalam kesempatan ini K.H. Ahmad Siddiq (Alm.)

menfatwakan, bahwa Negara Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah

merupakan bentuk final bagi umat Islam. Sebuah fatwa politik yang tampaknya ingin

menghapus trauma masa lalu antara umat Islam dengan pihak penguasa. Perjuangan

selanjutnya, menjadikan Negara Pancasila itu sebagai kendaraan untuk mewujudkan suatu

tata sosio-politik yang adil, demokratis, dan egaliter di atas landasan moral-transendental.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Partai Islam di Era Orde Baru?

2. Bagaimana Pemikiran Politik Islam di Indonesia Pada Masa Orde Baru?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Partai Islam di Era Orde Baru.

2. Untuk mengetahui Pemikiran Politik Islam di Indonesia Pada Masa Orde Baru.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Partai Islam Di Era Orde Baru

Era Orde Baru dimulai sejak Soeharto menjadi Presiden republic Indonesia.

Tepatnya sejak keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966). Kemudian

secara resmi diikuti dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada

Jenderal Soeharto selaku pengemban Supersemar tanggal 23 Pebruari 1967. Bagi partai

Islam era baru ini dianggap sebagai masa penuh harapan. Karena di era Soekarno, mereka

merasa sangat disudutkan. Dalam hal ini setidaknya ada beberapa alasan yang dapat

dikemukan. Pertama, kelompok Islam merasa punya andil bersama kekuatan militer,

kekuatan fungsional, kekuatan mahasiswa dan pelajar, serta kekuatan kelompok social

dan keagamaan dalam menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua,

keyakinan ini tampak semakin nyata setelah pemerintahan Orde Baru membebasakn

natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto

mangkusaswito, dan Hamka.1

Tegasnya pemerintah Orde Baru menciptakan monoloyalitas bagi kerlangsungan

Golkar, sebaliknya tidak untuk partai lain. Tidak hanya itu, menjelang pemilu 1971,

pemerintah juga membuat aturan-aturan yang intinya membatasi ruang gerak partai-partai

selain Golkar dalam berkampanye seperti larangan menggunakan tema sentiment agama

dalam kampanye dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa kemenangan Golkar, dan sebaliknya kekalahan partai-partai Islam disebabkan oleh

beberapa factor. Pertama adalah situasi yang dialami oleh partai-partai Islam yang

mengalami frakmentasi yang demikian parah sejak masa Orde lama. Masyarakat trauma

1
Muh. Syamsuddin and Muh. Fatkhan, “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru,” Jurnal Dakwah 9, no. 2
(2020): 139–56.

3
terhadap kondisi ini. Selain itu, kebrutalan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan

isntabilitas kemanan Negara (PKI) membuat masyarakat alergi politik. Kondisi ini

dimanfaatkan secara baik oleh Golkar melalui jargon-jargon kampanye yang dikemasnya.

Golkar pada masa itu tidak menyebut dirinya sebagai Partai. Sehingga dengan

mudah menyerang keberadaan parta-partai yang apalagi dianggap telah gagal dalam

menjalankan fungsinya. Kedua, strategi Golkar menggunakan kekuatan pemerintah

dengaan kebijakan mono loyalitas, agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan keluarganya

untuk memilih dan memenangkan Golkar. Ketiga, dukungan Angkatan Bersenjata

(ABRI) terhadap Golkar. Hal ini sebenarnya diawali oleh permintaan Soeharto sebagai

kepala Negara yang meminta PNS dan ABRI turut berpartisipasi dalam kemenangan

Golkar. ABRI tidak hanya memanfaatkan keluarganya untuk mendukung kemenangan

Golkar, tetapi juga turut “campur tangan” dalam memenangkan Golkar. Bahkan dalam

beberapa kasus, terkesan kasar atau berlebihan. Tambahan lagi bahwa kemenangan golkar

dalam Pemilu tahun 1971 ini adalah juga adanya limpahan suara dari pendukung PKI.

