Anda di halaman 1dari 9

Wacana Sekularisme “Islam, Yes.

Partai
Islam, No!”
Muhammad Hakim Muhyiddin
11210331000008

Pendahuluan
Tulisan kali ini akan memaparkan dan menjelaskan 1 terkait narasi apa saja yang terkandung dalam
diktum “Islam, yes. Partai Islam, no!” Penulis mendapati bahwa, sekurang-kurangnya, terdapat
dua wacana besar yang termuat di dalamnya, yakni sekularisme dan desakralisasi simbolisme
Islam yang terdapat pada partai-partai Islam. Sebagai catatan diktum ini dikeluarkan oleh
Nurcholish Madjid. Kendati maksud awal Cak Nur, atau sapaan akrab Nurcholish Madjid, untuk
mengkritik kinerja partai-partai Islam saat itu yang belum bisa menampung aspirasi masyarakat
Muslim Indonesia.2 Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa efeknya meluas hingga memengaruhi
cara pandang masyarakat terkait kehadiran simbol-simbol keagamaan di Indonesia.
Karenanya, penulis mengangkat beberapa masalah terkait diktum Cak Nur tersebut
dengan menitikberatkan pada sekularisme yang hadir akibat pernyataan tersebut, di antaranya: 1)
Sejarah “Islam, yes. Partai Islam, no!” dengan memperhatikan linearitas yang sesuai dengan
linimasa dinamika politik Indonesia. Dengan hadirnya sub bab pertama, maka akan didapatkan
keterangan mengapa Cak Nur menyatakan demikian. 2) Sekularisme beserta kaitannya dengan
pernyataan Cak Nur—sebagai dampak dari sub bab pertama. Dan 3) sikap yang seharusnya
diambil oleh umat Islam terkait problematika yang disajikan dalam tulisan ini. Kendati
menyertakan narasi sekularisme, penulis mengambil perspektif Barat sebagai rahim daripada
konsep dan gagasan di samping. Sehingga, yang menjadi salah satu perbedaan antara tulisan di
bawah dengan yang ada, terletak pada rujukan konsepnya. Karenanya, secara eksplisit tulisan ini
tidak berkonsentrasi pada pemikiran Cak Nur, melainkan ide dan/atau konsep yang terkandung
dalam pernyataannya (baca: sekularisme). Diharapkan tulisan ini mampu memberikan kontribusi
intelektual nun informatif kepada para pembaca.

Sejarah “Islam, Yes. Partai Islam, No!”


Pidato Cak Nur pada tahun 1970 dengan tajuk “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan
masalah integrasi umat” cukup menggemparkan dunia perpolitikan Indonesia saat itu. Pasalnya
Cak Nur dengan terangnya mengucapkan diktum“Islam, yes. Partai Islam, no!”ketika pemilu

1
‘Memaparkan’ berarti menyajikan data awal terkait apa yang kita pahami; sedangkan, ‘menjelaskan’ dipahami sebagai
memberikan keterangan lebih lanjut terkait apa-apa yang telah kita paparkan sebelumnya. Aktivitas ‘menjelaskan’ juga
muncul ketika apa yang telah kita dipaparkan, ternyata dipertanyakan keabsahannya. Bdk. J Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2004). hal. 77.
2
Nurcholishmadjidsociety, “Haul Cak Nur Ke-13. ‘POLITISASI AGAMA: Membaca Kembali “Islam, Yes; Partai
Islam, No!”’ – Nurcholish Madjid,” Nurcholishmadjid.net, Agustus 14, 2018, http://nurcholishmadjid.net/haul-cak-nur-
ke-13-politisasi-agama-membaca-kembali-islam-yes-partai-islam-no/.
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

