Anda di halaman 1dari 3

Devenisi Civil Society

Civil Society secara sederhana dapat dipahami sebagai masyarakat yang beradap, akan tetapi
devenisi yang lebih spesifik terus berkembang berkesesuaian dengan kondisi struktur politik didalam
suatu negara. Bagi para pemikir agamis seperti Nurcholis Majit atau Mahatir muhammad konsep civil
society disamakan atau dipadukan dengan konsep masyarakat madani. Dalam konteks historis
filosofis, peradapan masyarakat yang beradap atau masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip
moral, guna mempertahankan keteraturan dapat dilihat dari masyarakat madinah yang dibangun
oleh Nabi Muhammad SAW.

Perkembangan awal defenisi civil society megacu pada hubungan-hubungan yang bersifat
horizontal. Bahkan ketika berdirinya sebuah negara civil society tetap dipahami sebagai bagian dari
negara itu sendiri, namun defenisi ini mengalami pergeseran yang cukup tegas. Ketika negara
dikuasai oligarkri, pola interaksi antara negara dan civil society berubah menjadi pola vertikal.
Dengan begitu dalam perkembangan kontemporer civil society dipahami sebagai orang-orang yang
berada diluar negara. Defenisi ini kemudian dilengkapi dengan sifat-sifat seperti otonom dan
cenderung menentang struktur politik atau berbeda arus dari negara.

Defenisi ini relevan dengan perkembangan situasi politik Indonesia Orde baru, ketika civil society
meliputi akademisi, media, LSM, dan Jurnalis, dikuasi oleh segelintir orang, maka semenjak saat itu
munculah berbagai LSM-LSM dengan gaya konlfiktual. Negara dianggab memainkan peran
hegemoni lewat segala bentuk normalisasi kekuasaannya, artinya Rezim yang otoriter cenderung
memiliki hubungan antagonistik dengan elemen masyarakat sipil. Maka dari itu LSM merupakan
perwujudan dari gerakan civil society sebagai bentuk perlawanan hegemoni pemerintahan.

Pola hubungan LSM dengan pemerintahan

Belakangan civil society tidak dapat lagi didefenisikan seperti demikian. Indonesia pernah mengalami
situasi politik luar biasa, dimana keruntuhan rezim orde baru memberikan gaya baru dalam pola
hubungan Civil Society dengan pemerintahan. Lalu pertanyaannya sejauh mana regulasi negara
pasca revormasi terhadap organisasi masyarakat sipil (OMS) sehingga menghasilkan proses elitisasi
bagi para aktor-aktornya? Negara dipandang sebagai suatu entitas yang berbeda dengan masyarakat
sipil, dan negara memiliki kekuatas atas mengontrol masyarakat itu sendiri, akan tetapi jika
dahulunya negara mengatur gerakan civil society agar tidak terlalu jauh mengintervensi pemerintah
maka hari ini pasca orde baru negara punya regulasinya tersendiri untuk melibatkan aktor-aktor Civil
society terutama LSM kedalam proses elitisasi.

UU No. 32 tahun 2004 tentang desentralisasi berdampak signifikan terhadap perkembangan gerakan
civil society atau LSM di Indonesia. Dari pemerintahan sentralistik ke desentralistik, dari
pemerintahan militeristik/ otoriter ke arah kewenangan lokal, maka dari itu berubahlah pola
hubungan Civil society dari konfliktasi ke arah kolaborasi. Berkesesuaan dengan UU No. 28 Tahun
2004 tentang Yayasan secara bersamaan membuka saluran bagi mereka untuk mengakses sumber
daya negara dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Akibat dari regulasi tersebut secara
tidak langsung menaikan sedikit standarisasi dari LSM itu sendiri. Untuk kolaborasi maka LSM perlu
legalitas, struktur organisasi dan keterbukaan keuangan. Dampaknya munculah istilah aktifis
birokrat, LSM saat ini dalam konteks gerakan lebih cocok dikatakian sebagai LSM pelat merah,
meskipun begitu tidak menyebutkan jika eksistensi LSM advokasi mati begitu saja. Namun yang lebih
penting bukan itu, Peran LSM tidak hanya dilihat dari sejauh mana mereka mampu memasuki ranah
pemerintahan atau tampak se-birokrat pemerintahan, namun dilihat dari kualitas dan pengaruh
mereka terhadap kebijakan.

Dampak desentralisasi dan iklim politik indonesia zaman Refromasi

Perubahan struktur politik di Indonesia 1998, menimbulkan kesadaran pentingnya peranan


