Anda di halaman 1dari 15

Nama : PUJI PUSPITA SARI

Npm : A1A023080

Dosen Pengampu : Agus Joko Purwadi

Artikel Kebudayaan indonesia

Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “ Buddaya”, yang merupakan bentuk
jamak dari kata budi ( akal pikiran)

FENOMENA KEHIDUPAN MAHASISWA DI TENGAH-TENGAH


TURBULENSI GELOMBANG PERUBAHAN ERA (ZAMAN)

Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi pada era sekarang ini berdampak luar biasa
besar pada perubahan fenomena kehidupan manusia. Keluarbiasabesaran dampak revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi pada perubahan fenomena kehidupan manusia pada era sekarang ini
digambarkan pakar filsafat teknologi bagaikan turbulensi gelombang tsunami; siapa saja yang
mampu "bertahan" dalam arti dapat bersinergi, berakomodasi, beradaptasi, berkolaborasi, dan
berliterasi dalam menghadapi turbulensi gelombang tsunami, sebagai dampak revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi itu, ia akan mendapatkan banyak keuntungan/ manfaat. Sebaliknya,
siapa saja yang tidak mampu "bertahan" dalam menghadapi gelombang tsunami sebagai dampak
dari revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi "kurban", dalam arti "mati secara
eksistensial" menurut istilah Jean Paul Sartre. Seorang manusia dikatakan "mati secara
eksistensial" jika ia tidak memberi makna bagi kehidupannya sendiri, tidak bermakna bagi
kehidupan orang/ manusia lain, maupun lingkungan kehidupannya. Dalam istilah yang agak
berbe da, Friedrich Nietzsche menyebut manusia semacam itu sebagai "manusia pecundang".
Seorang manusia dikatakan sebagai pecundang jika ia selalu kalah dalam berkontestasi,
berivalitas, dan berkompetisi dalam kehidupan. Ada bermacam-macam terminologi yang
digunakan pakar filsafat teknologi dan dan pakar filsafat komunikasi untuk menyebut perubahan
fenomena kehidupan manusia pada era sekarang ini. Terminologi-terminologi dimaksud adalah:
1. Era Kapitalisme-Neoliberalisme, 2. Era Masyarakat Konsumeris(me). 3. Era Ekonomi Libido,
4. Era Masyarakat Tontonan, 5. Era Disruption, dan 6. Era Poshuman. Setiap era
mengimplikasikan berbagai ciri khas perubahan fenomena kehidupan manusia sebagai dampak
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Berikut ini dijelaskan perubahan fenomena
kehidupan manusia pada setiap era tersebut.

1. Kapitalisme-Neoliberalisme

Insting manusia mau senang dan enaknya saja, demikian kata Sigmund Freud. Mereka
tidak mau bersusah payah untuk bekerja, melakukan, dan menciptakan (sendiri) sesuatu
(produk). Kapitalisme-Neoliberalisme membaca dengan cerdas kuatnya insting dengan
menciptakan produk-produk yang mampu mengeksploitasi dan mendispenser kekuatan insting
itu. Sebagai contoh produk elektronik, manusia maunya hanya secara terus-menerus
menggunakan, dalam jangka waktu tertentu tidak mau berusaha dan bersusah payah untuk
menciptakannya.

2. Era Masyarakat consumerisme

Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari produk yang diciptakannya,


kapitalisme-neoliberalisme menggelorakan semangat dan gairah konsumerisme pada diri setiap
manusia, sehingga terbentuk apa yang disebut sebagai masyarakat konsumeris(me). Fenomena
semacam itu menjangkiti pula kalangan mahasiswa kita. Tidak sedikit kalangan mahasiswa yang
memaksakan diri dan berbangga diri untuk gonta-ganti gawai, misalnya, dan menggunakannya
untuk "mejeng" (pamer) dan "selfi-selfi" (berswafoto). Dengan kepemilikan gawai itu mereka
merasa menjadi warga kosmopolistis. Ketika perkuliahan sedang berlangsung tak jarang mereka
secara sembunyi-sembunyi menghidupkan gawai: apakah main "game", "ngenet", atau ber-wa
dengan teman-teman mereka. Kalau sudah seperti itu, mereka sudah tidak berkonsentrasi dan
fokus lagi untuk mengikuti perkuliahan. Fenomena semacam itu sering dilakukan oleh oknum-
oknum mahasiswa sekalipun sudah berkali-kali diingatkan oleh dosennya. Dalam filsafat
kebudayaan kritis, fenomena semacam itu disebut sebagai fenomena konsumeris-ikonis-narsistis-
kosmopolistis. Sungguhpun begitu, kita juga tidak menutup mata bahwa banyak mahasiswa yang
memiliki kesadaran untuk memanfaatkan, memfungsionalkan, dan mendapatkan banyak
keuntungan dari kepemilikan teknologi informasi itu. Kita juga tidak menutup mata bahwa
kapitalisme-neoliberalisme juga banyak membawa kemanfaatan bagi umat manusia pada
umumnya.

