Anda di halaman 1dari 18

Laporan Makalah Kelompok

TEORI EKOLOGI DAN APLIKASINYA – EKOLOGI


MANUSIA

Oleh
Kelompok 4
Rachma Deli Fachrin, Rachmat Wahyudi Putra, Wagianto, Beni Mapanta,

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya kami dari kelompok 4 dapat menyelesaikan makalah berjudul, TEORI EKOLOGI
DAN APLIKASINYA – EKOLOGI MANUSIA, sebagai salah satu syarat tugas mata
kuliah Ekologi Manusia (ILK 1.82.1008) pada Program Magister Ilmu Lingkungan
dengan lancar dan tepat waktu.

Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini, tidak terlepas dari dukungan


para dosen pengampu mata kuliah Kependudukan dan Lingkungan, yaitu Prof. Dr. Eri
Barlian, MS, Dr. Iswandi U., M.Si. dan Dr. Erian Joni, M.Si. Ucapan terima kasih kami
sampaikan kepada dosen-dosen kami tersebut yang dengan penuh keikhlasan
memberi ilmunya kepada kami, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, terutama dalam menghadirkan jurnal-jurnal atau referensi yang berkaitan
dengan judul di atas. Kami membuka kesempatan seluas-luasnya untuk menerima
masukan dan kritikan yang membangun dari pembaca sekalian. Dan kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat kiranya bagi pembaca dan penulis sendiri.

Padang, 12 Desember 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Tujuan

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Ekologi


2.2. Ruang Lingkup Ekologi
2.3. Daur Biogeokimia

BAB III MANUSIA DAN LINGKUNGAN

3.1. Interaksi Manusia dengan Lingkungan


3.2. Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekologi, sebagai cabang ilmu pengetahuan mempelajari dengan seksama


hubungan timbal balik antar makhluk hidup (termasuk manusia dan makhluk hidup
lainnya) dengan lingkungan. Sementara ekologi manusia adalah sebagai cara pandang
upaya memahami keterkaitan spesies manusia dengan lingkungannya.

Interaksi antara manusia dengan lingkungan terjalin ratusan ribu tahun lalu,
sebagai awal peradaban manusia. Awalnya hubungan manusia dengan lingkungan
berlangsung begitu harmonis, manusia memanfaatkan alam hanya untuk sekedar
memenuhi kebutuhan dasar hidup berupa pangan, sandang dan papan. Namun
demikian, pertumbuhan penduduk memaksa manusia untuk menyediakan melebihi
apa yang disediakan alam.

Adaptasi manusia terhadap lingkungan telah teruji ribuan tahun dan


memperlihatkan dengan jelas ketangguhan manusia untuk bertahan dari segala
macam kondisi baik itu iklim, topografi bahkan bencana alam yang tidak dapat dihindari
seperti gempa bumi, gunung meletus dan badai. Berbeda dengan spesies lainnya,
kemampuan bertahan mereka sangat terbatas pada tempat yang didiami sebagai
habitatnya saja. Beruang kutub hanya mampu bertahan di habitat yang penuh dengan
salju, tetapi akan mengalami kesulitan dan bahkan punah jika dipindahkan ke habitat
yang berbeda ekstrim seperti gurun.

Kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan sangat dimungkinkan


karena manusia diberi anugerah oleh Tuhan, bukan hanya struktur tubuh yang adaptif
namun kemampuan berfikir untuk berkreasi menciptakan teknologi dan ilmu
pengetahuan, bukan sekedar lagi untuk bertahan hidup, tetapi bahkan menguasai dan
mengeksploitasi alam. Adaptasi masyrakat Jepang terhadap kondisi alamnya yang
sering terjadi gempa bumi dengan membangun rumah-rumah dan bangunan yang
tahan gempa. Begitu pula dengan penduduk yang tinggal di wilayah dataran rendah
seperti Belanda, bahkan beberapa wilayah berada dibawah permukaan laut.
Pembangunan dan pengembangan kota Amsterdam, Roterdam dan Volendam
disiasati dengan membangun bendungan (dam) sebagai upaya penahan gelombang
laut.
Teori Ekologi - Antroposentisme berpendapat bahwa alam semesta ini
disediakan oleh Tuhan hanya untuk kemakmuran manusia, mengakibatkan eksploitasi
atas sumber daya alam ini makin brutal dan tak terkendali. Agama-agama samawi juga
ditengarai kuat menanamkan paham antroposentrisme pada pemeluknya sehingga
seakan-akan dogma agama mempercepat kerusakan lingkungan dan alam. Bila dikaji
lebih jauh, tujuan penciptaan manusia di permukaan bumi adalah membuat
kesetimbangan agar lingkungan berkembang sebagaimana mestinya, pemanfaatan
sumberdaya alam oleh manusia semata-mata untuk kesejahteraan manusia dengan
memperhatikan kelangsungan hidup makhluk lainnya. Tingkat ketaatan manusia
kepada Tuhannya berbanding lurus dengan pola fikir tatacara manusia berhubungan
dengan alam.