Bagaimanapun memilih Golkar adalah pilihan terbaik dan pilihan realistis bagi mantan

eks anggota PKI setelah PKI dibubarkan oleh pemerintah.

Memilih Golkar akan dapat menjamin rasa aman bagi eks pendukung PKI ini.

Khusus tentang kekalahan atau menurunnya jumlah suara yang diperoleh partai-partai

Islam, selain factor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, juga adanya penggarapan

yang dilakukan Golkar terhadap basis-basis dukungan yang selama ini menjadi milik

partai-partai Islam. Golkar mendirikan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam

(GUPPI) untuk menggimbangi keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui

wadah ini Golkar mengadakan pendekatan elit-elit umat Islam, kyai, ulama, ustad untuk

bergabung di Golkar. Uapaya ini dinilai cukup berhasil menarik sejumlah tokoh Islam

masuk ke dalam Golkar, termasuk umat Islam dari lapisan bawah. Betatapun keberadaan

4
tokoh-tokoh Islam di partai ini telah berhasil meyakinkan sebagian umat Islam bahwa

Golkar adalah juga rumah yang nyaman yang dapat menjamin kepentingankepentingan

Islam.

Kebijakan Orde baru yang demikian, praktis menjadikan Golkar memenangi

Pemilu tahun 1971, dan sebaliknya partai-partai Islam mengalami kemunduran dalam

perolehan suara, kecuali NU yang mengalami sedikit penambahan. Partai-partai Islam

seperti Masyumi yang ditahun 1955 memperoleh 20% suara, kini hanya meraih 5,36%;

Demikian juga PSII dan Perti yang dalam pemilu 1955 masing-masing memperoleh

2,9%, dan 1,3%, pemilu kali ini memperoleh hasil masing-masing 2,39% dan 0,70%.7

Secara jelas hasil perolehan suara berikut kursi yang diperoleh dapat dilihat dalam table

berikut:

Tabel Hasil Pemilu 1971

Pemilu setelah tahun 1971 selanjutnya dilaksanakan 6 tahun berikutnya, tepatnya 2

Mei 1977. Kemudian sejak tahun 1977 hingga tahun 1997 Pemilu Era Orde Baru

dilaksanakan secara periodik, yakni 5 tahun sekali. Pemilu tahun 1977 diikuti hanya 2

partai dan satu Golongan Karya (Golkar) setelah sebelumnya pemerintah Orde Baru

melakukan Fusi partai Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP

dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi

dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya

5
tiga tadi. Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan bahwa Golkar selalu memenangi Pemilu,

sedangkan PPP dan PDI sekedar pelengkap dari ritual lima tahunan tersebut.

Mengenai Pemilu 1977 dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemungutan suara Pemilu

1977 dilakukan pada 2 Mei 1977. Cara pembagian kursinya juga masih sama

sebagaimana dilakukan pada Pemilu 1971. Sistem yang digunakan adalah proporsional di

daerah pemilihan. Terdapat 70.378.750 pemilih. Suara yang sah mencapai 63.998.344

suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau

62,11%. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi

dibandingkan Pemilu 1971. Secara jelas hasil pemilu 1977 dapat dilihat dalam table

berikut:

Hasil Pemilu 1977 DPR-RI

Pemilu tahun 1977 perolehan suara suara PPP sebagai representasi partai Islam

yang difusi era sebelumnya naik di berbagai daerah, Bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh

mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi

atau naik 2,17% atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam

Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Hal ini

seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara

PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis

NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan

17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di

6
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan

kursi hanya 5. Pada Pemilu 1977 partai Islam PPP mengalami sedikit kenaikan

dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya 2,1%. Sebaliknya Golkar mengalami sedikit

penurunan. Peningkatan suara partai Islam ini dapat dianggap sebagai bentuk peningkatan

simpati rakyat kepada PPP, sebaliknya menurunnya dukungan kepada pemerintah dalam

hal ini Partai Golkar.

