Anda di halaman 1dari 21

Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

Raafi Nurlistiani 170210120113

Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

Militerisasi dan Militerisme


Militerisasi ditandai oleh intervensi kelembagaan militer dalam kehidupan sipil . Militerisme ditandai dengan terbangunnya kultur dan ideologi militer dalam kesadaran masyarakat sipil. Menurut Andrew Ross (1987) hubungan antara militerisasi dan militerisme saling berkaitan. Militerisasi merupakan proses yang bisa mengarah pada militerisme.

Titik temu antara militerisasi dan militerisme ini terletak pada aspek pemujaan terhadap peperangan dan persiapan perang . Artinya, berbagai aktivitas sosial dalam masyarakat mengarah atau dirancang menuju ke perang. Menurut Shaw (1993), militerisme secara sederhana berwujud dalam pengaruh organisasi, nilai dan ide-ide militer ke dalam struktur sosial sebagai akibat militerisasi.

Latar Belakang
Orde Baru yang otoriter. Teror dan Penculikan secara misterius. Image militer yang selalu berkaitan dengan kekerasan dan sebagai alat negara untuk. membentengi serta mempertahankan kekuasaan Ketidak percayaan publik terhadap militer yang praetorian berubah menjadi militer profesional. Sehingga, agenda untuk reformasi politik bisa dianggap berhasil apabila terjadi perombakan mendasar terhadap peran militer di Indonesia. Hal tersebut masih menjadi problematika yang masih belum bisa terlaksana.

Struktur politik yang demokratis ditandai dengan adanya supremasi sipil. Militer harus mengabdikan diri nya sendiri nya kepada keputusan- keputusan yang dibuat oleh sipil. Militer hanya menjadi agen pelaksana atau pengawas operasional di lapangan. Namun hal terjadi justru sebaliknya di Indonesia, peran militer sangat dominan pada civil society.

Hal ini dapat dirunut dari zaman orde baru, dimana militer mempunyai porsi yang sangat besar baik ditingkat eksekutif maupun legislative. Hingga saat ini hal tersebut masih berlanjut, hal tersebut dapat dilihat dalam dua arena. Pertama dalam lingkup negara. Birokrasi dan partai politik yang terdapat didalamnya sebenarnya masih terbayang- bayang oleh militer. kebijakan birokrasi yang justru lebih mengekang dan sebagai alat pembatas kebebasan masyarakat.

Hal serupa juga terjadi partai politik, Partai politik terjerembab pada kerangkeng korporatisme negara (state corporatism), dimana eksistensinya terbonsai oleh opresi negara. Kedua dalam lingkup masyarakat sipil. intervensi militer ini secara ekspansif berlangsung pada beberapa locus penting, yang meliputi organisasi sosial politik (orsospol) dan pendidikan.

Militerisme dalam konteks ini dipahami sebagai kenyataan tatkala nilai-nilai, cara kerja dan tata organisasi,penggunaan simbol, dan sebagainya, yang kesemuanya berinteraksi satu sama lain sebagai suatu sistem yang bekerja secara kolektif.

Militerisme dan Militerisasi di Kalangan Lokal


Menurut survey yang dilakukan IRE ( 2001), militerisasi dan militerisme yang paling nampak terjadi dalam lingkup kecamatan adalah keterlibatan militer/polisi dalam struktur kekuasaan pemerintah daerah kecamatan sebagai Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) yang melibatkan tiga elemen pimpinan di tingkat kecamatan (Tripika), yaitu Camat, Kapolsek dan Danramil.

Selain pada aspek social politik, militerisme ini juga ekspansi pada bidang ekonomi premanisme. Hal tersebut tercermin melalui politik perijinan di berbagai level birokrasi sipil dan militer yang diperankan oleh elit birokrasi, tentara dan pembisnis.

Momentum Perubahan dan Tantangan


Dalam rangka melakukan reformasi politik dan melakukan perombakan dasar pada peran militer dalam pemerintahan setelah Orde Baru, beberapa Presiden yang menjabat setelah runtuhnya zaman otoriter tersebut mempunyai beberapa caranya masingmasing. Presiden Habibie berusaha untuk menggunakan cara Liberalisasi Politik.