akan diselenggarakan pada tahun berikutnya. Pidato itu disampaikan olehnya ketika sedang
menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) bersama
dengan Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam
Indonesia. Tentunya, Cak Nur berkata demikian bukan tanpa alasan, mengingat kondisi sosio-
historisnya hari itu berkaitan erat dengan tegangan yang terjadi antara Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) hingga Orde Baru. 3
Tepat pada 17 Agustus 1960, menjadi masa yang berat bagi Masyumi lantaran
pembubarannya yang dilakukan secara langsung oleh Sukarno dengan pertimbangan Mahkamah
Agung. Masyumi, begitu pula Partai Sosialis Indonesia (PSI), disebut-sebut sebagai pelaku yang
terlibat dalam pemberontakan melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 4
Kejadian yang menimpa Masyumi ini dinilai publik dan terutama pengamat demokrasi, seperti
Usman Hamid, sebagai penyempitan demokrasi. Selain itu, publik melihat fenomena ini sebagai
usaha pemerintah dalam membungkam suara Islam—yang diwakili oleh Masyumi—oleh
pemerintahan Sukarno. Perjuangan Masyumi tak sampai di sini, ia [kembali] mengajukan
rehabilitasi di masa Orba, dan, hasilnya nihil! Oleh karena itu, Orba menjadi ‘hantu’ bagi umat
Islam untuk berkontestasi di dunia perpolitikan Indonesia.
Prasangka dan ketakutan umat Islam saat itu (baca: Orba) ternyata tak berdasar. Sebab,
zaman Demokrasi Terpimpin dan Orba, sesungguhnya sama sekali tidak melarang berdirinya
partai Islam. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran dua partai Islam, yakni Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU), pada Demokrasi Terpimpin; dan tiga partai
Islam pada Orba, yakni Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Tarbiyatul
Islam (Perti)—yang nantinya berkoalisi menjadi satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) pada tahun 1973.5 Terlepas dari kondisi demokrasi Orba yang memanas, Cak Nur melihat
beberapa kejanggalan yang muncul dari berdirinya partai-partai Islam di samping. Yang menjadi
sasaran kritik Cak Nur, ialah bagaimana beragam partai Islam yang ada saat itu justru
menggunakan kekuatan politiknya untuk melanggengkan kekuasaannya sendiri dan turut serta
‘menjaga stabilitas politik’6. Melihat pandangan dan pendapat Cak Nur berkenaan dengan kondisi
politik Indonesia saat itu, apakah Cak Nur menolak keberadaan atau ‘membuang muka’ terhadap
partai Islam?
Cak Nur sesungguhnya masih menaruh harapan kepada partai Islam agar cita-cita
demokratis masyarakat turut diperjuangkan, khususnya yang Muslim. Hal ini terlihat ketika ia
memberikan dukungan politiknya kepada PPP pada pemilu 1971. Kejadian (dukungan) ini dikenal
dengan istilah ‘memompa ban kempes’ yang bermaksud untuk melawan suara dominan partai
Golkar. Selanjutnya, ‘simpati’ Cak Nur kepada PPP juga bertujuan menghindari ketimpangan
suara agar pemerataan atau distribusi ‘kursi politik’ merata kepada semua partai, terutama partai
Islam yang mulai kehilangan pamornya.7

3
M. Dawam Rahardjo, “Islam Yes, Partai Islam No?,” Tempo, April 24, 2014,
https://kolom.tempo.co/read/1005187/islam-yes-partai-islam-no.
4
Andri Setiawan, “Demokrasi Dan Politik Pembubaran Organisasi,” Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di
Indonesia, Januari 6, 2021, https://historia.id/politik/articles/demokrasi-dan-politik-pembubaran-organisasi-PMKVE/.
5
M. Dawam Rahardjo, “Islam Yes, Partai Islam No?”.
6
Maksudnya, ialah keberadaan pelbagai partai-partai Islam itu digunakan untuk mendukung pemerintahan menjabat,
dengan dalih menjaga stabilitas atau keamanan politik Indonesia.
7
Nurcholishmadjidsociety, “Haul Cak Nur Ke-13. ‘POLITISASI AGAMA: Membaca Kembali “Islam, Yes; Partai
Islam, No!”’.

2
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

Selanjutnya, tahun 2004, menjadi masa yang cukup menggelitik. Hal ini dikarenakan
kejutan yang diberikan oleh Cak Nur: ia mengajukan diri untuk menjadi calon presiden dengan
afiliasi kepada Golkar dan [meminta] dukungan dari Partai Keadilan (PK)—sekarang Partai
Keadilan Sejahtera (PKS)—pada pemilu 2004. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Dewan Syuro PKS,
jelas keheranan melihat tindakan Cak Nur yang ironis ini. Selaras dengan permintaan dukungan
Cak Nur ke PK, Wahid mempertanyakan konsistensi dan maksud deklarasi ‘Islam, yes. Partai
Islam, no!’ 34 tahun silam. Dalam wawancaranya dengan Detikcom, pada Sabtu, 17 Maret 2018,
Wahid bertanya “bagaimana Anda (Cak Nur) meminta dukungan dari kami yang partai Islam,
sementara Anda pernah mengatakan, Islam, yes. Partai Islam, no?” Cak Nur menjawab, bahwa
ucapannya pada tahun 1970 itu berkenaan dengan kondisi partai Islam yang belum bisa
menampung suara umat Islam, memperjuangkan keadilan, serta melakukan malpraktek dengan
ikut serta melanggengkan kekuasaan menjabat yang membuat kualitas demokrasi di Indonesia
menurun.8 Selain itu, diakuinya eksistensi partai-partai Islam masa Orba hanya untuk meraup
simpati atau suara umat Islam Indonesia, alih-alih ‘mendengarkan’ mereka (baca: umat Islam
Indonesia). Akan tetapi, sekarang (2004) kualitas partai-partai Islam yang ada dinilai Cak Nur
telah memenuhi kriterianya sebagai pembendung aspirasi umat Islam tanpa mencederai nilai-nilai
keadilan dan demokratis.9
Demikianlah, sejarah terkait wacana ‘Islam, yes. Partai Islam, no!’ itu lahir. Dapat dipahami
bahwa Cak Nur tidak serta merta menyatakannya begitu saja. Jika dirangkum, terdapat dua tujuan
mengapa Cak Nur mengungkapkan diktum tersebut. Pertama, kondisi partai Islam yang corrupt
dan haus akan kekuasaan, sehingga esensinya sebagai partai politik yang seharusnya mewujudkan
masyarakat adil-makmur melalui usaha politiknya, justru jatuh sebagai pelayan pemerintahan
yang ‘zalim’. Dan, kedua, frasa ‘partai Islam’, ditinjau dari analisa Cak Nur, tidak melulu menjadi
representasi dari suara umat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran partai Islam
sejatinya, sebagai simbol10 politik saja, alih-alih representasi demokratis umat Islam. Jadi, apabila
dimengerti dengan sinis, partai Islam merepresentasikan kepentingan segelintir politikus Muslim.
Sehingga kehadiran partai Islam tak ubahnya dengan partai nasionalis lainnya.

