Anda di halaman 1dari 6

Kritik Land Ethics Aldo Leopold dan Perbandingan Etika Lingkungan

Perspektif Islam.

Najata Hammada Jakti.


Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Walisongo.
*) 2104036066.

Mata Kuliah Agama dan Lingkungan


Dosen: Ahmad Fauzan Hidayatullah

Abstrak

Etika Bumi yang dicetuskan oleh Aldo Leopold seharusnya memiliki implikasi yang
sangat masif kepada jiwa dan perilaku masyarakat modern. Bagi masyarakat modern,
kehadiran konsep etika bumi seharusnya menjadikan penegas bahwa selain menjaga perilaku
dan memperbaiki moral kepada sesama manusia, ia juga harus berperilaku baik dan menaruh
rasa hormat kepada alam dan lingkungan, kepada ibu bumi. Namun dalam
perkembangannya, sejalan dengan menguatnya hegemoni kapitalisme dan ekonomi, alam
hanya sekedar sebuah properti yang nantinya akan mengisi pundi-pundi uang dan statistik
negara dan manusia semakin hari semakin terseret kepada kapitalisme dan ekonomi demi
memenuhi kebutuhan supply and demand, tidak hanya itu, mandegnya kemajuan berpikir
sebagai akibat dari modernisasi yang serba instan juga menghalangi seseorang untuk
memahami esensi dan mengubah kebiasaannya untuk lebih baik dalam berperilaku kepada
alam, dimana seharusnya alam dipandang selayaknya seorang ibu atau seorang pelindung
bukan sebuah objek yang tidak memiliki rasa. Selain mengambil Sumber Daya Alam tanpa
mengukur ketersediaannya, manusia juga sering menjadikan alam liar seperti hutan, pusat
konservasi, hingga kawasan satwa yang dilindungi untuk tujuan pribadi manusia,
pembangunan tiada henti hingga masuk ke dalam habitat flora dan fauna yang eksistensinya
semakin terancam. Bencana akibat ketimpangan alam, perubahan signifikan terhadap
stabilitas iklim, hingga krisis sumber daya alam, seluruhnya merupakan permasalahan yang
belum selesai dipecahkan sementara manusia sendiri belum dapat memecahkan kemiskinan.
Artikel ini selain membahas tentang keunggulan etika bumi dan pujian kontribusi Leopold
untuk ekologi, juga memaparkan beberapa kekurangan serta kritik dari teori etika bumi. Serta
memberikan penjelasan dan pembandingan antara pendapat teori etika lingkungan perspektif
Islam yang dipaparkan oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawiy dengan apa yang disampaikan oleh
Leopold.
Kata Kunci: Land Ethic, Etika Bumi, Ihyaul Mawat, Biodiversitas

Pendahuluan

Land Ethic Theory atau Teori Etika Bumi, merupakan sebuah konsep moral klasik
terhadap lingkungan yang dicetuskan oleh Aldo Leopold, seorang ekologi yang juga menajer
konservasi hutan dan manajer sebuah komunitas wildlife. Ia secara tidak langsung
meneruskan usaha yang dilakukan oleh sesama pengabdi ekologi wildlife bernama John Muir,
yang menjadi pendiri kelompok Siere. Ia pertama kali mengkampanyekan etika bumi ini pada

1
sekitar tahun 1993, kemudian dijabarkan dan secara bertahap dicantumkan dalam artikel
berjudul A Sand County Almanac1

Ia menekankan pada pentingnya menganggap seluruh sistem alam, baik yang berupa
makhluk hidup hayati maupun makhluk hidup non-hayati adalah makhluk yang memiliki
integritas terhadap tatanan ekosistem.

