Anda di halaman 1dari 23

HAKIKAT

MANUSIA
DALAM KAJIAN
FILSAFAT
ANTROPOLOGI
Drs. Agus Joko Purwadi, M.Pd.
KATA PENGANTAR
Bahan tayangan berjudul Hakikat manusia dalam kajian filsafat
antropologi ini merupakan dari berbagai sumber referensi yang bertujuan
untuk merangkum definisi mengenai hakikat manusia dalam kajian filsafat
antropologi, sebagai salah satu materi dalam Mata Kuliah Kebudayaan
Indonesia bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.
Penulis berusaha merumuskan tentang filsafat antropologi yang
membicarakan hakikat manusia yang Dimana dikemukakan keanekaragaman
istilah untuk menjelaskan “ kesimpulan “ yang bersifat diskret dan parsial
tentang hakikat manusia.
Bahan tayangan ini diharapkan dapat di manfaatkan oleh dosen
dan mahasiswa sebagai bahan ajar pendukung mata kuliah kebudayaan
Indonesia. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penyusunan
bahan tayangan ini. Oleh karena itu, kritik yang membangun dan saran dari
pembaca sangat di perlukan untuk lebih menyempurnakan bahan tayang ini.

Bengkulu, Desember 2023

Penulis
ABSTRAKSI
Yang melatarbelakangi pembuatan bahan tayang ini adalah bahwa
Penelitian tentang fenomena kehidupan manusia tidak akan pernah
menghasilkan kesimpulan final. Selalu ada temuan penelitian yang bersifat
aktual. Studi tentang fenomena kehidupan manusia sudah dimulai sejak zaman
filsuf sekelas Socrates, Plato, Aristoteles sampai dengan para ilmuwan
kontemporer, seperti: Judith Butler, Slavoj Zizek, Donna Haraway, Cornel
West, dan masih banyak lagi ilmuwan lainnya yang tak dapat disebutkan di
sini.
Di antara sekian banyak filsuf, Aristoteles dipandang sebagai tokoh
awal yang telah membicarakan secara khusus kajian tentang fenomena
kehidupan manusia itu yang disebutnya sebagai filsafat-antropologi. Apakah
pengertian filsafat-antropologi itu? Filsafat antropologi membicarakan hakikat
manusia dari perspektif: apanya (sebagai objek), siapanya (sebagai subjek),
mengapanya, bagaimananya, dan untuk apa (keberadaan)nya.
Dari sekian banyak kajian dan literatur, ternyata penelitian tentang
fenomena kehidupan manusia dari perspektif filsafat-antropologi itu masih
bersifat parsial, diskret, dan open ended. Berikut ini dikemukakan
keanekaragaman istilah untuk menjelaskan "kesimpulan" yang bersifat diskret
dan parsial tentang hakikat manusia.
HAKIKAT MANUSIA
1. Homo homini lupus

Di samping memiliki ciri "bendawi" dan ciri esensi-


eksistensi manusiawi, manusia juga memiliki ciri hewani. Perilaku,
seperti: mencuri, merampok, membegal, mengorupsi, memusuhi/
bermusuhan, membunuh, dan sebagainya merupakan cerminan dari ciri
dan sifat hewani dalam diri manusia. Manusia bak perilaku serigala
yang saling membunuh dan memangsa antarsesamanya. Sifat-sifat
seperti ini digambarkan Thomas Hobbes dalam istilah ilmiah Homo
homini lupus.

2. Homo sapien

Homo sapien mengandung pengertian bahwa pada


hakikatnya manusia memiliki kapasitas kognitif yang lebih tinggi
daripada makhluk hidup lainnya yang ada di dunia dan alam semesta
ini. Mereka memiliki akal budi. Dengan kepemilikan akal budi,
manusia dapat mengembangkan dan membangun kebudayaan dan
peradaban yang tinggi. Kebudayaan dan peradaban terealisasikan
dalam nilai-nilai, seperti nilai-nilai: religius, sosial, ekonomi, politik,
hukum, edukatif, etik-moral, estetik, dan sebagainya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi dari yang sederhana sampai yang serba
canggih sekarang ini merupakan produk kreativitas dari kepemilikan
kapasitas kognitif yang tinggi.
3. Homo laboran

Manusia tak dapat hidup tanpa bekerja. Dengan kata lain,


manusia harus bekerja untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Hakikat manusia sebagai makhluk yang selalu bekerja untuk menjamin
kelangsungan hidupnya ini dalam filsafat antropologi dikenal dengan
istilah Homo laboran.