Kerusakan lingkungan secara global adalah akibat eksploitasi yang berlebihan


terhadap alam, didasarkan pada keinginan manusia untuk menguasai alam sesuai
kehendaknya tanpa memperhatikan kaidah-kaidah etika dan nurani. Alam dianggap
sebagai sarana menunjukkan superioritas manusia terhadap makhluk lain. Tanpa
disadari bahwa manusia itu pada dasarnya lemah tanpa bantuan makhluk hidup
lainnya dan alamlah yang menyediakan segala kebutuhan manusia.

Diperlukan paradigma baru yang lebih bijaksana, pengelolaan sumberdaya alam


tidak hanya untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia saja tetapi
mempertimbangkan makhluk hidup lainnya baik pada lingkungan biotik maupun
abiotik. Kolaborasi manusia dengan alam yang lebih bijaksana mendatangkan
keseimbangan yang baru, yang saling bersimbiosis.

1.2. Tujuan

Penulisan makalah terkait dengan teori ekologi dan pandangan ekologi manusia,
diharapkan membuka kesadaran tentang pentingnya pemanfatan sumberdaya alam
yang lebih bijaksana oleh manusia demi keberlangsungan hidup seluruh makhluk yang
ada di alam semesta.

Penulisan makalah ini merujuk kepada tulisan dan data-data yang telah
dilakukan oleh peneliti terdahulu baik berupa buku, paper, journal bahkan berita media
sebagai khasanah keilmuan yang universal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Ekologi

Kata ekologi pertamakali digunakan oleh Ernts Heckel tahun 1869, berasal dari
dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos artinya rumah atau
tempat tinggal, sedangkan logos artinya ilmu atau pengetahuan. Ekologi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi alam, suatu kajian hubungan
anorganik serta lingkungan organik di sekitarnya (Subagja et al. 2001). Namun
demikian, ada yang menyebutkan ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Rososoedarmo et al. 1985)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ekologi adalah ilmu dasar yang mempelajari
tentang hubungan timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya (Barlian dan
Iswandi. 2020).

Secara umum ekologi dapat diklasifikasikan menjadi dua bidang sub keilmuan,
yaitu sinekologi dan autekologi (Barlian dan Iswandi. 2020). Sinekologi, ditafsirkan
sebagai ilmu yang mempelajari makhluk hidup dalam komunitasnya, artinya ekologi
yang ditujukan pada lebih satu jenis makhluk hidup, misal, ekologi hutan yang terdapat
didalamnya berbagai jenis tumbuhan dan jenis binatang. Sedangkan autekologi,
merupakan studi hubungan timbal balik suatu jenis organisme dengan lingkungannya
yang pada umumnya bersifat eksperimental dan induktif. Contoh studi autekologi
seperti; ekologi tikus yang diberi perlakuan khusus, sebagian tikus diberi ruang gerak
terbatas, sebagian yang lain ruang geraknya bebas, kemudian kedua tikus tersebut
diukur perkembangan otaknya setelah waktu tertentu dan dibandingkan satu sama
lainnya.

2.2. Ruang Lingkup Ekologi

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap cabang ilmu memiliki batas-batas


wilayah kajian dan dapat dipahami jika batas wilayah keilmuan kadang tumpang tindih
antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Untuk mengetahui batas wilayah kerja ekologi,
patut dipertimbangkan konsep model yang dikembangkan oleh Miller (1964).

Konsep Miller berasumsi bahwa seluruh alam semesata merupakan suatu


ekosistem yang tersusun oleh berbagai komponen, dimana komponen yang satu
dengan yang lainnya saling ketergantungan. Dicontohkan bahwa bagian terkecil dari
ekosistem alam semesta adalah atom. Bagian-bagian atom akan membentuk satuan
atom. Satuan atom akan membentuk satuan molekul, dan satuan-satuan molekul
seterusnya akan membentuk satuan protoplasma, demikian proses pembentukan
satuan lainnya. Dalam konsep model tersebut ditetapkan selanjutnya batas-batas
wilayah kerja dari berbagai pengetahuan. Kita melihat batas-batas dari: (1) daerah mati
atau daerah tanpa adanya jasad-jasad hidup, (2) daerah hidup atau daerah yang
dihuni oleh jasad-jasad hidup dan (3) daerah transisi yang masih status quo.
Berdasarkan model tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang lingkup ekologi
dimulai pada starata terbawah berupa organisme atau tingkat individu dan tingkat
teratas adalah biosfer.

 Organisme/Individu, suatu benda hidup, jasad hidup, atau makhluk hidup.


