Anda di halaman 1dari 5

Universitas Indonesia

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Departemen Ilmu Politik

UJIAN AKHIR SEMESTER

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


Semester Gasal Tahun Akademik 2020/2021

Nama : Muhammad Iqbal Kurniawan


NPM` : 1906364445

1. Pos-Islamisme adalah sebuah gagasan yang dikenalkan oleh Asef Bayat, seorang profesor
Sosiologi dari Illionis University. Secara eksplisit, gagasan soal Pos-Islamisme
diperkenalkan oleh Bayat pada tahun 2007 dalam tulisannya yang berjudul “Making Islam
Democratic: Social Movement and Post-Islamist Turn.” Akan tetapi, Bayat mengakui
bahwa ia telah mengenalkan gagasan ini sejak 1996 melalui sebuah esai pendek yang
berjudul, “The Coming of a Post-Islamist Society.” (Kholiludin, 2016). Melalui
gagasannya ini, Pos-Islamisme secara sadar dimaksudkan untuk membatasi gerak
Islamisme, baik secara sosial, politik, maupun intelektual. Gagasan Pos-Islamisme hadir
sebagai upaya untuk meleburkan keagamaan dan hak, iman dan pembebasan, serta Islam
dan kebebasan (Komecoglu). Lebih lanjut, Bayet menyebutkan bahwa, Pos-Islamisme juga
hadir sebagai upaya untuk ‘mengawinkan’ Islam dengan kebebasan individu, freedom,
demokrasi, dan modernitas religious.

Pos-Islamisme hadir sebagai alternatif dari ideology Islamisme yang cenderung lebih kaku
(Maula, 2019). Apabila Islamisme digambarkan sebagai peleburan agama dan tanggung
jawab, Pos-Islamisme menekankan pada sikap keberagaman dan Hak Asasi Manusia
(Bayat, 2011). Lebih lanjut, menurut Bayat, ada tiga alasan utama yang membuat Pos-
Islamisme absah untuk muncul ke permukaan, baik secara kondisi, proyek, maupun
gerakan. Ketiga alasan tersebut antara lain: kegagalan, serta pro-kontra proyek/gagasan
Islamisme yang mana sejatinya memerlukan kekuatan komitmen dari dalam pemikiran
Islamisme itu sendiri; perubahan sosial yang ditandai dengan adanya urbanisasi, perubahan
ekonomi, dan peningkatan intelektual, yang mana ditandai dengan meningkatnya angka
melek huruf; dan yang terakhir, konteks perubahan-perubahan global yang terjadi
(Kholiludin, 2016). Dalam tataran Implementasi, Bayat mengatakan bahwa Pos-Islamisme
dapat dirujuk kepada fenomena yang terjadi di Iran, khususnya pada dekade 1990-an.
Menurutnya, para intelektual, perempuan, pemuda, kelas professional, memberikan
semacam sebuah pandangan baru yang lebih ekspresif terhadap ruang publik, budaya
pemuda, politik mahasiswa, hubungan gender, negara dan pemikiran agama. Lebih jauh,
dalam tataran implementasi organisasi, khususnya di Indonesia, adanya gagasan Pos-
Islamisme bisa dilihat dari banyaknya organisasi Islam, khususnya yang berkonteks politik
Islam, yang mengarah kepada pandangan kompatibilitas Islam. Sebagai contoh, transisi
partai PKS menjadi bukti yang cukup konkrit untuk melihat adanya perkembangan gagasan
Pos-Islamisme tersebut di Indonesia. PKS yang pada saat awal reformasi sangat diilhami
oleh cita-cita Islamisme cukup sulit untuk memperoleh suara dari masyarakat. Akan tetapi,
setelah menekankan pada perjuangan untuk meningkatkan kesejateraan sosial dan
kepentingan umum, PKS mendapatkan suara yang cukup konsisten di angka 7% (Maula,
2019).

2. Islam politik di Indonesia merupakan bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa.
Bahkan, perjuangan Islam politik itu masih berlangsung hingga saat ini. Karena merupakan
bagian dari sejarah panjang, maka sudah barang tentu subjek soal Islam politik selalu
menarik untuk dikaji. Akan tetapi, sebelum menjawab lebih lanjut persoalan yang
diberikan, kita nampaknya harus mengetahui terlebih dahulu apa definisi dari partai politik
Islam itu sendiri. Partai Islam, merupakan partai yang memakai label Islam (nama, asas,
dan tanda gambar); atau partai yang tidak memakai label Islam tetapi hakekat
perjuangannya adalah terutama untuk kepentingan umat Islam tanpa harus mengabaikan
kepentingan umat agama lainnya; atau partai yang tidak memakai label Islam dan
tujuan/programnya untuk kepentingan semua warga Negara RI, tetapi konstituen utamanya
berasal dari umat Islam (Sirozi, 2004).

