Anda di halaman 1dari 8

Menjamurnya Budaya Populer dan Lunturnya Budaya

Lokal

Najata Hammada Jakti


Email: 2104036066@student.walisongo.ac.id

Budaya populer semakin berkembang cepat dari tahun ke


tahun, sejak dimulainya zaman modern dan revolusi industri
pertama di Inggris. Hampir di setiap lini kehidupan modern ini
terpengaruh oleh imbas budaya populer. Menurut Raymond
William, pemahaman mengenai budaya populer pada dasarnya
merupakan suatu reaksi dari perkembangan dalam kajian budaya
baik bersifat intelektual, spiritual, maupun estetis. Selain itu,
budaya pop dapat dikatakan juga sebagai ideologi tertentu dari
masyarakat, periode atau zaman, dan kelompok atau gerakan
tertentu. William juga berpendapat bahwa budaya pop dapat juga
mengacu kepada suatu karya dan usaha-usaha intelektual,
terutama dalam bidang artistik.1
Secara umum, budaya populer sangat disukai oleh publik
karena sifatnya menghibur, dan memberikan kesenangan sesaat
untuk berpaling dari realitas kehidupan yang keras, sehingga
memicu adiksi pada konsumennya, karena pada dasarnya
manusia mendambakan kesenangan dan industri hiburan dan
budaya populer merupakan satu-satunya industri yang
menawarkan kesenangan.
Dapat dilihat dalam bidang kuliner dipelopori dengan
adanya kedai kopi modern, atau restoran cepat saji dan gerai-gerai
1
Raymond William, Keywords : A Vocabulary of Culture and Society, (New York: Oxford
University Press, 1976), hal. 90
minimarket yang menawarkan berbagai produk dan dipasarkan
melalui iklan komersial, sehingga siapapun tertarik untuk
membeli. Tak hanya itu, Industri hiburan juga berperan aktif
dalam mengkampanyekan pop-culture ke seluruh dunia. Seperti
yang dilakukan oleh rumah produksi Netflix, atau Disney,
termasuk di dalamnya Star Wars, Marvel dan Pixar. Semuanya
bertujuan agar budaya populer semakin berkembang dan bertahan
dan para pemodal tidak kehilangan mesin uangnya.
Hal ini juga tidak terlepas dari arus globalisasi dan
kemajuan informasi, serta sikap masyarakat urban yang dapat
dengan cepat menerima budaya yang masuk tanpa melakukan
penyaringan menggunakan norma-norma dan nilai yang berlaku.
Sebagai contoh, kebutuhan primer saat ini bukanlah berdasarkan
pada kebutuhan pokok seperti sandang-pangan-papan, melainkan
pertimbangan validasi dan strata sosial di ruang publik agar
mendapatkan pengakuan dan pujian.2
Hal ini sudah pernah dibahas dan dikemukakan oleh
seorang futurolog3 Alvin Toffler pada sekitar tahun 1970, dimana
dalam bukunya “The Future Shock” ia mengatakan bahwa
manusia akan mengalami tiga proses revolusi peradaban. Proses
revolusi tersebut dimulai dengan revolusi pertanian pada zaman-
zaman awal peradaban. Dimana saat itu manusia mulai
menciptakan berbagai alat untuk bertani untuk mengelola sumber
makanannya setelah sebelumnya mereka hanya melakukan

2 Annisa Istiqomah, Ancaman Budaya Pop (Pop Culture) Terhadap Penguatan

Identitas Nasional Masyarakat Urban, Jurnal Politik Walisongo, Vol. 2, No. 1, 2020,
hal. 48.
3 Ahli dalam memprediksikan perubahan sosial di masa yang akan datang dengan

didukung oleh data-data dan argumetasi berdasarkan sisi akademis dan ilmiah.
metode food gathering dan berburu binatang untuk bertahan
hidup.4
Manusia kemudian menemukan mesin sehingga
memudahkan proses produksi massal dan menghemat tenaga.
Fase ini disebut sebagai revolusi industri karena maraknya
pabrik-pabrik yang berdiri sebagai bagian dari rumah industri.
Kemudian akibat keinginan masyarakat desa untuk bekerja di
kota sebagai buruh pabrik atau menjadi karyawan sebuah
perusahaan, pada akhirnya usaha-usaha ini memicu urbanisasi.
Seperti yang kita tahu, produksi massal menyebabkan menipisnya
bahan baku menyebabkan eksplorasi besar-besaran bangsa Eropa
ke seluruh dunia dan akhirnya melahirkan kolonialisme. Dan fase
terakhir revolusi informasi, dengan diciptakannya radio, televisi,
sistem komputerisasi, dan sistem internet.5
Prediksi mengenai tiga revolusi peradaban tersebut terbukti
benar dengan dibuktikannya fase revolusi terakhir tentang
informasi dan komunikasi. Antony Zats juga berpendapat bahwa
evolusi digital membentuk sebuah kebudayaan baru yang
mengutamakan kecepatan dan efisiesi dimana semua orang dapat
melakukan pekerjaan tanpa menunggu lama. Sehingga
membentuk suatu kepribadian yang selalu menginginkan sesuatu
secara instan.6
Baik kecepatan informasi, keefisiensi pekerjaan, dan
kemudahan komunikasi membantu perkembangan budaya
populer dan mengancam eksistensi local wisdom. Dapat dibilang,
budaya pop sudah mengakar baik di masyarakat kelas bawah

4
Muh. Hanif, "Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme Dan
Postmodernisme." Komunika, vol. 5, no. 2, Jul. 2011, hal. 2
5 Muh. Hanif, "Studi Media.....” Hal. 2
6
Muh. Hanif, "Studi Media.....” Hal. 2
hingga golongan elit, dan membentuk kepribadian generasi muda
sebagai pribadi yang memiliki sikap konsumerisme, pragmatis
dan hedonis.
Budaya hedonis dapat diartikan juga dengan kebiasaan
yang mengikuti dan mengutamakan kesenangan sebagai tujuan
dan pelarian dari permasalahan hidup. Memang setiap orang
berhak mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, namun
seseorang juga harus dapat membatasi gerak tingkahnya dalam
mengikuti perkembangan zaman. Namun sifat hedon akan sangat
membelenggu jika manusia sudah terpengaruh dan akan terus
menjadikan dirinya lebih berpenampilan glamour sehingga
menampilkan kesan gengsi. Ia cenderung mencari kesenangan
hidup, bermain, menghabiskan waktu di luar rumah, menyukai
benda-benda mahal yang mungkin belum tentu ia dapatkan.
Sikap konsumerisme dihubungkan dengan sebuah sistem
yang diciptakan oleh barat dalam bentuk iklan, produk, dan
sponsorship terhadap tokoh-tokoh budaya pop yang berpengaruh
di mata publik, sehingga terkesan seperti mengajak masyarakat
untuk melakukan aksi konsumsi massal.7 Berbeda dengan
masyarakat tradisional yang solid dan bermoral, dimana
masyarakatnya cenderung mengkonsumsi sesuatu secara
berkecukupan karena kebutuhan dasar dan demi kelangsungan
hidup, sedangkan masyarakat kota yang urban mengkonsumsi
sesuatu demi status sosial yang ingin ia tingkatkan, beberapa juga
tidak peduli dengan masalah finansial yang sedang genting.
Bahkan seseorang dapat membeli sebuah barang hingga dua atau

7
Ridharyanthi, Bentuk Budaya Populer dan Konstruksi Perilaku Konsumen Studi
Terhadap Remaja, Jurnal Visi Komunikasi, Vol. 13, No. 01, Mei 2014, Hal. 94
tiga buah hanya untuk mempertahankan pengakuan terhadap
dirinya atas orang lain.8
Perilaku konsumerisme juga dapat ditemukan dalam sikap
FOMO atau Fear of Missing Out, yakni kecemasan akan
ketertinggalan dan ketidaktahuan terhadap informasi aktual di
media sosial, atau ketakutan akan ketinggalan terhadap suatu tren.
Dimana beberapa tanda-tandanya terlihat dalam sikap sesorang
setiap setelah bangun tidur dan sebelum tidur, berupa terlalu
seringnya melihat ponsel, terlalu takut melepaskan gawai, dan
selalu meng-update apapun yang sedang tren dan populer.
Seseorang dengan sikap ini juga lebih peduli terhadap kehidupan
maya media sosial sehingga mengabaikan realita kehidupan.
Lewat hal inilah, budaya pop dapat berimbas pada
munculnya sifat individualisme, dimana manusia sudah tidak
peduli lagi dengan sekitar dan hanya mementingkan dirinya
sendiri. Tidak akan ada gotong royong, hilangnya persatuan,
keramahan bahkan rasa peduli akan hilang dari dalam diri
seseorang, yang padahal, hal tersebut dapat membentuk suatu
personal dan karakter yang kuat sesuai jati diri sebuah bangsa.
Ditambah lagi dengan adanya sikap pragmatisme.
Pragmatisme jika di artikan dalam bahasa yang lebih membumi
kurang lebih adala mengambil jalan pintas. Secara umum,
pragmatisme dalam budaya populer memandang bahwa setiap hal
diukur dari hasil dan manfaatnya, alih-alih benar dan salah, halal
atau haram, sehingga poin pentingnya adalah sesuatu yang