Dimana hal ini dibuktikan dengan usaha untuk menyatukan esensi manusia dengan
alam, sebuah kenyataan bahwa manusia perlu melakukan perubahan terhadap cara pandang
dan perannya sebagai penjarah kekayaan alam, menjadi unsur tak terpisahkan dari siklus
alam. Selain itu Aldo Leopold berpandangan bahwa manusia melihat alam dengan perspektif
kapitalisme, yang menganggap bahwa bumi dan alam semesta merupakan sebuah komoditas
yang harus dieksploitasi sedalam mungkin untuk memenuhi permintaan dan penawaran
pasar. Namun jika dipandang sebagai bagian dari unsur yang menopang kehidupan manusia,
maka ia akan mengaplikasikannya dengan secukupnya sesuai rasa tanggung jawab.2

Dalam pandangan filsafat, sebenarnya ilmu tentang etika lingkungan dianggap


sebagai disiplin ilmu yang netral dan labil, ia dianggap sebagai ilmu yang terlalu simpel dan
sederhana bagi Ilmu Filsafat, namun terlalu teoritis dan rumit bagi kaum environmentalis
pekerja lapangan karena aturan-aturan akademisnya.3

Sebelum Leopold mencetuskan etika bumi, masyarakat sebagian besar menganut


prinsip kapitalisme yang dipopulerkan oleh John Locke, dimana tanah merupakan properti
yang dapat dimiliki oleh siapapun,4 kepemilikan menurut Locke adalah bagian dari hak asasi
manusia dan ia berhak atas properti tersebut karena tenaga fisiknya atau usahanya, sehingga
patut untuk dilindungi, termasuk tanah.5

Namun dalam pandangan etika bumi, tanah tidak dapat diobjektifikasi seperti halnya
barang atau properti pribadi, tanah pada dasarnya memiliki sifat dan perasaan seperti
organisme yang dapat sehat maupun sakit, dapat merugikan atau bermanfaat bagi alam. Yang
berarti, tanah memiliki energi yang tidak diketahui oleh manusia, serta bumi memiliki suatu

1 Bambang Saeful Hadi, Membangun Etika Lingkungan Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan,
Geomedia: Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian, Vol. 4, No. 2, November 2006. Hal. 126
2 Abdul Quddus, Green Religion: Konservasi Alam Berbasis Spiritualitas Islam, Mataram: Sanabil,

2020, Hal. 180


3 Eka Budianta, eksekutif Bijak Lingkungan, Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara,

Tahun 1997, Hal. 9


4 Maxwell-Borjour Achuk Eba, A Critique of Aldo Leopold Land Ethic for Environmental

Management. Jurnal Office: Jurnal Pemikiran Ilmiah dan Pendidkan Administrasi Perkantoran, Vol.
6, No. 2, July-December 2020, Hal. 131
5 Rai Mantili, Eksistensi Teori Hak Milik Pribadi dalam Kepemilikan Perseroan Terbatas (Dari

Perspektif Kapitalisme dan Sistem Ekonomi Pancasila) ACTA DIURNAL: Jurnal Ilmu Hukum
Kenotariatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2022, hal. 252.

2
batasan-batasan tertentu dimana sumber dayanya yang tidak mungkin akan eksis secara terus
menerus.

Hal ini sejalan dengan prinsip etika bumi dimana bumi tidak selamanya
menyediakan sumber daya yang cukup untuk manusia dan terbatas jika manusia tidak
berusaha untuk melestarikan biodiversitas. Manusia memang wajib melestarikan dan
menanggung kepentingan-kepentingan alam, karena selain memiliki sistemnya sendiri, alam
juga memiliki keterbatasan dalam mengatur dirinya sendiri, sehingga hal tersebut merupakan
bagian dari tugas manusia sebagai sesama anggota alam, bukannya menjadi penguasa alam
tetapi lebih ditekankan pada pengasuh alam.6

Kritik terhadap Etika Lingkungan Aldo Leopold

Sejauh yang dapat diketahui, etika tanah atau etika bumi dihadapkan pada persoalan
kritik yang sangat penting sekaligus krusial. Dari sisi kemanusiaan, teori Leopold menuai
kritik bahwa demi kesejahteraan keseluruhan makhluk, Leopold berani mengorbankan
kepentingan pribadi dan kesejahteraan individu. Maksudnya adalah, dengan mengorbankan
dan meredam kesejahteraan individu sebagai tujuan dari kepentingan manusia, dimana ini
mendapat kritik bahwa kesejahteraan lingkungan dapat berjalan tanpa mengorbankan
kepentingan kemanusiaan.

