Anda di halaman 1dari 4

Populer Sudah Menjadi Budaya “gampang goyah”

Gaya Hidup adalah segalanya”, istilah ini menggambarkan kehidupan


masyarakat abad 21. Gaya hidup seolah menjadi tolak ukur sebuah masyarakat dikatan
modern. Isu-isu modrenitas cenderung merobah cara hidup masyarakat dalam hal
pemenuhan kebutuhan. Gaya hidup seolah menjadi penting oleh masyarakat, terutama
kaum remaja. Kebutuhan manusia secara garis besar terbagi menjadi kebutuhan Primer
dan Sekunder, dimana kebutuhan primer merupakan kebutuhan utama. Akan tetapi
perkembangan zaman bertolak belakang sehingga kebutuhan skunder menjadi suatu
kebutuhan pokok. Orang tidak lagi mengkonsumsi sesuatu karena kebutuhan akan tetapi
karna keinginan. Kebutuhan fungsional sering terabaikan demi untuk manampilkan jati
diri palsu. Gaya hidup sering dikaitkan dengan kehidupan hedonis, dan pilihan gaya
menjadi alasan dalam konstruksi identitas individu. Dalam hitungan hari individu akan
berpacu menunjukan identitas mereka melalui cerminan diri dari simbol-simbol
modernitas.

Pembentukan identitas menjadi kegiatan penting bagi masyarakat era


Kontemporer. Menoleh ke akar pergerakannya seolah industrialisasi memberikan
standar modernitas kepada masyarakat luas, sehingga menciptakan suatu kondisi
dimana orang-orang akan berpacu untuk mencapai standar tersebut. Upaya tersebut
semata-mata untuk membangun identitas-identitas baru, akan tetapi pembentukan
identitas tersebut beriringan dengan sikap konsumtif masyarakat. Orang-orang akan
berlomba menampilkan identas diri melalui tampilan gaya hidup seperti: tempat tinggal,
fashion, pola hidup, dan tempat-tempat untuk mengahabiskan waktu luang. Perlu
dipahami Standar modernitas tercipta dan dikonstruksi masyarakat tentunya melalui
peran globalisasi.

Modrenitas adalah proyek yang tidak akan pernah selesai, untuk itu masyarakat
perlu antisipasi dengan gejolak yang tidak menguntungkan. Ketika menggunakan kata
“proyek” berarti modrenitas menciptakan sebuah produk, bisa berupa film, fashion,
musik, kuliner, dll. Perwujudan modrenitas dapat dirasakan melalui panca indra akan
tetapi yang tidak kasat mata akan lebih berbahaya. Modrenitas erat kaitannya dengan
budaya massa, seperti jalan-jalan, nongkrong, gaya hidup, pola konsumsi, dll. Pada
dasarnya ini berkaitan dengan orientasi terhadap sesuatu. Remaja kontemporer
seringkali mengejar sesuatu yang mereka anggab sebagai identitasnya.

Dari paragraph sebelumnya kita dapat menarik kesimpulan tentang konsep


budaya populer, maaf saja jika belakangan muncul istilah budaya tinggi dan budaya
rendahan. Kebanyakan budaya pop tercipta dari suatu yang tidak terlalu bernilai tinggi
akibat dari produksi masal, berbeda dengan budaya tinggi yang berasal dari kreatifitas
individu bernilai tinggi dan ekslusif. Tapi kenapa orang-orang lebih menyukai budaya
rendahan yang gampang hilang dan berganti? Mungkin ini terkait dengan goejolak
darah muda, rasa ingin tahu dan mencoba hal baru membuat budaya pop gampang
diminati. Ditengah anak muda yang sedang mencari identitas tersebut bermunculan
film-film, majalah-majalah, iklan, berita, novel-novel, dan musik yang menggambarkan
idealnya remaja kekinian. Bisa diperhatikan, dibeberapa tayangan film bioskop
belakangan banyak menampilkan sudut pandang kehidupan remaja ibu kota, tidak
hanya sisi hedonis dan sekuler akan tetapi bagaimana agama bisa masuk dan hidup
dilingkungan kontemporer. Mencampur aduk antara hedonis, sekuler, agama adalah
fenomena bodoh yang bisa kita jadikan lelucoan. Kalua tidak percaya silahkan
berkunjung di pusat-pusat tongkrongan anak muda.

Pasca Kolonialisme dunia dibagi dalam dua perspektif yaitu orientalis dan
oksidentalis, Dalam perspektif oksidentalis (pandangan timur terhadap barat) negara-
negara barat seolah menjadi influencer dalam sejarah kehidupan Negara-negara di dunia
ke tiga. Globalisasi membuat interaksi masyarakat di seluruh dunia menjadi bebas dan
terbuka, salah satu faktor penyebabnya adalah kemajuan teknologi komunikasi.
Masyarakat dengan mudahnya mengakses dan memperoleh simbol-simbol modernitas
barat melalui beragam media. Tingkat kekritisan kita sangat dituntut untuk mengahdapi
budaya rendahan, dengan bersikap kritis kita dapat menilai kontradiksi terkait sebuah
fenomena. Mengkritik bukan berarti membenci, jangan sampai ketika kita mulai kritis
terhadap budaya populer maka kita dicap sebagai golongan konservatif. Tidak
demikian, terkadang budaya masa yang diciptakan budaya populer tidak mampu
membedakan antara open mainded dengan etika, maksutnya kita diatur dengan standar
modrenitas dan terkadang ukuran tersebut bertetangan dengan: nilai setempat, finansial,
cara berfikir, dan kebutuhan rasional individu. Seperti yang dikatakan Paulo Freire
sebagai salah satu tokoh sosial kritis, budaya populer hanya akan menghilangkan
kesadaran kita sebagai manusia yang bebas. Pertanyaannya kenapa banyak orang tidak
menjadi dirinya sendiri dan lebih suka mengikuti budaya rendahan yang gampang
hilang dan berganti. Ini sebenarnya rekayasa modrenitas agar teciptanya sebuah kelas,
budaya populer itu milik pemodal, kita yang terlalu memaksakan lebih cocok disebut
sebagai mimikri. Semakin kita terhipnotis dengan ilusi-ilusi keindahan tentang budaya
pop maka selama itu jati diri tidak akan pernah terbentuk, selamanya akan menajdi
individu “gampang goyah”. Sayangnya populer sudah menjadi budaya, maka
konsekuensi terburuk adalah munculnya genrasi “gampang goyah”.

Kamu bergaya dan kamu ada, istilah ini paling cocok untuk menggambarkan
remaja kontemporer. Kebanyakan remaja tidak sadar efek laten dari budaya populer.
Jika ditanya tanggapan mereka kebanyakan “kalau kamu mau gaul ya harus seperti ini,
kalau tidak setuju tinggal saja di hutan”. Sebenarnya kritis itu bukan menolak, tapi
memilah, selama ini kita dihadapi dengan iklan-iklan yang menampilkan keindahan
simbol modernitas. Weber dalam teorinya membagi tindakan manusia menjadi empat
yaitu: tindakan rasiona instrumental, tindakan rasional nilai, tindakan afektif, dan
tindakan tradisonal. Sebenarnya agak sulit menggolongkan konsumsi budaya pop
digolongkan dalam tindakan seperti apa, mungkin karna weber tidak menjelaskan lebih
rinci. Dalam kasus seperti ini pemikiran Boudrillard dengan konsep hyperealitasnya
sangat cocok menggambarkan kehidupan remaja “gampang goyah”. Orang-orang yang
mengkonsumsi budaya populer baik itu dari media atau pergaulan sulit membedakan
mana kenyataan dan mana kepalsuan. Pada akirnya tindakan mereka menjadi sulit untuk
dijelaskan, dan konsep yang cocok untuk memahaminya dalah simulacrum. Bagi para
pemikir orientalis (hidung mancung, mata biru, kulit putih, rambut pirang) fenomena
hyperealitas kususnya bagi kita masyarakat timur tidak lebih seperti lelucoan.

Kepalsuan akan berdampak terhadap perkembangan psikologis, yakni


kehilangan kesadaran. Mal café sebagai pusat pencampuran hedonis, sekuler, dan
agamis manjadi saksi kehidupan generasi “gampang goyah”. Pada dasarnya mall café
bisa dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi akan tetapi jika terlalu sering akan
menimbulkan ketagihan, kemudaratan, kebodohan, dan kesengsaraan. Pusat-pusat
hedonis ini dekemas dengan praktis melalui sistem cepat saji, sebagian orang akan
berfikir inilah wujud dari modrenitas. Terpesona dan terhegemoni, tanpa pikir panjang
semua hal dikonsumsi, makanan, fashion, gadget, music, film, novel, kendaraan dll.
Hasil konsumsi tersebut dicerna dan terwujut dalam bentuk perilaku, perilaku yang
dimaksut adalah perilaku tidak rasional. Hubermas dalam tulisannya pernah membuat
sebuah pernyataan, semakin moden sebuah masyarakat, maka semakin tidak rasional
pula cara mereka berfikir. Setidaknya jika kita tidak mampu menghindari modrenitas
maka sebaiknya bisa berfikir kritis.

Semoga dengan tulisan ini kita bisa lebih berhati-hati dalam memahami sebuah
kepopuleran, tidak selalu yang populer sebagai tolak ukur keberadaan kita di tengah
masyarakat, dan tidak selalu yang populer itu baik untuk diri kita. Menjadi masyarakat
modern yang rasional adalah pilihan baik dan jangan pernah menuhankan kepopuleran.

Anda mungkin juga menyukai