Dosen Pengampu :
FAKULTAS SYARIAH
1445 H / 2024 M
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Pada Masa Orde Baru”. Sholawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di
Penulisan makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Fiqh Siyasah
Kontemporer. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulisan makalah ini, dalam penulisan ini masih banyak kekurangan baik dalam teknik
penulisan maupun materi. Mengingat kemampuan yang dimiliki, kritik dan saran yang
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 18
B. Saran ......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa Orde Baru umat Islam semakin termarjinalkan, karena dianggap tidak
kebebasan untuk berkembang. Bahkan pemerintah hanya mengizinkan adanya tiga Partai,
yaitu wakil partai Islam, wakil partai nasionalis dan Golongan Karya yang berada di
bawah kendali pemerintah Orde Baru. Sejak runtuhnya orde baru, umat Islam telah
mengalami suatu perubahan pemikiran, baik dalam segi politik pemerintahan, ekonomi
dan lain-lainnya, khususnya setelah reformasi digulirkan oleh para tokoh-tokoh muslim.
Dengan adanya reformasi tersebut, umat Islam telah mengalami suatu kebebasan dalam
berpikir dan bergerak yang tidak lagi merasa takut dengan adanya tuduhan-tuduhan
Pembahasan tentang Islam dan umat Islam pra Orde Baru terkait erat dengan
gerakan tajdid yang muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20-an yang dikenal
sebagai gerakan pemikiran Islam modern di Indonesia. Salah satu ciri khasnya ialah
berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Dagang Islam (SDI) berdiri th.
1909; Syarekat Islam (SI) berdiri th. 1911; Muhammadiyah berdiri th. 1912; Persatuan
Islam (Persis) berdiri th. 1923; Nahdlatul „Ulama (NU) berdiri th. 1926, semua organisasi
ini di dirikan di Jawa, sedangkan Tawalib yang berdiri th. 1918 di Sumatera. Proyek
1
Setelah mencapai kemerdekaan Republik Indonesia (1945), perjuangan bangsa
Indonesia melalui Era Orde Lama (1945-1966), era ini dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Pada era ini pemikiran bangsa Indonesia terbagi menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis
Islam. Jika kita mencermati perjuangan umat Islam di era ini, tidak seorang pun yang
menafikan bahwa umat Islam memainkan peran yang sangat besar dalam menghancurkan
kekuatan Komunis di Indonesia Di era Orde Lama, ide Negara Islam (gagasan Negara
Islam sebagai gejala awal abad ke-20-an) harus berhadapan dengan ide Negara Nasional
berdasarkan Pancasila.
Akhirnya melalui Dekrit 5 Juli l959, ide Negara Islam “dikalahkan” sementara
dasar Pancasila “dimenangkan”. Dalam kesempatan ini K.H. Ahmad Siddiq (Alm.)
merupakan bentuk final bagi umat Islam. Sebuah fatwa politik yang tampaknya ingin
menghapus trauma masa lalu antara umat Islam dengan pihak penguasa. Perjuangan
selanjutnya, menjadikan Negara Pancasila itu sebagai kendaraan untuk mewujudkan suatu
tata sosio-politik yang adil, demokratis, dan egaliter di atas landasan moral-transendental.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2. Untuk mengetahui Pemikiran Politik Islam di Indonesia Pada Masa Orde Baru.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Era Orde Baru dimulai sejak Soeharto menjadi Presiden republic Indonesia.
Tepatnya sejak keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966). Kemudian
secara resmi diikuti dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada
Jenderal Soeharto selaku pengemban Supersemar tanggal 23 Pebruari 1967. Bagi partai
Islam era baru ini dianggap sebagai masa penuh harapan. Karena di era Soekarno, mereka
merasa sangat disudutkan. Dalam hal ini setidaknya ada beberapa alasan yang dapat
dikemukan. Pertama, kelompok Islam merasa punya andil bersama kekuatan militer,
kekuatan fungsional, kekuatan mahasiswa dan pelajar, serta kekuatan kelompok social
keyakinan ini tampak semakin nyata setelah pemerintahan Orde Baru membebasakn
Golkar, sebaliknya tidak untuk partai lain. Tidak hanya itu, menjelang pemilu 1971,
pemerintah juga membuat aturan-aturan yang intinya membatasi ruang gerak partai-partai
selain Golkar dalam berkampanye seperti larangan menggunakan tema sentiment agama
dalam kampanye dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa kemenangan Golkar, dan sebaliknya kekalahan partai-partai Islam disebabkan oleh
beberapa factor. Pertama adalah situasi yang dialami oleh partai-partai Islam yang
mengalami frakmentasi yang demikian parah sejak masa Orde lama. Masyarakat trauma
1
Muh. Syamsuddin and Muh. Fatkhan, “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru,” Jurnal Dakwah 9, no. 2
(2020): 139–56.