Wacana Sekularisme
Sub bab kedua akan membahas konsep sekularisme secara khusus dan kaitannya dengan
pernyataan Cak Nur. Memahami dan memberikan pengertian yang komprehensif tentang
sekularisme, tentunya, bukanlah pekerjaan mudah. Mengingat pertama-tama kita perlu terlebih
dahulu untuk mendefinisikan agama, kemudian ruang publik dan/atau negara—sebagai institusi 11
oposisi dari agama. Lalu, sampai batas mana sekularisasi itu berlaku, apakah sekadar diskursus
mengenai diferensiasi agama dan negara pada level teoritis-filosofis, sosial-antropologis, dan lain

8
Erwin Dariyanto, “Cak Nur Dan Kisah Islam Yes Partai Islam No,” detiknews, Maret 18, 2018,
https://news.detik.com/berita/d-3922291/cak-nur-dan-kisah-islam-yes-partai-islam-no.
9
Seperti upaya pembentukan negara Islam oleh Masyumi yang termaktub dalam Anggaran Dasar Partai Masyumi; serta
perjuangan partai-partai Islam pada Sidang Konstituante yang berlangsung dari 1958 hingga tahun berikutnya, untuk
merubah Indonesia menjadi negara Islam. M. Dawam Rahardjo, “Islam Yes, Partai Islam No?”.
10
Simbol yang dimaksud, adalah a person, an object, an event, etc. that represents a more general quality or situation
(Oxford Learner’s Dictionaries). Maka, frasa ‘simbol politik’ yang dimaksud, yaitu partai Islam tidak lebih dari
representasi dari upaya meraih kekuasaan yang tidak mewakili motif religius, dalam hal ini agama Islam.
11
Suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu, biasanya pada bidang pendidikan atau profesi lainnya. Bdk. Oxford
Learner’s Dictionaries