Doktrin utama ideologi Kapitalisme-Neoliberalisme adalah bagaimana mereka dapat


memenangi persaingan secara bebas dalam berusaha dan bagaimana mereka bisa mendapatkan,
bahkan merebut pangsa pasar seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya untuk memperbesar
modal dan memaksimalkan keuntungan. Untuk mendapatkan semua itu, berbagai cara yang
mereka lakukan tanpa mengacuhkan persoalan: haram-halal, haq-batil, dunia-akhirat, surga-
neraka, maupun imanen-transenden. Bagi mereka yang.hidup di dalam tradisi pisitivistik-
sekularistik, produk yang mereka usahakan bersifat: steril, netral, dan bebas dari persoalan
tersebut. Cara-cara seperti inilah yang bertentangan dengan nilai-nilai, tradisi-budaya, dan
ideologi kita Pancasila. Hal tersebut berdampak negatif pada kehidupan manusia Indonesia pada
umumnya dan pada kehidupan mahasiswa khususnya, sekalipun kita juga tidak menutup mata
terhadap dampak positifnya. Dampak itu dapat kita rasakan/ alami , dan tidak perlu kita jelaskan
di sini.

3. Era Ekonomi Libido (Libidinal Economy)

Sigmund Freud secara radikal menyatakan pemikirannya bahwa hampir segala aktivitas
perilaku kehidupan manusia, termasuk kehidupan ekonomi tertuju pada pemuasan nafsu libido
seksualis manusia. Bertitik tolak pada pemikiran Freud, seorang Neo-Freudian, Jean Francois
Lyotard mengatakan bahwa era sekarang ini disebutnya sebagai era Ekonomi Libido (libidinal
economy). Ekonomi libido sebagai metamorfose dari kapitalisme neoliberal menjadikan
perempuan sebagai semata-mata objek perilaku ekonomi. Keindahan, kebugaran, dan kecantikan
tubuh perempuan, dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki dijadikan objek perilaku
ekonomi. Ekonomi libido mengapitalisasi tubuh seksi perempuan sebagai "tatapan mata"
sekaligus sebagai pemuas libido seksual kaum lelaki. Selain itu, ekonomi libido menjadikan
konsumen terbesar dari produk-produknya. Segala pernak-pernik dab asesoris yang
memperbugar, memperindah, mempercantik, dan memperseksi tubuh kaum perempuan
disediakan oleh produk-produk ekonomi libido. Oleh karena itu, tidak mustahil jika pemikir
feminisme radikal menyebut kapitalisme neoliberal sebagai bersifat maskulin dan patriarkis yang
menindas kaum perempuan, bahkan gerakan posmodernisme yang dipelopori Jacques Derrida
menggambarkan era modernisme yang dimotori oleh kapitalisme noeliberalsme sebagai bersifat
falosentris (phallocentric) dan falogosentris (phallogocentric). Falosentris berarti memuja dan
berpusat pada falus, alat kelamin laki-laki, dan falogosentrisme selain berarti memuja dan
berpusat pada falus, alat kelamin laki-laki, juga berarti mengutamakan logos yang berasosiasi
dengan pikiran dan cara berpikir laki-laki. Dalam ekonomi libido segala aspek kehidupan
manusia dimateralisasikan, dipositivisasikan, diliberalisasikan, disekularisasikan,
dikapitalisasikan, didehumanisasikan, dipospiritualisasikan, dipostransendentalisasikan,
diposmetafisikalisasikan, dan diposhumanisasikan. Segala bentuk "di... isasikan" tersebut harus
disadari dan menjadi kesadaran baik bagi para mahasiswa apalagi juga bagi para dosennya.

4. Era Masyarakat Tontonan

Hampir dapat dipastikan bahwa semua mahasiswa memiliki alat komunikasi elektronik,
seperti gawai. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa tidak semua mahasiswa menggunakan
gawai secara benar, dalam arti fungsional-literatif. Tidak sedikit di antara mereka yang memiliki
gawai hanya untuk menonton gambar dari youtube, misalnya, walaupun tidak sedikit pula
mahasiswa yang membaca informasi ilmu pengetahuan maupun teknologi. Memang menonton
lebih enak dan menghibur, daripada bersusah-payah berpikir karena membaca. Membaca
memerlukan pemahaman dan pemaknaan yang menuntut/ mengharuskan mahasiswa untuk lebih
keras berpikir. Membaca dengan berpikir lebih berat dalam arti membutuhkan lebih banyak
energi, daripada hanya sekadar menonton. Persoalannya akan berbeda lagi kalau membaca
sebagai hobi. Gambaran di atas sudah lama diisyaratkan oleh filsuf teknologi dan komunikasi,
Guy deBord. Dia menyatakan bahwa era sekarang adalah Era Masyarakat Tontonan (The
Spectacle Society). Masyarakat sekarang berkecenderungan untuk menonton hiburan daripada
memvaca informasi yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya tidak hanya
menonton hiburannya (intertaintment) saja, tetapi yang tak kalah penting, bahkan lebih penting
adalah membaca, memahami, mengaplikasikan, dan mempraktikkan informasi: ilmu
pengetahuan dan teknologinya. Akankah kita bangga menjadi "bangsa penonton" daripada
"bangsa pemain".