Contoh individu rusa jantan dewasa di Cagar Alam Pangandaran.
 Populasi, kelompok organisme atau individu yang memiliki kesamaan genetik
atau sejenis, hidup dan berkembang biak pada suatu wilayah tertentu. Artinya
populasi yang dimaksud adalah anggota-anggota dari spesies yang sama,
saling berdekatan. Populasi satu dengan populasi lain saling berinteraksi baik
secara langsung, maupun tidak langsung. (Barlian dan Iswandi.2020). Contoh
seperti populasi rusa di pulau Jawa, populasi banteng di Ujung Kulon,
populasi badak di Ujung Kulon, dan populasi ayam kampung di Jawa Barat.
 Komunitas, kumpulan populasi yang menempati wilayah tertentu. Di daerah
tersebut setiap populasi berinteraksi satu dengan yang lainnya. Contohnya
komunitas rusa dan banteng di Cagar Alam Pangandaran yang saling
berinterkasi dengan cara kompetisi dalam perolehan pakan di padang rumput
Cikamal, Cagar Alam Pangandaran. Interaksi kompetisi antara rusa dengan
banteng dikarenakan keduanya adalah kelompok fungsional herbifora.
 Ekosistem, hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dan
lingkungannya, baik biotik maupun abiotik yang secara bersama-sama
membentuk sistem ekologi. Contohnya ekosistem seperti Cagar Alam
Pangandaran yang disusun oleh ekotipe padang rumput, hutan pantai, hutan
dataran rendah dan terbagi kedalam ekotipe hutan alam dan hutan budidaya
untuk pariwisata. Di alam, ekosistem terbagi menjadi (1) ekosistem darat
dapat berupa bioma, gurun, padang rumput, hutan basah, hutan gugur, taiga
dan tundra. (2) ekosistem perairan, berupa perairan air tawar dan air laut.
 Sosio-ekosistem (geososial sistem/lingkungan masyarakat), tingkat
organisasi yang lebih tinggi, melibatkan sistem lingkungan masyarakat
sehingga merupakan suatu ekosistem yang luas dan besar serta terbentuk
karena adanya interaksi iklim dan bermacam jasad hidup setempat. Contoh;
perkampungan tradisional Kasepuhan di kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun – Salak
 Biosfer, ekosistem global seluruh jumlah seluruh ekosistem alam semesta,
atau seluruh makhluk hidup dan tempatnya hidup. Biosfer merupakan tempat
yang paling komplek dalam ekologi, meliputi atmosfer hingga ketinggian
beberapa kilometer. Biosfer meliputi daratan sampai kedalaman lebih dari
1500 m dibawah tanah, danau dan aliran sungai, gua dan lautan hingga
kedalaman beberapa kilometer.

Manusia sebagai bagian dari ekosistem menjadi titik sentral dari lingkungan yang
komplek. Manusia sebagi organisme yang mempunyai kelebihan akal dan fikiran
dibanding organisme lainnya, merasa yang paling berkuasa. Penemuan-penemuan
yang pada mulanya untuk kesejahteraan manusia menjadi bumerang terhadap
kehidupannya bila prinsip-prinsip ekologi diabaikan (Barlian dan Iswandi. 2020)

2.3. Daur Biogeokimia

Daur biogeokimia adalah suatu pertukaran atau terjadinya perubahan yang


berlangsung terus menerus antara komponen abiotik dengan komponen biotik berupa
pertukaran daur ulang air dan komponen komponen kimia, yang melibatkan peran dari
mahluk hidup (biotik) dan juga batuan/geofisik (abiotik). Daur biogekimia bertujuan
untuk menjaga kelangsungan hidup di alam semesta dan hasilnya dapat dimanfaatkan
oleh semua organisme yang ada di alam. Daur biogeokimia teridiri dari daur air, daur
posfor, sulfur, karbon-oksigen (CO2) dan nitrogen, dan lain sebagainya.

1. Daur Air
Daur air atau siklus air merupakan sirkulasi yang tidak pernah berhenti dari air
yang ada di alam semesta, dimana air mampu berpindah-pindah dari daratan, lalu
ke udara, lalu ke daratan lagi, dan air pun mampu tersimpan pada dasar permukaan
dengan 3 fase yaitu cair yang berbentuk air, padat yang berbentuk es, dan gas yang
berbentuk udara.

2. Daur Fosfor

Fosfor merupakan salah satu jenis elemen yang penting dalam kehidupan, sebab
semua makhluk hidup membutuhkan fosfor yang berbentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat),
yang berguna untuk sumber energi metabolisme pada sel. Fosfor berbentuk ion yaitu
ion fosfat atau (PO43-), dan ion ini terdapat dalam bebatuan.