3
terhadap kondisi ini. Selain itu, kebrutalan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
isntabilitas kemanan Negara (PKI) membuat masyarakat alergi politik. Kondisi ini
dimanfaatkan secara baik oleh Golkar melalui jargon-jargon kampanye yang dikemasnya.
Golkar pada masa itu tidak menyebut dirinya sebagai Partai. Sehingga dengan
mudah menyerang keberadaan parta-partai yang apalagi dianggap telah gagal dalam
dengaan kebijakan mono loyalitas, agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan keluarganya
(ABRI) terhadap Golkar. Hal ini sebenarnya diawali oleh permintaan Soeharto sebagai
kepala Negara yang meminta PNS dan ABRI turut berpartisipasi dalam kemenangan
Golkar, tetapi juga turut “campur tangan” dalam memenangkan Golkar. Bahkan dalam
beberapa kasus, terkesan kasar atau berlebihan. Tambahan lagi bahwa kemenangan golkar
dalam Pemilu tahun 1971 ini adalah juga adanya limpahan suara dari pendukung PKI.
Bagaimanapun memilih Golkar adalah pilihan terbaik dan pilihan realistis bagi mantan
Memilih Golkar akan dapat menjamin rasa aman bagi eks pendukung PKI ini.
Khusus tentang kekalahan atau menurunnya jumlah suara yang diperoleh partai-partai
Islam, selain factor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, juga adanya penggarapan
yang dilakukan Golkar terhadap basis-basis dukungan yang selama ini menjadi milik
wadah ini Golkar mengadakan pendekatan elit-elit umat Islam, kyai, ulama, ustad untuk
bergabung di Golkar. Uapaya ini dinilai cukup berhasil menarik sejumlah tokoh Islam
masuk ke dalam Golkar, termasuk umat Islam dari lapisan bawah. Betatapun keberadaan
4
tokoh-tokoh Islam di partai ini telah berhasil meyakinkan sebagian umat Islam bahwa
Golkar adalah juga rumah yang nyaman yang dapat menjamin kepentingankepentingan
Islam.
Pemilu tahun 1971, dan sebaliknya partai-partai Islam mengalami kemunduran dalam
seperti Masyumi yang ditahun 1955 memperoleh 20% suara, kini hanya meraih 5,36%;
Demikian juga PSII dan Perti yang dalam pemilu 1955 masing-masing memperoleh
2,9%, dan 1,3%, pemilu kali ini memperoleh hasil masing-masing 2,39% dan 0,70%.7
Secara jelas hasil perolehan suara berikut kursi yang diperoleh dapat dilihat dalam table
berikut:
Mei 1977. Kemudian sejak tahun 1977 hingga tahun 1997 Pemilu Era Orde Baru
dilaksanakan secara periodik, yakni 5 tahun sekali. Pemilu tahun 1977 diikuti hanya 2
partai dan satu Golongan Karya (Golkar) setelah sebelumnya pemerintah Orde Baru
melakukan Fusi partai Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP
dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi
dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya
5
tiga tadi. Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan bahwa Golkar selalu memenangi Pemilu,
sedangkan PPP dan PDI sekedar pelengkap dari ritual lima tahunan tersebut.
Mengenai Pemilu 1977 dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemungutan suara Pemilu
1977 dilakukan pada 2 Mei 1977. Cara pembagian kursinya juga masih sama
sebagaimana dilakukan pada Pemilu 1971. Sistem yang digunakan adalah proporsional di
daerah pemilihan. Terdapat 70.378.750 pemilih. Suara yang sah mencapai 63.998.344
suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau
62,11%. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi
dibandingkan Pemilu 1971. Secara jelas hasil pemilu 1977 dapat dilihat dalam table
berikut:
Pemilu tahun 1977 perolehan suara suara PPP sebagai representasi partai Islam
yang difusi era sebelumnya naik di berbagai daerah, Bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh
mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi
atau naik 2,17% atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam
Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Hal ini
seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara
PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis
NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan
17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di
6
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan
kursi hanya 5. Pada Pemilu 1977 partai Islam PPP mengalami sedikit kenaikan
penurunan. Peningkatan suara partai Islam ini dapat dianggap sebagai bentuk peningkatan
simpati rakyat kepada PPP, sebaliknya menurunnya dukungan kepada pemerintah dalam
Hal ini diduga adanya sejumlah peristiwa yang melatarinya. Peristiwa tersebut
adalah adanya gelombang protes yang cukup besar dari masyarakat Islam pada akhir
kelompok anti pemerintah yang ia sebut dengan “Komando Jihad”. Move yang dilakukan
Kopkamtib. Ini kemudian dimanfaatkan oleh elit partai Islam untuk membangun
menyingkirkan umat Islam dalam panggung politik Orde baru. Praktis kampanye
menjelang Pemilu yang berlangsung selama dua bulan adalah ajang pertarungan antara
PPP mengemas isu-isu kampanye dengan tematema agama, sebaliknya Golkar dengan
pemerintah. Selain itu, Pemilu tahun 1977 juga masih diwarnai oleh hal yang sama
2
Qisthi Faradina, Ilma Mahanani, and Mega Alif Marintan, “Islam Dan Politik Di Indonesia Perspektif
Sejarah,” Islam and Politic in Indoenesia 2, no. 1 (2022): 61–69.
7
dengan Pemilu sebelumnya, yakni tindakan-tindakan yang tidak demokratis, seperti
Hasil Pemilu 1982 Pelaksanaan Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal
4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat.
Akan tetapi, Golkar gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya daerah Jakarta dan
Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional, Golkar
berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi
bagi PPP dan PDI. Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara
pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. Mengenai
hasil pemilu 1982 ini secara lengkap dapat digambarkan sebagai berikut:
Hasil pemilu 1982 ini dapat dikatakan tidak jauh berbeda dari pemilu sebelumnya
1977. Partai Islam yang representasikan oleh PPP tetap saja tidak beranjak dari kisaran
duapuluhan persen. Golkar sebagai partai berkuasa tetap saja semakin memperkuat
posisinya dengan berbagai macam cara, sebagaimana yang dilakukan pada masa-masa
sebelumnya. Hasil Pemilu 1987 Pemilihan umum tahun 1987 diselenggarakan tanggal 23
April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Tercatat 93.737.633 pemilih. Dari jumlah
tersebut suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian
8
kursinya juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Mengenai
Hal yang penting untuk diketahui pada pemilu kali ini adalah partai Islam PPP
mengalami kemunduran yang sangat tajam. Partai ini kehilangan 33 kursi dibandingkan
dengan Pemilu 1982. Atau menurun 12% dari pemilu 1982. Sementara pesaingnya
Golkar dan PDI mengalami kenaikan yang signifikan. Perubahan-perubahan yang sangat
nyata pada pemilu kali ini membuat para pengamat banyak yang berkesimpulan bahwa
pemilu tahun 1987 merupakan pemilu yang paling menarik sepanjang sejarah pemilu
Orde Baru. Berkaitan dengan hal ini menarik untuk melihat beberapa factor yang
mengitari perjalanan pemilu ini, khususnya bagi partai Islam PPP yang mengalami
penurunan secara drastis. Faktor yang dianggap mempengaruhi kemunduran PPP dalam
pemilu 1987 adalah adanya sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru yang secara
sistematis ingin mengkebiri partai politik. Kebijakan tersebut pertama adalah penerapan
azas tunggal sebagaimana diatur dalam UU N0. 3 tahun 1985. UU tersebut melarang
Praktis larangan ini sangat memukul PPP, karena harus mengganti azas Islam yang
selama ini menjadi perekat bagi penggalangan suara dukungan untuk PPP. Padahal pada
9
massa. Tidak hanya sebatas itu, pemerintah Orde Baru juga melarang penggunaan symbol
ka.bah sebagai gambar partai. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah factor keputusan
Keputusan yang monumental dan sangat mendasar ini menunjukkan bahwa NU tidak lagi
secara structural terikat dengan partai apapun, khususnya partai Islam PPP. Sebaliknya
ini selama ini terbengkalai akibta NU banyak mencurahkan perhatiannya pada aspek
politik praktis.