5.Era Disruption
Perubahan fenomena kehidupan manusia yang terus berlangsung di dunia saat ini terjadi
secara revolusioner. Hal tersebut berawal dan diawali dari dampak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang juga terjadi secara revolusioner. Perkembangan teknologi
komunikasi khususnyamembawa perubahan besar pada segala aspek kehidupan manusia, baik di
bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan pada umumnya. Perubahan yang paling
menonjol yang dapat kita rasakan terutama adalah di bidang ekonomi bisnis. Perusahaan
konvensional yang biasanya beroperasi di pasar riel harus bekerja keras untuk bersaing dengan
"pemain ekonomi individual" yang secara bebas leluasa beroperasi di dunia maya. Perusahaan
itu mau tak mau harus beradaptasi, bersinergi, dan berkolaborasi dengan mereka ("para pemain
ekonomi individual") jika tidak ingin gulung tikar. Era seperti itu digambarkan oleh Clayton M.
Christensen sebagai Era Disruption.

Era disruption tidak hanya hanya dirasakan kuat dampaknya di sektor ekonomi, tetapi
juga di sektor komunikasi. Revolusi teknologi komunikasi berdampak pada perilaku komunikasi
manusia. Marshall McLuhan menggambarkan dunia saat ini bagaikan sebuah desa yang ia sebut
sebagai Desa Global ( Global village). Mengapa dunia ini ia sebut sebagai desa global? Karena
batas ruang (spasio)-waktu (temporal) sudah tiada. Informasi, betapapun besar/ banyaknya, dari
manapun dan kapanpun akan segera dapat kita akses. Apa yang terjadi nun jauh di sana, dapat
kita saksikan kini di sini. Kondisi ini McLuhan istilahkan sebagai obiquitas. Informasi akan terus
meningkat dengan cepat (dromologis), baik secara kuantitas maupun kualitas bagaikan tsunami.
Karena begitu mentsunaminya informasi, otak manusia sudah tidak mampu lagi membaca,
memahami, memikirkan, dan mengingatnya lagi. Informasi dibiarkan tetap berada di gawai.
Manusia sudah malas untuk membaca, memahami, memikirkan, dan mengingatnya. Jika
informasj diperlukan, maka ia akan segera membuka gawainya, bukan menyatakan apa yang
tersimpan di ingatannya. Otak manusia sudah jauh berkurang fungsinya. Kondisi ini kita hadapi
hampir pada keseharian pembelajaran dan perkuliahan kita; dan ini menjadi permasalahan kita
bersama. Bukankah ini merupakan salah satu fenomena "kematian manusia"? Mari kita
renungkan.

6. Era Poshuman

Dari pembacaan beberapa literatur, diperoleh kesimpulan bahwa Era Poshuman memiliki
dua pengertian. Kedua pengertian itu berkaitan dengan bagaimana manusia menyikapi dan
memperlakukan keberadaan teknologi. Pengertian pertama adalah pengertian yang bersifat
negatif. Sesuai dengan maknanya, pada pengertian negatif, manusia justru "menjadi kurban
teknologi". Mereka menggunakan teknologi tidak secara fungsional, padahal teknologi itu
semestinya dapat digunakan secara fungsional. Mereka menggunakan teknologi hanya untuk
"main-main", mendapatkan hiburan, bahkan hanya mengejar prestis semata. Sebagaimana
dicontohkan di atas apa yang terjadi di kalangan mahasiswa misalnya. Mereka menggunakan
gawai hanya untuk meng-copy paste tugas-tugas yang diberikan oleh para dosen, tanpa mau
bersusah-payah untuk secara kreatif berpikir dan merumuskan sendiri tugas-tugas tersebut.
Demikian pula setiap kali ada tugas ataupun pertanyaan yang sama, yang sudah secara berulang-
ulang diberikan kepadanya, para mahasiswa selalu membuka, membuka, dan membuka gawai.
Mereka enggan atau bahkan malas untuk mengingatnya. Dalam pikiran mereka mungkin terbetik
pertanyaan: "Mengapa harus bersusah payah mengingat, kalau bisa secara cepat dan mudah
membuka gawai? Kalau hal seperti itu terjadi, dapat dipastikan kemampuan mengingat, berpikir,
dan berkreasi mereka menjadi lemah. Dengan begitu, informasi dan ilmu pengetahuan yang
semestinya dipindahkan ke ingatan dan pikiran mereka, masih tetap berada di gawai masing-
masing. Mereka sangat bergantung pada gawai. Tanpa gawai, mereka sama sekali tidak dapat
berbuat dan bekerja. Hal seperti itu sangat berbahaya terhadap kualitas akademis mahasiswa kita,
baik masa kini ataupun masa-masa mendatang.

Pada fenomena semacam ini manusia betul-betul menjadi budak teknologi; manusia
sepenuhnya sangat bergantung pada teknologi. Tanpa teknologi, manusia tidak bisa berbuat apa-
apa. Hidup-mati manusia sepenuhnya "dikendalikan dan diatur" oleh teknologi. Manusia telah
didehumanisasi dan diposhumanisasi oleh teknologi ciptaannya sendiri. Dalam dehumanisasi
manusia telah diturunkan derajad kemanusiaannya oleh teknologi ciptaannya. Demikian pula
halnya, dalam poshumanisasi, peran dan fungsi manusia telah berakhir dan diakhiri juga oleh
teknologi ciptaannya. Fenomena semacam itu telah lama diramalkan oleh para filsuf-futuris-
kritis teknologi (kebudayaan), seperti: N. Donna Haraway, Katherine Hayles, Francesca
Ferrando, Nick Land, Robert Pepperel, William Dobelle, Kevin Warwick, dan sebagainya.
Dalam ungkapan yang berbeda, fenomena semacam itu dikatakan oleh Jean Paul Sartre sebagai
"kematian eksistensial manusia" dan digambarkan oleh Friedrich Nietzsche sebagai manusia "
bermental budak".

Menurut Sartre, manusia yang mengalami "kematian eksistensial" adalah manusia yang
tidak bermakna dan memberi makna bagi kehidupan. Sebaliknya, manusia yang bereksistensi
adalah manusia yang bermakna dan memberi makna bagi kehidupan. Manusia dikatakan
bereksistensi jika produktif dan kreatif. Lalu, apa yang dimaksudkan manusia yang " bermental
budak", menurut Nietzsche? Manusia yang bermental budak yang relevan dalam konteks ini
adalah manusia yang menjadi budak teknologi. Ia sangat menggantungkan hidupnya pada
teknologi; ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa tanpa teknologi. Teknologi tidak
menjadikannya lebih produktif dan kreatif. Ia semata-mata hanya konsumtif: sebentar-sebentar
membuka gawai jika menjelaskan atau diminta/ ditugasi untuk menjelaskan informasi: ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya sudah berkali-kali dibaca dan dipelajarinya; ia
tidak mau bersusah-payah berpikir dan mengingatnya. Lebih lanjut, menurut Nietzsche, manusia
yang bermental budak yang relevan dalam konteks ini adalah manusia pecundang yang lemah,
selalu kalah dalam berivalitas berkontestasi, dan berkompetisi hampir di segala bidang
kehidupan, baik bidang-bidang politik, sosial, budaya, teknologi, pendidikan, maupun ekonomi.
Manusia seperti itu bertolak belakang dengan manusia yang diidealkan oleh Nietzsche. Manusia
yang diidealkan oleh Nietzsche adalah "Manusia Agung" (Ubermensch). Menurut Nietzsche,
manusia sehat, kuat, cerdas, produktif, dan kreatif adalah representasi "Manusia Agung".
Saat ini sudah mulai dan terjadi peran manusia digantikan oleh robot. Bisa jadi masa
yang akan datang peran manusia sebagai guru, dosen, dokter, advokat, pilot, sampai dengan
suami, isteri, dan pekerjaan teknis lainnya, digantikan seluruhnya oleh robot. Manusia sudah
kehilangan perannya sama sekali karena manusia (dianggap) memiliki banyak kelemahan,
kekurangan, dan keterbatasan. Manusia sudah kehilangan arti, makna, fungsi, dan perannya di
dunia ini sehingga arti, makna, fungsi, dan perannya digantikan oleh robot. Manusia biologis
yang tersisa hanyalah para pakar yang betul-betul super di bidang keahliannya. Yang berarti,
bermakna, berfungsi, dan berperan di dalam kehidupan masa depan hanyalah "manusia
biomekatronik, robot".

Era poshuman sebagaimana dijelaskan di atas lebih cenderung bersifat peyoratif. Era
poshuman yang lebih cenderung amelioratif biasanya berkaitan dengan kemampuan manusia
dalam mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intellegence). Apa yang kini
disebut cyborg (Cybernetic Organism) adalah produk biomekatronik, manusia setengah mesin
yang tubuhnya bersifat psikobiologis dan sebagian lagi bersifat robotik. Cyborg oleh pakar
teknologi robot Manfred E. Clynes dan Nathan S. Kline sekitar tahun 1960-an. Cyborg
diharapkan dapat mengatasi kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan tubuh psikobiologis
bersifat mekatroknik manusia. Pekerjaan apa saja yang selama ini sulit diselesaikan, tidak bisa
dikerjakan dan dibereskan oleh tubuh psikobiologis manusia, bisa dikerjakan oleh robot yang.
Kalau itu bisa diproduksi secara masif, betapa banyak pekerjaan yang selama ini dipandang sulit,
rumit, berbahaya, dan mustahil dilakukan, bisa bisa dibereskan dan diselesaikan oleh cyborg.
Prinsip: efisiensi, efektivitas, kreativitas, dan produktivitas kerja manusia bisa dimaksimalkan.
Inilah gambaran dunia masa depan yang akan dilalui oleh anak-anak dan para mahasiswa kita.
Siapkah, sanggupkah, dan mampukah anak-anak dan mahasiswa kita dengan kondisi yang kita
alami dan miliki. Jika siap, sanggup, dan mampu, kita akan "survive"; jika tidak, yang terjadi
adalah dunia yang betul-betul poshuman: dunia akhir dari fungsi, peran, dan eksistensi manusia.
HAKIKAT MANUSIA : DALAM KAJIAN FILSAFAT-ANTROPOLOGI
Penelitian tentang fenomena kehidupan manusia tidak akan pernah menghasilkan
kesimpulan final. Selalu ada temuan penelitian yang bersifat aktual. Studi tentang fenomena
kehidupan manusia sudah dimulai sejak zaman filsuf sekelas Socrates, Plato, Aristoteles sampai
dengan para ilmuwan kontemporer, seperti: Judith Butler, Slavoj Zizek, Donna Haraway, Cornel
West, dan masih banyak lagi ilmuwan lainnya yang tak dapat disebutkan di sini. Di antara sekian
banyak filsuf, Aristoteles dipandang sebagai tokoh awal yang telah membicarakan secara khusus
kajian tentang fenomena kehidupan manusia itu yang disebutnya sebagai filsafat-antropologi.
Apakah pengertian filsafat-antropologi itu? Filsafat antropologi membicarakan hakikat manusia
dari perspektif: apanya (sebagai objek), siapanya (sebagai subjek), mengapanya, bagaimananya,
dan untuk apa (keberadaan)nya. Dari sekian banyak kajian dan literatur, ternyata penelitian
tentang fenomena kehidupan manusia dari perspektif filsafat-antropologi itu masih bersifat
parsial, diskret, dan open ended. Berikut ini dikemukakan keanekaragaman istilah untuk
menjelaskan "kesimpulan" yang bersifat diskret dan parsial tentang hakikat manusia.