Presiden Abdurrahman Wahid ( Gus Dur) dinilai sebagai Presiden yang banyak melakukan perubahan secara radikal dan menghasilkan hasil yang significant dari masa pemerintahan presiden sebelumnya. Gus Dur merekonstruksi konsep hubungan antara milter- sipil lebih mengedepankan pada supremasi sipil karena hal tersebut yang dianggap lebih menuju pada demokrasi. Kemajuannya lainnya terlihat pada jabatan menteri pertahanan di kalangan sipil dan jabatan strategis yang dahulu nya di pegang oleh jabatan perwira sudah mulai bergeser pada sipil.

Namun langkah- langkah radikal Gus Dur masih terhalangi baik oleh kalangan militer itu sendiri maupun oleh kalangan sipil yang pro terhadap militer Naiknya Megawati sebagai Presiden, membuat kaum pro demokrasi menjadi pesimis. Pasalnya Megawati menaruh Jenderal pada kabinetnya dan pada beberapa jabatan penting pemerintahan lainnya. Pendirian KONDAM Iskanda Muda dalam penyelesaian masalah Nangro Aeh Darussalam (NAD). Pend irian KODAM Iskandar Muda dilakukan, justru saat Koter sedang mengalami krisis eksistensinya di mata masyarakat.

Megawati juga masih menggunakan cara- cara kekerasan terhadap penyelesaian konflik. Misalnya saja Penangkapan para aktivis partai dan ormas di Jawa Timur dan beberapa tempat di Jawa Tengah oleh aparat keamanan menjadi indikasi awal lahirnya persoalan baru akibat dari menguatnya kembali pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik.

Gerakan Demiliterisasi
Secara teortis demokratisasi dan desentralisasi tidak akan beroperasional jika tidak diikut dengan demiliterisasi. Hal yang harus dipenuhi adalah tegaknya supremasi sipil, absennya militer dari arena politik, terbangunnya militer profesional, serta penguatan kontrol masyarakat terhadap militer.

Salah satu strategi yang dilakukan untuk menghilangkan hegemoni di tingkat bawah adalah bagaimana membatasi ruang militer itu sendiri yang sampai saat ini masih beroperasi secara efektif. Keberadaan komando territorial (Koter) sebagai basis kekuasaan tentara (AD) di wilayah bawah yang merasuk secara birokratis dalam kehidupan masyarakat sipil. Pada zaman Orde Baru TNI ( militer) digunakan sebagai alat untuk membentengi kekuasaan pemerintah.

TNI digunakan untuk melakukan tindakan represif terhadap elemen-elemen masyarakat yang dianggap bertentangan dengan pemerintah. Oleh karena itu terlihat bahwa TNI lebih memainkan unsur yang lebih banyak pada fungsi pemerintahan dan politik ketimbang pertahanan. Sebagai altematif penting mengenai keberadaan komando teritorial barangkali perlu dilakukan,yakni mengembalikan militer institusi komando teritorial ke barak-barak militer, karena pada prinsipnya tentara itu harus mobile, bukan menduduki (menguasai) wilayah dari kantor.

Ketidak percayaan publik terhadap militer dalam masa transisi ini semakin menguat untuk mengubah militer praetorian menjadi militer professional. Menurut Huntington ( 1957 ) terdapat tiga ciri militer professional, yakni : Pertama, ciri utamanya adalah keahlian, dimana militer memiliki keahlian dan keterampilan secara spesifik. Kedua, adanya tanggungjawab sosial yang khusus. Ketaatan seorang militer (perwira) semata-mata bukan pada komandan, tetapi harus memiliki tanggung jawab pada negara.

Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan, apa yang oleh Huntington disebut dengan the military mind, yang menjadi dasar hubungan militer dan negara. Elemen masyarakat politik dan masyarakat sipil yang berfungsi untuk menopang demokrasi masih lemah perannya, sehingga masih belum mampu menahan sepak terjang militer.

peran institusi politik yang kuat serta dukungan dari masyarakat dapat membantu menghilangkan hak prerogratif dari militer. membangun supremasi sipil sesungguhnya salah satunya tergantung dari strategi dan kualitas kepemimpinan dari pihak sipil yang sedang berkuasa untuk memanfaatkan momentum, mengelola potensi dan mengatasi hambatan dalam upaya demokrasi. Inilah tantangan yang terbesar di era transisi demokrasi di Indonesia saat ini.

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai