Modrenitas adalah proyek yang tidak akan pernah selesai, untuk itu masyarakat
perlu antisipasi dengan gejolak yang tidak menguntungkan. Ketika menggunakan kata
“proyek” berarti modrenitas menciptakan sebuah produk, bisa berupa film, fashion,
musik, kuliner, dll. Perwujudan modrenitas dapat dirasakan melalui panca indra akan
tetapi yang tidak kasat mata akan lebih berbahaya. Modrenitas erat kaitannya dengan
budaya massa, seperti jalan-jalan, nongkrong, gaya hidup, pola konsumsi, dll. Pada
dasarnya ini berkaitan dengan orientasi terhadap sesuatu. Remaja kontemporer
seringkali mengejar sesuatu yang mereka anggab sebagai identitasnya.
Pasca Kolonialisme dunia dibagi dalam dua perspektif yaitu orientalis dan
oksidentalis, Dalam perspektif oksidentalis (pandangan timur terhadap barat) negara-
negara barat seolah menjadi influencer dalam sejarah kehidupan Negara-negara di dunia
ke tiga. Globalisasi membuat interaksi masyarakat di seluruh dunia menjadi bebas dan
terbuka, salah satu faktor penyebabnya adalah kemajuan teknologi komunikasi.
Masyarakat dengan mudahnya mengakses dan memperoleh simbol-simbol modernitas
barat melalui beragam media. Tingkat kekritisan kita sangat dituntut untuk mengahdapi
budaya rendahan, dengan bersikap kritis kita dapat menilai kontradiksi terkait sebuah
fenomena. Mengkritik bukan berarti membenci, jangan sampai ketika kita mulai kritis
terhadap budaya populer maka kita dicap sebagai golongan konservatif. Tidak
demikian, terkadang budaya masa yang diciptakan budaya populer tidak mampu
membedakan antara open mainded dengan etika, maksutnya kita diatur dengan standar
modrenitas dan terkadang ukuran tersebut bertetangan dengan: nilai setempat, finansial,
cara berfikir, dan kebutuhan rasional individu. Seperti yang dikatakan Paulo Freire
sebagai salah satu tokoh sosial kritis, budaya populer hanya akan menghilangkan
kesadaran kita sebagai manusia yang bebas. Pertanyaannya kenapa banyak orang tidak
menjadi dirinya sendiri dan lebih suka mengikuti budaya rendahan yang gampang
hilang dan berganti. Ini sebenarnya rekayasa modrenitas agar teciptanya sebuah kelas,
budaya populer itu milik pemodal, kita yang terlalu memaksakan lebih cocok disebut
sebagai mimikri. Semakin kita terhipnotis dengan ilusi-ilusi keindahan tentang budaya
pop maka selama itu jati diri tidak akan pernah terbentuk, selamanya akan menajdi
individu “gampang goyah”. Sayangnya populer sudah menjadi budaya, maka
konsekuensi terburuk adalah munculnya genrasi “gampang goyah”.
Kamu bergaya dan kamu ada, istilah ini paling cocok untuk menggambarkan
remaja kontemporer. Kebanyakan remaja tidak sadar efek laten dari budaya populer.
Jika ditanya tanggapan mereka kebanyakan “kalau kamu mau gaul ya harus seperti ini,
kalau tidak setuju tinggal saja di hutan”. Sebenarnya kritis itu bukan menolak, tapi
memilah, selama ini kita dihadapi dengan iklan-iklan yang menampilkan keindahan
simbol modernitas. Weber dalam teorinya membagi tindakan manusia menjadi empat
yaitu: tindakan rasiona instrumental, tindakan rasional nilai, tindakan afektif, dan
tindakan tradisonal. Sebenarnya agak sulit menggolongkan konsumsi budaya pop
digolongkan dalam tindakan seperti apa, mungkin karna weber tidak menjelaskan lebih
rinci. Dalam kasus seperti ini pemikiran Boudrillard dengan konsep hyperealitasnya
sangat cocok menggambarkan kehidupan remaja “gampang goyah”. Orang-orang yang
mengkonsumsi budaya populer baik itu dari media atau pergaulan sulit membedakan
mana kenyataan dan mana kepalsuan. Pada akirnya tindakan mereka menjadi sulit untuk
dijelaskan, dan konsep yang cocok untuk memahaminya dalah simulacrum. Bagi para
pemikir orientalis (hidung mancung, mata biru, kulit putih, rambut pirang) fenomena
hyperealitas kususnya bagi kita masyarakat timur tidak lebih seperti lelucoan.
Semoga dengan tulisan ini kita bisa lebih berhati-hati dalam memahami sebuah
kepopuleran, tidak selalu yang populer sebagai tolak ukur keberadaan kita di tengah
masyarakat, dan tidak selalu yang populer itu baik untuk diri kita. Menjadi masyarakat
modern yang rasional adalah pilihan baik dan jangan pernah menuhankan kepopuleran.