Menurut Tom Regan, etika lingkungan berdasar pada hak yang mensyaratkan untuk
memulihkan hubungan antara rasa kepemilikan moral yang bersifat individualis dengan
konsep alam berbasis sains yang lebih holistik. Kembali pada konsep manusia yang
merupakan bagian dari biodiversitas alam, dan memang konsep tersebut tidak dapat
dipungkiri lagi, namun konsep ini dutujukan dalam konteks biotis alih-alih moral, sehingga
dapat terlihat sekat pembatas antara disiplin ilmu sains dan ilmu moral yang lebih berfokus
dalam perilaku dan akhlak.7

Selain kritik miring dari Tom Regan, John Passmore juga menyampaikan
perspektifnya, dimana suatu masyarakat yang paham tentang bagaimana mengambil manfaat
secukupnya dari alam dan paham bagaimana meredam emosi, amarah dan nafsu, maka
mereka tidak membutuhkan konsep Land Ethic, karena konsep etika bumi sudah menjadi
bagian dari kepribadian dalam diri mereka. Sehingga secara tidak langsung, Passmore
berpendapat bahwa masyarakat tidak membutuhkan etika baru, hanya saja sifat arogansi yang
mempengaruhi manusia untuk selalu mengeksploitasi alam.8

6 Bambang Saeful Hadi, Membangun Etika Lingkungan Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan,
Geomedia: Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian, Vol. 4, No. 2, November 2006. Hal. 125
7 Maxwell-Borjour Achuk Eba, A Critique of Aldo Leopold Land Ethic.... Hal. 138.
8 Abdul Quddus, Green Religion...

3
Kritik lainnya dari Tom Regan juga mempermasalahkan konsep komunitas alam
yang diproyeksikan Leopold, dimana konsep ini cenderung bermakna ganda. Dan sejauh yang
dapat diketahui, bahwa didalam komunitas harus dibatasi dengan pembagian hak dan
kewajiban, sementara dalam lingkungan dan alam liar, tidak dapat ditemukan unsur-unsur
pembangun komunitas tersebut. Terlebih lagi dijelaskan bahwa individu manusia dengan
segala kepentingannya cenderung dikorbankan dengan alasan kepentingan seluruh
komponen biotis dan manusia dalam teori ini hanya dipandang sebagai makhluk biologis
semata, padahal unsur pembangun manusia terlalu kompleks dari sekedar permasalahan
biotis.9

Land Ethic pespektif Islam Menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawiy

Sangat ironis jika bangsa barat mencoba mengkampanyekan kelestarian alam


sementara umat Islam yang telah dianjurkan lebih dari 1400 tahun lalu membiarkan
pengrusakan lahan, eksploitasi besar-besaran, dan berbagai ketimpangan lingkungan.
Tentunya hal tersebut akan dinilai sebagai suatu pembangkangan terhadap ajaran agama.
Walaupun secara tekstual umat manusia diperintahkan oleh Allah untuk mempraktikkan
konsep Antroposentris, namun secara kontekstual hanya Allah SWT. yang Maha Mengetahui
bahwa yang dapat melestarikan dan mengurus persoalan alam diluar sistem ekologi hanya
manusia, sesuai dengan karunia akalnya.

Dalam hal ini, seorang pemikir dan pembaharu Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawiy
sebagai ulama yang berfokus pada kajian Maqashid Shari`ah mencoba mengkaji lebih dalam
etika bumi sebagai bagian dari persoalan kontemporer dan fikih lingkungan. Tentunya
pendapat yang ia keluarkan sesuai dengan tuntutan dan kemaslahatan umat.

Perlakuan terhadap makhluk hidup, serta makhluk yang tidak hidup atau makhluk
berakal dan tidak berakal didasari oleh tujuan syariat. Selain menegakkan ajaran agama, juga
untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dengan segenap kemampuan. Sebisa mungkin ia
mengutarakan pendapatnya dengan keselarasan syariat. Sehingga dapat dipastikan bahwa
secara konstan, ia membangun sebuah konsep paradigma fikih dengan basis Lingkungan atau
environment-based fiqh.10

Seperti contohnya dalam etika pemeliharaan tanah, yang dalam istilahnya dikenal
dengan Ihyaul Mawat, yang berarti menghidupkan lahan yang mati, lahan yang rusak, tidak
ada tanaman hidup, penuh dengan sampah dan limbah serta tidak dibangun bangunan
diatasnya. Sesuai tujuannya, konsep Ihyaul Mawat memberikan bukti bahwa sebuah lahan

9Tom Regan, The Case for Animal Rights, Berkeley: University of California Press, 1983, hal. 327
10Maizer Said Nahdi, Dkk, Etika Lingkungan dalam Perspektif Yususf Al-Qaradhawy, AL-Jami`ah:
Journal of Islamic Studies, Vol. 44, No. 1, Tahun 2006, Hal. 204

4
dapat memiliki rasa dan sifat yang sama dengan makhluk hidup, dapat hidup dan mati, yang
jika tidak dikelola hanya akan kehilangan manfaat dan sumber daya energi bagi makhluk lain.
11

Ihyaul Mawat tidak hanya berkutat pada persoalan bercocok tanam dan pemenuhan
kebutuhan manusia. Usaha pembersihan lahan dan penghijauan juga dapat dikatakan
menghidupkan lahan yang mati walaupun tidak merasakan manfaatnya secara langsung
seperti bercocok tanam atau bertani, tapi dengan mengubah lahan yang penuh limbah,
sampah dan semak belukar atau tanaman liar sudah cukup menghidupi makhluk-makhluk di
sekitar kawasan tersebut. Selain itu dengan tercapainya konsep Ihyaul Mawat yang berfokus
pada biosentris dan ekosentris tersebut, manusia juga mendapatkan manfaatnya secara
tersirat, setidaknya mengurangi emisi karbondioksida dan menambah kadar oksigen bagi
alam serta terjaganya lapisan ozon di atmosfer.

Seiring dengan meningkatnya proses produksi di dalam industri, tanah dan air
mengalami penurunan kualitas. Walaupun air memiliki siklus hidrologinya, namun tetap saja
dampaknya bagi kesehatan cukup masif, sebagaimana yang diketahui, air merupakan pusat
kehidupan bagi seluruh makhluk, baik manusia, tumbuhan, dan binatang saling
membutuhkan air. Dari permaslahan ini, Rasulullah pada akhirnya juga melarang umatnya
untuk menggunakan air secara berlebihan dan melarang perbuatan mencemari sumber air,
air mengalir, dan bahkan air yang tergenang.

Konsep pemeliharaan tanah dan air ini menjadi landasan bagi umat untuk lebih
memprioritaskan kepentingan biodiversitas. Karena air dan tanah adalah fondasi bagi
terciptanya ekosistem, maka dengan begitu kepentingan makhluk lain juga tidak akan
tertinggal dengan terjaganya air dan tanah. Sehingga nantinya manusia akan lebih
menghargai hewan dan tumbuhan dengan mengambil manfaat secukupnya, menjaganya dari
pengrusakan atau pembasmian serta melipatgandakan populasi.

11 Maizer Said Nahdi, , Dkk, Etika Lingkungan....” Hal. 211

5
Daftar Pustaka

Budianta, Eka. 1997. Eksekutif Bijak Lingkungan. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara.

Eba, Maxwell-Borjour Achuk. 2020. A Critique of Aldo Leopold Land Ethic for Environmental
Management. Jurnal Office: Jurnal Pemikiran Ilmiah dan Pendidkan Administrasi
Perkantoran. Vol. 6. No. 2.

Hadi, Bambang Saeful. 2006. Membangun Etika Lingkungan Sebagai Basis Pembangunan
Berkelanjutan. Geomedia: Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian. Vol. 4. No.
2.

Mantili, Rai. 2022. Eksistensi Teori Hak Milik Pribadi dalam Kepemilikan Perseroan
Terbatas (Dari Perspektif Kapitalisme dan Sistem Ekonomi Pancasila) ACTA
DIURNAL: Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan. Vol. 5. No. 2.

Nahdi, Maizer Said. Dkk. 2006. Etika Lingkungan dalam Perspektif Yususf Al-Qaradhawy.
AL-Jami`ah: Journal of Islamic Studies. Vol. 44. No. 1.

Quddus, Abdul. 2020. Green Religion: Konservasi Alam Berbasis Spiritualitas Islam.
Mataram: Sanabil.

Regan, Tom. 1983. The Case for Animal Rights. Berkeley: University of California Press.

Anda mungkin juga menyukai