Anda di halaman 1dari 7

PAPER

DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI ERA


MODERNISASI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Hukum

Dosen Pengampu : Andang Sari Harahap,SH,.MH

Ditulis oleh :

SOFYAN YULIAWAN 201910115090 1-A1

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA
JAKARTA RAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami


perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam
dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai
tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa
periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat
pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia
modern.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu
bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan.
Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan
memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu
sendiri.
Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi
norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil
sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus
mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya.
Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan
produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri,
serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme
dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan
atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada
kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos
bangsa itu muncul.
Sebenarnya etos bangsa kita juga sudah banyak disinggung oleh para pujangga seperti
dalam “Serat Wedatama” karya Mangkunegoro IV yang disebutnya sebagai etos “mesu
budi”. Etos ini merupakan suatu ajakan untuk mementingkan penampilan yang bermutu baik
lahir, maupun batin, atau kalau dalam bahasa modern disebut juga etos intelektual.
Kemudian, etos intelektual inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya
dan terus menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga
masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat
yang modern disebut dengan istilah Modernisasi. Jadi dengan kata lain, modernisasi ialah suatu
proses transformasi total, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Masyarakat Modern


Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai
orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun
tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak
memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.

B. Ciri-Ciri Masyarakat Modern

1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.


2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling
mempengaruhi.
3. Kepercayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan
ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan.
5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks.
7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan
uangdan alat-alat pembayaran lain.

C. Masyarakat Modern Dilihat Dari Berbagai Aspek

Aspek Mental Manusia :


1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola perilaku rasionalatau logis, dengan ciri-
ciri menghargai karya orang lain, menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir
kreatif, efisien, produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.
2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan gagasan orang lain.

Aspek Teknologi :
1. Teknologi merupakan factor utama untuk menunjang kehidupan kearah kemajuan atau
modernisasi.
2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan efisiensi yang tinggi.
Aspek Pranata Sosial :
I. Pranata Agama :
Relatif kurang terasa dan tampak dalam kehidupan sehari-hari, diakibatkan karena
sekularisme.

II. Pranata Ekonomi :


1. Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki batas-
batas yang nyata.
2. Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang terlihat.
3. Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat tinggi.
4. Kurang mengenal gotong-royong.
5. Dibedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi, distribusi, dan konsumsi.
6. Hampir semua kebutuhan hidup masyarakat diperoleh melalui pasar dengan
menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.

III. Pranata Keluarga :


1. Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar, karena cara hidup yang cenderung
inidividualis.
2. Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya sudah mulai menipis.

IV. Pranata Pendidikan :


Tersedianya fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, disamping
pendidikan keterampilan khusus lainnya.

V. Pranata Politik :
Adanya pertumbuhan dan berkembangnya kesadaran berpolitik sebagai wujud
demokratisasi masyarakat.

D. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern


Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri,
sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya,
dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan
muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena
dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya
sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang
nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua
masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat
semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh
mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya
suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan
sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi
masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga
penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk
kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.

E. Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur,
dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi,
tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity
enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan
internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing.
Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan,
kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran
timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi
lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan
Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang
Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga
macam yaitu:

a. Kebudayaan Teknologi Modern


Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan
Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat.
Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan
wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh
semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-
penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan
kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan
teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan
teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan,
segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk
kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai,
netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau
keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau
Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan
mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-
masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya
sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud
dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja,
misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall),
dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia
bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal
yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana
non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak
ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan
dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial
itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan
semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan
kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita
tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan,
blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat
kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu
lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya,
melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah
modern.

c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan
hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya.
Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih
mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana
orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan
demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana
orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita
rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung
jawabnya (Suseno; 1992).

Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern

Anda mungkin juga menyukai