Hasil dari terjadinya erosi dan pelapukan menyebabkan fosfor terbawa ke arah
sungai, bahkan sampai ke laut dan membentuk sedimen. Sedimen yang mengandung
fosfat bisa naik ke atas permukaan disebabkan terjadinya geseran gerak dasar bumi.
Kemudian dimanfaatkan oleh tumbuhan melaui akarnya mengambil fosfat yang masih
berbentuk larutan yang berada di dalam tanah.
Sumber fosfor yang terdapat di bumi berasal dari bebatuan, tanaman, tanah dan
bahan organik. Daur fosfor yang berupa hasil pelapukan bebatuan dinamakan input,
sedangkan outputnya berupa fiksasi mineral dan pelindikan yang dihasilkan oleh
output fosfor.

3. Daur Sulfur

Daur atau siklus sulfur mengisyaratkan adanya pergerakan serta perubahan


bentuk zat kimia sulfur diantara batuan, perairan, flora dan fauna yang ada di alam.
Secara umum, siklus sulfur terbagi menjadi beberapa proses yang antara lain;

1) Mineralisasi dari sulfur organik menjadi sulfur anorganik seperti hidrogen


sulfida (H2S), sulfur elemental (S), hingga mineral sulfida

2) Oksidasi hidrogen sulfida, sulfida, dan sulfur elemental menjadi sulfat (SO42−)
3) Reduksi sulfat menjadi sulfida
4) Diserap dan digunakannya sulfida kedalam material-material organik di
lingkungan sekitar

Sulfur merupakan zat kimia yang sangat penting bagi lingkungan sekitar dan juga
untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, siklus sulfur ini harus dijaga dengan sebaik
agar tidak terganggu dan berdampak kepada makhluk hidup.

4. Daur Karbon

Daur karbon nerupakan sebuah proses pergerakan dan transformasi bentuk dari
zat kimia karbon di permukaan bumi. Karbon bergerak antara pedosfer, biosfer,
hydrosfer, dan atmosfer di alam semesta. Karbon adalah salah satu zat kimia dasar
yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Selain itu, karbon juga dibutuhkan oleh
lingkungan untuk menjaga stabilitasnya serta menjalankan fungsi-fungsi tertentu,
karena itu, siklus karbon sangat penting untuk menjaga kualitas lingkungan disekitar
kita dan juga menopang kehidupan manusia.
5. Daur Nitrogen

Daur nitrogen merupakan proses perpindahan serta perubahan zat kimiawi


nitrogen pada permukaan bumi. Dalam hal ini, nitrogen bergerak dan berada di antara
pedosfer, biosfer, dan atmosfer. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nitrogen paling
banyak ditemukan di atmosfer bumi. Namun, nitrogen yang ada diatmosfer (N2) tidak
dapat langsung dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Diperlukan proses lanjut seperti
fiksasi, ammonifikasi, dan nitrifikasi untuk mengubah nitrogen menjadi zat kimia yang
dapat langsung dimanfaatkan oleh makhluk hidup.
BAB III
MANUSIA DAN LINGKUNGAN

3.1. Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Sejarah peradaban manusia di bumi diawali jauh sebelum peradaban Yunani,


Romawi, Mesir, Cina dan India bergantian menghiasi sejarah umat manusia sekitar
3000 – 4000 tahun sebelum kelahiran Isa Almasih. Penemuan fosil manusia di Jabal
Irhoud, Maroko, diperkirakan homo sapiens berusia 300 ribu tahun, lebih tua
dibandingkan dengan fosil manusia purba homo soloensis, homo wajakensis dan
homo florensis di Indonesia. Penemuan tersebut menisbahkan bahwa spesies manusia
berada dan menetap di bumi telah mencapai ratusan ribu tahun, sehingga sejauh ini,
ilmuwan belum dapat menerka kapan spesies manusia pertama kali muncul di bumi.
Beberapa ahli memperkirakan manusia pertama kali berada di bumi sekitar 650 ribu
tahun yang lalu (Tempo.2017).
Penemuan fosil-fosil homo sapiens memperlihatkan bahwa manusia pada
hakikatnya sudah lama berinteraksi dengan alam. Awalnya keberadaan manusia di
bumi berkolaborasi dengan lingkungan.
Awalnya manusia hadir dipermukaan bumi berkolaborasi, menyatu dengan
lingkungan (cara hidup nomaden) dan memanfaatkan alam hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup berupa pangan, mengambil langsung dari alam dan
mengandalkan teknologi sederhana. Sejalan jumlah penduduk semakin bertambah dan
keinginan bersosialisasi, menetap pada wilayah tertentu menuntun manusia untuk
berkreasi dengan akalnya, mulai bercocok tanam dan beternak secara sederhana
sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup kelompoknya. Alam dimanfaatkan
sekedarnya saja.

Usaha manusia untuk mengoptimalkan sumberdaya alam, berupa pangan


membawa manusia untuk mecoba melakukan intensifikasi dengan membuka ladang.
Zaman Neolitikum sekitar tahun 10000 – 4000 sebelum masehi disebut sebagai awal
peradaban manusia. (Kuzyk & Yakovets. 2006). Peralihan kehidupan masyarakat dari
aktifitas perburuan dan memanfaatkan hasil hutan menuju sitem pertanian telah
mendorong masyarakat untuk keluar dari kehidupan pra sejarah. Aktifitas bertani,
memaksa manusia untuk bertempat tinggal menetap, secara langsung memulai untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya akan protein dengan cara beternak hewan.

Aktifitas bertani selanjutnya berkembang dengan memanfaatkan binatang


sebagai pembantu manusia untuk mengolah lahan, transportasi bahkan sebagai
sumber nutrisi dengan menfaatkan dagin dan susu. Sistem pertanian menisbatkan
manusia untuk tinggal menetap menunggu hasil panen, mengubah kebiasaan hidup
nomaden menjadi menetap pada suatu wilayah.

Sumbangan terbesar peradaban awal manusia, masa agraris ini adalah


penciptaan sistem irigasi, merupakan kreasi awal manusia untuk mensiasati alam
dengan mendekatkan air ke pemukiman tempat tinggalnya. Keberadaan air sebagai
sumber kehidupan mendorong terjadinya migrasi untuk berkumpul pada suatu wilayah
dan menetap yang dilanjutkan dengan melakukan aktifitas pertanian.

Perpindahan penduduk ke wilayah yang memiliki pertanian, mendorong


terjadinya interaksi antar manusia, membentuk kelompok sosial dan bersama-sama
bertani, berladang, beternak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tentunya terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi.
Selain itu, sistem irigasi dijadikan sarana berinterkasi antara komunitas pada
suatu wilayah dengan komunitas wilayah lainnya. Kelebihan hasil panen dan
peternakan disuatu wilayah dan terjadi kekurangan di wilayah lain mendorong
terjadinya proses jual beli secara barter, merupakan cikal bakal aktifitas perdagangan.
Peradaban awal manusia menunjukan terjadinya interkasi manusia dengan
lingkungan berjalan begitu harmonis. Manusia memanfaatkan sumberdaya alam
sekedarnya. Eksploitasi alam yang berlebihan oleh manusia dimulai ketika kelompok
manusia membentuk masyarakat yang lebih besar dan luas berupa enclave atau
kerajaan, sehingga kebutuhan manusia untuk kelangsungan hidup kelompoknya
semakin besar dan memerlukan usaha berupa teknologi, selain memperluas dan
membangun wilayah-wilayah baru. Pada masa itu, peperangan lebih banyak dilakukan
untuk mendapatkan sumberdaya alam dan memperluas wilayah kekuasaan secara
politik.
Eksploitasi berlebihan terhadap alam yang dilakukan manusia semakin menjadi
pada masa revolusi industri abad 18. Penemuan kapal uap mendorong manusia untuk
berlomba-lomba dan menguasai daerah baru untuk dieksploitasi secara berlebihan.
Eropa yang membutuhkan banyak sumberdaya alam berbondong-bondong menuju
Asia, Afrika, Amerika bahkan Australia guna membangun dan mengembangkan kota-
kota baru di Eropa untuk memenuhi kenyamanan dan kebahagian masyarakatnya.
Sumberdaya alam wilayah-wilayah jajahan dieksploitasi sedemikan rupa dan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung mempercepat
proses pengrusakan alam oleh manusia. Eksploitasi besar-besaran tidak saja hanya
merubah hutan-hutan menjadi perkebunan, tetapi pengrusakan yang lebih parah pada
eksploitasi sumber daya mineral seperti penambangan batubara, bahan bakar migas
dan mineral logam lainnya. Manusia menjadi berlebihan dalam memanfaatkan alam,
sehingga memperlihatkan arogansi manusia terhadap alam dan dampaknya mulai
terasa secara global. Perubahan iklim, badai, banjir dan longsor yang terjadi di seluruh
belahan dunia, tidak dapat dipungkiri akibat ulah manusia dalam mengelola alam.

3.2. Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan

Sebagimana sudah menjadi mafhum bahwa antara manusia dan lingkungan


terdapat hubungan yang sangat erat. Lingkungan dengan sumberdaya alamnya yang
ada disekitar manusia, mempengaruhi kelangsungan hidup, kesejahteraan manusia
dan makhluk hidup lainnya. Dalam hubungannya manusia dengan alam diperlukan
etika atau moral yang menempatkan alam sebagai mitra strategis untuk berkelanjutan
hidup manusia dan makhluk lainnya.

Kemampuan adaptasi manusia terhadap alam sangat luar biasa, dan


menunjukan manusia mempunyai kemampuan untuk bertahan dari ganasnya alam
sejak ribuan tahun lalu. Kelebihan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibanding
makhluk lainnya berupa akal, dimanfaatkan dengan sangat baik, sedemikian rupa
sehingga manusia mampu mengendalikan alam, bahkan pada beberapa sisi dapat
dikatakan bahwa manusia sudah dapat menguasai alam. Kecuali untuk beberapa hal
seperti bencana alam yang dihadirkan Tuhan seperti gunung meletus, gempa bumi,
tsunami serta badai manusia tidak bisa menghindari dan menguasainya.

Sampai sejauh ini, manusia mampu bertahan dan beradaptasi dengan


lingkungannya. Adaptasi manusia terhadap iklim tidak dapat diragukan lagi,
kemampuan otak manusia untuk berkreasi dengan penciptaan teknologi dan ilmu
pengetahuan membawa manusia untuk dapat bertahan pada cuaca ekstrim baik panas
ataupun dingin. Begitu pula dengan kondisi alam yang ekstrim, adaptasi manusia luar
biasa dan mampu bertahan pada ketinggian pegunungan dengan suhu udara sangat
dingin sekalipun, cuaca yang sangat panas pada wilayah gurun pasir.

Antropolog Jerman, Arnold Gehlen mendefinisikan manusia diciptakan Tuhan


sebagai makhluk bebas lingkungan. Berdasarkan morfologi bentuk tubuh, manusia
tidak terikat oleh lingkungan tertentu. Berbeda dengan makhluk lain, rusa misalnya
yang sedemikian rupa diciptakan Tuhan hanya untuk hidup di padang rumput,
semntara manusia mempunya korelasi yang longgar dan bebas dengan lingkungan
sekitar. Tidak tersedianya habitat yang khusus diperuntukan bagi manusia, memaksa
manusia untuk membangun habitatnya sendiri disesuaikan dengan kondisi lingkungan
yang ditempati. Karena hal tersebut, manusia berfikiran bahwa sumberdaya yang
berada di alam bukanlah sesuatu yang diberikan Tuhan secara percuma tetapi suatu
bentuk penugasan membentuk kreatifitas, untuk menciptakan berdasarkan
kemampuan berfikir dari manusia (Gehlen.1980).

Landasan etika dan moral yang penuh kebaikan dan kebijaksanaan, maka
manusia sebagi subyek yang memilik akal pikiran sudah sepatutnya memperlakukan
alam dengan baik dan penuh kebijaksanaan. Alam adalah sebuah realitas hidup yang
karenanya pula berharap diperlakukan secara ‘manusiawi’.

Pengejawantahan adaptasi manusia dengan lingkungan sangat tergantung


dengan cara pandang atau pola pikir bagaimana manusia beradaptasi dengan
lingkungannya. Beberapa pemikiran manusia terkait hubungannya dengan alam antara
lain shallow environmental ethics atau dikenal dengan antroposentrisme, intermediate
environmental ethics atau biosentrisme dan deep environmental ethics atau
ekosentrisme (Keraf.2005). Antroposentrisme, didasarkan atas semangat manusia
untuk menyelematkan lingkungan hidup atas dasar kebutuhan dan kepuasan, artinya
kepuasaan manusia dapat dipenuhi melalui eksploitasi sumberdaya alam atas dasar
keinginan-keinginan manusia saja.

Cara pandang antroposentrisme, menganggap etika hanya berlaku bagi


manusia, dan bukan menjadi tanggung jawab manusia untuk bermoral terhadap alam.
Alam hanya sebagai obyek yang tidak bernilai, hanya sebagai pemenuh kebutuhan
manusia belaka. Biosentrisme sebagai antitesa antroposentrisme, menjadikan
moralitas dan tanggung jawab manusia tidak hanya untuk manusia saja tetapi juga
kepada makhluk hidup lain. Manusia dan alam dipandang sama-sama memiliki nilai,
etika dan moral lingkungan bukan hanya sebagai cara pandang untuk manusia saja
tetapi berlaku juga untuk makhluk lainnya (Keraf.2005). Sedangkan ekosentrisme
merupakan kelanjutan biosentrisme, yang sama-sama menentang antroposentrisme.
Namun ekosentrisme, cakupannya lebih luas tidak hanya terbatas kepada makhluk
hidup saja tetapi termasuk abiotik.

Dari bahasan tersebut diatas menunjukkan manusia sebagi subyek yang


beratanggung jawab penuh terhadap keberlangusungan hidup bersama. Kewajiban
moral tersebut didasarkan atas kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan
etika dibanding makhluk lainnya. Bahwasanya hubungan anatara manusia dengan
lingkungan terkandung nilai nilai ekologis, moral dan spiritual atau nilai-nilai
kemanusian (Himyari.2013).

Nilai-nilai kemanusia tersebut dapat diinterpretasikan adanya keterkaitan antara


etika dengan metafisika seperti yang dijelaskan oleh Kant menyebutkan bahwa, tema-
tema etika dalam metafisika (eksistensi Tuhan, kebebasan berkehendak, dan
kekekalan jiwa) merupakan postulat yang eksistensinya diterima oleh moralitas
(Subhi.2001). Dengan kata lain, untuk mencapai etika terhadap lingkungan hidup,
manusia tidak dapat mengabaikan aspek metafisika.

Krisis lingkungan global yang sedang berlangsung dewasa ini belum pernah
terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia sebelumnya. Berbagai solusi yang
ditawarkan para ilmuwan belum menyentuh akar masalah sebenarnya, sehingga
penanganannya hanya berifat temporal dan parsial. Kerusakan lingkungan yang begitu
parah telah menjadi perhatian utama dunia belakangan ini baik kalangan pemerintah,
ilmuwan, akademisi dan masyarakaat luas. Namun demikian, kerusakan dan degradasi
lingkungan belum terselesaikan dengan baik. Penyelesaian masalah lingkungan hidup
dewasa ini hanya terpusat pada sisi rekomendasi teknis praktis yang belum melibatkan
refleksi filosofis ilmiah, atau bahkan melupakan dimensi spiritual. Sementara itu, faktor
utama yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan hidup adalah kerakusan dan
ketamakan manusia yang secara langsung dapat disbahkan bahwa adanya krisis
spiritual dalam diri manusia sebagai penyebab terjadi segala krisis lingkungan.
Cara pandang dan berfikir manusia modern telah mengubah lingkungan sebagai
benda mati yang dapat dieksploitasi sekehendak hati. Ledakan penduduk dan
teknologi industry sebagai penyebab utama terjadinya degradasi pada lingkungan yang
berakibat terancamnya kesehatan dan kesejahteraan makhluk hidup. Kota-kota besar
dunia tertutup oleh awan pekat berwarna kehitam-hitaman dan menyesakkan dada.
Polusi udara sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan. Selain polusi udara,
ancaman manusia lainnya adalah tercemarnya air yang kita minum dan makanan yang
kita makan, keduanya tercemar oleh berbagai macam bahan kimia beracun.
Selanjutnya, bahan kimia sebagai racun menjadi bagian penting dalam kehidupan
manusia. Semakin mempertegas bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
semakin mendorong manusia kepada kehancuran lingkungan, merusak sistem ekologi
yang menjadi gantungan keberadaan manusia di permukaan bumi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kasus kerusakan lingkungan sebagian
besar bersumber pada perilaku manusia. Tragedi meledaknya reactor nuklir Chernobyl
yang disebabkan tidak terkendalinya reaksii fisika nuklir menyebarkan dampak radiasi
tidak hanya pada wilayah sekitarnya tetapi hampir ke seluruh Eropa. Kasus lain adalah
rutinnya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, pencemaran lingkungan pada
industri kimia PT. Indorayon Utama di Sumatera dan pertambangan emas di Sulawesi
Utara yang hakekatnya adalah perilaku perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan
tidak peduli terhadap lingkungan. Maraknya illegal logging, impor B3, perdagangan
satwa liar menunjukkan degradasi lingkungan bukan hanya dilakukan perorangan
tetapi melibatkan birokrasi dan oligarki.
Degradasi lingkungan hidup yang sedang berlangsung saat ini, memerlukan
perubahan radikal dalam etika lingkungan masyarakat moderen. Diperlukan tata cara
pandang manusia terkait lingkungan yang baru, yang tidak hanya berlaku untuk
hubungan sesame manusia saja, tetapi melingkupi interaksi manusia dengan seluruh
kehidupan di alam. Etika yang memandang alam semesta mempunyai nilai dan wajar
diperlakukan secara beretika. Dengan etika dan moral lingkungan yang baru, manusia
dituntut untuk menjaga dan melindungi alam semesta. Alam dan seluruh isinya
dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan dimanfaatkan bagi keberlangsungan
hidup manusia dan makhluk lainnya.
Paradigma lama antroposentrisme harus ditinggalkan dan untuk merealisasikan
etika baru diperlukan komitmen bersama, bersinergi menjadi sebuah gerakan bersama
secara global dengan melibatkan semua kelompok lapisan masyarakat untuk bersama-
sama membangun budaya, etika dan gaya hidup baru dengan penuh kearifan merawat
alam semesta sebagai tempat yang nyaman bagi semua makhluk hidup. Membangun
Gerakan bersama tersebut dapat dimulai, dipertahankan, diajarkan dan diwariskan dari
satu individu kepada individu lainnya, dari satu komunitas kepada komunitas lainnya
dan selanjutnya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dekandensi lingkungan
yang sudah sampai tahap yang memprihatinkan, mengharuskan gerakan bersama ini
untuk segera dilaksanakan. Krisis ekologi adalah krisis kehidupan, sehingga
menyelematkan lingkungan berarti pula menyelematkan kehidupan. Perubahan pola
hidup dan pola pikir manusia terhadap lingkungan segera dilaksanakan, jangan
menunggu sampai terlambat sehingga kehidupan manusia dan makhluk lainnya
terancam punah.
KESIMPULAN

Sebagai ilmu dasar yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antar
makhluk hidup dengan lingkungannya, ekologi tidak terlepas dari bagaimana peran
manusia dalam memperlakukan alam. Ekologi manusia adalah bagaimana cara
pandang manusia memahami keterkaitan manusia dengan lingkungannya.