4. Homo creator

Manusia dengan akal pikirannya yang cerdas dan terampil


menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang sederhana
maupun yang canggih. Berkat kemampuan daya ciptanya ini, manusia
sering disebut dengan nama ilmiah Homo creator.
5. Homo habilis

Pada awal kehidupannya di dunia ini, bisa jadi manusia


bekerja hanya dengan mengandalkan anggota badannya semata, tanpa
bantuan alat-alat yang berupa mesin-mesin, robot-robot yang
berkecerdasan buatan secanggih yang kita kenal sekarang ini. Manusia
yang bekerja dengan mengandalkan anggota badannya ini disebut
dengan istilah ilmiah sebagai Homo habilis. Sebagai contoh dalam
istilah bahasa Jawa, penggunaan anggota badan dalam bekerja sangat
jelas. Nyunggi misalnya adalah membawa barang dengan
meletakkannya di atas kepala sambil dipegang dengan kedua tangan;
ngindhit adalah membawa barang dengan meletakkannya di pinggang
dengan dibantu dipegang dengan satu atau kedua belah tangan.
Nyangkul adalah membawa barang dengan meletakkannya di pundak
dengan dibantu satu atau kedua belah tangan, dan masih banyak lagi
contoh lainnya yang tak dapat dijelaskan di sini.
6. Homo artefak

Pada awal keberadaannya di dunia ini ada kemungkinan


manusia bekerja dengan menggunakan anggota badannya, seperti:
tangan, kaki, kepala, dan badannya. Pada perkembangan selanjutnya,
manusia bekerja dengan cara seperti ini mereka rasakan melelahkan,
menghabiskan banyak tenaga; dan kurang mendapatkan hasil yang
lebih banyak, atau paling tidak, mencukupi kebutuhan. Mereka lalu
berpikir bagaimana bekerja dengan hasil yang mencukupi, bahkan
mungkin lebih banyak, dan tidak begitu melelahkan. Dengan
menggunakan akal dan pikirannya, mereka akhirnya menemukan dan
menciptakan alat-alat yang dapat membantu meringankan pekerjaan,
mendapatkan hasil yang lebih banyak, dan tidak begitu melelahkan.
Penemuan dan penciptaan alat-alat oleh kemampuan akal dan daya
pikir manusia ini dalam filsafat-antropologi disebut dengan istilah
Homo artefak.
7. Homo faber

Alat-alat atau yang dalam bahasa modernnya disebut


teknologi, diciptakan untuk digunakan. Manusia yang menciptakan alat
ataupun teknologi biasanya bisa menggunakan, sedang manusia yang
tidak menciptakan biasanya harus belajar dan berlatih untuk
menggunakan ataupun mengoperasikannya; apalagi alat-alat atau
teknologi sekarang yang serba canggih, mereka terlebih dahulu harus
belajar atau mempelajari cara menggunakan atau mengoperasikannya.
Manusia sebagai pengguna produk alat-alat ataupun teknologi ini
dalam istilah filsafat antropologi disebut sebagai Homo faber.

8. Homo technicus

Techne dalam bahasa Yunani Latin berarti tukang. Homo


technicus berarti bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai potensi
untuk menjadi tukang, menukang. Setiap tukang biasanya mempunyai
keahlian atau keterampilan khusus, tertentu. Ada tukang bangunan
rumah, ada tukang batu, ada tukang sepatu, ada tukang jam, dan masih
banyak lagi tukang-tukang yang lain.
9. Homo sapien electronicus

Pada era modern ini manusia membutuhkan alat-alat yang


serba canggih yang bisa bekerja secara efektif dan efisien. Untuk itu,
dengan kecerdasan dan daya kreativitasnya yang tinggi mereka
menciptakan dan menggunakan alat-alat yang serba elektronik dan
digital, seperti sekarang ini dikenal sebagai robot-robot yang
berkecerdasan buatan. Dengan alat-alat itu, mereka bisa
menyelesaikan pekerjaan yang sulit-sulit yang tidak mungkin dilakukan
dan dikerjakan oleh manusia secara fisik, seperti: melintasi jalan
ataupun daerah penuh ranjau, menjinakkan bom, memasuki gedung-
gedung yang sedang mengalami kebakaran, dan sebagainya. Hakikat
manusia semacam ini dalam filsafat-antropologi disebut Homo sapien
electronicus.

