Anda di halaman 1dari 2

Laporan Bahan Bacaan | Politik di Timur Tengah dan Afrika | Semester Ganjil

2022/2023
Nama : Muhammad Iqbal Kurniawan
NPM : 1906364445

Sumber:
Mehran Kamrava, “Military Professionalization and Civil-Military Relations in the Middle
East”, Political Science Quarterly, Vol. 115, No. 1 (Spring, 2000), pp. 67-92

Kamrava (2000) dalam artikel jurnal ini berusaha untuk memberikan gambaran terkait
profesionalisasi militer dan hubungan sipil-militer di kawasan Timur Tengah. Kamrava melihat
bahwa dewasa ini, terdapat kecenderungan dari para pemimpin negara di kawasan Timur Tengah
untuk melakukan profesionalisasi terhadap Angkatan bersenjata. Namun demikian, Kamrava
menemukan bahwa upaya untuk memprofesionalisasi militer ternyata bukan berarti secara
langsung melakukan depolitisasi terhadap militer dan memberikan peningkatan kontrol terhadap
sipil (pemerintah). Menurut Kamrava, hal ini terjadi karena upaya negara-negara di kawasan
Timur Tengah untuk mengembalikan militer ke barak sembari tetap menampung aspirasi politik
mereka dihadapkan dengan paradoks. Paradoks yang dimaksud adalah, alih-alih
‘memprofesionalisasi militer’, langkah/metode yang diambil para pemimpin negara di kawasan
Timur Tengah acapkali justru meningkatkan potensi militer dalam melanjutkan intervensi politik
dalam negeri.
Walaupun demikian, Kamrava menemukan bahwa negara-negara di kawasan Timur
Tengah seolah sadar akan adanya paradoks ini dalam upaya memprofesionalisasi militer mereka.
Hal ini terlihat dari temuan Kamrava, dimana negara-negara di kawasan Timur Tengah mulai
melakukan upaya dalam menetapkan pola interaksi khusus dengan Angkatan bersenjata mereka.
Terdapat empat kategori modalitas negara dalam melakukan interaksi dengan militer mereka,
dan memastikan dominasi dan kendali sipil yang berkelanjutan atas militer. Pertama, di negara-
negara yang seolah demokratis, sipil mencoba untuk mendominasi penuh, tetapi memungkinkan
militer untuk memainkan peran penting dalam politik dalam negeri. Kedua, negara-negara yang
inklusi mencoba untuk terus menjaga aspirasi regular politik militer dan menetralkan mereka dari
milisi yang sangat ideologis dan sukarela. Ketiga, negara-negara yang ekslusif berusaha untuk
membuat para pemimpin (militer) mereka untuk benar-benar menjadi mesin negara. Keempat, di
negara-negara yang cenderung menerapkan sistem monarki dan memiliki geografi dan demografi
yang kecil, mereka berusaha untuk mengimbangi pengaruh dan potensi otonomi militer reguler
dengan bergantung pada tentara bayaran asing atau bergantung pada satu atau lebih kontingen
suku yang setia pada raja. Lebih lanjut, dapat dipahami melalui gambar berikut:
Pada akhirnya, Kamrava menegaskan bahwa, dalam konteks Timur Tengah, upaya untuk
memprofesionalisasi militer jarang berarti sipilasasi politik. Hubungan sipil-militer di Timur
Tengah cenderung tidak statis, yang mana berarti sangat dinamis dan tentu dapat dengan mudah
berubah-ubah. Pada saat ini, memang ditemukan bahwa terdapat hubungan sipil-militer yang
mulai menekankan pemisahan substantif militer reguler dari setiap proses politik yang lazimnya
didominasi oleh politik sipil. Namun demikian, karena sifatnya yang dinamis tadi,
profesionalisasi militer di kawasan ini tetap didefinisikan dan dipromosikan sesuai keinginan
aktor negara. Sehingga, bagaimanapun definisinya, profesionalisasi militer di kawasan Timur
Tengah tetap belum dapat diterjemahkan sebagai sipilisasi politik. Singkatnya, Kamrava diakhir
menyebutkan bahwa Angkatan bersenjata di kawasan ini tidak pernah terlalu jauh daripada
rumusan politik. Kajian Kamrava (2000) ini menjadi penting sebagai alat skeptisisme melihat
hubungan dan dinamika sipil-militer di kawasan ini.

Anda mungkin juga menyukai