Anda di halaman 1dari 6

Kasus Pelanggaran HAM dan Rendahnya Human Security di Konflik Kashmir I-III

Najata Hammada Jakti


2104036066
Mata Kuliah Geografi Konflik
Studi Agama Agama.

Konflik Kashmir memang memiliki segudang permasalahan yang dari awal mula
konflik hingga saat ini permasalahan ini timbul tenggelam karena berbagai kontak
bersenjata dan diakhiri gencatan senjata namun kembali tersulut lagi. Walaupun konflik ini
tentang perebutan wilayah Kashmir oleh Pakistan dan India, namun ternyata banyak sekali
faktor-faktor pendukung konflik yang dapat menyebabkan konflik ini tumbuh subur.
Terutama masalah kelompok etnis, agama, hingga ideologi.
Secara teritorial dan geografis, Kashmir terletak diwilayah dataran tinggi dan
merupakan bagian dari jajaran pegunungan Himalaya. Memiliki tanah dengan tingkat
kesuburan tinggi, wilayah pegunungan yang indah, dan aliran sungainya yang masih jernih
tidak seperti di hilir India yang sudah tercemar polusi, sampah dan terkesan kotor, membuat
wilayah ini sebagai surga yang diinginkan oleh siapapun. Hingga memiliki julukan Taman
musim Semi Abadi dan Bentang Besi Istana Raja.
Di utara Kashmir berbatasan dengan Afghanistandan China, sementara di sebelah
timur berbatasan dengan tibet, disebelah barat berbatasan dengan Pakistan, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan India. Kashmir beribukota di Srinagar, sebuah kota tua yang
masih berdiri di dekat danau Dal, dan tepat diluar kota Srinagar, terdapat Taman bernama
Shalimar yang dibangun oleh Kaisar Mughal Jahangir. Udaranya sangat sejuk karena berada
di ketinggian 1500 MdPL.
Walaupun keindahannya sampai pada taraf sulit dilukiskan dengan kata-kata dan
sulit dibayangkan jika belum pergi kesana, tempat tersebut memiliki ironinya tersendiri.
Posisi wilayahnya yang dikelilingi negara-negara besar membuatnya menjadi target
perebutan oleh banyak pihak, terutama oleh India dan Pakistan. kedua bangsa ini sudah
sejak inggris meninggalkan anak benua India dan asia selatan, berusaha mendapatkan Tanah
Kashmir.
Latar belakang sebenarnya dari konflik Kashmir ini tidak lain adalah peristiwa
pemisahan India atau The Great Partition. Dimana pada kongres nasional India, tokoh-tokoh
penting seperti Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, B.G Tilak, Banerjee, Mohammad Ali
Jinnah, Iskandar Mirza dan Liaquat Ali Khan beradu argumen. Dalam kongres ini terdapat
dua partai yang saling berseberangan. Kaum nasionalis India seperti Mahatma Gandhi
mewakili kaum nasionalis beragama Hindu mencoba mengutarakan Teori Nasionalisme
India, dimana umat berbagai Agama dapat hidup bersama di satu kesatuan negara India.1
Namun partai Oposisi, Liga Muslim menolak hal tersebut dengan tampilnya
Mohammad Ali Jinnah mengutarakan argumen mengenai Teori Dua Bangsa. Dimana umat
Muslim memisahkan diri dengan membentuk negara mandiri dan merdeka. Alasan umat
Muslim mencoba memisahkan diri dari dominasi Hindu, tidak lain karena perlakuan umat
Hindu selama ratusan tahun pasca runtuhnya Kekaisaran Mughal. Umat Hindu India