10. Homo economicus

Untuk tetap bisa menjaga kelangsungan hidup dan tercukupi


kebutuhan serta keinginan diri pribadi dan keluarganya, manusia perlu
mengatur dan mengelola tenaga sumber daya yang mereka miliki, hasil
yang mereka peroleh produksi, dan pola pengaturan konsumsi mereka
agar tidak cepat habis (boros). Mekanisme kerja semacam ini dikenal
dengan istilah antropologi-filsafat sebagai Homo economicus.
11. Homo valen

Manusia sudah berusaha untuk bekerja, namun penghasilan


mereka peroleh mereka rasakan belum memenuhi atau mencukupi
kebutuhan dan keinginan hidup mereka. Akhirnya, mereka
mengembara, merantau untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan
yang lebih untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Kebiasaan manusia untuk berkelana, mengembara, ataupun merantau
agar mendapatkan sumber penghidupan yang lebih layak, menjanjikan
dan menjamin kebutuhan dan keinginan mereka dalam antropologi
disebut sebagai Homo valen.

12. Homo philosophicus

Manusia di sepanjang fase kehidupan, paling tidak, sesekali


pernah berefleksi dan berkontemplasi tentang hakikat jati dirinya.
Kegiatan manusia yang berefleksi dan berkontemplasi tentang hakikat
jati dirinya ini dalam istilah filsafat-antropologi disebut dengan istilah
Homo philosophicus.
13. Homo mammalibus

Istilah mammalibus bisa diartikan sebagai menyusui.


Kebiasaan manusia yang memiliki anak bayi akan selalu menyusui agar
tetap hidup sehat. Menyusui di sini bisa bermakna menjaga atau
memelihara agar tetap hidup, memberikan/ menetekkan air susu kepada
bayinya agar tetap hidup, menghidupi, menjaga, memelihara, dan
merawat anak atau bayinya agar tetap hidup.

14. Homo vegetus

Homo vegetus digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat


rasa kasih sayang pada diri manusia. Dapat dibayangkan bagaimana
seandainya manusia hidup tanpa rasa kasih sayang. Betapa sedih
menderitanya manusia dalam keterasingan. Sifat-sifat rasa kasih sayang
ini semakin berkembang pada diri manusia apalagi sebagai makhluk
sosial.
15. Homo socius

Sejak dalam kandungan ibunya sampai lahir dan hidup di


alam dunia ini, manusia tak pernah dapat hidup seorang diri. Mereka
butuh bantuan orang lain, dan butuh uluran tangan orang lain; mereka
harus bekerja sama dengan orang lain. Hal itu menunjukkan bahwa
pada hakikatnya manusia memiliki ciri sosial atau dalam istilah
ilmiahnya disebut sebagai Homo socius.

16. Homo luden

Manusia hidup dan bekerja tidak ingin terjebak dalam


rutinitas yang melelahkan. Mereka membutuhkan aktivitas yang
menyenangkan, menggembirakan, dan menghibur hati. Untuk itu,
mereka perlu bermain. Beragam jenis kegiatan yang menyenangkan,
menggembirakan, dan menghibur hati mereka lakukan, seperti bermain
musik dan menyanyi, bermain drama/teater, berolah raga dalam
berbagai cabang, bermain petak umpet, bermain kelereng, bermain
lato-lato, dan sebagainya. Semua aktivitas tersebut menunjukkan
bahwa pada hakikatnya manusia adalah Homo luden.
17. Homo estheticus

Rasa hati yang senang dan terhibur oleh sesuatu yang indah.
Indah dalam pengertian ini adalah indah didengar, dilihat, dirasakan,
dicecap, dibaui, ataupun diraba. Dengan kata lain, indah bersifat
perseptif. Manusia mempunyai potensi untuk menciptakan dan
merasakan sesuatu yang indah. Mereka ciptakan lagu-lagu yang merdu,
puisi-puisi yang mengharukan ketika dibaca dan diperdengarkan,
lukisan-lukisan yang indah-indah, tarian-tarian gemulai. Pada musim
liburan, misalnya, mereka berlibur dan berwisata ke pantai-pantai, ke
pegunungan, ke danau-danau, ke situs-situs bersejarah, dan ke tempat-
tempat tujuan wisata lainnya. Apa yang mereka lakukan adalah untuk
mendapatkan hiburan, kesenangan, dan untuk menikmati
keindahannya. Hakikat manusia untuk menciptakan dan menikmati
sesuatu yang indah dalam filsafat-antropologi disebut sebagai Homo
estheticus.
18. Homo symbolicum

Menurut filsuf kebudayaan Ernst Cassirer, manusia pada


hakikatnya adalah pencipta dan pengguna simbol-simbol, lambang-
lambang, dan tanda-tanda, termasuk bahasa. Bahasa pada hakikatnya
juga merupakan simbol-simbol, lambang-lambang, tanda-tanda.
Manusia sendiri dapat dikatakan hidup di "hutan rimba" simbol-simbol,
lambang-lambang, dan tanda-tanda. Manusia yang pada hakikatnya
sebagai pencipta dan pengguna simbol-simbol, lambang-lambang, dan
tanda-tanda dalam filsafat-antropologi disebut dengan istilah ilmiah:
Homo symbolicum.

19. Homo loquen

Manusia memiliki kelebihan atau keistimewaan jika


dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Ia memiliki
kapasitas atau kemampuan dan kefasihan berbahasa yang oleh Noam
Chomsky disebut dengan Language Acquisition Devices atau disingkat
LAD. Dengan kapasitas atau kemampuan dan kefasihan berbahasa
tersebut, manusia disebut dengan istilah ilmiah: Homo loquen.
20. Homo narran

Dengan kapasitas dan kefasihan berbahasa itu pula, manusia


selanjutnya memiliki kemampuan untuk berkisah atau mengisahkan
apa yang ia lihat, ia ketahui, ia alami, ia rasakan, dan ia pikirkan.
Kapasitas atau kemampuan berkisah atau mengisahkan sesuatu itu
disebut dengan istilah ilmiah sebagai: Homo narran.

21. Homo fabulan

Bercerita atau mendongeng sudah menjadi kebiasaan para


orang tua ataupun nenek moyang kita. Kebiasaan mendongeng itu
berlanjut sampai sekarang, bahkan di sekolah-sekolah lomba
mendongeng sudah biasa diselenggarakan. Oleh karena kebiasaan
mendongeng itu, manusia disebut dengan istilah ilmiah sebagai Homo
fabulan.
22. Homo divinan

Manusia secara alamiah mempunyai kecenderungan untuk


merefleksikan dan mengontemplasikan noumena yang bersifat
spiritual, Adikodrati, supranatural, dan metanatural, seperti: adanya
pkekuatan dan kekuasaan gaib, adanya alam sesudah kematian, adanya
surga dan nerak, serta asal-usul dan penciptaan manusia dan alam
seisinya. Kecenderungan manusia untuk merefleksikan dan
mengontemplasikan noumena yang bersifat spiritual, Adikodrati,
supranatural, maupun metanatural dalam filsafat- antropologi disebut
sebagai: Homo divinans.

23. Homo religiosus

Menurut Paul Tillich manusia religius memiliki dua


pengertian. Pertama, manusia disebut religius karena dia menganut dan
menjalankan nilai-nilai yang digariskan oleh agamanya. Kedua,
manusia disebut religius tidak harus menganut suatu agama, tetapi
menjalankan nilai-nilai yang digariskan oleh agama-agama. Baik
manusia yang menganut dan menjalankan nilai-nilai agama maupun
kepercayaan tertentu, maupun manusia yang tidak menganut agama
maupun kepercayaan tertentu, tetapi menjalankan nilai-nilai yang
digariskan agama maupun kepercayaan tertentu dalam istilah filsafat-
antropologi disebut Homo religiosus.
24. Homo deus

Manusia yang beragama maupun berkepercayaan tertentu


dapat dipastikan percaya kepada Tuhan, Dewa, HyanWidiwasa, Hyang
Mahatunggal, Yesus Kristus, Alloh SWT, dan masih ada sebutan-
sebutan Adikodrati lainnya. Hakikat manusia yang percaya, beriman,
bertaqwa, dan menyembah kepada Tuhannya ini disebut sebagai Homo
deus.

25. Homo oran

Ada ritus atau ritual tertentu yang dilakukan oleh para


penganut dari setiap agama dalam bentuk doa, sholat, maupun
sembahyang. Doa, sholat, maupun sembahyang yang dilakukan oleh
para penganut dari setiap agama merupakan manifestasi dari hakikat
manusia sebagai Homo oran.
26. Homo educandum

Manusia pada hakikatnya mempunyai potensi dan kapasitas


untuk dididik. Potensi dan kapasitas untuk dididik ini bersifat
ideosinkretis yang hanya dimiliki oleh satu-satunya makhluk yang
disebut manusia. Terminologi yang lazim digunakan untuk hakikat
manusia tersebut di atas adalah Homo educandum.