1.Homo homini lutpus

Di samping memiliki ciri "bendawi" dan ciri esensi-eksistensi manusiawi, manusia juga
memiliki ciri hewani. Perilaku, seperti: mencuri, merampok, membegal, mengorupsi, memusuhi/
bermusuhan, membunuh, dan sebagainya merupakan cerminan dari ciri dan sifat hewani dalam
diri manusia. Manusia bak perilaku serigala yang saling membunuh dan memangsa
antarsesamanya. Sifat-sifat seperti ini digambarkan Thomas Hobbes dalam istilah ilmiah Homo
homini lutpus.

2.Homo sapien

Homo sapien mengandung pengertian bahwa pada hakikatnya manusia memiliki


kapasitas kognitif yang lebih tinggi daripada makhluk hidup lainnya yang ada di dunia dan alam
semesta ini. Mereka memiliki akal budi. Dengan kepemilikan akal budi, manusia dapat
mengembangkan dan membangun kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Kebudayaan dan
peradaban terealisasikan dalam nilai-nilai, seperti nilai-nilai: religius, sosial, ekonomi, politik,
hukum, edukatif, etik-moral, estetik, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan dan teknologi dari yang
sederhana sampai yang serba canggih sekarang ini merupakan produk kreativitas dari
kepemilikan kapasitas kognitif yang tinggi.

3. Homo laboran

Manusia tak dapat hidup tanpa bekerja. Dengan kata lain, manusia harus bekerja untuk
menjamin kelangsungan hidupnya. Hakikat manusia sebagai makhluk yang selalu bekerja untuk
menjamin kelangsungan hidupnya ini dalam filsafat antropologi dikenal dengan istilah Homo
laboran.

4. Homo creator

Manusia dengan akal pikirannya yang cerdas dan terampil menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, baik yang sederhana maupun yang canggih. Berkat kemampuan daya
ciptanya ini, manusia sering disebut dengan nama ilmiah Homo creator.

5. Homo habilis

Pada awal kehidupannya di dunia ini, bisa jadi manusia bekerja hanya dengan
mengandalkan anggota badannya semata, tanpa bantuan alat-alat yang berupa mesin-mesin,
robot-robot yang berkecerdasan buatan secanggih yang kita kenal sekarang ini. Manusia yang
bekerja dengan mengandalkan anggota badannya ini disebut dengan istilah ilmiah sebagai Homo
habilis. Sebagai contoh dalam istilah bahasa Jawa, penggunaan anggota badan dalam bekerja
sangat jelas. Nyunggi misalnya adalah membawa barang dengan meletakkannya di atas kepala
sambil dipegang dengan kedua tangan; ngindhit adalah membawa barang dengan meletakkannya
di pinggang dengan dibantu dipegang dengan satu atau kedua belah tangan. Nyangkul adalah
membawa barang dengan meletakkannya di pundak dengan dibantu satu atau kedua belah
tangan, dan masih banyak lagi contoh lainnya yang tak dapat dijelaskan di sini.

6. Homo artefak

Pada awal keberadaannya di dunia ini ada kemungkinan manusia bekerja dengan
menggunakan anggota badannya, seperti: tangan, kaki, kepala, dan badannya. Pada
perkembangan selanjutnya, manusia bekerja dengan cara seperti ini mereka rasakan melelahkan,
menghabiskan banyak tenaga; dan kurang mendapatkan hasil yang lebih banyak, atau paling
tidak, mencukupi kebutuhan. Mereka lalu berpikir bagaimana bekerja dengan hasil yang
mencukupi, bahkan mungkin lebih banyak, dan tidak begitu melelahkan. Dengan menggunakan
akal dan pikirannya, mereka akhirnya menemukan dan menciptakan alat-alat yang dapat
membantu meringankan pekerjaan, mendapatkan hasil yang lebih banyak, dan tidak begitu
melelahkan. Penemuan dan penciptaan alat-alat oleh kemampuan akal dan daya pikir manusia ini
dalam filsafat-antropologi disebut dengan istilah Homo artefak.