1
Ahmad Burhan Hakim, “Kashmir dalam Pusaran Konflik Antara India dan Pakistan.” Journal of Internasional
Relations, Vol. 1, No. 1, Februari 2022, hal. 42.
cenderung menindas umat Islam, diskriminasi dan subordinasi menjadi kebiasaan kaum
Hindu India.
Sehingga gagasan tentang konsep Dua Bangsa segera disetujui oleh seluruh umat
Muslim India. Namun hal tersebut tetap ditentang oleh Mahatma Gandhi, sahabat Ali
Jinnah, menurut Gandhi, masih terdapat umat Hindu India yang memiliki sikap moderat
terhadap umat agama lain khususnya Islam. Tetapi dalam realitanya, menurut Ali Jinnah,
umat Hindu India akan tetap bersikap diskriminatif dan subordinatif jika pemisahan ini
dilakukan. Tekanan umat Hindu India ini pada akhirnya menjadikan masalah serius yang
berimbas ke wilayah Kashmir.
Jika dahulu umat Hindu tidak mendiskriminasikan umat islam, tentunya konsep
Dua Bangsa tidak akan terwujud, dan Pemisahan India menjadi Pakistan tidak pernah ada.
Jika umat Islam tidak membentuk otoritasnya sendiri, maka India tidak akan berkonflik
dengan Pakistan untuk memperebutkan Kashmir, karena memang Pakistan tidak pernah
eksis menjadi negara mandiri dan hanya merupakan bagian dari wilayah administratif India.
Dan Kashmir secara otomatis masuk ke dalam administratif India juga.
Dengan demikian, terdapat beberapa faktor utama yang melatar belakangi
kekacauan di India dan Pakistan. yang paling berdampak signifikan tentunya adalah faktor
politik dan agama. Karena politik sendiri menjadi konsen bagi keberlangsungan kedua
negara dan agama dapat mempengaruhi pribadi masyarakatnya dalam menentukan tujuan
kebangsaannya. Terutama tentang pandangan Ali Jinnah sendiri yang terkesan Skriptualis
dalam membaca konflik tersebut dan menurutnya, persoalan agama dan negara tidak dapat
dibatasi.
Jika dilihat dari sudut pandang faktor agama, mayoritas penduduk Kashmir
beragama Islam, namun yang menjadi permasalahan, pemimpin wilayah ini, yakni Harry
SIngh beragama Hindu. Pada awalnya, Kashmir sebagai wilayah dari Indian Pincely States
diberi pilihan oleh inggris, antara bergabung dengan Pakistan atau dengan India, namun
Harry SIngh melakukan manuver yang tidak terduga dengan mendirikan negara baru.
Namun pada 27 Oktober 1947, secara tiba-tiba dan tanpa keputusan referendum masyrakat
Kashmir, Harry SIngh mendeklarasikan diri dengan bergabung ke dalam administrasi India.
Hal tersebut memicu kemarahan dari Pakistan dan protes dari penduduk Kashmir.2
Dalam usahanya ergabung dengan India, karena kesulitan dalam menangani
perbedaan pendapat antara pemerintah Kashmir dan Rakyatnya, akhirnya ia meminta
bantuan kepada PM India Jawaharlal Nehru dan melahirkan perjanjian asensi 1947 tersebut.
Sikap labil pemimpin Kashmir Harry Singh memang menyebabkan Pakistan, India bahkan
rakyatnya sendiri geram. Walaupun setelah bergabung dengan India, Harry Singh juga
menginginkan Kashmir untuk bergabung dengan Pakistan dengan dalih penduduk yang
memiliki kultur dan emosional yang sama dengan Pakistan.3
Peristiwa inilah yang menjadi awal mula konflik Kashmir I tahun 1947-1949.
Setelah penandatanganan Perjanjian Asesi, India secara cepat langsung bergerak
mengirimkan pasukan ke Srinagar pada tanggal 27 Oktober 2947 sebagai Garnisun untuk

2
Demita Ayuwanda Mukti, “Dampak Konflik India-Pakistan di Wilayah Kashmir terhadap Stabilitas Keamanan
Asia Selatan Pada Tahun 2016-2019.” BALCONY: Budi Luhur Journal of Contemporary Diplomacy, Vol. 4, No. 2,
25 September 2020, Hal. 103-104.
3
Ahmad Burhan Hakim.
berjaga-jaga dari kemungkinan serangan Pakistan. yang diprediksikan oleh India ternyata
benar, dengan cepat pertempuran kedua negara tersebut meletus di Jammu, Kashmir.4
Perang ini diakhiri dengan gencatan senjata dan menyepakati garis batas wilayah
di Karachi atau Case Fire Line, yang dikemudian hari dikenal sebagai Line of Control.
Sebenarnya secara status wilayah tersebut masih dalam sengketa India dan Pakistan,
sehingga wilayah tersebut dibagi kedalam dua teritori. Pakistan Over Kashmir dan India
Over Kashmir. Daerah timur mencakup Lembah Kashmir, Jammu dan Ladakh dijaga oleh
pasukan keamanan India, sedangkan sebelah Barat yang lebih dikenal dengan istilah Azad
Kashmir diduduki oleh Pakistan.
Konflik lanjutan dari Konflik Kashmir I adalah pengesahan pengintegrasian
wilayah Kashmir kepada India oleh Majelis Konstituante Kashmir pada tanggal 6 Februari
1954, dan pada 19 November 1956, dinyatakan secara resmi bahwa Kashmir adalah bagian
dari wilayah India. Tanggal 26 Januari 1957 India melakukan perumusan tentang ketentuan
pemindahan kekuasaan dan menyatakan ketentuan tersebut tidak bisa diganggu gugat.
Sehingga pbb mempersepsikan jika konflik Kashmir telah selesai dan Kashmir
sendiri telah memutuskan untuk bergabung dengan India. Keadaan di perbatasan semakin
buruk, dimana Pakistan sudah mulai mencoba menginvasi Kashmir dan terjadilah baku
tembak antara pasukan India dan Pakistan pada Maret 1965. Serangkaian insiden yang lebih
buruk meningkat pada bulan April tepatnya di Rann of Kutch.
Tanggal 5 Agustus 1965 tentara Pakistan sebanyak 20 ribu hingga 30 ribu bergerak
melintasi Line of Control dan memasuki wilayah Kashmir. Dan pada akhirnya dilakukan
sebuah gencatan senjata oleh India. Namun hal tersebut hanyalah akal-akalan India agar
fokus Pakistan terkecoh, karena strategi India adalah menyerang Lahore selagi Pakistan
sibuk menduduki Kashmir dan melakukan perundingan. Sehingga hal ini menjadi titik balik
bagi Pakistan pada tahun 1965.