8 Bagong Suyanto , Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat

Post Modernisme, (Jakarta: Penerbit KENCANA Prenada Media Group, 2013), hal.
107.
berhasil didapatkannya merupakan tujuan utama tidak peduli
bagaimana ia mendapatkannya.9
Hal ini mempengaruhi daya pikir kritis generasi muda yang
menurun akibat terkena imbas budaya populer. Selalu
menginginkan sesuatu secara instan dan tidak berusaha terlebih
dahulu. Bahkan jika mempertanyakan sesuatu yang cukup sepele
saja tetap mengandalkan teknologi, sehingga terpaku pada
kecanggihan teknologi dan mengabaikan kemampuan cara
berpikirnya.
Hal-hal ini walaupun tidak disadari oleh mayoritas
manusia, namun sikap-sikap ini sudah sering terjadi di sekitar kita
bahkan kita sendiri mengalaminya dan sudah terjangkit penyakit-
penyakit kepribadian ini. Merasa tertinggal akan suatu informasi
dan tren sehingga sebelum dan sesudah tidur selalu memeriksa
gawai, merasa bahwa sebuah persoalan dirasa terlalu sulit
sehingga langsung mengandalkan mesin pencari informasi,
merasa bahwa pakaian dan aksesoris yang kita miliki kurang
memenuhi pasar publik dan gengsi sosial media. Tentunya hal-
hal tersebut pernah kita rasakan atau minimal pernah kita
pikirkan.
Secara perlahan-lahan dan tidak kita sadari, budaya-budaya
asing yang dibungkus modernisasi ini menggerus jati diri bangsa.
Generasi baru mungkin tidak terlalu mengenal bagaimana
perjuangan bertahun-tahun memperoleh sebuah kebebasan.
Bertahun-tahun berusaha mendapatkan kebebasan untuk hidup
tanpa ditindas namun mereka tetap hidup tanpa kebebasan
berekspresi dan bersuara. Generasi baru seharusnya dapat
tersadar bahwa budaya asli mereka yang kaya semakin hilang
9
Wasitohadi, Pragmatisme, Humanisme, dan Implikasinya Bagi Dunia Pedidikan di
Indonesia, (Yogyakarta: Satya Widya, Vol. 28, No. 2) Desember 2012, hal. 178.
bukan hanya karena invasi budaya populer, namun juga
kehilangan pewaris kebudayaan akibat ketidakpedulian dan
keegoisan mereka sendiri. Padahal jika mengeksplorasi lebih
dalam lagi, budaya lokal tradisional juga dapat diterapkan dan
dikombinasikan dengan budaya populer sehingga budaya lokal
dapat menjadi budaya populer yang kita ciptakan sendiri.

William, Raymond. 1976. Keywords : A Vocabulary of Culture


and Society. (New York: Oxford University Press)

Istiqomah, Annisa. 2020. Ancaman Budaya Pop (Pop Culture)


Terhadap Penguatan Identitas Nasional Masyarakat
Urban. (Jurnal Politik Walisongo. Vol. 2. No. 1)

Hanif, Muh. 2011. "Studi Media Dan Budaya Populer Dalam


Perspektif Modernisme Dan Postmodernisme." (Jurnal
Komunika. vol. 5. no. 2)
Ridharyanthi. 2014. Bentuk Budaya Populer dan Konstruksi
Perilaku Konsumen Studi Terhadap Remaja. (Jurnal Visi
Komunikasi. Vol. 13. No. 01)

Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan


Konsumsi di Era Masyarakat Post Modernisme, (Jakarta:
Penerbit KENCANA Prenada Media Group)

Wasitohadi. Pragmatisme, Humanisme, dan Implikasinya Bagi


Dunia Pedidikan di Indonesia. (Yogyakarta: Satya Widya.
Vol. 28. No. 2)

Anda mungkin juga menyukai