7. Homo faber

Alat-alat atau yang dalam bahasa modernnya disebut teknologi, diciptakan untuk
digunakan. Manusia yang menciptakan alat ataupun teknologi biasanya bisa menggunakan,
sedang manusia yang tidak menciptakan biasanya harus belajar dan berlatih untuk menggunakan
ataupun mengoperasikannya; apalagi alat-alat atau teknologi sekarang yang serba canggih,
mereka terlebih dahulu harus belajar atau mempelajari cara menggunakan atau
mengoperasikannya. Manusia sebagai pengguna produk alat-alat ataupun teknologi ini dalam
istilah filsafat antropologi disebut sebagai Homo faber.

8. Homo technicus

Techne dalam bahasa Yunani Latin berarti tukang. Homo technicus berarti bahwa pada
hakikatnya manusia mempunyai potensi untuk menjadi tukang, menukang. Setiap tukang
biasanya mempunyai keahlian atau keterampilan khusus, tertentu. Ada tukang bangunan rumah,
ada tukang batu, ada tukang sepatu, ada tukang jam, dan masih banyak lagi tukang-tukang yang
lain.

9. Homo sapien electronicus

Pada era modern ini manusia membutuhkan alat-alat yang serba canggih yang bisa
bekerja secara efektif dan efisien. Untuk itu, dengan kecerdasan dan daya kreativitasnya yang
tinggi mereka menciptakan dan menggunakan alat-alat yang serba elektronik dan digital, seperti
sekarang ini dikenal sebagai robot-robot yang berkecerdasan buatan. Dengan alat-alat itu,
mereka bisa menyelesaikan pekerjaan yang sulit-sulit yang tidak mungkin dilakukan dan
dikerjakan oleh manusia secara fisik, seperti: melintasi jalan ataupun daerah penuh ranjau,
menjinakkan bom, memasuki gedung-gedung yang sedang mengalami kebakaran, dan
sebagainya. Hakikat manusia semacam ini dalam filsafat-antropologi disebut Homo sapien
electronicus.

10. Homo economicus

Untuk tetap bisa menjaga kelangsungan hidup dan tercukupi kebutuhan serta keinginan
diri pribadi dan keluarganya, manusia perlu mengatur dan mengelola tenaga (sumber daya) yang
mereka miliki, hasil yang mereka peroleh (produksi), dan pola pengaturan konsumsi mereka agar
tidak cepat habis (boros). Mekanisme kerja semacam ini dikenal dengan istilah antropologi-
filsafat sebagai Homo economicus.

11. Homo valen

Manusia sudah berusaha untuk bekerja, namun penghasilan mereka peroleh mereka
rasakan belum memenuhi atau mencukupi kebutuhan dan keinginan hidup mereka. Akhirnya,
mereka mengembara, merantau untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan yang lebih untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut. Kebiasaan manusia untuk berkelana,
mengembara, ataupun merantau agar mendapatkan sumber penghidupan yang lebih layak,
menjanjikan dan menjamin kebutuhan dan keinginan mereka dalam antropologi disebut sebagai
Homo valen.

12. Homo philosophicus


Manusia di sepanjang fase kehidupan, paling tidak, sesekali pernah berefleksi dan
berkontemplasi tentang hakikat jati dirinya. Kegiatan manusia yang berefleksi dan
berkontemplasi tentang hakikat jati dirinya ini dalam istilah filsafat-antropologi disebut dengan
istilah Homo philosophicus.

13. Homo mammalibus

Istilah mammalibus bisa diartikan sebagai menyusui. Kebiasaan manusia yang memiliki
anak bayi akan selalu menyusui agar tetap hidup sehat. Menyusui di sini bisa bermakna menjaga
atau memelihara agar tetap hidup, memberikan/ menetekkan air susu kepada bayinya agar tetap
hidup, menghidupi, menjaga, memelihara, dan merawat anak atau bayinya agar tetap hidup.

14. Homo vegetus

Homo vegetus digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat rasa kasih sayang pada diri
manusia. Dapat dibayangkan bagaimana seandainya manusia hidup tanpa rasa kasih sayang.
Betapa sedih menderitanya manusia dalam keterasingan. Sifat-sifat rasa kasih sayang ini semakin
berkembang pada diri manusia apalagi sebagai makhluk sosial.

15. Homo socius

Sejak dalam kandungan ibunya sampai lahir dan hidup di alam dunia ini, manusia tak
pernah dapat hidup seorang diri. Mereka butuh bantuan orang lain, dan butuh uluran tangan
orang lain; mereka harus bekerja sama dengan orang lain. Hal itu menunjukkan bahwa pada
hakikatnya manusia memiliki ciri sosial atau dalam istilah ilmiahnya disebut sebagai Homo
socius.

16. Homo luden

Manusia hidup dan bekerja tidak ingin terjebak dalam rutinitas yang melelahkan. Mereka
membutuhkan aktivitas yang menyenangkan, menggembirakan, dan menghibur hati. Untuk itu,
mereka perlu bermain. Beragam jenis kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan, dan
menghibur hati mereka lakukan, seperti bermain musik dan menyanyi, bermain drama/teater,
berolah raga dalam berbagai cabang, bermain petak umpet, bermain kelereng, bermain lato-lato,
dan sebagainya. Semua aktivitas tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia adalah
Homo luden.

17. Homo estheticus

Rasa hati yang senang dan terhibur oleh sesuatu yang indah. Indah dalam pengertian ini
adalah indah didengar, dilihat, dirasakan, dicecap, dibaui, ataupun diraba. Dengan kata lain,
indah bersifat perseptif. Manusia mempunyai potensi untuk menciptakan dan merasakan sesuatu
yang indah. Mereka ciptakan lagu-lagu yang merdu, puisi-puisi yang mengharukan ketika dibaca
dan diperdengarkan, lukisan-lukisan yang indah-indah, tarian-tarian gemulai. Pada musim
liburan, misalnya, mereka berlibur dan berwisata ke pantai-pantai, ke pegunungan, ke danau-
danau, ke situs-situs (ber)sejarah, dan ke tempat-tempat tujuan wisata lainnya. Apa yang mereka
lakukan adalah untuk mendapatkan hiburan, kesenangan, dan untuk menikmati keindahannya.
Hakikat manusia untuk menciptakan dan menikmati sesuatu yang indah dalam filsafat-
antropologi disebut sebagai Homo estheticus.

18. Homo symbolicum

Menurut filsuf kebudayaan Ernst Cassirer, manusia pada hakikatnya adalah pencipta dan
pengguna simbol-simbol, lambang-lambang, dan tanda-tanda, termasuk bahasa. Bahasa pada
hakikatnya juga merupakan simbol-simbol, lambang-lambang, tanda-tanda. Manusia sendiri
dapat dikatakan hidup di "hutan rimba" simbol-simbol, lambang-lambang, dan tanda-tanda.
Manusia yang pada hakikatnya sebagai pencipta dan pengguna simbol-simbol, lambang-
lambang, dan tanda-tanda dalam filsafat-antropologi disebut dengan istilah ilmiah: Homo
symbolicum.

19. Homo loquen

Manusia memiliki kelebihan atau keistimewaan jika dibandingkan dengan makhluk


ciptaan Tuhan lainnya. Ia memiliki kapasitas atau kemampuan dan kefasihan berbahasa yang
oleh Noam Chomsky disebut dengan Language Acquisition Devices atau disingkat LAD.
Dengan kapasitas atau kemampuan dan kefasihan berbahasa tersebut, manusia disebut dengan
istilah ilmiah: Homo loquen.

20. Homo narran

Dengan kapasitas dan kefasihan berbahasa itu pula, manusia selanjutnya memiliki
kemampuan untuk berkisah atau mengisahkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia alami, ia rasakan,
dan ia pikirkan. Kapasitas atau kemampuan berkisah atau mengisahkan sesuatu itu disebut
dengan istilah ilmiah sebagai: Homo narran.

21. Homo fabulan

Bercerita atau mendongeng sudah menjadi kebiasaan para orang tua ataupun nenek
moyang kita. Kebiasaan mendongeng itu berlanjut sampai sekarang, bahkan di sekolah-sekolah
lomba mendongeng sudah biasa diselenggarakan. Oleh karena kebiasaan mendongeng itu,
manusia disebut dengan istilah ilmiah sebagai Homo fabulan.

22. Homo divinan

Manusia secara alamiah mempunyai kecenderungan untuk merefleksikan dan


mengontemplasikan noumena yang bersifat spiritual, Adikodrati, supranatural, dan metanatural,
seperti: adanya pkekuatan dan kekuasaan gaib, adanya alam sesudah kematian, adanya surga dan
nerak, serta asal-usul dan penciptaan manusia dan alam seisinya. Kecenderungan manusia untuk
merefleksikan dan mengontemplasikan noumena yang bersifat spiritual, Adikodrati,
supranatural, maupun metanatural dalam filsafat- antropologi disebut sebagai: Homo divinans.

23. Homo religiosus

Manerut Paul Tillich manusia religius memiliki dua pengertian. Pertama, manusia disebut
religius karena dia menganut dan menjalankan nilai-nilai yang digariskan oleh agamanya.
Kedua, manusia disebut religius tidak harus menganut suatu agama, tetapi menjalankan nilai-
nilai yang digariskan oleh agama-agama. Baik manusia yang menganut dan menjalankan nilai-
nilai agama maupun kepercayaan tertentu, maupun manusia yang tidak menganut agama maupun
kepercayaan tertentu, tetapi menjalankan nilai-nilai yang digariskan agama maupun kepercayaan
tertentu dalam istilah filsafat-antropologi disebut Homo religiosus.

24. Homo deus

Manusia yang beragama maupun berkepercayaan tertentu dapat dipastikan percaya


kepada Tuhan, Dewa, HyanWidiwasa, Hyang Mahatunggal, Yesus Kristus, Alloh SWT, dan
masih ada sebutan-sebutan Adikodrati lainnya. Hakikat manusia yang percaya, beriman,
bertaqwa, dan menyembah kepada Tuhannya ini disebut sebagai Homo deus.

25. Homo oran

Ada ritus atau ritual tertentu yang dilakukan oleh para penganut dari setiap agama dalam
bentuk doa, sholat, maupun sembahyang. Doa, sholat, maupun sembahyang yang dilakukan oleh
para penganut dari setiap agama merupakan manifestasi dari hakikat manusia sebagai Homo
oran.