Berdasarkan basis pengertian tersebut, kita bisa mengidentifikasikan partai-partai yang


tergolong ke dalam partai Islam tadi. Dalam lima kali pemilu yang diselenggarakan setelah
reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, 2019), partai Islam selalu mengikuti kontestasi pemilu
setelah sebelumnya hanya mampu direpresentasikan oleh PPP di era Orde Baru. Sembilan
partai pada saat pemilu 1999, tujuh partai pada saat pemilu 2004, kembali menjadi
sembilan partai pada saat pemilu tahun 2009, serta lima partai pada pemilu 2014 dan 2019.
Tentu saja, kehadiran banyaknya partai politik berafiliasi Islam yang mengikuti pemilu
pada masa reformasi ini merupakan buah dari disahkannya UU Nomor 2 Tahun 1999
tentang ideologi partai politik. Akan tetapi, dari kelima pemilu tersebut, partai Islam tidak
pernah memenangkan satupun pemilihan umum.

Untuk menjawab pertanyaan kenapa partai Islam sulit menang dalam pemilihan umum
negeri ini, tentunya membutuhkan ikhtiar panjang. Namun, setidaknya penulis akan
menyampaikan sebab kegagalan partai Islam tersebut secara singkat. Menurut Muhammad
Sirozi dalam bukunya yang berjudul Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi¸ ada lima
faktor yang setidaknya menyebabkan kegagalan bagi partai Islam pada pemilu 1999—yang
mana menurut penulis sendiri hal tersebut masih relevan hingga saat ini. Kelima faktor
tersebut antara lain, pertama, metode dan materi kampanye yang kurang tepat. Partai
Islam—pada saat itu—cenderung melakukan kampanye yang sifatnya verbalis-normatif,
pesan-pesan dalam bentuk ceramah yang sarat akan pesan normatif agama. Kedua,
rendahnya kredibilitas tokoh dari partai-partai afiliasi Islam tersebut. Selain itu, penjabaran
lebih lanjutnya, banyak pimpinan partai Islam yang belum terlalu menyatu dengan
kekuatan akar rumput (grassroots). Sehingga, banyak masyarakat yang masih merasa
‘jauh’ dengan tokoh-tokoh partai Islam tersebut. Ketiga, masih rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat. Penulis pribadi merasa kurang sependapat dengan poin ketiga
yang dilontarkan oleh Surozi ini. Namun, apabila dilihat dari kacamata lain, memang masih
banyak ditemukan sebagian masyarakat yang memilih hanya berdasarkan pertimbangan
emosional, bukan pertimbangan akal. Namun, sekali lagi, menurut penulis, poin ini tidak
bisa dijadikan pembenaran utama. Keempat, peran media. Menurut Surozi, peran media
sangat berpengaruh terhadap kecenderungan pilihan politik masyarakat. Media merupakan
sarana yang paling vital bagi partai untuk menyampaikan pesan politik nya kepada
masyarakat. Partai Islam, belum mampu menggunakan peran media massa dengan sebaik
mungkin untuk menciptakan image yang baik di masyarakat. Transisi serta rebranding
yang dilakukan PKS akhir-akhir ini menjadi salah satu contoh menarik dari upaya untuk
memperbaiki image partai Islam di tengah masyarakat . Kelima, kebingungan masyarakat
untuk memilih, yang mana, sejatinya ini bukan hanya persoalan yang dihadapi partai Islam.
Akan tetapi, juga bagi hampir seluruh partai politik di Indonesia.

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh partai Islam? Menurut penulis, revolusi dari dalam
partai yang harus pertama kali dilakukan dalam upaya mendongkrak suara kemenangan.
Partai Islam harusnya mampu mengambil kesempatan untuk melakukan pemerintahan
yang bersih. Dan, untuk mendapatkan kesempatan tersebut, image partai harus dibangun
sebaik mungkin ditengah masyarakat. Akan tetapi, alih-alih memanfaatkan kesempatan
(karena banyaknya korupsi yang dilakukan oleh partai penguasa, entah Demokrat di masa
lalu, ataupun PDI-P sekarang), justru di tahun-tahun mendekati pemilu 2014, pimpinan
partai Islam satu persatu malah terjerat kasus korupsi. Padahal seharusnya, partai Islam
mampu menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka benar-benar menjunjung tinggi
nilai-nilai keislaman, yang mana korupsi merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam
Islam. Selain itu, orientasi kampanye juga harus diubah. Partai Islam harus lebih fokus
dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan konkrit keseharian masyarakat.
Walaupun secara statistik masyarakat muslim Indonesia tergolong besar, tetapi
penyelesaian yang dicari masyarakat adalah lebih mengarah ke ‘bagaimana menciptakan
pengelolaan ekonomi, pemerintahan, dan fasilitas-fasilitas seperti transportasi, pendidikan,
dan kesehatan yang baik?’ Bukan ujuk-ujuk soal dakwah dan penegakan syariah sahaja.

3. Menurut beberapa ahli, konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) dimulai ketika lahirnya
Piagam Magna Charta. Sejak lahirnya piagam ini, maka dimulai babak baru bagi
pelaksanaan HAM yaitu jika raja melanggar hukum, ia harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen (Hafniati, 2018). Lebih
lanjut, HAM ialah kebutuhan dasar manusia yang berupa hak-haknya, dan tanpa hak-hak
itu kita tidak dapat hidup layak sebagai manusia (Tilaar, 2010).

Dalam masyarakat Barat, nama John Locke bisa dikatakan menjadi salah satu orang yang
sangat berpengaruh dalam perumusan HAM. Ia mengemukakan bahwa semua orang
diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat
dilepaskan (inalienable), di antaranya termasuk hak atas hidup, kemerdekaan dan hak
milik, tetapi juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan (Magnis-Suseno, 1987).
Singkatnya, pada prinsipnya, universalitas HAM dalam konteks masyarakat Barat adalah
setiap orang berhak memiliki hak-hak tersebut tanpa harus ada syarat tertentu karena
kedudukannya sebagai manusia, jadi setiap manusia tanpa ada pembedaan harus
diperlakukan sesuai dengan hak-hak tersebut dan merupakan sarana etis dan hukum untuk
melindungi individu, kelompok, dan golongan yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan
dalam masyarakat modern (Zein).

Dalam kaitannya untuk menjawab pertanyaan soal perbendangan pandangan antara HAM
versi Barat dengan HAM versi Islam, kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengapa
terjadi perbedaan pandangan ini. Heiner Bielefeldt mengatakan bahwa, perbedaan
pandangan tersebut, antara HAM versi ‘modern’ dengan syariah, tidak perlu diherankan,
mengingat, prinsip HAM versi modern lahir di zaman modern, sementara syariah sudah
lahir jauh berabad-abad sejak masa awal sejarah Islam (Bielefedlt, 1995).

Inti dari prinsip dasar yang universal dari HAM adalah soal pengakuan, penghormatan,
persamaan, dan kebebasan dari segala bentuk diskriminasi. Dalam Islam, elemen-elemen
ini memang tidak disebutkan secara eksplisit dan spesifik. Namun, syari’ah (Al-Quran)
berbicara dalam tataran-tataran prinsip, seperti seruan untuk selalu bersikap adil,
mengedepankan musyawarah, saling tolong menolong, serta menolak diskriminasi.
Pelaksanaan HAM modern dalam Islam tentu menemukan beberapa hambatan. Bukan
hanya Islam bahkan, hampir semua agama besar di dunia memiliki masalah dalam
mewujudkan pasal-pasal hak asasi yang tercantum dalam Declaration of Human Rights
(Kung & Moltmann, 1990). Kelompok konservatif Islam contohnya, menolak untuk
menerima standar HAM Barat dalam penerapan akan penyelesaian masalah-masalah
publik masyarakat Muslim. Bagi kelompok ini, universalitas HAM versi Barat, yang
dipromosikan PBB, merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat Muslim
(Zein). Sebagai penutup, perbedaan paling mendasar antara HAM versi Barat dengan HAM
versi masyarakat Muslim ialah dalam cara pandang terhadap HAM itu sendiri, masyarakat
Muslim cenderung menggunakan pendekatan teosentris, sementara masyarakat Barat
cenderung menggunakan pendekatan antoposentris.
REFERENSI

Bayat, A. (2011). Pos-Islamisme. Yogyakarta: LKiS.

Bielefedlt, H. (1995). Moslem Voices in Human Rights Debate . New York: John Hopkins University Press.

Hafniati. (2018). HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM . Al-Adyan, Volume 13, 265.

Kholiludin, T. (2016). Islamisme, Pos-Islamisme dan Islam Sipil: Membaca Arah Baru Gerakan Islam.
IQTISAD, 58.

Komecoglu, U. (n.d.). Islamism, Post-Islamism, and Civil Islam. Current Trends In Islamist Ideology, 18-20.

Kung, H., & Moltmann, J. (1990). The Ethics of World Religions and Human Rights . New York:
Philadelphia. Concilium.
Magnis-Suseno, F. (1987). ETIKA POLITK. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Maula, B. S. (2019). POST-ISLAMISME DAN GERAKAN POLITIK ISLAM DALAM SISTEM DEMOKRASI
INDONESIA. AL-DAULA: JURNAL HUKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM, 92-94.

Sirozi, M. (2004). Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi . Yogyakarta: Ak Group Yogyakarta.

Tilaar, H. (2010). Dimensi-dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum Persekolahan Indonesia .
Bandung : PT ALUMNI.
Zein, Y. A. (n.d.). KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM (Mengungkap Korelasi Antara Islam
Dengan HAM). 98.

Anda mungkin juga menyukai