Pelanggaran HAM
Pasca 1989, aksi pelanggaran HAM semakin meningkat secara signifikan.
Biasanya dalam zona merah karena peperangan dan konflik, penduduk sipil yang terkena
imbas perang berkepanjangan menjadi tahanan tanpa ada kasus kejahatan yang jelas, bahkan
hingga berbulan-bulan, penyiksaan oleh pasukan keamanan menjadi hal biasa di penahanan
sipil, Sementara kaum wanitanya mengklaim bahwa mereka menjadi korban pemerkosaan
pasukan keamanan, hal ini menjadikan bukti bahwa tingkat keamanan manusia di wilayah
konflik khususnya Kashmir sangat rendah sekali.5
Memang dalam keadaan dan kondisi sengketa suatu kelompok, satu-satunya pihak
yang memiliki ototritas dan kewenangan untuk mengontrol kekacauan adalah negara.namun
bagaimana jika negara sendirilah yang ternyata menciptakan persengketaan tersebut? Hal
inilah yang menurut kaum realis bukanlah sebuah kejahatan, namun hal ini merupakan suatu
upaya yang dilakukan untuk memenangkan perselisihan, karena menurut kaum realis
sendiri, kemenangan dalam perang lebih penting daripada menerima kekalahan, karena hal
tersebut sama saja menjadi tumpukan permasalahan yang semakin memperkeruh baik
dengan hubungan eksternal negara maupun internal negara.