masyarakat sipil atas kontrol terhadap publik. Munculnya kesadaran menggunakan lembaga-
lembaga demokrasi untuk memastikan kontrol rakyat terhadap negara dan diwaktu yang
bersamaan, memunculkan aktor-aktor sipil yang berusaha mempengaruhi kebijakan bukan hanya
dari pinggiran tetapi dari dalam pusat kekuasaan institusi politik. Aktifis tidak hanya membentuk
pilar masyarakat sipil yang dinamis yang mengimbangi negara, tetapi mereka telah memasuki
lembaga legislatif dan eksekutif sebagai pemegang kunci kekuasaan. Jelas para aktivis pernah
dihadapkan dengan politisi yang memiliki kekuatan penuh atas kekuasaan tidak jarang mereka juga
mengalami tindakan kriminalisasi. Tidak dapat terhindarkan, mereka juga mengalami pengaruh
politisasi yang cukup signifikan. Misalnya, tokoh-tokoh LSM reformis telah menjadi pejabat di partai
politik, wartawan duduk di komite parlemen yang kuat, dan aktivis buruh telah bergabung dengan
birokrasi. Kondisi ini salah satunya muncul dari anggapan jika ingin menciptakan perubahan,
masyarakat semestinya harus berada didalam sistem bukan diluar sistem itu sendiri, karena ini
malah akan menyulitkan upaya cita-cita masyarakat sejahtera dan berdaya.
Apa yang tengah terjadi di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda di India, seperti dalam tulisan
Kenneth Bo Nielsen, munculnya kesadaran para aktifis LSM akan kemampuan dirinya, dan
kompetensi yang dimiliki akan lebih efektif mewujudkan masyarakat berdaya melalui jalur
pemerintahan baik legislatif, dan Eksekutif. Pada tahun 2009 aktifis sekaligus jurnalis dan penyanyi
banggali kabir suman, mengumumkan bahwa ia akan mengikuti pemilihan parlemen india. Suman
termasuk orang pemula di dunia politik, namun ia bisa meraih kemenangan dan menumbangkan
lawan nya yang bertahun-tahun di dunia politik. Jika dilakukan pengkajian pola lintas batas maka
sebenarnya urtannya tidak jauh-jauh dari (1) pengalaman menjadi aktivis menjadi modal sosial, (2)
Tawaran dan desakan dari masyarakat luas atau Aktor masyarakat sipil yang terlegitimasi oleh
masyarakat (3) jaringan sosial yang luas hingga memiliki kedekatan dengan penguasa. Poin ketiga
menjadi poin penting yang menunjukan bagaimana kolaborasi antara habitus dan modal sosial dari
aktor LSM itu sendiri.
Kita dapat menilai sejauh mana kemurnian gerakan para aktifis yang terjun didunia politik. Mereka
yang dahulunya sebagai cerminan wajah masyarakat terserempak berdiri dipemerintahan. Kondisi
ini tentu memiliki dampak bagi hakikat gerakan civil society, terlibatnya para aktor LSM kedalam
dunia politik memutar balik wajah mereka yang sebelumnya dikenal sebagai kontrol negara sekaligus
memainkan peran presure group. Bagi aktifis sejati, dunia politik hanya sebagai dunia pembohong,
karena politisi hanya berselimutkan wajah pekerja sosial guna mendapatkan hati mereka dari
kalangan masyarakat menengah ke bawah. Seperti dalam kasus di India Gerakan politik di India
paling populer adalah mereka yang seolah-olah non politik. Bahkan lebih rancunya politisi dapat
menamai dirinya dengan pekerja sosial, sebaliknya para Pekerja sosial menamai dirinya sebagai
politisi. Kasus di india tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, Tidak ada batas tegas antara orang-
orang politik dan orang-orang aktifis, batas ini hanya ada pada aspek moralitas.
Lebih lanjutnya kita dapat memahami pola Jenis pelintas batas aktifi NGO: mereka yang sengaja
menggunakan LSM sebagai batu loncatan, mereka yang tetap bertahan di LSM selagi belum ada
peluang, ketika berpeluang mereka akan segera mengambil langkah memasuki wilayah pemerintah
dengan praktik politik, dan terakhir melintas batas dengan tujuan ideologis yaitu upaya merobah
pola/ meningkatkan sistem politik pemerintahan dari dalam. Dengan demikian kita mampu
mengkategorisasikan sejauh mana moralitas para aktifis LSM yang saat ini memasuki bidang negara.
Jika dilihat dari strategi, Lewis dalam studi kasusnya di banglades dan inggris menemukan dua pola
utama, yaitu mereka langsung masuk ke bidang politik eksekutif dan legislatif tanpa basa basi, dan
mereka yang berangsur-angsur masuk ke bidang politik namun juga tidak meninggalkan identitas
sebagai aktifis Civil Society, dan bagi haryanto dalam artikelnya ini disebut sebagai strategi tidak
langsung pola zigzag. Salah satunya dapat diamati di lembaga-lembaga kuasi pemerintah. Teten
marzuki misalnya yang dikenal sebagai aktifis anti korupsi namun selang beberapa waktu kemudian
berpindah menjadi aktifis hak azazi manusia, kemudian dari pengalaman dan pengetahuan tersebut
dia berhasil menjadi staf kompanye jokowidodo 2014.
Pertanyaannya, jika hubungan antara negara dan civil society mengalami perubahan dari konlfiktasi
ke arah kolaborasi atau bahkan mereka mengooptasi bidang pemerintahan hingga menduduki
lembaga eksekutif dan legislatif lalu bagaimana dengan hakikat sejati dari civil society itu sendiri?
Defenisi yang sangat relevan yaitu gerakan civil society dikatakan sebagai presure group, dimana
dalam sejarah pergerakan civil society di indonesia, mereka tidak hanya sebagai pelopor model
pembangunan partisipatoris tetapi juga sebagai kelompok penekan yang menuntut perubahan ke
arah yang lebih baik. Tidak diragukan lagi desentralisasi disatu sisi memberi dampak baik terhadap
iklim demokrasi di Indonesia, dan disisi lain justru dapat mengancam hakikat dari gerakan civil
society itu sendiri. Memang dalam kajian-kajian baru digagaskan pemikiran semestinya antara
negara dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, hubungan yang terjalin menunjukan pola horizontal,
namun realitas hari ini sebagian aktor yang tersentuh politisasi akan terjerat kedalam poltiik
kepengtingan sehingga memunculkan oligarki yang tiada matinya.

Anda mungkin juga menyukai