Tampaknya NU yang pada waktu itu dipimpin oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur)
tidak adil di dalam PPP, terutama pada masa kepemimpin HJ. Naro. Tokoh-tokoh NU
Daftar Sementara (DCS) pada no “buntut” atau no tidak jadi. Oleh sebab itu, para tokoh
kembali ke khittah 1926. Paling tidak ada tiga tafsir tentang hal ini, pertama, khittah
dipahami sebagai posisi netral dalam berpolitik, keluar dari PPP dan masuk ke partai lain
seperti Golkar atau PDI, dan keluar dari PPP dan masuk Golkar.3
Tampaknya tafsir ketiga ini yang lebih dominan disosialisasikan oleh para kiai,
yang intinya penegasan sikap NU untuk keluar dari PPP. Ketegasan ini misalnya
tercermin dalam salah satu ungkapan tokoh NU K.H. A. Hamid Baidlowi, pengurus
Syuriah NU Jawa Tengah, “PPP bukan lagi partai Islam, pimpinannya ruwet, coblos saja
PDI atau Golkar”. NU tampaknya ingin meyakinkan public, terutama pemerintah Orde
3
Jungjungan Simorangkir, “Islam Pasca Orde Baru,” Istinbath 15, no. 1 (2015): 199–216.
10
Baru bahwa kembali ke khittah 1926 sebagai tekad yang sangat serius. NU juga ingin
ternyata tidak menguntungkan, sebagaimana yang selama ini ditunjukkan. Selain dari
kelompk pekerja seperti Kosgoro, SOKSI, SPSI, HKTI, KNPI dan kelompok masyarakat
lainnya. Berdasarkan latar belakang demikianlah, sehingga PPP sebagai partai mengalami
kemunduran yang cukup tajam. Pemilu tahun 1992 dilaksanakan pada tanggal 9 Juni
Pada Pemilu kali ini Golkar tetap memenangkan Pemilu, dan sebaliknya partai
Islam PPP tetap terpuruk di urutan terbawah dalam hal perolehan suara. Memang terdapat
sedikit dinamika hasil pemilu kali, ini yakni golkar mengalami penurunan suara di
meskipun secara nasional kenaikannya cukup tipis. PPP berhasil menmabah satu kursi,
dari pemilu sebelumnya 61 menjadi 62 kursi. Hal yang menjadi catatan adalah suara
partai Islam ini mengalami penurunan di luar Jawa. Bahkan partai tidak memiliki wakil di
9 propinsi. Meskipun PPP berhasil menaikkan 7 kursi di Jawa, akan tetapi karena
kehilangan 6 kursi di luar Jawa, maka praktis PPP hanya berhasil menaikkan 1 kursi saja
11
Berbeda dengan PDI yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Bahkan di
beberapa daerah kenaikannya lebih dari 100%.. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil
56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32
kursinya di DPR RI. Sedangkan mengenai pengitungan suaranya, pemilku 1992 masih
menggunakan cara yang sama sebagaimana yang digunakan pada pemulu sebelumnya.
Pemilu tahun 1992 sedikit berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kali ini Golkar
memberikan kran keterbukaan bagi PNS untuk lebih netral dan profesiol dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Hal ini tampak jelas dari statemen Menteri dalam Negeri
Bahkan lebih besar peningkatannya bila dibandingkan dengan yang diperoleh PPP,
yakni 6%. Hasil lengkap pelaksanaan Pemilu tahun 1997 dapat dilihat secara lengkap
Dengan demikian, cukup jelas dikatakan bahwa selama pemerintahan Orde Baru
Partai Islam PPP tidak pernah memenangi Pemilu. Perolehan suara PPP tidak pernah
melebihi 30%. Prestasi tertinggi partai Islam ini terjadi pada Pemilu 1982, yakni 29,29%.
Sedangkan prestasi terrendah terjadi pada Pemilu 1982, yakni 15, 25%. Kebijakan
depolitisasi partai, khususnya partai Islam memang menjadi penyebab utama penurunan
12
penyelenggara Pemilu memperburuk kondisi partai Islam sehingga tidak pernah
Liberal tahun 1950-an dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang minus demokrasi itu.
Namun, karena disintegrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang 20
tahun pertama pasca kemerdekaan merupakan trauma politik yang terus menerus
menghantui rezim Orde Baru, maka rezim Orde Baru sangat menaruh perhatian
terhadapnya. Sedemikian besarnya perhatian ini sehingga Orde Baru tampak sangat
represif atau quasi-represif dalam menangani isu-isu di sekitar integrasi nasional dan
stabilitas politik. Sehingga pemerintah Orde Baru dalam mengelola konflik politiknya
oleh stabilitas politik dan keamanan nasional, maka pembangunan demokrasi mengalami
kelambanan. Dalam kaitan ini, ide politik Islam selama periode Orde Baru harus
disampaikan dengan sangat hati-hati. Trauma politik masa lampau dengan pihak ABRI
berangsur-angsur hilang, tetapi ide tentang Negara Islam sudah gugur dengan sendirinya
Ketika sejumlah tokoh Islam (terutama tokoh Masyumi) dibebaskan dari penjara
Soekarno pada tahun l966, muncul suatu kerinduan dan optimisme terhadap partai politik
Islam yang besar dan kuat itu. Mantan ketua Masyumi ketika dibubarkan pada tahun l960,
Partai politik. Akan tetapi, usaha tersebut mendapat tantangan yang sangat keras dari
4
Katimin, Politik Islam Study Tentang Azas Pemikiran Dan Praktik Dalam Sejarah Politik Umat Islam
(Medan: Perdana Publishing, 2017),246.
13
pelbagai pihak, terutama dari Angkatan Darat, kalangan Kristen/Katolik, dan para tokoh
Partai Nasional Indonesia. Bahkan ketika tuntutan umat Islam semakin menguat,
pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperkecil ruang gerak politik mereka.
Militer kemudian semakin tegas mengklaim kedudukannya sebagai pembela utama UUD
Pada masa transisi menuju Orde Baru, hubungan yang mulai membaik antara
Angkatan Darat dengan umat Islam sedikit demi sedikit semakin melemah, bahkan dalam
perjalanan berikutnya timbul saling mencurigai dan tidak jarang timbulnya konflik.
untuk mencari jalan lain untuk menghidupkan partai Islam. Pada tanggal 7 April 1967
memimpin Parmusi).
Islam. Buktinya pemerintah selalu mencampuri Parmusi dalam hal kepemimpinan. Ketika
Muktamar pada tanggal 4 – 7 November 1968 di Malang Jawa Timur, peserta Muktamar
sepakat memilih Mr. Muhammad Rum sebagai Ketua Umum Partai yang baru itu.
Menurut Muktamirin, walaupun Roem salah seorang anggota bekas pimpinan Partai
Masyumi, ia bersih dari “dosa” politik Masyumi (yaitu simpati kepada pemberontakan
PRRI), bahkan tidak jarang Muhammad Roem bersebrangan dengan tokoh karismatik
Masyumi M. Natsir. Dengan latar belakang demikian, Parmusi optimis bahwa pemerintah
14
tidak akan keberatan dengan naiknya Roem sebagai Ketua Umum Parmusi. Akan tetapi
pemerintah dan Angkatan Darat berkebaratan terhadap Mr. Muhammad Rum karena
beliau merupakan tokoh Masyumi yang masih sangat berpengaruh. Hal ini diperlihatkan
pemerintah tidak dapat menerima Muhammad Rum. Sebagai jalan keluar yang terbaik
pada waktu itu kongres memilih duet antara Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua dan
Lukman Harun sebagai Sekretaris Jendral Partai Muslimin Indonesia. Keduanya berasal
Dalam waktu yang tidak lama, kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman
Harun tidak dapat bertahan dengan baik. Pihak pemerintah tampaknya kesulitan untuk
menerima kedua tokoh tersebut karena dianggap keras sekali, dan dipandang tidak
akomodatif. Atas rekayasa dari pihak opsus yang dipimpin oleh Ali Murtopo,
kepemimpinan Partai Muslimin Indonesia diambil alih oleh Jaelani Naro11 dan Imran
Kadir yang menimbulkan konflik internal dalam tubuh partai. Akibatnya, pemerintah
menunjuk MHS. Mintareja salah seorang anggota kabinet Soeharto sebagai Ketua Partai
Muslimin menggantikan Djarnawi Hadikusumo (20 November 1970). Sejak saat itu
ketegangan antara pemerintah dan Islam mulai muncul di permukaan karena para aktivis
Cendekiawan Muslim yang muncul pada 1970-an telah menerima dengan mantap
ide Negara Nasional berdasarkan Pancasila, baik secara teoritis maupun praktek.
kalangan umat Islam. Sekalipun gagasan itu tidak secara langsung ditawarkan dalam
kaitannya dengan pelaksanaan pemilu, namun karena waktu itu dekat dengan pelaksanaan
15
Pemilu, manjadikan lontaran Nurcholish Majid sangat penting dari dilihat sudut politik.