27. Homo academicus

Manusia pada dasarnya memiliki potensi dan kapasitas


untuk belajar dan dibelajarkan. Manusia yang sudah belajar dan
dibelajarkan pada level tertentu disebut akademisi, atau kaum
intelektual. Istilah ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan manusia
sebagai makhluk yang mempunyai potensi untuk belajar dan
dibelajarkan disebut Homo academicus.
28. Homo mensura

Menurut filsuf Sofis Yunani Kuno, Protagoras, manusia


pada hakikatnya biasa menggunakan perasaan dan persepsinya untuk
mengukur dan menilai "dunia". Dengan kata lain, manusia menjadikan
dirinya tolok ukur untuk menilai "dunia". Manusia yang menjadikan
dirinya sebagai tolok ukur untuk menilai segalanya tentang dunia ini
dalam istilah filsafat-antropologinya disebut Homo mensura.

29. Homo volens

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memiliki


rasa dan karsa. Manusia yang memiliki rasa dan karsa inilah yang
menjadikan manusia sebagai Homo volens. Rasa dan karsa ini dapat
mengondisikan cipta sehingga melahirkan karya. Cipta, rasa, karsa, dan
karya merupakan catur tunggal dalam diri sang manusia.
30. Homo concors / concord

Homo concors / concord mendefinisikan manusia sebagai


makhluk yang memiliki kemampuan untuk mentransformasikan,
mengadaptasikan, dan menyinergikan dirinya dengan perubahan era.
Dengan begitu, manusia selalu bisa meng- up date -kan dan
mengaktualisasikan dirinya pada setiap kali terjadi perubahan era.
Manusia bisa menghomeostasiskan dirinya dengan gerak perubahan
zaman.

31. Homo politicus

Manusia secara alamiah terlibat dalam kegiatan dan urusan


politik bernegara. Manusia terlibat dalam kegiatan dan urusan politik
bernegara, misalnya: persoalan memilih ataupun dipilih. Memilih
dalam pengertian ini adalah memilih pimpinan ataupun pemimpin yang
dipandang mampu manyalurkan aspirasi politik mereka. Dipilih dalam
pengertian ini adalah dipilih untuk menjadi pimpinan ataupun
pemimpin yang mampu menyalurkan aspirasi politik pemilihnya.
Keterlibatan manusia secara alamiah dalam kegiatan dan urusan politik
bernegara dalam filsafat antropologi disebut Homo politicus.
32. Homo viator

Manusia menduduki derajad tertinggi di antara makhluk


ciptaan Tuhan lainnya di dunia ini. Mereka tidak ingin hidupnya sia-
sia. Mereka secara mencari makna kehidupannya. Apa makna
kehidupan itu? Makna kehidupan adalah jika kehidupan seseorang itu
sendiri bermakna atau meminjam istilah Soren Kierkegaard dan Martin
Heidegger sebagai manusia yang bereksistensi. Kehidupan manusia
bermakna, yang menurut istilah Jean Paul Sartre dan Albert Camus,
adalah bukan kehidupan yang sia-sia. Ia adalah manusia unggul bukan
pecundang, demikian kata Freidrich Nietzsche. Jadi dengan kata lain,
agar hidup bermakna dan tidak sia-sia, manusia harus mempunyai
andalan kehidupan atau keunggulan yang mungkin tidak dimiliki oleh
manusia pada umumnya. Upaya sang manusia dalam mencari makna
kehidupan ini dalam istilah filsafat-antropologi disebut Homo viator.

33. Homo humanus

Homo humanus dipandang sebagai level tertinggi dalam


kajian filsafat-antropologi. Homo yang humanus adalah manusia yang
mempunyai ciri atau sifat manusiawi. Ego manusia yang manusiawi
akan selalu mengikuti "suara Superego" dalam istilah Sigmund Freud
sebagai pengontrol hidupnya. Mereka secara berangsur-angsur
meninggalkan godaan Id-nya. Manusia yang sudah berada pada level
Homo humanus dalam pembelajaran agama disebut sebagai insan
kamil. Ia memiliki sifat-sifat profetik, yaitu sifat-sifat kenabian.
Manusia yang memiliki ciri atau sifat manusiawi ini dalam istilah
filsafat-antropologinya disebut sebagai Homo humanus.
KESIMPULAN
Penelitian tentang hakikat manusia dari berbagai aspek
yang menghasilkan berbagai kesimpulan yang ditunjukkan dengan
terminologi berbagai Homo di atas membuktikan betapa parsial dan
diskretnya penelitian tentang diri manusia sendiri yang dilakukan
oleh para filsuf dan pakar selama ini yang memang tak akan
menghasilkan kesimpulan final. Oleh karena itu, perlu diintensif dan
diekstensifkan penelitian tentang fenomena kehidupan manusia
yang bersifat holistik, komprehensif, integratif, interdisipliner,
multidisipliner, maupun transdisipliner sehingga menghasilkan
kesimpulan yang relatif mendekati sosok manusia yang
sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai