Anda di halaman 1dari 3

Lecture Note

Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi

Derajad S. Widhyharto

Ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan
Perubahan dari wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang
makhluk rasional dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan eksistensial
menjadi makhluk manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar membentuk manusia
ekonomi
menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja,
kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika
ekonomi.
Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga
Produksi kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun
melimpah,
produsen sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk
menciptakan terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasif,
kebutuhan kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian
kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih pada ingin (want).
Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling
membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya usaha
Produk berlebih
ditukarkan memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan berlebih maka
sehingga ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran barang ini kemudian
berubah nilai memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya menjadi komoditas. Karl
Marx melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai
tukar (exchange value).
Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan
Konsumsi hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur.
sebagai Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut Plato,
perilaku primitif, terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi
dengan kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi dan perluasan
ditambah
perubahan jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat perbelanjaan dalam
bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu.
Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja.
Muncul Perubahan pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan infrastruktur
masyarakat masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi
konsumen Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah produksi. Produksi barang secara
dipicu teknologi
massal meniscayakan proses produksi mengalami percepatan. Begitu pula usaha
dan revolusi
industri untuk menghabiskan dan menggunakan barang. Zaman ini memunculkan
masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah yang menjadi
pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut.

1
Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola
perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh
Haryanto Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan
Soedjatmiko Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku
konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya.
Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan
periode posmodernis.
Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George
Simmel. Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme
dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila Marx
Karl Max: Klasik mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan
masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar
daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan obyek yang
didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada subordinat
produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat.
Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya
Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik
Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang konsumsi
Max Weber:
Klasik
sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada investasi dan
kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh
kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun
masyarakat kental dengan semangat Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak
berhenti. Masyarakat mulai sadar akan kesenangan berkat kemajuan industri.
Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi
pertukaran, terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan
munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi.
Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa
George dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai
Simmel: Klasik barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi
itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat urban yang berorientasi
pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55). Simmel menyimpulkan bahwa
mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan menimbulkan budaya baru
masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society)
menjadi budaya konsumen (consumer culture).
Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang
menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu
menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam
pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial
Pierre seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya
Bourdieu: dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara
Sosiologi
Konsumsi tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam
konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas
yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun
juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola
konsumsi.

2
Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul
posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh
dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi,
maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang
tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan
(super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Kajian terhadap konsumsi
masyarakat posmodern oleh buku ini diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike
Featherstone dan Jean Baudrillard.
Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan
Featherstone, di mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru
posmodernitas menurut Baudrillard mengaburkan kelas dan status sosial. Bahkan
Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai “matinya yang social”, kematian
masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan konsumsi tanpa memandang
kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan identitas tertentu tanpa memandang
batas-batas sosial.
Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam
tiga tipe Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu
kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih
sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik
konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial.
Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna
barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan
pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas
konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada
perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika
untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena
kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam
pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut
untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme.
Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat.
Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus
beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan
mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan
pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya
strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam
kubangan konsumerisme.
Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat
ini. Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada
budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai dari
tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks sosial
masing-masing zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam masyarakat
konsumsi jelas akan senantiasa penting di masa yang akan datang.

****

Anda mungkin juga menyukai