Interaksi manusia dengan lingkungan telah terjadi ratusan ribu tahun lalu,
dibuktikan dengan penemuan fosil homo sapiens sebagai awal peradaban manusia.
Awalnya manusia hadir dipermukaan bumi berkolaborasi, menyatu dengan lingkungan
dan memanfaatkan alam hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup berupa
pangan, mengambil langsung dari alam dan mengandalkan teknologi sederhana.
Seiring bertambahnya populasi manusia, meningkatkan kebutuhan manusia akan
pangan sebagai awal manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan.

Kemampuan adaptasi manusia terhadap alam sudah teruji dalam bentuk


penyesuaian manusia pada kondisi lingkungan. Kemampuan cara berfikir yang
diberikan Tuhan kepada manusia, dimanfaatkan bukan hanya sekedar untuk
beradaptasi dengan alam, tetapi meningkat pada penguasaan manusia terhadap alam,
sehingga naluri manusia sebagai penguasa tunggal di permukaan bumi membawa
dampak kerusakan alam yang memprihatinkan.

Antroposentrisme, yang menisbahkan manusia sebagai sentral penguasa alam


dan diberikan kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam tanpa
memperhatikan makhluk hidup lainnya nyata-nyata membawa kerusakan lingkungan
yang memprihatinkan. Paradigma antroposentrisme sudah tidak layak lagi untuk
dipertahankan. Diperlukan paradigma baru yang lebih bijaksana, pengelolaan
sumberdaya alam tidak hanya untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia saja
tetapi mempertimbangkan makhluk hidup lainnya baik pada lingkungan biotik maupun
abiotik. Kolaborasi manusia dengan alam yang lebih bijaksana mendatangkan
keseimbangan yang baru yang saling bersimbiosis.
Daftar Pustaka
Abdullah, O. S. (2017). Ekologi manusia dan pembangunan berkelanjutan. Gramedia
Pustaka Utama.
Abdurrahman. M. 2011. Memelihara Lingkungan dalam Ajaran Islam. Jakarta. Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian RI. h. 66.
Din, A. M., & Rozali, E. A. (2021). The Concept of Interaction Between Civilizatio In
Human Histoy. TARIKH International Journal of Islamic History and
Civilization, 1(1), 1-14.
Elias, T. F., & Wattimury, W. A. (2018). Kajian Etika Kristen Terhadap Kebersihan
Lingkungan di Kelurahan Klabala. SOSCIED, 1(2), 18-29.
Himyari, Yusuf. 2013. Filsafat Kebudayaan; Strategi Pengembangan Kebudayaan
Berbasis Kearifan Lokal, Bandar Lampung. Harakindo Publishing. h. 238.
Keraf, Sonny. 2005. Etika Lingkungan, Jakarta. Kompas h. 31
Munfarida, I. (2018). Nilai–Nilai Tasawuf Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Etika
Lingkungan Hidup (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. 3rd. ed. Philadelphia. W.B. Saunders
Co.
Ratnawati, T., & Keraf, A. S. Pengertian dan Teori Etika.
Resosudarmo, R.S.; K. Kartawinata; A. Soegiarto. (1992). Pengantar Ekologi.
Bandung. Penerbit Remaja Rosdakarya.
Shubhi, A.M. 2001. Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intisionalis.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta terj. Yunan Azkaruzzaman Ahmad, h. 30.
Sukarna, R. M. INTERAKSI MANUSIA DAN LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF
ANTROPOSENTRISME, ANTROPOGEOGRAFI DAN EKOSENTRISME
Utomo, S. W., Sutriyono, I., & Rizal, R. (2012). Pengertian, Ruang Lingkup Ekologi dan
Ekosistem.
Tempo. 2017. Fosil Manusia Purba Ini Diyakini Merupakan yang Tertua di Dunia
https://tekno.tempo.co/read/882671/fosil-manusia-purba-ini-diyakini-merupakan-
yang-tertua-di-dunia. Retrieved 12 Dec 2021
Widodo, D., Kristianto, S., Susilawaty, A., Armus, R., Sari, M., Chaerul, M., ... &
Mastutie, F. (2021). Ekologi dan Ilmu Lingkungan. Yayasan Kita Menulis.
Zulhelmi, Z. (2018). Konsep Khalifah Fil Ardhi dalam Perspektif Filsafat (Kajian
Eksistensi Manusia sebagai Khalifah). Intizar, 24(1), 37-54.

Anda mungkin juga menyukai