3
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

sebagainya. Sehingga, pada muka sub bab kedua, patut diterangkan pengertian mutakhir, jika
dimungkinkan definitif, terkait sekularisme; beserta kesalahpahaman khalayak tentangnya. Sebab
sekularisme seringkali dituding ingin menyingkirkan, kalau tidak menolak (declining religion),
keberadaan agama dalam ruang publik. Sehingga perlu untuk menunjukkan di mana saja letak
deviasi (penyimpangan) terkait sekularisme.
Sudah biasa kita mendengar kata ‘sekularisasi’, ‘sekularisme’, atau bahkan ‘dasar sekular.’
Namun, sebenarnya apa maksud daripada bermacam term di atas? Sebagai langkah awal,
sesungguhnya ‘sekularisme’, ‘sekularisasi’, dan ‘yang-sekular’ itu berbeda satu sama lain
meskipun kehadirannya memiliki konvergensi. Banalnya, kita mengenal mereka seakan-akan
memiliki pengertian yang sama. Padahal, jika ditilik melalui kacamata analitis (analytic)12 ternyata
ketiga konsep di atas mengandung denotasi yang sama sekali lain. Berikut pemaparannya: konsep
‘yang-sekular’ merupakan kategori sentral dalam epistemologi modern, spesifik pada kasus
sekularisme; ‘sekularisasi’ merujuk pada proses transformasi dan diferensiasi [institusi] agama
dengan yang-sekular (sains, seni, negara, dan lain-lain) secara historis-empiris; dan, ‘sekularisme’
sederhananya dapat dipahami sebagai pandangan dunia (worldview) yang sekular.13 Dari
pemaparan ketiga konsep di atas, kiranya, bisa diamati bahwa diferensiasi menjadi kunci penting
untuk memahami sekularisasi dengan baik. Sebab, sekularisasi mampu menyeruak ke permukaan
berkat adanya diferensiasi ini. Akan tetapi, diferensiasi seperti apakah yang dimaksud? Dan sejauh
mana agama dan institusi yang sekular itu turut terbedakan?
Parsons menjawab pertanyaan ‘apa itu diferensiasi’ dengan ‘a paradigm of evolutionary
change’.14 Jika kita mengamini istilah yang diberikan oleh Parsons, maka, dengan tinjauan spirit
positivisme Lockean, adalah sebuah keniscayaan (necessary) bagi agama untuk terpinggirkan di
kemudian hari. Sebab, agama yang awalnya menjadi pijakan awal bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, kemudian perlahan ditinggalkan sebab tak mampu memberikan jawaban atau
alternatif rasional atas problematika yang dihadapi oleh manusia. Karenanya, tampillah sains
sebagai jawaban pamungkas umat manusia yang dinilai mampu memberikan kepuasan
dibandingkan agama. Sehingga, tidak heran bilamana agama, selaras dengan diferensiasi ala
Parsons, menjadi sistem institusional yang irasional dan usang. Diferensiasi sebagai perubahan
paradigma ini kenyataannya menyimpan masalah. Telah disebutkan bahwa puncak daripada
diferensiasi, setidaknya untuk saat ini ialah sains, bagaimana Parsons akan merespons kemajuan
yang justru lahir dari agama yang ‘diejek’ oleh positivisme itu? Sebagai contoh berdikarinya Iran
sebab spirit religiusnya, kemudian perkembangan teologi yang mampu bertahan sebagai
diskursus hingga hari ini. Bahkan agama menyerap ke berbagai sendi kehidupan umat manusia
pada Dunia Timur, misalnya Korea Selatan memiliki penduduk yang relatif banyak memegang
teguh kepercayaan religiusnya. Anehnya, Korea Selatan berdasarkan pertimbangan Parsons, maka
Korea Selatan masuk ke dalam kategori negara sekular. Lalu, apakah kita akan menyingkirkan
Korea Selatan dari kategori negara sekular karena adanya agama yang masih dianut dan
kontributif terhadap warga setempat? Jadi, konsep diferensiasi Parsons akhirnya tidak dapat
bertahan di sini, mengingat adanya variabel yang tidak masuk ke dalam kategori diferensiasinya,
namun menyatakan diri sebagai yang sekular. Oleh karena itu, kita perlu teori baru yang pas
12
Menggunakan logika sebagai metode untuk mengerti suatu istilah atau semacamnya, terlebih untuk menelisik secara
detil konsep-konsep yang menjadi bagian daripada keseluruhan himpunan. Bdk. Oxford Learner’s Dictionaries.
13
Bdk. José Casanova, “The Secular and Secularism,” Social Research 76, no. 4 (2009): 1049–51.
14
Talcott Parsons, Societies: Evolutionary and Comparative Perspective (Prentice-Hall, 1966). hal. 21.

4
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

dengan tema sekularisasi, di mana konseptualisasi diferensiasinya mampu ‘menaungi’ beragam


variabel, dan tentunya apropriatif15.
A New Differentiation Theory (NDT) menjadi solusi pun revisi daripada Differentiation
Theory-nya Parsons. Adalah Mark Chaves yang memperkenalkan gagasannya, yakni NDT untuk
mengevaluasi pandangan Parsons dan juga memberikan sumbangsih konseptual agar dapat
memposisikan proses sekularisasi dengan baik tanpa mendiskreditkan agama [atau institusi
lainnya] sebagai pihak inferior dibanding negara, sains, dan semacamnya. Selaras dengan
penjabaran di samping, ia menuturkan kalau “New differentiation theory is an attempt to reevaluate
and rethink processes of institutional differentiation that were central to Parsons’s vision of the social
system”.16 NDT, seperti yang telah disinggung, berusaha mereinterpretasi ‘institusi’ sebagai media
ekspresi masyarakat (society). Jika dalam teori Parsons, diferensiasi dipahami sebagai pergantian
antar institusi, di mana institusi yang daya fungsionalnya hilang, akan digantikan oleh institusi
baru yang lebih relevan lalu menyingkirkannya. Alih-alih berpusat pada peran fungsionalnya,
DCT berfokus terhadap interelasi (interrelation) antar institusi yang lahir dari kohesi sosial. Karena
alasan inilah, akhirnya masyarakat dipahami sebagai ‘sistem interinstitusional’ daripada sekadar
komunitas moral (moral community).17 Dalam ‘masyarakat interinstitusional’ tersebut, agama
mendapatkan statusnya sebagai institusi sosial layaknya institusi lainnya. Berkat hal ini pula
agama, di satu sisi, dapat berdiri dan tetap eksis dengan institusi lainnya sebab relasi
resiprokalnya; namun, di sisi lain, agama kehilangan sisi sakralitasnya: agama bukanlah sistem
teokrasi yang kudus! Jadi NDT memberikan efek samping yang cukup signifikan kepada agama.
Sehingga apologi apapun tidak akan membela agama sebagai institusi suci, sebab keberadaannya
hanyalah ‘penopang’ bagi institusi lainnya. Kendati demikian, NDT juga merobohkan cara
berpikir klasik yang mengatribusikan kategori a priori semacam ‘primer’ atau ‘sekunder’ kepada
institusi yang kenyataannya (baca: keabsahan kualitas) tidak dapat dijustifikasi. 18 Maka, tidak sah
[pula] untuk mengatakan bahwa [institusi] sains lebih primer atau unggul dibandingkan agama
sebab fungsi dan karakteristiknya yang kental akan rasionalitas; dan vis-à-vis bagi agama yang
mengunggulkan diri dengan kitab suci atau ajaran lainnya yang [dipercayai] suci itu. Artinya,
institusi yang berkonflik dan berkelindan satu sama lain, tidak lain merupakan, apa yang penulis
sebut dengan, ‘jalinan relativitas’.
Pembahasan mengenai NDT dan jalinan relativitas dapat dilihat sebagai gejala
‘sekularisme sebagai ideologi’. Maksudnya, sekularisme yang dikaji memiliki konsentrasi pada
narasi sosio-kultural dan bagaimana masyarakat (society) memahami agama dalam konteks
institusional. Kontras dengan ‘sekularisme sebagai ideologi’, sekularisme juga dapat berjalan
dengan cara lain, yakni ‘sekularisme sebagai prinsip tata negara’.19 Dalam hal ini, eksistensi agama
dalam ketatanegaraan dipertimbangkan oleh negara. Oleh sebab itu, pemerintahan akan
menindaklanjuti dan mengasih batas tegas sampai mana agama dapat berpartisipasi di ruang
publik. Apakah keberadaan agama perlu dibatasi, atau bahkan dihapus sama sekali; atau malah
diberikan ruang gerak tersendiri sebagai bentuk ‘kemurahan hati’ demokrasi pemerintah
15
Sesuai dengan, dapat diterima atau benar (correct) pada lingkungan tertentu. Bdk. Oxford Learner’s Dictionaries.
16
Mark Chavez, “Secularization as Declining Religious Authority,” Social Forces 72, no. 3 (Maret 1994): 751.
17
Roger Friedland and Robert R. Alford, “Bringing Society Back In: Symbols, Practices, and Institutional
Contradictions.,” The New Institutionalism in Organizational Analysis, no. 10 (1991): 232.
18
Mark Chavez, “Secularization as Declining Religious Authority,” hal. 751.
19
Klasifikasi sekularisme sebagai ideologi dan prinsip tata negara mengikuti José Casanova, “The Secular and
Secularism,” Social Research 76, no. 4 (2009).

5
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

setempat. Persoalan demikianlah yang akan dihadapi ketika sekularisme diberlakukan sebagai
prinsip tata negara—yang nantinya mengerucut ke dalam sekularisme politis. Hingga paragraf ini
ditulis, belum ditemukan kalau sekularisme adalah pandangan dunia yang ingin meniadakan
agama. Yang perlu dipertegas di sini, ialah sekularisme dan sekularisasi yang terjadi cenderung
tampil seperti usaha ‘resituating or repositioning religion’ (kembali mengkondisikan agama).
Misalnya, masyarakat Eropa menilai agama sebagai sistem kepercayaan yang irasional dan
intoleran.20 Sehingga, bagi mereka, untuk mengekspresikan pengalaman religiusnya, sebaiknya
aktivitas demikian di lakukan di ruang privat. Dalam kasus dunia kontinental ini, agama menjadi
institusi sampingan yang kehadirannya terbatas pada ranah privat. Jadi, perangai di samping
adalah contoh bagus bagaimana negara mengkondisikan agama (resituating religion) sedemikian
rupa agar ‘wajahnya’ tak muncul di ruang publik.
Pemaparan sebelumnya mengindikasikan bahwa pergumulan yang terjadi dalam
sekularisme terletak pada perlawanannya terhadap agama sebagai otoritas keagamaan, bukan
agama dalam arti institusi religius. Otoritas religius sendiri, adalah struktur sosial yang memiliki
kekuatan dan menggunakannya untuk memaksakan perintah serta meraih tujuannya dengan
mengontrol akses tiap individu menuju kebaikan yang diinginkan, di mana legitimasi atas kontrol
tersebut mengandung komponen supranatural.21 Yang menjadi kata kunci dalam otoritas religius
terletak pada legitimasi supranaturalnya. Jadi, ketika disebutkan bahwa sekularisme berarti
menegasikan otoritas religius, berarti meniadakan otoritas yang mendasarkan diri pada legitimasi
supranatural. Karenanya, sasaran utama sekularisasi bukanlah ajaran agama, melainkan kontrol
dan legitimasinyalah yang menjadi target. Jika demikian adanya, lalu apa dampak dari
sekularisme [yang menolak otoritas religius]? Setidaknya, terdapat tiga dimensi yang merasakan
akibat dari sekularisasi di atas. Pertama, laicization22, yakni proses diferensiasi dari institusi sekular,
seperti politik, pendidikan, sains, dan lain-lain, mulai independen dan memperoleh otonominya
sendiri—melepaskan diri—dari agama. Dimensi pertama praktis terjadi pada ranah institusional.
Kedua, internal secularization, dalam arti agama mulai menyadari status mereka yang
terdiferensiasi, sehingga pihak internal agama melakukan konformitas sama seperti institusi
lainnya. Dan, ketiga, religious disinvolvement, yang terjadi pada ranah individual. Maksudnya,
individu yang tersekularisasi mulai menolak dan meninggalkan praktik keagamaan maupun
keimanan mereka.23
Di sini penulis akan kembali kepada narasi ‘Islam, yes. Partai Islam, no!’-nya Cak Nur.
Untuk menganalisa pada titik mana sebenarnya diktum tersebut kena. Menggunakan konsepsi
yang telah dijabarkan sebelumnya, maka upaya sekularisme yang dilakukan Cak Nur terbatas
pada, apa yang diistilahkan oleh José Casanova sebagai, sekularisme politis. Di mana agama secara
esensial tidak dilihat sebagai entitas yang buruk atau irasional, yang karenanya harus disingkirkan.
Melainkan sebagai institusi religius yang memberikan kontribusi moral yang baik bagi

20
Lih. José Casanova, “The Secular and Secularism,” hal. 1059-61.
21
Mark Chavez, “Secularization as Declining Religious Authority,” hal. 755-6.
22
Menaruh suatu paham di bawah arus utama, atau membiarkan paham tersebut terbuka sehingga dapat diterima secara
umum. Bdk. Meriam-Webster Dictionaries.
23
Taksonomi ini mengikuti konsepsi Dobbelaere tentang multidimensionalitas sekularisasi yang terdapat dalam tiga
karyanya (“Secularization: A Multi-Dimensional Concept.”, 1981; “Secularization Theories and Sociological
Paradigms…”, 1985; dan “Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate.”, 1987), dalam
Mark Chavez, “Secularization as Declining Religious Authority,” hal. 757.

6
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

pemeluknya.24 Karenanya dalam konsep ‘sekularisme politis’ ini tidak ada asumsi dasar yang
menjadi fondasi dalam konsepsi agama yang dituju. Namun, tepat di sinilah problemnya. Jika Cak
Nur menghendaki sekularisme politis, maka kita akan menghadapi kebingungan pada batas apa
dan sampai mana garis tegas yang memisahkan agama dan partai politik itu ada? Selanjutnya,
siapa pula yang berhak menentukan benang merahnya? Lebih jauh, agama seperti apa yang bisa
dan tak bisa ikut andil dalam dunia perpolitikan. Sehingga partai tersebut layak menyandang
status sebagai partai agama, atau partai Islam khususnya? Jika narasi kemajuan yang dilayangkan
sekadar pada kondisi “seharusnya demikian.. seharusnya seperti itu..” Sebenarnya Cak Nur tidak
sedang memberikan solusi aktual, melainkan hanya melontarkan model arketipal yang
menurutnya paling cocok memegang identitas sebagai partai Islam, dan tentunya Islam yang
hakiki.

Merespons Sekularisme
Penulis mengajukan beberapa pertimbangan dalam menanggapi sekularisme yang terjadi. Sebagai
Muslim yang hidup di Indonesia, kiranya narasi sekularisme sebagai pandangan dunia tidak
begitu menjadi persoalan serius—melihat Indonesia punya masalah lain yang lebih fundamental,
semisal kemiskinan dan pembangunan (A). Jika kembali kepada riset para akademisi Barat,
bahkan Cak Nur sekalipun, secara implisit menunjukkan bahwa mereka merupakan pribadi yang
berkecukupan untuk mengenyam pendidikan tingkat lanjut. Sehingga tidak semua rakyat
Indonesia mengetahui betul persoalan sekularisme, atau bahkan dunia perpolitikan. Kemudian,
kalaupun sekularisme politis terjadi di Indonesia, maka memerlukan waktu yang cukup lama agar
identitas atau simbolisme keagamaan dapat benar-benar lepas dari benak masyarakat dan politisi
sendiri. Kehadiran PKS, PPP, dan Partai Keadilan Bangsa (PKB), sebagai partai besar yang
dianggap mewakili umat Islam mengindikasikan bahwa kehadiran partai berbusana agama masih
laris diminati (B). Terakhir, kehadiran agama Islam di Indonesia sebenarnya mampu menjadi
pamungkas bagi kemajuan dunia politik, dan Indonesia secara luas (C). Kondisi sosio-kultural di
Indonesia sangat kental dengan narasi keagamaan. Karenanya, menurut penulis, alih-alih
merubah suar pergerakan masyarakat (agama) menuju suar yang lain, entah itu sains, propaganda
politis, dan semacamnya. Lebih efektif, untuk mempergunakan agama sebagai motor penggerak
ke arah kemajuan. Sedikit berkaca pada peristiwa 212, bukankah perkumpulan akbar dan
demonstrasi massal berjilid hingga reuni berulang kali memberikan kita penglihatan bahwa
agama sangatlah kuat mempengaruhi arah gerak masyarakat di Indonesia.
Pertimbangan (C) menjadi penghambat besar terjadinya sekularisasi di Indonesia.
Pasalnya, jangankan bergerak ke arah sekularisme, usaha untuk meninggalkan otoritas keagamaan
saja masih belum nampak di Indonesia. Kiranya, dengan meninjau (B) dan (C), diktum Cak Nur
seharusnya diperlakukan sebagai narasi intelektual daripada gerakan politis aktual. Sebab
semangat konservatisme masih melekat di Indonesia, yang mana menunjukkan keengganan untuk
beralih dari budaya yang sedang berkembang untuk menuju ke arah yang progresif. Meskipun
demikian, pertimbangan ini tidak berarti mengabaikan wacana sekularisme. Masa sekularisasi itu
dimungkinkan akan berkembang dan berjalan di Indonesia kelak.
Sebagai upaya antisipatif, penulis memberikan solusi akademis terkait datangnya
sekularisme di Indonesia. Salah satu upaya preventif yang masih bertahan hingga hari ini, ialah
24
José Casanova, “The Secular and Secularism,” hal. 1057.

7
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

diskursus intelektual. Melihat kemajuan teologi di Barat, para teolog Kristen, semisal Rudolf
Bultmann, dengan berani mendobrak metode eksegesis klasik yang berkembang di Gereja waktu
itu. Bultmann mendapati bilamana Kristen sebagai institusi religius ingin tetap hidup dalam
imannya kepada Yesus, maka umat Kristen harus menerjemahkan bahasa mitis Alkitab ke dalam
bahasa modern dengan ‘desakralisasi’. Kiranya, teologi yang berkembang di Barat sudah
mengantisipasi betul ancaman dekonstrusionisme dan posmodern lainnya. Sehingga, lahirlah era
baru teologi Barat, yakni weak theology. Di mana teologi kini tak dibaca secara mapan dan tertutup,
melainkan dibiarkan terbuka dan menggoyahkan segala macam interpretasi yang ingin
‘membekukan’ agama ke dalam satu makna. Tentunya, apa yang terjadi di Barat tidak sama persis
dengan yang ada di Indonesia. Namun, jika umat Islam sendiri ingin Islam sebagai institusi
religius bertahan di hadapan berbagai institusi lainnya, maka perlu usaha serius untuk
mentransposisikan Islam sebagai wahana diskursus saintifik. 25 Akan tetapi, resiko daripada solusi
ini, adalah fragmentasi agama Islam itu sendiri. Sehingga ketika berbicara Islam, orang tidak akan
menemukan makna tunggal dikarenakan multidisipliner yang terbentuk akibat penyesuaian
dengan diskursus yang sedang berkembang pada hari ini. Kemudian perlahan Islam, entah itu
sebagai agama atau wahana pemikiran dalam konteks ini, terdekonstruksi (tertangguhkan)
dengan sendirinya.

Kesimpulan
Teranglah sekarang bahwa, sekularisme dimengerti sebagai upaya penolakan terhadap otoritas
keagamaan. Agama kini, di masa sekularisme, menjadi institusi yang biasa-biasa saja, sama seperti
institusi yang lain: tidak ada yang spesial dari agama! Selanjutnya, sekularisasi ini memiliki
dampak cukup rata pada sektor kehidupan umat manusia, mulai dari aspek sosial, institusional,
hingga individual. Hal ini menunjukkan bahwa sekularisasi tak sesempit sebagai upaya
penyingkiran agama—atau partai agama dalam kasus Cak Nur—dari konstelasi dunia sekular.
Meskipun demikian, sekularisme tidak menjadi ancaman bagi eksistensi agama. Melainkan
ia menjadi tantangan berat yang seharusnya dihadapi dengan penuh kesiapan. Baik itu perubahan
sistem partai politik di Indonesia maupun upaya pencegahan semacam diskursus intelektual.
Namun, mengkategorikan Islam sebagai diskursus akan menghadapi persoalan tersendiri. Di
mana Islam mulai terdekonstruksi, dalam arti tidak ada finalitas atau segala interpretasi
terhadapnya menjadi tertangguhkan, justru membuat Islam mengalami internal secularization.
Artinya, Islam kemudian kehilangan aspek kekhasannya, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,
menjadi institusi edukatif. Apabila kemungkinan ini benar terjadi, maka Islam tak ubahnya
dengan kampus atau lembaga pendidikan lainnya. Sehingga Islam mau tak mau melakukan
konformitas sebagaimana institusi lainnya menyesuaikan diri satu sama lain. Karenanya, dalam
kesimpulan, penulis ingin menyampaikan bahwa sekularisme dan sekularisasi menjadi tak
tertahankan lantaran arus globalisasi dan modernisasi yang terjadi dewasa ini. Meskipun,
modernisasi dan globalisasi tidak menjadi pelaku utama yang menyebabkan kekacauan demikian.
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa persilangan intelektual yang terjadi membawa dampak
signifikan bagi agama Islam, khususnya di Indonesia.

25
Bdk. Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today,” The Annals of the American Academy of Political and Social
Science 588 (Juli 2003): 19.

8
UAS Etika/Filsafat Etika
Semester Genap 2022-2023

Daftar Pustaka

Casanova, José. “The Secular and Secularism.” Social Research 76, no. 4 (2009): 1049–66.
Chavez, Mark. “Secularization as Declining Religious Authority.” Social Forces 72, no. 3 (Maret
1994): 749–74.
Dariyanto, Erwin. “Cak Nur Dan Kisah Islam Yes Partai Islam No.” detiknews, Maret 18, 2018.
https://news.detik.com/berita/d-3922291/cak-nur-dan-kisah-islam-yes-partai-islam-no.
Dobbelaere, Karel. “Secularization Theories and Sociological Paradigms: A Reformulation of the
Private-Public Dichotomy and the Problem of Societal Integration.” Sociological Analysis, no.
46 (1985): 377–87.
______. “Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate.” Sociological
Analysis, no. 48 (1987): 107–37.
______.“Secularization: A Multi-Dimensional Concept.” Current Sociology, no. 29 (1981): 1–219.
Friedland, Roger, and Robert R. Alford. “Bringing Society Back In: Symbols, Practices, and
Institutional Contradictions.” The New Institutionalism in Organizational Analysis, no. 10
(1991): 232–63.
Nurcholishmadjidsociety. “Haul Cak Nur Ke-13. ‘POLITISASI AGAMA: Membaca Kembali
“Islam, Yes; Partai Islam, No!”’ – Nurcholish Madjid.” Nurcholishmadjid.net, Agustus 14,
2018. http://nurcholishmadjid.net/haul-cak-nur-ke-13-politisasi-agama-membaca-kembali-
islam-yes-partai-islam-no/.
Parsons, Talcott. Societies: Evolutionary and Comparative Perspective. Prentice-Hall, 1966.
Rahardjo, M. Dawam. “Islam Yes, Partai Islam No?” Tempo, April 24, 2014.
https://kolom.tempo.co/read/1005187/islam-yes-partai-islam-no.
Setiawan, Andri. “Demokrasi Dan Politik Pembubaran Organisasi.” Historia - Majalah Sejarah
Populer Pertama di Indonesia, Januari 6, 2021. https://historia.id/politik/articles/demokrasi-
dan-politik-pembubaran-organisasi-PMKVE/.
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Meriam-Webster Dictionaries
Oxford Learner’s Dictionaries
Arkoun, Mohammed. “Rethinking Islam Today.” The Annals of the American Academy of Political and
Social Science 588 (Juli 2003): 18–39.
Gunakan Zotero untuk memudahkan anda membuat daftar pustaka ini.

Anda mungkin juga menyukai