Hal ini diduga adanya sejumlah peristiwa yang melatarinya. Peristiwa tersebut

adalah adanya gelombang protes yang cukup besar dari masyarakat Islam pada akhir

tahun 1973, yang menolak rancanagan undang-undang perkawin. Kemudian adanya

manuver Soedomo terhadap kelompok Islam dengan menyatakan bahwa adanya

kelompok anti pemerintah yang ia sebut dengan “Komando Jihad”. Move yang dilakukan

Soedomo (Kepala Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang disingkat

Kopkamtib. Ini kemudian dimanfaatkan oleh elit partai Islam untuk membangun

solidaritas baru, dengan menciptakan Golkar sebagai musuh yang senantiasa

menyingkirkan umat Islam dalam panggung politik Orde baru. Praktis kampanye

menjelang Pemilu yang berlangsung selama dua bulan adalah ajang pertarungan antara

Partai Islam yang direpresentasikan oleh PPP dengan Golkar.2

PPP mengemas isu-isu kampanye dengan tematema agama, sebaliknya Golkar dengan

isu-isu pembanunan. Meskipun demikian PPP sebagaimana dijelaskan sebelumnya hanya

dapat meningkatkan sedikit saja perolehan suaranya, disbanding pada Pemilu

sebelumnya. Karena kemudian Soedomo mengeluarkan empat larangan dalam Pemilu:

Jangan mengintimidasi lawan, jangan merusak martabat pemerintah dan pejabat-

pejabatnya, jangan mengganggu persatuan nasional, dan jangan mengritik kebijakan

pemerintah. Selain itu, Pemilu tahun 1977 juga masih diwarnai oleh hal yang sama

2
Qisthi Faradina, Ilma Mahanani, and Mega Alif Marintan, “Islam Dan Politik Di Indonesia Perspektif
Sejarah,” Islam and Politic in Indoenesia 2, no. 1 (2022): 61–69.

7
dengan Pemilu sebelumnya, yakni tindakan-tindakan yang tidak demokratis, seperti

kecurangan ketika pendaftaran, penghitungan suara, dan berbagai intimidasi lainnya.

Sekiranya penyimpangan-penyimpangan ini tidak terjadi bias jadi PPP

memperoleh peningkatan suara yang signifikan, bahkan mungkin memenangkannya.

Hasil Pemilu 1982 Pelaksanaan Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal

4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat.

Akan tetapi, Golkar gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya daerah Jakarta dan

Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional, Golkar

berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi

bagi PPP dan PDI. Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara

pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. Mengenai

hasil pemilu 1982 ini secara lengkap dapat digambarkan sebagai berikut:

Hasil Pemilu 1982 DPR-RI

Hasil pemilu 1982 ini dapat dikatakan tidak jauh berbeda dari pemilu sebelumnya

1977. Partai Islam yang representasikan oleh PPP tetap saja tidak beranjak dari kisaran

duapuluhan persen. Golkar sebagai partai berkuasa tetap saja semakin memperkuat

posisinya dengan berbagai macam cara, sebagaimana yang dilakukan pada masa-masa

sebelumnya. Hasil Pemilu 1987 Pemilihan umum tahun 1987 diselenggarakan tanggal 23

April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Tercatat 93.737.633 pemilih. Dari jumlah

tersebut suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian

8
kursinya juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Mengenai

hasil lengkapnya dapat dilihat dalam table berikut:

Hasil Pemilu 1987 DPR-RI

Hal yang penting untuk diketahui pada pemilu kali ini adalah partai Islam PPP

mengalami kemunduran yang sangat tajam. Partai ini kehilangan 33 kursi dibandingkan

dengan Pemilu 1982. Atau menurun 12% dari pemilu 1982. Sementara pesaingnya

Golkar dan PDI mengalami kenaikan yang signifikan. Perubahan-perubahan yang sangat

nyata pada pemilu kali ini membuat para pengamat banyak yang berkesimpulan bahwa

pemilu tahun 1987 merupakan pemilu yang paling menarik sepanjang sejarah pemilu

Orde Baru. Berkaitan dengan hal ini menarik untuk melihat beberapa factor yang

mengitari perjalanan pemilu ini, khususnya bagi partai Islam PPP yang mengalami

penurunan secara drastis. Faktor yang dianggap mempengaruhi kemunduran PPP dalam

pemilu 1987 adalah adanya sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru yang secara

sistematis ingin mengkebiri partai politik. Kebijakan tersebut pertama adalah penerapan

azas tunggal sebagaimana diatur dalam UU N0. 3 tahun 1985. UU tersebut melarang

partai politik dan Golongan karya menggunakan azas selain Pancasila.

Praktis larangan ini sangat memukul PPP, karena harus mengganti azas Islam yang

selama ini menjadi perekat bagi penggalangan suara dukungan untuk PPP. Padahal pada

Pemilu sebelumnya PPP sangat mengandalkan symbol-simbol agama untuk memobilisasi

9
massa. Tidak hanya sebatas itu, pemerintah Orde Baru juga melarang penggunaan symbol

ka.bah sebagai gambar partai. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah factor keputusan

NU yang dalam mukhtamarnya yang ke-27 di Situbondo kembali “khittah”1926.

Keputusan yang monumental dan sangat mendasar ini menunjukkan bahwa NU tidak lagi

secara structural terikat dengan partai apapun, khususnya partai Islam PPP. Sebaliknya

NU memfokuskan diri dalam masalah-masalah social keagamaan. NU misalnya lebih

memperhatikan masalah penguatan warganya dalam masalah pendidikan, kesehatan,

penguatan ekonomi umat dan program-program social lainnya. Program-program seperti

ini selama ini terbengkalai akibta NU banyak mencurahkan perhatiannya pada aspek

politik praktis.

Tampaknya NU yang pada waktu itu dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur)

sangat menyadari akan pentingnya kembali ke khittah 1926. NU sering diperlakukan

tidak adil di dalam PPP, terutama pada masa kepemimpin HJ. Naro. Tokoh-tokoh NU

kharismatik sengaja disingkirkan dengan cara menempatkan mereka di dalam Calaon

Daftar Sementara (DCS) pada no “buntut” atau no tidak jadi. Oleh sebab itu, para tokoh

NU melakukan “penggembosan”dengan cara safari ke berbagai pesantren tentang makna

kembali ke khittah 1926. Paling tidak ada tiga tafsir tentang hal ini, pertama, khittah

dipahami sebagai posisi netral dalam berpolitik, keluar dari PPP dan masuk ke partai lain

seperti Golkar atau PDI, dan keluar dari PPP dan masuk Golkar.3

Tampaknya tafsir ketiga ini yang lebih dominan disosialisasikan oleh para kiai,

yang intinya penegasan sikap NU untuk keluar dari PPP. Ketegasan ini misalnya

tercermin dalam salah satu ungkapan tokoh NU K.H. A. Hamid Baidlowi, pengurus

Syuriah NU Jawa Tengah, “PPP bukan lagi partai Islam, pimpinannya ruwet, coblos saja

PDI atau Golkar”. NU tampaknya ingin meyakinkan public, terutama pemerintah Orde

3
Jungjungan Simorangkir, “Islam Pasca Orde Baru,” Istinbath 15, no. 1 (2015): 199–216.

10
Baru bahwa kembali ke khittah 1926 sebagai tekad yang sangat serius. NU juga ingin

menunjukkan identitasnya sekaligus menyadari bahwa sikap berseberangan pemerintah

ternyata tidak menguntungkan, sebagaimana yang selama ini ditunjukkan. Selain dari

pada itu, keberhasilan Golkar menggarap organisasi-organisasi kemasyarakatan dan

berbagai kelompok kepentingan ke dalamnya, merupakan langkah yang tepat dalam

mencuri basis dukungan PPP. Organisasi-organisasi tersebut misalnya adalah organisasi

kelompk pekerja seperti Kosgoro, SOKSI, SPSI, HKTI, KNPI dan kelompok masyarakat

lainnya. Berdasarkan latar belakang demikianlah, sehingga PPP sebagai partai mengalami

kemunduran yang cukup tajam. Pemilu tahun 1992 dilaksanakan pada tanggal 9 Juni

1992. Mengenai hasilnya dapat dilihat pada table berikut:

Hasil Pemilu 1992

Pada Pemilu kali ini Golkar tetap memenangkan Pemilu, dan sebaliknya partai

Islam PPP tetap terpuruk di urutan terbawah dalam hal perolehan suara. Memang terdapat

sedikit dinamika hasil pemilu kali, ini yakni golkar mengalami penurunan suara di

beberapa daerah. Sebaliknya PPP mengalami peningkatran juga di beberapa daerah,

meskipun secara nasional kenaikannya cukup tipis. PPP berhasil menmabah satu kursi,

dari pemilu sebelumnya 61 menjadi 62 kursi. Hal yang menjadi catatan adalah suara

partai Islam ini mengalami penurunan di luar Jawa. Bahkan partai tidak memiliki wakil di

9 propinsi. Meskipun PPP berhasil menaikkan 7 kursi di Jawa, akan tetapi karena

kehilangan 6 kursi di luar Jawa, maka praktis PPP hanya berhasil menaikkan 1 kursi saja

pada pemilu 1992.

11
Berbeda dengan PDI yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Bahkan di

beberapa daerah kenaikannya lebih dari 100%.. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil

meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi

56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32

kursinya di DPR RI. Sedangkan mengenai pengitungan suaranya, pemilku 1992 masih

menggunakan cara yang sama sebagaimana yang digunakan pada pemulu sebelumnya.

Pemilu tahun 1992 sedikit berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kali ini Golkar

memberikan kran keterbukaan bagi PNS untuk lebih netral dan profesiol dalam

menjalankan tugas-tugasnya. Hal ini tampak jelas dari statemen Menteri dalam Negeri

Rudini dalam berbagai kesempatan.

Bahkan lebih besar peningkatannya bila dibandingkan dengan yang diperoleh PPP,

yakni 6%. Hasil lengkap pelaksanaan Pemilu tahun 1997 dapat dilihat secara lengkap

dalam table berikut:

Dengan demikian, cukup jelas dikatakan bahwa selama pemerintahan Orde Baru

Partai Islam PPP tidak pernah memenangi Pemilu. Perolehan suara PPP tidak pernah

melebihi 30%. Prestasi tertinggi partai Islam ini terjadi pada Pemilu 1982, yakni 29,29%.

Sedangkan prestasi terrendah terjadi pada Pemilu 1982, yakni 15, 25%. Kebijakan

depolitisasi partai, khususnya partai Islam memang menjadi penyebab utama penurunan

partai ini. Kemudian keberpihakan ABRI, dan kecurangan-kecurangan yang dilakuakan

12
penyelenggara Pemilu memperburuk kondisi partai Islam sehingga tidak pernah

memenangkan Pemilu dari 6 kali Penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru.4

B. Pemikiran Politik Islam di Indonesia pada Masa Orde Baru

Secara dialektis, Demokrasi Pancasila adalah sebuah sintesis dari Demokrasi

Liberal tahun 1950-an dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang minus demokrasi itu.

Namun, karena disintegrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang 20

tahun pertama pasca kemerdekaan merupakan trauma politik yang terus menerus

menghantui rezim Orde Baru, maka rezim Orde Baru sangat menaruh perhatian

terhadapnya. Sedemikian besarnya perhatian ini sehingga Orde Baru tampak sangat

represif atau quasi-represif dalam menangani isu-isu di sekitar integrasi nasional dan

stabilitas politik. Sehingga pemerintah Orde Baru dalam mengelola konflik politiknya

melakukan depolitisasi dan puncaknya memberlakukan politik “Asas Tunggal”.

Karena prioritas difokuskan kepada pembangunan ekonomi yang harus ditopang

oleh stabilitas politik dan keamanan nasional, maka pembangunan demokrasi mengalami

kelambanan. Dalam kaitan ini, ide politik Islam selama periode Orde Baru harus

disampaikan dengan sangat hati-hati. Trauma politik masa lampau dengan pihak ABRI

berangsur-angsur hilang, tetapi ide tentang Negara Islam sudah gugur dengan sendirinya

dengan ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas orpol dan ormas.

Ketika sejumlah tokoh Islam (terutama tokoh Masyumi) dibebaskan dari penjara

Soekarno pada tahun l966, muncul suatu kerinduan dan optimisme terhadap partai politik

Islam yang besar dan kuat itu. Mantan ketua Masyumi ketika dibubarkan pada tahun l960,

Prawoto Mangkusasmito, sangat aktif ingin mewujudkan rehabilitasi Masyumi sebagai

Partai politik. Akan tetapi, usaha tersebut mendapat tantangan yang sangat keras dari

4
Katimin, Politik Islam Study Tentang Azas Pemikiran Dan Praktik Dalam Sejarah Politik Umat Islam
(Medan: Perdana Publishing, 2017),246.

13
pelbagai pihak, terutama dari Angkatan Darat, kalangan Kristen/Katolik, dan para tokoh

Partai Nasional Indonesia. Bahkan ketika tuntutan umat Islam semakin menguat,

pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperkecil ruang gerak politik mereka.

Militer kemudian semakin tegas mengklaim kedudukannya sebagai pembela utama UUD

1945 dan Pancasila.

Pada masa transisi menuju Orde Baru, hubungan yang mulai membaik antara

Angkatan Darat dengan umat Islam sedikit demi sedikit semakin melemah, bahkan dalam

perjalanan berikutnya timbul saling mencurigai dan tidak jarang timbulnya konflik.

Keberatan pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi mendorong sebagian umat Islam

untuk mencari jalan lain untuk menghidupkan partai Islam. Pada tanggal 7 April 1967

Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM) membentuk Kelompok Tujuh untuk

merancang pembentukan partai baru menggantikan Masyumi.10Maka pada tanggal 5

Februari 1968 pemerintah menyetujui berdirinya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI)

sebagai gabungan partai Islam, sebagaimana diusulkan BKAM. Namun pemerintah

mensyaratkan Parmusi bukanlah Masyumi (mantan pemimpin Masyumi tidak boleh

memimpin Parmusi).

Persetujuan berdirinya Parmusi belum menjamin terakomodasinya aspirasi politik

Islam. Buktinya pemerintah selalu mencampuri Parmusi dalam hal kepemimpinan. Ketika

Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) untuk pertama kalinya hendak mengadakan

Muktamar pada tanggal 4 – 7 November 1968 di Malang Jawa Timur, peserta Muktamar

sepakat memilih Mr. Muhammad Rum sebagai Ketua Umum Partai yang baru itu.

Menurut Muktamirin, walaupun Roem salah seorang anggota bekas pimpinan Partai

Masyumi, ia bersih dari “dosa” politik Masyumi (yaitu simpati kepada pemberontakan

PRRI), bahkan tidak jarang Muhammad Roem bersebrangan dengan tokoh karismatik

Masyumi M. Natsir. Dengan latar belakang demikian, Parmusi optimis bahwa pemerintah

14
tidak akan keberatan dengan naiknya Roem sebagai Ketua Umum Parmusi. Akan tetapi

pemerintah dan Angkatan Darat berkebaratan terhadap Mr. Muhammad Rum karena

beliau merupakan tokoh Masyumi yang masih sangat berpengaruh. Hal ini diperlihatkan

dalam kebijakan Presiden yang meminta Jendral Alamsyah Ratuprawiranegara sebagai

Sekretaris Negara mengirim telegram ke Malang untuk menginformasikan bahwa

pemerintah tidak dapat menerima Muhammad Rum. Sebagai jalan keluar yang terbaik

pada waktu itu kongres memilih duet antara Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua dan

Lukman Harun sebagai Sekretaris Jendral Partai Muslimin Indonesia. Keduanya berasal

dari Muhammadiyah sebagai komponen terbesar dari partai tersebut.

Dalam waktu yang tidak lama, kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman

Harun tidak dapat bertahan dengan baik. Pihak pemerintah tampaknya kesulitan untuk

menerima kedua tokoh tersebut karena dianggap keras sekali, dan dipandang tidak

akomodatif. Atas rekayasa dari pihak opsus yang dipimpin oleh Ali Murtopo,

kepemimpinan Partai Muslimin Indonesia diambil alih oleh Jaelani Naro11 dan Imran

Kadir yang menimbulkan konflik internal dalam tubuh partai. Akibatnya, pemerintah

menunjuk MHS. Mintareja salah seorang anggota kabinet Soeharto sebagai Ketua Partai

Muslimin menggantikan Djarnawi Hadikusumo (20 November 1970). Sejak saat itu

ketegangan antara pemerintah dan Islam mulai muncul di permukaan karena para aktivis

dan pemimpin partai agama mulai menunjukkan oposisi yang jelas.

Cendekiawan Muslim yang muncul pada 1970-an telah menerima dengan mantap

ide Negara Nasional berdasarkan Pancasila, baik secara teoritis maupun praktek.

Menjelang diadakannya Pemilihan Umum (pemilu) pertama masa pemerintahan Orde

Baru, Nurcholis Majid melontarkan gagasan yang kemudian memicu kontroversi di

kalangan umat Islam. Sekalipun gagasan itu tidak secara langsung ditawarkan dalam

kaitannya dengan pelaksanaan pemilu, namun karena waktu itu dekat dengan pelaksanaan

15
Pemilu, manjadikan lontaran Nurcholish Majid sangat penting dari dilihat sudut politik.

Dalam ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 21 Oktober l972,

Nurcholis menggarisbawahi perlunya pembaharuan pemikiran dalam Islam. Anjurannya

terpusat pada dua gagasan utama, yaitu: (1) Gagasan sekulerisasi; dan (2) Penolakan

terhadap dijadikannya Islam sebagai ideologi politik dengan pernyataannya yang terkenal

ISLAM “YES”, PARTAI ISLAM “NO”.

Ketika menghadapi pemilihan umum tahun 1971, konflik antara kebijakan partai

yang membawakan aspirasi Islam dengan pihak pemerintah berkelanjutan. Konflik ini

disebabkan oleh: Pertama, berkaitan dengan kebijakan Menteri Dalam Negeri No.12

yang dipandang sebagai suatu usaha untuk melakukan pengebirian terhadap partai-partai

politik di Indonesia. Kedua, Lembaga Pemilihan Umum yang diketuai oleh Mendagri

memangkas dalam jumlah yang sangat besar calon-calon yang diajukan oleh Partai

Muslimin Indonesia yang sangat berpengaruh. Sebab kalau mereka dibiarkan aktif dalam

proses penyelenggaraan Pemilu tentu saja akan sangat melemahkan partai pemerintah,

“Golkar”.