4
Monica Krisna Ayunda, “Konfik India dan Pakistan Mengenai Wilayah Kashmir Beserta Dampaknya.” Risalah:
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, hal. 918.
5
Ines Florenca Tabita Hutauruk, “Pelanggaran HAM di Kashmir sebagai Dampak dari Sengketa Wilayah India
Pakistan.” Journal of Internasional Relations, Vol. 8, No. 3, 2022, hal. 273
Strategi yang tidak manusiawi ini sebenarnya menjadi acuan banyak negara dalam
menghadapi konflik berkepanjangan yang tidak dapat diselesaikan. Seperti halnya kasus
Amerika Serikat yng menindas warga Irak karena ternyata pertahanan Irak sangat sulit
ditembus dan invasi yang hampir gagal, sehingga pasukan keamanan melakukan sebuah
aksi Viktimasi Warga Sipil sebagai strategi menurunkan persentase kekalahan. Tentunya
hal ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah melanggar
konferensi jenewa tahun 1864 tentang larangan membunuh penduduk sipil.
Menurut Statuta Roma pasal 8, aksi kejahatan perang yang dimaksud adalah
pembunuhan secara sengaja, penyiksaan contohnya seperti eksperimen biologis, dengan
menyebabkan rasa sakit dan penderitaan serius pada fisik, perampasan dan penghancuran
hak milik, penahanan tanpa kejahatan, serta penyanderaan. Maka aksi pasukan India di
Kashmir dapat dikatakan sebagai kejahatan perang.
Lalu kenapa kejahatan perang seperti ini masih bebas dilakukan dan pihak berwajib
belum melakukan pengusutan? Sebenarnya pengusutan dan penyelidikan telah dilakukan
oleh otoritas lokal, namun sebelumnya secara cerdik, pemerintah India di masa rezim Nehru
menciptakan undang-undang yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia untuk
melanggengkan usahanya dalam melakukan Viktimasi Warga Sipil .6
Dimana pemerintah telah memberikan injeksi kekebalan terhadap pasukan
keamanan yang berbasis di wilayah Jammu. Ketika Otoritas Hak Asasi Manusia mencoba
untuk menyelidiki kasus-kasus ini, mereka harus meminta izin dan mendapat izin dari
pemerintah India di New Delhi dibawah Armed Forces Spesial Powers Act (AFSPA) dengan
regulasi yang dipersulit tentunya.
OHCHR menemukan kasus bahwa pasukan keamanan seringkali melakukan
otoritas yang berlebihan eperti menggunakan senapan pelet sebagai senjata pembubar massa
walaupun dalam temuan bukti hal tersebut menyebabkan cedera serius hingga kematian
warga sipil. Selain itu perempuan yang menjadi korban pemerkosaan karena terlibat dalam
gerakan pembebasan dan menjadi simpatisan untuk memerangi pasukan keamanan India.
Pemerkosaan massal yang terjadi di Kunan, Poshpora pada 23 Februari 1991
adalah bukti penggunaan pemerkosaan sebagai strategi perang oleh pasukan keamanan India
untuk memperbesar potensi kemenangan konflik di Kashmir. Peristiwa ini menunjukkan
bahwa pemerkosaan dilakukan secara sistematis oleh pasukan keamanan India dengan
tujuan menimbulkan ketakutan dan teror di antara penduduk Kashmir yang tinggal di
wilayah yang menjadi sengketa.
Menurut Committee of Concerned Scientists, sebuah kelompok pemantau hak asasi
manusia lokal, perempuan di Kashmir menjadi sasaran pemerkosaan oleh pasukan India
dalam berbagai kasus, termasuk selama penyergapan militer, operasi pencarian, dan
serangan pembalasan. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa setelah pencabutan Pasal
370, terjadi peningkatan kasus pemerkosaan terutama di desa-desa miskin dan terpencil di
wilayah pendudukan pasukan India. Laporan dari Human Rights Watch juga
mengkonfirmasi temuan ini, menggambarkan peningkatan kejadian pemerkosaan setelah
pencabutan Pasal 370 terjadi, dengan daerah-daerah terpencil di Kashmir menjadi area yang
rentan terhadap kekerasan seksual.7
Seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch mengenai penggunaan
pemerkosaan sebagai senjata perang di wilayah Jammu dan Kashmir, cendekiawan Seejma

6
Ines Florenca Tabita Hutauruk, “Pelanggaran HAM di Kashmir...” hal. 274
7
Ines Florenca Tabita Hutauruk, “Pelanggaran HAM di Kashmir...” hal. 277
Kazi menyatakan bahwa pemerkosaan berfungsi sebagai alat untuk menundukkan
komunitas Kashmir secara umum. Selain itu, tindakan tersebut juga bertujuan untuk
melemahkan perlawanan di Kashmir. Terdapat juga kasus dokumentasi di mana tentara
mengakui bahwa mereka diperintahkan untuk melakukan pemerkosaan terhadap wanita.
Sehar Kamran, presiden senator Centre for Pakistan and Gulf Studies (CPGS),
mengungkapkan bahwa India telah menerapkan pembatasan yang sangat berat dalam
menekan suara penduduk di IIOJK (Indian Illegally Occupied Jammu and Kashmir) dengan
melakukan penculikan, penyanderaan, dan tindakan serupa. Selama lebih dari tiga dekade,
lebih dari 11.000 perempuan di Kashmir menjadi korban pemerkosaan massal oleh pasukan
pendudukan India di Jammu dan Kashmir.
Selain itu, tindakan tersebut juga digunakan untuk melemahkan perlawanan di
Kashmir, dan terdapat kasus di mana tentara yang terdokumentasi mengaku diperintahkan
untuk memperkosa wanita. Salah satu contoh kejadian adalah pada tanggal 29 Mei 2009, di
daerah Sophian, di mana dua wanita muda bernama Aisyah dan Neelofar pergi ke kebun
apel mereka di lembah Kashmir namun tidak kembali dan ditemukan tewas keesokan
harinya dengan luka parah dan pakaian hancur.
Penduduk setempat menduga bahwa mereka telah diperkosa dan dibunuh oleh
pasukan keamanan India yang beroperasi di daerah tersebut. Tim medis yang melakukan
otopsi mengonfirmasi bahwa kedua korban telah diperkosa. Laporan dari Laboratorium
Ilmu Forensik di Srinagar juga mengkonfirmasi bahwa peristiwa tersebut adalah
pemerkosaan dan pembunuhan. Namun, pemerintah dan polisi setempat menolak temuan
tersebut dan mempertahankan pernyataan bahwa korban meninggal karena tenggelam.
Kasus ini telah memicu protes di antara penduduk Sophian, namun setelah
bertahun-tahun, keadilan dalam kasus ini belum terwujud. Bukan hanya satu kasus, tapi
ratusan wanita yang diserang oleh pasukan India selalu diabaikan dan tidak mendapatkan
keadilan. Penutupan paksa kasus Aisyah dan Neelofar menunjukkan pengabaian terhadap
proses keadilan dan hambatan hukum yang menghalangi penegakan keadilan atas pelecehan
seksual oleh pasukan keamanan.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, terlihat bahwa pasukan keamanan India telah
menggunakan pemerkosaan sebagai strategi perang dalam konflik Kashmir. Namun, kasus-
kasus ini jarang mendapatkan keadilan karena adanya impunitas yang diberikan oleh India
kepada pasukan keamanan mereka. Pasukan keamanan India menargetkan aspek tertentu
dalam penggunaan pemerkosaan di Kashmir, yaitu untuk melemahkan militan di Kashmir.
Pemerkosaan ini menciptakan rasa malu baik bagi korban maupun para militan,
karena mereka gagal melindungi kehormatan dan melayani komunitas mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa pasukan keamanan India ingin menegaskan kekuatan dan
dominasinya. Melalui tindakan pemerkosaan, mereka menunjukkan superioritas mereka
atas musuh-musuh mereka, dengan upaya melemahkan dan menundukkan mereka.

Kesimpulan
Faktor-faktor pendukung Konflik Kashmir tidak hanya berpusat pada perebutan
wilayah antara India dan Pakistan, tetapi juga melibatkan faktor-faktor seperti perbedaan
agama, kelompok etnis, dan ideologi. Hal ini menunjukkan kompleksitas konflik dan
menyebabkan ketegangan yang tinggi. Faktor politik dan agama memiliki peran yang
signifikan dalam konflik ini. Konsep Dua Bangsa yang diusung oleh Liga Muslim dan
perselisihan antara nasionalis India dan kaum Muslim memperburuk ketegangan antara
kedua negara. Perbedaan agama dan perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam juga
menjadi faktor pendorong konflik.
Hal ini juga diperburuk dengan tindakan pemimpin Kashmir, seperti Harry SIngh
yang memilih untuk bergabung dengan India tanpa melibatkan keputusan referendum,
memicu kemarahan Pakistan dan protes dari penduduk Kashmir. Keputusan ini menjadi
sumber konflik yang berkelanjutan antara India dan Pakistan terkait Kashmir.
Tak hanya tentang konflik bersenjata antara pasukan India dan Pakistan, Pasukan
keamanan yang bertugas juga melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia,
termasuk pembunuhan, penyiksaan, perampasan hak milik, dan penyanderaan. Kejahatan
perang ini harus ditindak dan diusut oleh pihak berwenang, namun adanya undang-undang
terlarang yang melindungi pasukan keamanan di Kashmir telah menyulitkan proses
pengusutan.
Konflik Kashmir memiliki sebab yang kompleks, melibatkan faktor politik, agama,
dan perbedaan etnis. Pelanggaran HAM yang terjadi di Kashmir menunjukkan rendahnya
human security di wilayah tersebut. Upaya untuk mengakhiri konflik dan meningkatkan
keamanan dan hak asasi manusia di Kashmir harus menjadi prioritas bagi pemerintah India
dan Pakistan, serta komunitas internasional, namun hal tersebut belum terealisasi hingga
saat ini.

Daftar Pustaka

Ayunda, M. K. (2017). Konflik India dan Pakistan Mengenai Wilayah Kashmir Beserta
Dampaknya. Risalah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam.

Hakim, A. B. (2022). Kashmir dalam Pusaran Konflik Antara India dan Pakistan. Journal
of Internasional Relations 1(1)
Hutauruk, I. F. T. (2022). Pelanggaran HAM di Kashmir sebagai Dampak dari Sengketa
Wilayah India Pakistan. Journal of Internasional Relations 8(3)
Mukti, D. A. (2020). Dampak Konflik India-Pakistan di Wilayah Kashmir terhadap
Stabilitas Keamanan Asia Selatan Pada Tahun 2016-2019. BALCONY: Budi
Luhur Journal of Contemporary Diplomacy 4(2)

Profil Author
Najata Hammada Jakti. Lahir di Temanggung pada tahun 2002, dan saat ini
mempunyai identitas penduduk Sukoharjo. Pernah bersekolah di SMP Daarul Qur`an
Colomadu dan Madrasah Aliyah Sunan Pandanaran Yogyakarta . Saat ini sedang menempuh
Strata 1 di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Anda mungkin juga menyukai