Dalam ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 21 Oktober l972,
terpusat pada dua gagasan utama, yaitu: (1) Gagasan sekulerisasi; dan (2) Penolakan
terhadap dijadikannya Islam sebagai ideologi politik dengan pernyataannya yang terkenal
Ketika menghadapi pemilihan umum tahun 1971, konflik antara kebijakan partai
yang membawakan aspirasi Islam dengan pihak pemerintah berkelanjutan. Konflik ini
disebabkan oleh: Pertama, berkaitan dengan kebijakan Menteri Dalam Negeri No.12
yang dipandang sebagai suatu usaha untuk melakukan pengebirian terhadap partai-partai
politik di Indonesia. Kedua, Lembaga Pemilihan Umum yang diketuai oleh Mendagri
memangkas dalam jumlah yang sangat besar calon-calon yang diajukan oleh Partai
Muslimin Indonesia yang sangat berpengaruh. Sebab kalau mereka dibiarkan aktif dalam
proses penyelenggaraan Pemilu tentu saja akan sangat melemahkan partai pemerintah,
“Golkar”.
Situasi yang terkait dengan karakteristik pemerintahan Orde baru yang dipandang
authoritarian dalam membentuk format politik baru terutama dalam masa-masa transisi
dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah mengambil langkah depolitisasi yang
dilakukan secara sistematik lewat sejumlah kebijakan termasuk didalamnya adalah: (1)
monoloyalitas; (2) kebijakan massa mengambang (floating mass); (3) emaskulasi dari
parta-partai politik (kasus pengangkatan Mintareja dan Naro bagi Ketua PARMUSI); dan
(4) pemilihan umum yang sama sekali tidak kompetitif. Kebijakan tersebut menjadikan
Islam sebagai target sasaran yang besar sekali, dan memancing reaksi umat Islam.5
5
M Rahmat Effendi, “Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Antara Simbolistik Dan Substantivistik
Kajian Pra Masa Dan Pasca Orde Baru,” Al-Aḥwāl 21, no. 1 (2023): 89–105.
16
Pemikiran di atas, memberikan corak Islam di Indonesia beberapa dekade terakhir,
sejak Orde Baru hingga sekarang, tampak berubah-ubah. Jika indikasi politik yang
digunakan, maka proses pergeseran (politis) dalam hubungan antara Islam dan negara
dapat diamati dengan jelas. Periode ini dimulai dengan hubungan yang baik antara umat
Islam dan ABRI (TNI dan Polri) sebagai penopang utama kekuatan Orde Baru hingga
kemudian posisi politik umat dipinggirkan. “Mereka telah memperlakukan kita (umat
Islam) seperti kucing kurap,” begitu komentar M. Natsir mengenai cara pemerintah Orde
mengikuti alur politik yang diterapkan Orde Baru membatasi jumlah dan peranan partai
politik dan mengubah ideologi politik dan reaksi intelektual yang memadai dari kaum
muslim sendiri telah mengubah hubungan umat Islam dengan negara. Hubungan yang
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Era Orde Baru dimulai sejak Soeharto menjadi Presiden republic Indonesia. Tepatnya
sejak keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966). Kemudian secara
resmi diikuti dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal
Soeharto selaku pengemban Supersemar tanggal 23 Pebruari 1967. Bagi partai Islam
era baru ini dianggap sebagai masa penuh harapan. Karena di era Soekarno, mereka
2. Secara dialektis, Demokrasi Pancasila adalah sebuah sintesis dari Demokrasi Liberal
tahun 1950-an dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang minus demokrasi itu.
Namun, karena disintegrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang 20
tahun pertama pasca kemerdekaan merupakan trauma politik yang terus menerus
menghantui rezim Orde Baru, maka rezim Orde Baru sangat menaruh perhatian
terhadapnya.
B. Saran
Cukup sekian makalah yang dapat disusun, pastilah masih terdapat banyak
kekeliruan di dalamnya. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik pembaca agar kami
18
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, M Rahmat. 2023. “Pemikiran Politik Islam Di Indonesia Antara Simbolistik Dan
Substantivistik Kajian Pra Masa Dan Pasca Orde Baru.” Al-Aḥwāl 21,
Faradina, Qisthi, Ilma Mahanani, and Mega Alif Marintan. 2022. “Islam Dan Politik Di
Katimin. 2017. Politik Islam Study Tentang Azas Pemikiran Dan Praktik Dalam Sejarah
Syamsuddin, Muh., and Muh. Fatkhan. 2020. “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru.”
JURNAL Dakwah 9.
19