“Sejarah umat manusia sampai saat sekarang masih terus mengalami krisis
multidimensi dari harkat martabat manusia, krisis moral, etika dan peradaban, bahkan
penghancuran lingkungan hidupnya sendiri secara masif dan sistematis” Wirutomo, 2021.
Krisis multidimensi yang terjadi tentu juga menjerat kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Sebagai contohnya praktik kapitalisme yang dianggap sebagai sistem yang rusak dan
merusak ternyata masih eksis dalam masyarakat digital (digital society) sebagai konsep baru
realitas masyarakat masa kini.
Satu abad setelahnya diterbitkan paten pertama mesin uap di Inggris oleh Thomas
Savery, yang kemudian perkembangan mesin uap lebih mutakhir dilanjutkan oleh James
Watt. Dengan kekuatan penemuan teknologi yang berkembang, alih-alih melawan
pertumbuhan sistem yang baru, kekuasaan monarki saat itu justru malah menyesuaikan diri
dengan membeli alat-alat produksi (yang kemudian disebut modal) dan membangun
kapitalisme mereka sendiri. Sejarah ini menjadi headstart yang baik dalam perlombaan
membangun industri ala kapitalisme.
Seiring perkembangan mesin uap Watt di Eropa Barat dan berbagai macam teknologi
baru, yang kemudian secara alamiah mempengaruhi sistem sosial Eropa dengan terbaginya
masyarakat menjadi 4 golongan, yaitu: Borjuis sebagai para pemilik modal, petty bourgeoisie
(borjuasi kecil), proletar yang berperan sebagai buruh, dan lumpenproletariat atau
masyarakat yang tidak memiliki modal juga tidak laku dipekerjakan. Dikemudian hari atas
usaha-usaha ‘proletarization’ (pemiskinan para borjuis kecil), pada akhirnya masyarakat
digolongkan menjadi 2 golongan saja, yaitu borjuis dan proletar.
Berangkat dari itulah, penulis mencermati contoh kecil kapitalisme yang terkandung
dalam realitas fenomena ‘endorsement’. Tren media pemasaran baru dengan memanfaatkan
jumlah ‘follower’ (pengikut) akun media sosial pribadi/kelompok yang secara terbuka
bersedia menjadi objek endorsement.
Namun, masalahnya muncul pada objek endorsement yang mengambil ahli dan
memanfaatkan privilege-nya (keistimewaan) sebagai ‘tokoh publik’ contohnya artis yang
menciptakan media pemasaran yang strategis di akun media sosial miliknya. Walaupun
sebetulnya, semua orang yang memiliki media sosial pada dasarnya memiliki peluang untuk
membuka endorsement melalui konten-konten pemasaran yang dibuat sedemikian rupa
menarik dengan tujuan mempengaruhi para follower-nya.
Akan tetapi dua golongan yang digambarkan penulis ini memiliki garis start yang
timpang. Artis sebagai seorang yang lebih dulu diidolakan, dikagumi dan dikenal khalayak
umum tentu dengan mudah dan cepat menimbun jumlah follower dan mendapatkan banyak
tawaran produk untuk diiklankan dan menjadi objek endorsement dengan bayaran yang jauh
lebih tinggi.
Sedangkan para konten kreator yang merintis dan bersaing di pasar kelas menengah
mengalami seleksi dalam persaingan, atau yang disebut survivorship bias, mayoritas
masyarakat berjuang di bawah bayang-bayang kesuksesan yang tampaknya mudah diraih
tanpa menyadari besarnya persentase kegagalan yang lebih banyak mendominasi. Jika seperti
ini, teknologi tidak di-ada-kan untuk menumbuhkan lapangan baru dalam rangka pemerataan
kesejahteraan. Tetapi hanya ada untuk memberikan alternatif bagi golongan mapan untuk
meningkatkan kemakmurannya.
Marx sendiri pada awal-awal buku Manifesto Komunis-nya tampak mengagumi jasa-
jasa kapitalisme. Menurutnya di bawah kapitalisme, kekuasaan setiap pribadi atas hak milik
bisa bebas berkembang. Melalui sistem upah (menggunakan alat tukar; uang) artinya tidak
ada lagi pekerjaan-perkerjaan paksa, seperti halnya kerja rodi pada zaman sebelumnya. Di
bawah kapitalisme, produksi barang dagangan mencapai kemajuan besar dan bersifat
universal, karena produksi diadakan demi pasaran dengan tujuan mencapai keuntungan.
Untuk itulah kaum kapitalis terdorong menciptakan produksi sebanyak-banyaknya (kini:
menciptakan platform sebanyak-banyaknya) (Sindhunata, 1982).
Tapi apakah akibat dari dinamika luar biasa sistem kapitalisme itu? Jawabannya tentu:
kelas-kelas yang terciptakan sistem kapitalis tidak dapat bertahan untuk selamanya.
Sementara itu karena persaingan antara kaum borjuis dalam meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, masing-masing mereka berjuang mati-matian untuk mengeruk untung sebanyak-
banyaknya, bahkan hingga mengorbankan harkat martabat orang lain. Seperti yang saat ini
marak dijadikan ide konten oleh banyak konten kreator saat ini.