Situasi yang terkait dengan karakteristik pemerintahan Orde baru yang dipandang

authoritarian dalam membentuk format politik baru terutama dalam masa-masa transisi

dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah mengambil langkah depolitisasi yang

dilakukan secara sistematik lewat sejumlah kebijakan termasuk didalamnya adalah: (1)

monoloyalitas; (2) kebijakan massa mengambang (floating mass); (3) emaskulasi dari

parta-partai politik (kasus pengangkatan Mintareja dan Naro bagi Ketua PARMUSI); dan

(4) pemilihan umum yang sama sekali tidak kompetitif. Kebijakan tersebut menjadikan

Islam sebagai target sasaran yang besar sekali, dan memancing reaksi umat Islam.5

5
M Rahmat Effendi, “Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Antara Simbolistik Dan Substantivistik
Kajian Pra Masa Dan Pasca Orde Baru,” Al-Aḥwāl 21, no. 1 (2023): 89–105.

16
Pemikiran di atas, memberikan corak Islam di Indonesia beberapa dekade terakhir,

sejak Orde Baru hingga sekarang, tampak berubah-ubah. Jika indikasi politik yang

digunakan, maka proses pergeseran (politis) dalam hubungan antara Islam dan negara

dapat diamati dengan jelas. Periode ini dimulai dengan hubungan yang baik antara umat

Islam dan ABRI (TNI dan Polri) sebagai penopang utama kekuatan Orde Baru hingga

kemudian posisi politik umat dipinggirkan. “Mereka telah memperlakukan kita (umat

Islam) seperti kucing kurap,” begitu komentar M. Natsir mengenai cara pemerintah Orde

Baru menghalangi bangkitnya peran politik Islam. Namun, gabungan keterpaksaan

mengikuti alur politik yang diterapkan Orde Baru membatasi jumlah dan peranan partai

politik dan mengubah ideologi politik dan reaksi intelektual yang memadai dari kaum

muslim sendiri telah mengubah hubungan umat Islam dengan negara. Hubungan yang

pada awalnya antagonis kemudian berubah menjadi akomodatif, untuk kemudian,

meminjam istilah Bahtiar Effendy, “berkembang ke dalam hubungan yang integratif

antara Islam dan negara.”

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Era Orde Baru dimulai sejak Soeharto menjadi Presiden republic Indonesia. Tepatnya

sejak keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966). Kemudian secara

resmi diikuti dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal

Soeharto selaku pengemban Supersemar tanggal 23 Pebruari 1967. Bagi partai Islam

era baru ini dianggap sebagai masa penuh harapan. Karena di era Soekarno, mereka

merasa sangat disudutkan.

2. Secara dialektis, Demokrasi Pancasila adalah sebuah sintesis dari Demokrasi Liberal

tahun 1950-an dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang minus demokrasi itu.

Namun, karena disintegrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang 20

tahun pertama pasca kemerdekaan merupakan trauma politik yang terus menerus

menghantui rezim Orde Baru, maka rezim Orde Baru sangat menaruh perhatian

terhadapnya.

B. Saran

Cukup sekian makalah yang dapat disusun, pastilah masih terdapat banyak

kekeliruan di dalamnya. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik pembaca agar kami

dapat menjadi lebih baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, M Rahmat. 2023. “Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Antara Simbolistik Dan

Substantivistik Kajian Pra Masa Dan Pasca Orde Baru.” Al-Aḥwāl 21,

Faradina, Qisthi, Ilma Mahanani, and Mega Alif Marintan. 2022. “Islam Dan Politik Di

Indonesia Perspektif Sejarah.” Islam and Politic in Indoenesia 2,

Katimin. 2017. Politik Islam Study Tentang Azas Pemikiran Dan Praktik Dalam Sejarah

Politik Umat Islam. Medan: Perdana Publishing.

Simorangkir, Jungjungan. 2015. “Islam Pasca Orde Baru.” Istinbath 15.

Syamsuddin, Muh., and Muh. Fatkhan. 2020. “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru.”

JURNAL Dakwah 9.

19

Anda mungkin juga menyukai