26. Homo educandum

Manusia pada hakikatnya mempunyai potensi dan kapasitas untuk dididik. Potensi dan
kapasitas untuk dididik ini bersifat ideosinkretis yang hanya dimiliki oleh satu-satunya makhluk
yang disebut manusia. Terminologi yang lazim digunakan untuk hakikat manusia tersebut di atas
adalah Homo educandum.

27. Homo academicus

Manusia pada dasarnya memiliki potensi dan kapasitas untuk belajar dan dibelajarkan.
Manusia yang sudah belajar dan dibelajarkan pada level tertentu disebut akademisi, atau kaum
intelektual. Istilah ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan manusia sebagai makhluk yang
mempunyai potensi untuk belajar dan dibelajarkan disebut Homo academicus.

28. Homo mensura

Menurut filsuf Sofis Yunani Kuno, Protagoras, manusia pada hakikatnya biasa menggunakan
perasaan dan persepsinya untuk mengukur dan menilai "dunia". Dengan kata lain, manusia
menjadikan dirinya tolok ukur untuk menilai "dunia". Manusia yang menjadikan dirinya sebagai
tolok ukur untuk menilai segalanya tentang dunia ini dalam istilah filsafat-antropologinya
disebut Homo mensura.

29. Homo volens

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memiliki rasa dan karsa. Manusia yang
memiliki rasa dan karsa inilah yang menjadikan manusia sebagai Homo volens. Rasa dan karsa
ini dapat mengondisikan cipta sehingga melahirkan karya. Cipta, rasa, karsa, dan karya
merupakan catur tunggal dalam diri sang manusia.

30. Homo concors/ concord

Homo concors/ concord mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki


kemampuan untuk mentransformasikan, mengadaptasikan, dan menyinergikan dirinya dengan
perubahan era. Dengan begitu, manusia selalu bisa meng- up date -kan dan mengaktualisasikan
dirinya pada setiap kali terjadi perubahan era. Manusia bisa menghomeostasiskan dirinya dengan
gerak perubahan zaman.

31. Homo politicus

Manusia secara alamiah terlibat dalam kegiatan dan urusan politik bernegara. Manusia
terlibat dalam kegiatan dan urusan politik bernegara, misalnya: persoalan memilih ataupun
dipilih. Memilih dalam pengertian ini adalah memilih pimpinan ataupun pemimpin yang
dipandang mampu manyalurkan aspirasi politik mereka. Dipilih dalam pengertian ini adalah
dipilih untuk menjadi pimpinan ataupun pemimpin yang mampu menyalurkan aspirasi politik
pemilihnya. Keterlibatan manusia secara alamiah dalam kegiatan dan urusan politik bernegara
dalam filsafat antropologi disebut Homo politicus.

32. Homo viator

Manusia menduduki derajad tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya di dunia
ini. Mereka tidak ingin hidupnya sia-sia. Mereka secara mencari makna kehidupannya. Apa
makna kehidupan itu? Makna kehidupan adalah (jika) (ke)hidup(an)(seseorang) itu sendiri
bermakna atau meminjam istilah Soren Kierkegaard dan Martin Heidegger sebagai (manusia
yang) bereksistensi. (Ke)hidup(an) (manusia) bermakna, yang menurut istilah Jean Paul Sartre
dan Albert Camus, adalah bukan (ke)hidup(an) yang sia-sia. Ia adalah manusia unggul bukan
pecundang, demikian kata Freidrich Nietzsche. Jadi dengan kata lain, agar hidup bermakna dan
tidak sia-sia, manusia harus mempunyai andalan kehidupan atau keunggulan yang mungkin tidak
dimiliki oleh manusia pada umumnya. Upaya sang manusia dalam mencari makna (ke)hidup(an)
ini dalam istilah filsafat-antropologi disebut Homo viator.

33. Homo humanus

Homo humanus dipandang sebagai level tertinggi dalam kajian filsafat-antropologi.


Homo yang humanus adalah manusia yang mempunyai ciri atau sifat manusiawi. Ego manusia
yang manusiawi akan selalu mengikuti "suara Superego" dalam istilah Sigmund Freud sebagai
pengontrol hidupnya. Mereka secara berangsur-angsur meninggalkan godaan Id-nya. Manusia
yang sudah berada pada level Homo humanus dalam pembelajaran agama disebut sebagai insan
kamil. Ia memiliki sifat-sifat profetik, yaitu sifat-sifat kenabian. Manusia yang memiliki ciri atau
sifat manusiawi ini dalam istilah filsafat-antropologinya disebut sebagai Homo humanus.

Penelitian tentang hakikat manusia dari berbagai aspek yang menghasilkan berbagai
kesimpulan yang ditunjukkan dengan terminologi berbagai Homo di atas membuktikan betapa
parsial dan diskretnya penelitian tentang diri manusia sendiri yang dilakukan oleh para filsuf dan
pakar selama ini yang memang tak akan menghasilkan kesimpulan final. Oleh karena itu, perlu
diintensif dan diekstensifkan penelitian tentang fenomena kehidupan manusia yang bersifat
holistik, komprehensif, integratif, interdisipliner, multidisipliner, maupun transdisipliner
sehingga menghasilkan kesimpulan yang relatif mendekati sosok manusia yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai