Anda di halaman 1dari 47

Home

Berita

Analisa

Gerakan Buruh

Agraria & Tani

Gerakan Perempuan

Gerakan Mahasiswa

Ekonomi

Politik

Pemilu

Hukum & Demokrasi

Imperialisme & Kebangsaan

Lain-lain

Teori

Sosialisme

Pembebasan Perempuan

Ekonomi

Sejarah

Revolusi Oktober

Uni Soviet

Revolusi Indonesia

Lain-lain

Organisasi Revolusioner

Iptek, Seni, dan Budaya

Lenin & Trotsky


Internasional

Asia

Afrika

Amerika Latin

Amerika Utara

Eropa

Timur Tengah

Cari...

Cari...

Prinsip & Program

Dokumen Perspektif

Buku

Pendidikan Revolusioner

Bergabung dengan kami

logo

Apa itu Marxisme? (Bagian Pertama: Materialisme Dialektis)

14 Sep 2018

Rob Sewell dan Alan Woods (In Defence of Marxism)

Marx01Marxisme, atau Sosialisme Ilmiah, adalah sebutan untuk seperangkat gagasan yang pertama
dirumuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Secara keseluruhan, gagasan-
gagasan ini menyediakan dasar teoritis yang sudah lengkap dijabarkan untuk perjuangan kelas pekerja
untuk mencapai bentuk masyarakat yang lebih agung - sosialisme.

Meskipun gagasan-gagasan Marxis telah dikembangkan dan diperkaya oleh pengalaman-pengalaman


kelas buruh dalam sejarah, gagasan-gagasan fundamentalnya tetap berdiri teguh, menyediakan
landasan yang kokoh untuk Gerakan Buruh masa kini. Sebelum, selama dan sesudah masa hidup Marx
dan Engels tidak ada teori yang lebih baik, lebih terang-terangan dan lebih ilmiah yang pernah
dikembangkan untuk menjelaskan pergerakan masyarakat dan peran kelas buruh dalam gerakan itu.
Pengetahuan Marxisme, oleh karenanya, membekali kaum proletariat secara teoritis demi tugas
bersejarah yang besar, yaitu perubahan masyarakat yang Sosialis.

Fakta inilah yang menjelaskan mengapa semua aspek Marxisme terus-menerus diserang oleh setiap
pembela tatanan sosial yang ada, -- dari kaum Tory hingga Fabian, dari pastor Jesuit hingga para
profesor di universitas. Dari pahitnya serangan-serangan ini, hingga kenyataan bahwa mereka tetap
harus terus-menerus menyerang walaupun setiap penyerang mengklaim sudah “akhirnya
menghancurkan” Marxisme, kaum Gerakan Buruh dapat mendeduksi dua fakta. Pertama, bahwa para
pembela kapitalisme menemukan dalam Marxisme tantangan yang paling berbahaya untuk sistem
mereka, dan secara langsung mengakui kebenaran di dalamnya, meski mereka tetap saja terus-menerus
berusaha “membuktikan kesalahan” Marxisme. Kedua, bukannya menghilang di bawah tumpukan
serangan-serangan, “pengeksposan” palsu, dan distorsi-distorsi vulgar, teori-teori Marx dan Engels
malah semakin menyebar dengan pasti, terutama di dalam lapisan-lapisan Gerakan Buruh yang aktif,
seiring meningkatnya jumlah buruh, yang di bawah imbas dari krisis kapitalisme berusaha untuk
menemukan arti yang sebenarnya dari kekuatan-kekuatan yang menentukan kehidupan mereka,
supaya mampu secara sadar mempengaruhi dan menentukan nasib mereka sendiri.

Teori-teori Marxisme menyediakan sebuah pemahaman bagi para buruh yang berpikir - sebuah benang
yang mampu menuntunnya melalui labirin kejadian-kejadian yang membingungkan, proses-proses
masyarakat, ekonomi, pertentangan kelas, dan politik yang rumit. Bersenjatakan pedang ini, kaum buruh
dapat memotong simpul Gordian yang mengikatnya pada halangan paling besar untuk memajukan
dirinya dan kelasnya - ketidaktahuan.

Untuk menjaga simpul ini pada tempatnya, para perwakilan yang dibayar kelas penguasa berusaha
untuk mendiskreditkan Marxisme di mata kelas buruh. Adalah tugas setiap buruh yang serius dalam
Gerakan Buruh untuk menguasai teori-teori Marx dan Engels untuk dirinya sendiri terlebih dahulu,
sebagai syarat penting sebelum menguasai masyarakat bersama sesama buruh.

Namun ada rintangan-rintangan yang harus dihadapi kaum buruh untuk menguasai teori, yang jauh
lebih sulit diatasi daripada tulisan-tulisan para pendeta dan profesor. Seseorang yang harus membanting
tulang selama berjam-jam di pabrik, yang tidak pernah mengenyam pendidikan yang cukup dan oleh
karena itu tidak terbiasa membaca, merasa sangat kesusahan dalam menyerap ide-ide yang lebih rumit,
terutama pada awalnya. Namun Marx dan Engels menulis untuk buruh dan bukan untuk para pelajar
dan kelas menengah yang “pintar”. “Semua hal sulit di awalnya”, apapun ilmu yang dipelajari. Marxisme
adalah sebuah ilmu dan oleh karena itu menuntut banyak kepada pemula. Tetapi setiap buruh yang aktif
dalam serikat-serikat atau Partai Buruh tentu tahu bahwa tidak ada hal bernilai yang bisa diraih tanpa
perjuangan dan pengorbanan. Kepada para aktivis dalam Gerakan Buruh-lah pamflet ini ditujukan. Bagi
para buruh aktif yang tekun, satu janji dapat dibuat: begitu usaha-usaha awal telah dilakukan untuk
memahamiide-ide yang baru dan tidak familiar, teori-teori Marxis akan terlihat lugas, jelas, dan
sederhana. Terlebih lagi - dan ini harus ditekankan - para buruh yang dengan usaha yang sabar
mempelajari Marxisme akan menjadi teoretikus yang lebih baik dibandingkan sebagian besar
mahasiswa, karena ia dapat memahami gagasan-gagasan tidak hanya secara abstrak, namun juga secara
konkret, seperti yang teraplikasikan dalamhidup dan kerjanya sendiri.

Semua kelas penindas berusaha membenarkan kekuasaan mereka secara moral dengan menampilkan
dirinya sebagai bentuk perkembangan sosial yang paling agung dan alami, dan secara sengaja
menyembunyikan sistem eksploitasi dengan cara memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Kelas
kapitalis masa kini, melalui kaki-tangan profesional mereka, telah dengan sengaja melahirkan sebuah
filsafat dan moralitas yang baru hanya untuk membenarkan posisi mereka dalam masyarakat sebagai
penguasa.

Sebaliknya, kelas buruh tidak punya kepentingan materi untuk mendistorsi kebenaran, dan menetapkan
untuk dirinya sebuah tugas menelanjangi kenyataan-kenyataan dalam kapitalisme untuk
mempersiapkan emansipasinya secara sadar. Jauh dari mencari jabatan spesial untuk dirinya sendiri,
kelas buruh memiliki tujuan untuk menghancurkan kapitalisme dan dengannya segala perbedaan dan
privilese kelas. Untuk melakukan itu pandangan kapitalisme harus ditolak, dan yang dicari adalah
metode pengertian Marxis yang baru.

Metode Marxis menyediakan pandangan masyarakat dan kehidupan yang lebih kaya, penuh, dan
lengkap, dan menghapus kelambu mistis dalam memahami perkembangan manusia dan sosial. Filsafat
Marxis menjelaskan bahwa kekuatan pendorong sejarah bukanlah “Orang-Orang Besar” ataupun hal-hal
yang supernatural, namun tumbuh dari perkembangan kekuatan-kekuatan produktif (industri, sains,
teknik, dll.) itu sendiri. Adalah ekonomi, dalam analisis terakhir, yang menentukan kondisi-kondisi hidup,
kebiasaan dan kesadaran umat manusia.

Setiap kali tatanan masyarakat disusun kembali - entah perbudakan, feodalisme atau kapitalisme -
terjadilah perkembangan yang sangat besar dalam kekuatan-kekuatan produktif yang kemudian
memberi manusia kekuasaan yang lebih besar terhadap alam. Segera suatu sistem sosial terbukti tidak
dapat lagi mengembangkan kekuatan-kekuatan produksi, masyarakat akan memasuki era revolusi.
Namun, dalam perubahan dari kapitalisme menuju sosialisme, prosesnya tidak terjadi secara otomatis
namun memerlukan ikut campur dengan sadar dari kelas buruh untuk melaksanakan tugas bersejarah
ini. Dalam jangka panjang, kegagalan untuk mengubah masyarakat akan membuka jalan menuju reaksi
dan pada akhirnya perang dunia.

Kapitalisme telah sekali lagi memasuki krisis ekonomi global baru yang berujung pada pengangguran
massal seperti tahun 1930an. Teori-teori palsu dari para ekonom kapitalis telah terbukti tidak mampu
mencegah resesi, yang telah mendorong kelas penguasa untuk mencampakkan mazhab Keynes dan
mengadopsi kembali kebijakan-kebijakan moneteris lama. Bukannya menyelamatkan kondisi, program
ini malah memperdalam dan memperpanjang krisis!

Hanya Marxisme yang mampu menunjukkan kontradiksi-kontradiksi Kapitalisme yang berujung pada
depresi dan slump. Kapitalisme sekarang telah benar-benar menghabiskan peran historisnya untuk
mengembangkan basis-basis produksi dalam masyarakat. Terjepit di antara negara-bangsa dan
kepemilikan pribadi, kekuatan-kekuatan produktif dihancurkan secara sistematis di hadapan
overproduksi komoditas dan modal secara massal.

Seperti dijabarkan oleh Marx: “Dalam krisis-krisis ini pecahlah sebuah epidemik yang di era-era
sebelumnya, terlihat absurd - epidemik overproduksi.” (Marx dan Engels, Manifesto Komunis)

“Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali ke dalam suatu keadaan barbarisme
sementara; nampaknya seakan-akan kelaparan, perang pembinasaan universal telah memusnahkan
persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan;
dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup,
terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi
masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat properti borjuis; sebaliknya,
mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera
setelah mereka mengatasi rintangan-rintangan ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh
masyarakat borjuis, membahayakan keberadaan properti borjuis.” (Ibid)

Pamflet ini menghimpun untuk pertama kalinya tiga suplemen dari Buletin Studi Marxis South Wales
(yang pertama diterbitkan tahun 1970an) sebagai kontribusi kecil untuk memenuhi kehausan yang
semakin besar terhadap gagasan-gagasan Marxis. Kebetulan, pamflet ini juga diterbitkan pada
peringatan seabad kematian Karl Marx pada 14 Maret 1883, yang bersama Engels merupakan penemu
sosialisme ilmiah.
Namun pamflet ini tidak dimaksudkan untuk menyediakan penjabaran lengkap mengenai Marxisme,
melainkan untuk membantu buruh dan pelajar dalam mendekati subyek ini dengan memberikan garis
besar dari beberapa gagasan pokok Marxisme, termasuk daftar bacaan yang bisa digunakannya untuk
melanjutkan studinya. Marx dan Engels sendiri menulis banyak pamflet singkat dan tulisan-tulisan
penjelasan yang lebih pendek, yang ditujukan untuk menyebarluaskan teori mereka di antara kelas
buruh, dan ini menyediakan basis untuk daftar bacaan yang diajukan.

Studi Marxisme mencakup tiga judul utama, yang berhubungan secara umum dengan filsafat, sejarah
sosial dan ekonomi, atau, untuk memberikan nama yang tepat, Dialektika Materialisme, Materialisme
Historis dan Teori Nilai Kerja. Ini adalah “tiga komponen Marxisme” yang terkenal, yang ditulis oleh
Lenin. (Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme)

METODE MARXISME: DIALEKTIKA MATERIALISME

Apa itu filsafat?

Dalam setiap tahap sejarah manusia, manusia telah membuat bermacam-macam gambaran akan dunia
mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka mengembangkan suatu Filsafat. Kepingan-kepingan
yang mereka gunakan untuk menyusun gambaran ini didapatkan dari mengamati alam dan melalui
membuat generalisasi dari pengalaman sehari-hari mereka.

Sejumlah orang percaya mereka tidak memerlukan filsafat atau pandangan hidup tertentu. Namun pada
kenyataannya semua orang memiliki filsafat, bahkan jika tidak dikembangkan dengan sadar. Orang yang
hidup berdasarkan pengetahuan umum atau “akal sehat” dan berpikir mereka menjalani hidup tanpa
teori, secara praktis berpikir dengan cara yang tradisional. Marx pernah berkata bahwa gagasan yang
dominan dalam masyarakat adalah gagasan kelas penguasa. Untuk menjaga dan membenarkan
kuasanya, kelas kapitalis memberdayakan seluruh cara yang ada untuk mendistorsi kesadaran buruh.
Sekolah, gereja, televisi, dan media cetak semua digunakan untuk melestarikan ideologi kelas penguasa
dan mengindoktrinasi buruh untuk menerima sistem mereka sebagai bentuk masyarakat yang paling
alami dan permanen. Dengan tiadanya filsafat sosialis yang sadar, mereka dengan tidak sadar menerima
filsafat kapitalis.
Pada setiap titik dalam masyarakat kelas, kelas revolusioner yang sedang bangkit, yang bertujuan
mengubah masyarakat, harus berjuang demi pandangan dunia yang baru dan harus menyerang filsafat
lama yang membenarkan dan membela tatanan lama.

Idealisme dan materialisme

Sepanjang sejarah filsafat kita dapat menemukan dua kubu, sang Idealis dan sang Materialis. Gagasan
umum mengenai “Idealisme” (yaitu kejujuran, ketangguhan dalam mengejar idealnya) dan
“Materialisme” (yaitu egoisme yang serakah, meraup uang) tidak ada hubungannya dengan filsafat
idealisme dan materialisme.

Banyak pemikir dalam sejarah adalah Idealis, contohnya Plato dan Hegel. Mazhab ini melihat alam dan
sejarah sebagai cerminan dari ide atau spirit (roh). Teori bahwa manusia dan setiap hal material
diciptakan oleh Roh yang ilahi adalah konsep dasar idealisme. Pandangan ini diekspresikan dalam
bermacam-macam cara, namun basisnya adalah bahwa ide mengatur perkembangan dunia material.
Sejarah dijelaskan sebagai sejarah pemikiran. Kelakuan manusia dilihat sebagai akibat dari pemikiran-
pemikiran abstrak, dan bukan dari keperluan material mereka. Hegel melangkah lebih maju, sebagai
idealis yang konsisten, dan mengubah pikiran menjadi suatu “Ide” yang mandiri, yang hadir di luar otak
dan mandiri dari dunia material. (Hegel, Ilmu Logika). Dunia material hanyalah cerminan dari Ide ini.
Agama adalah bagian dari filsafat idealisme.

Di sisi lain, para pemikir Materialis bersikukuh bahwa dunia material itu nyata dan bahwa alam atau
benda itu adalah hal yang primer. Pikiran atau gagasan hanyalah produk dari otak. Otak, dan oleh karena
itu ide, muncul pada tingkatan tertentu dalam perkembangan makhluk hidup. Pilar-pilar dasar
Materialisme adalah sebagai berikut:

Dunia material, yang kita ketahui melalui indera kita dan dijelajahi oleh ilmu sains, adalah nyata.
Perkembangan dunia terjadi menurut hukum-hukum alamnya, tanpa kaitan dengan yang supernatural.

Hanya ada satu dunia, yaitu yang material. Pikiran adalah produk dari benda (otak), tanpanya tidak akan
ada gagasan-gagasan yang mandiri. Maka pikiran dan ide tidak dapat hadir sendiri tanpa benda.
Gagasan-gagasan umum hanyalah cerminan dari dunia material. “Bagiku,” tulis Marx, “ide hanyalah
dunia material yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk
pemikiran.” (Marx, Kata Penutup di Edisi Jerman Kedua Das Kapital) Lebih jauh, “Keberadaan sosial
menentukan kesadaran”. (Marx, Kontribusi Terhadap Kritik Ekonomi Politik)

Kaum Idealis memaknai kesadaran, pikiran, sebagai suatu hal yang eksternal, dan berlawanan dengan
benda, dengan alam. Pertentangan ini sesuatu yang sepenuhnya palsu dan artifisial. Ada hubungan yang
erat antara hukum-hukum pemikiran dan hukum-hukum alam, karena pemikiran mengikuti dan
mencerminkan alam. Pikiran tidak dapat menciptakan kategori-kategori dari dirinya sendiri, namun
hanya dari dunia eksternal. Bahkan pemikiran-pemikiran yang tampak paling abstrak sebenarnya ditarik
dari pengamatan dunia material.

Bahkan ilmu-ilmu yang tampak abstrak seperti matematika murni telah, dalam analisa terakhir, ditarik
dari realitas material, dan tidak dibentuk dari dalam otak. Anak sekolahan menghitung jari-jarinya, yang
tentu saja material, sebelum menyelesaikan soal aritmetika yang abstrak. Dengan melakukan demikian,
anak itu menciptakan kembali asal-muasal dari matematika itu sendiri. Kita mendasarkan hitungan pada
sistem desimal karena kita memiliki sepuluh jari. Huruf-huruf romawi pada awalnya didasarkan pada
representasi jari.

Menurut Lenin, “inilah materialisme: benda yang beraksi pada organ-organ indra kita menciptakan
sensasi. Sensasi bergantung pada otak, syaraf, retina, dan sebagainya, yaitu, benda itu yang primer.
Sensasi, pemikiran, kesadaran adalah produk dari benda”. (Lenin, Materialisme dan Empiro-Kritisisme).

Manusia adalah bagian dari alam, yang mengembangkan ide-ide mereka dalam interaksi mereka dengan
dunia. Proses-proses mental juga cukup nyata, namun itu bukan sesuatu yang absolut, di luar alam.
Mereka harus dipelajari dalam batas-batas material dan sosial di mana mereka muncul. “Hantu-hantu
yang terbentuk dalam otak manusia,” ujar Marx, “adalah… sebenarnya, sublimat dari proses-hidup
material mereka.” (Marx, Ideologi Jerman) Setelah itu ia menyimpulkan, “moralitas, agama, metafisika,
semua ideologi dan bentuk-bentuk kesadaran yang terkait, tidak lagi memiliki kemandirian apapun.
Mereka tidak punya sejarah, tidak punya perkembangan, tetapi manusia, yang mengembangkan
produksi material mereka dan interaksi material, mengubah eksistensi nyata mereka, pemikiran mereka,
dan hasil-hasil pemikiran mereka seiring ini. Hidup tidak ditentukan oleh kesadaran, namun kesadaran
ditentukan oleh hidup.” (Ibid)

Asal muasal materialisme


“Asal muasal dari semua materialisme modern,” tulis Engels, “dari abad ke-17 dan seterusnya, adalah
Inggris.” (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah) Pada waktu itu, aristokrasi feodal yang lama dan
monarki tengah menghadapi tantangan dari kelas menengah yang baru saja muncul. Benteng
feodalisme adalah gereja Katolik Roma, yang menyediakan pembenaran Ilahi untuk institusi-institusi
monarkis dan feodal. Oleh karenanya paham-paham gereja ini harus ditentang sebelum feodalisme
dapat dihancurkan. Kelas borjuasi yang sedang bangkit menantang ide-ide lama dan konsep-konsep
ketuhanan yang menjadi dasar tatanan masyarakat yang lama.

“Bersamaan dengan kebangkitan kelas menengah, terjadi sebuah pembaharuan dalam ilmu-ilmu sains;
astronomi, mekanika, fisika, anatomi, fisiologi, dihidupkan kembali. Dan untuk pengembangan produksi
industrinya, kaum borjuasi memerlukan sains yang menelaah sifat-sifat fisik pada obyek-obyek alam dan
cara-cara berlakunya kekuatan-kekuatan Alam. Hingga saat itu sains hanyalah hamba gereja, tidak boleh
melewati batasan yang ditetapkan oleh iman, dan oleh karena itu sebenarnya tidak ada yang benar-
benar bisa disebut sains. [Di abad ke-17, Galileo menunjukkan kebenaran teori Copernicus bahwa bumi
dan planet-planet mengitari matahari. Para profesor di masa itu mengejek gagasan-gagasan tersebut
dan menggunakan kuasa Indeks dan Inkuisisi melawan Galileo untuk memaksanya melepaskan
pandangannya. RS] (Sains melawan gereja; kaum borjuasi tidak bisa hidup tanpa sains, dan karena itu,
harus ikut dalam perlawanan.)” (Ibid)

Pada saat inilah Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan ide-ide revolusionernya mengenai
materialisme. Menurutnya indra tidak mungkin keliru dan merupakan sumber segala pengetahuan.
Semua sains didasarkan pada pengalaman, dan data-data ini lalu ditelaah oleh metode penyelidikan
yang rasional: induksi, analisa, perbandingan, pengamatan dan eksperimen. Adalah Thomas Hobbes
(1588-1679) yang melanjutkan dan mengembangkan materialisme Bacon menjadi sebuah sistem. Ia
menyadari bahwa gagasan-gagasan dan konsep-konsep hanyalah cerminan dari dunia material, dan
(sebagaimana diparafrasekan oleh Marx dan Engels) “tidak mungkin memisahkan pemikiran dari benda
yang berpikir”. (Marx dan Engels, Keluarga Suci) Kemudian, pemikir Inggris John Locke (1632-1704)
menyediakan bukti dari materialisme ini.

Mazhab filsafat materialisme diturunkan dari Inggris ke Perancis, yang lalu diambil dan dikembangkan
lebih jauh oleh Rene Descartes (1596-1650) dan pengikut-pengikutnya. Kaum materialis Perancis ini
tidak membatasi diri mereka hanya pada kritik terhadap agama saja, tetapi juga meluas hingga
mencakup semua institusi dan gagasan. Mereka menantang hal-hal ini atas nama Nalar, dan
memberikan amunisi kepada kaum borjuasi yang sedang berkembang dalam perjuangan mereka
melawan monarki. Lahirnya Revolusi Borjuis Perancis tahun 1789-93 mengambil filsafat materialisme
sebagai keyakinan mereka. Tidak seperti Revolusi Inggris di pertengahan abad ke-17, Revolusi Perancis
benar-benar menghabisi tatanan feodal yang lama. Seperti yang kemudian ditunjukkan Engels: “Kita
tahu hari ini bahwa kerajaan nalar tidaklah lebih dari kerajaan borjuis yang diidealisasikan.” (Engels,
Anti-Dühring)

Kekurangan dari materialisme sejak Bacon dan penerus-penerusnya adalah interpretasinya terhadap
Alam yang kaku dan mekanistik. Bukan kebetulan bahwa mazhab filsafat materialis Inggris berkembang
di abad ke-18, ketika penemuan-penemuan Isaac Newton menjadikan “fisika mekanika” ilmu yang paling
maju dan penting. Dalam kata-kata Engels sendiri: “Batasan spesifik dari materialisme ini ada pada
ketidakmampuannya untuk memahami alam semesta sebagai suatu proses, sebagai benda yang
mengalami perkembangan bersejarah tanpa interupsi.” (Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat
Klasik Jerman)

Revolusi Perancis meninggalkan efek yang sangat membekas pada dunia, mirip Revolusi Rusia tahun
1917. Revolusi Perancis memperbaharui pemikiran dalam segala bidang, politik, filsafat, sains dan seni.
Gejolak gagasan-gagasan yang muncul dari revolusi demokrasi borjuis ini membuka jalan untuk
kemajuan-kemajuan dalam ilmu alam, geologi, botani, kimia dan juga ekonomi politik.

Dalam masa inilah suatu kritik dilontarkan terhadap pendekatan mekanistik para materialis. Seorang
filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), membuat dobrakan pertama dalam cara-cara mekanis lama
dengan penemuannya bahwa Bumi dan tata surya ada karena suatu proses, dan bukannya sudah ada
sepanjang masa. Hal yang sama juga berlaku pada geografi, geologi, tanaman dan binatang.

Ide revolusioner Kant ini dikembangkan secara komprehensif oleh pemikir Jerman yang brilian lainnya,
George Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filsuf idealis, yang mempercayai bahwa dunia dapat
dijabarkan sebagai perwujudan atau cerminan dari suatu “Pemikiran Universal” atau “Ide”, yaitu,
sebuah bentuk Tuhan. (Hegel, Sains Logika)

Hegel melihat dunia bukan sebagai partisipan aktif dalam masyarakat dan sejarah manusia, namun
sebagai filsuf, yang merenungkan kejadian-kejadian dari jauh. Ia memasang dirinya sebagai mistar bagi
dunia, menginterpretasi sejarah menurut prasangka-prasangkanya sebagai sejarah pemikiran, dunia
sebagai dunia gagasan, sebuah Dunia Ideal. Maka untuk Hegel, masalah-masalah dan kontradiksi-
kontradiksi dikedepankan bukan dalam wujud-wujud nyata namun dalam wujud pikiran, dan karena itu
bisa mencari penyelesaiannya dalam wujud pemikiran. Bukannya menyelesaikan kontradiksi dalam
masyarakat oleh aksi manusia, oleh perjuangan kelas, mereka malah menemukan solusinya dalam
kepala sang filsuf, dalam Ide Absolut!
Bagaimanapun juga, Hegel menyadari kesalahan-kesalahan dan kekurangan dari pandangan mekanistik
yang lama. Ia juga menunjukkan kekurangan logika formal dan bekerja untuk menciptakan pandangan
dunia baru yang dapat menjelaskan kontradiksi-kontradiksi perubahan dan gerakan. (Lihat di bawah).

Walaupun Hegel menemukan kembali dan menganalisis hukum-hukum pergerakan dan perubahan,
idealismenya memutarbalikkan segalanya. Kritik dan perjuangan para Hegelian Muda, dipimpin oleh
Ludwig Feuerbach, berusaha mengoreksi dan menempatkan filsafat kembali berdiri tegak. Namun
bahkan Feuerbach - “setengah bagian bawahnya adalah materialis, setengah bagian atasnya idealis”
(Engels, Feuerbach, Akar dari Filsafat Sosialis) - tidak mampu sepenuhnya menghapus pandangan idealis
dalam Hegelianisme. Tugas ini dibebankan kepada Marx dan Engels, yang dapat menyelamatkan metode
dialektis dari cangkang mistisnya. Dialektika Hegelian digabungkan dengan materialisme modern demi
menciptakan pemahaman dialektika materialisme yang revolusioner.

Apa itu dialektika?

Kita telah melihat bagaimana materialisme modern adalah konsep bahwa benda itu utama dan
pemikiran atau ide-ide adalah produk dari otak. Tetapi apa itu pemikiran dialektis atau dialektika?

“Dialektika tidak lain adalah ilmu hukum-hukum umum gerakan dan perkembangan alam, masyarakat
dan pemikiran.” (Engels, Anti-Dühring).

Metode pemikiran dialektis sudah ada jauh sebelum Marx dan Engels mengembangkannya secara ilmiah
sebagai metode untuk memahami evolusi masyarakat.

Zaman Yunani Kuno menghasilkan sejumlah pemikir dialektis yang hebat, termasuk Plato, Zenon dan
Aristoteles. Sejak 500 SM, Heraclitus mengemukakan gagasan bahwa “semua hal itu ada dan tidak ada,
karena semua hal ada dalam perubahan, terus-menerus berubah, terus-menerus ada dan tidak ada”.
(Mengutip dari Trotsky, ABC Dialektika Materialisme) Dan lebih jauh, “semua hal mengalir, semua
berubah. Tidak mungkin dua kali menginjak ke dalam aliran sungai yang satu dan sama”. (Mengutip dari
Plato, Cratylus) Pernyataan ini telah mengandung pemahaman dasar dialektika bahwa semua hal di alam
ada dalam keadaan berubah terus-menerus, dan bahwa perubahan ini terjadi melalui serangkaian
kontradiksi.
“... pemikiran dasar yang hebat bahwa dunia tidak bisa dipahami sebagai suatu kumpulan hal-hal yang
sudah ada, namun sebagai kumpulan proses-proses, di mana hal-hal yang tampaknya stabil, yang
sebenarnya hanyalah bayang-bayang dalam pikiran kita, dalam konsep kita, melalui perubahan yang tak
terinterupsi untuk menjadi ada dan tidak ada.”

“Bagi filsafat dialektis tidak ada yang final, mutlak, suci. Dialektika mengungkapkan karakter transisional
dari semua hal dan dalam semua hal: tidak ada satu hal pun yang statis kecuali proses tak-terinterupsi
untuk menjadi ada dan menjadi tidak ada, untuk naik terus dan terus dari bawah ke atas. Dan filsafat
dialektis tidak lebih dari sekedar cerminan dari proses ini dalam otak yang berpikir.” (Engels, Ludwig
Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman)

Dialektika dan metafisika

Filsuf-filsuf Yunani Kuno dengan brilian mengantisipasi perkembangan dialektika di kemudian hari
sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Namun mereka tidak sanggup membawa antisipasi ini menuju
kesimpulan logisnya karena rendahnya perkembangan alat-alat produksi, dan kurangnya pengetahuan
yang rinci tentang cara kerja alam semesta. Gagasan-gagasan mereka memberikan gambaran umum
yang kurang lebih tepat, tetapi lebih sering dalam bentuk tebakan-tebakan yang pintar dan bukannya
teori yang ditelaah secara ilmiah. Untuk membawa pemikiran manusia lebih jauh, metode-metode lama
ini perlu ditinggalkan supaya bisa memahami alam semesta, dan perlu lebih fokus pada tugas-tugas lebih
kecil dan lebih membosankan seperti mengumpulkan, menyisihkan, dan menamai sekumpulan fakta,
menguji teori-teori dengan percobaan, mendefinisikan, dll.

Pendekatan yang empiris, eksperimental, dan faktual ini memberikan loncatan yang begitu besar pada
pemikiran manusia dan sains. Penyelidikan terhadap cara kerja alam sekarang dapat dilakukan secara
ilmiah, dengan menganalisis setiap masalah dan menguji setiap kesimpulan. Namun dalam prosesnya,
kita kehilangan kemampuan lama untuk mendekati hal-hal dalam keterhubungannya, dan bukannya
terpisah, dalam proses bergeraknya, dan bukannya statis, dengan kehidupannya, dan bukannya dalam
kematiannya. Cara berpikir yang sempit dan empiris ini kemudian dinamakan pendekatan “Metafisik”.
Pendekatan ini masih mendominasi filsafat dan sains kapitalisme modern. Dalam politik ini dicerminkan
dalam “pragmatisme” Harold Wilson yang terkenal (“jika ini berhasil, ini pasti benar”) dan penghambaan
pada “fakta”.
Tetapi fakta tidak bisa memilih dirinya sendiri. Mereka harus dipilih oleh manusia. Urutan penataan
mereka, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari mereka bergantung pada prasangka yang sudah
ada dalam diri seseorang. Maka penghambaan pada “Fakta”, yang seharusnya memberi kesan
ketidakberpihakan atau imparsialitas ilmiah, biasanya hanya menjadi tirai untuk menutupi prasangka
sang pembicara.

Dialektika tidak hanya berkutat dengan fakta, namun juga dengan fakta-fakta dalam saling
keterhubungannya, misalnya prosesnya, tidak hanya dengan gagasan-gagasan yang berdiri sendiri-
sendiri, namun dengan hukum-hukum, tidak hanya dengan yang partikular, namun dengan yang umum.

Pemikiran dialektis dapat dibandingkan dengan metafisika sebagaimana film dapat dibandingkan dengan
foto. Mereka tidak saling meniadakan, namun saling melengkapi. Walaupun begitu, kenyataan
ditangkap dengan lebih lengkap dan lebih jujur dalam sebuah film.

Untuk keperluan sehari-hari dan perhitungan sederhana, pemikiran metafisik, atau “akal sehat”, sudah
cukup. Namun ia memiliki batasan, dan di luar itu pemakaian “akal sehat” mengubah kebenaran
menjadi kebalikannya. Kekurangan fundamental dari cara berpikir seperti ini adalah
ketidakmampuannya untuk membayangkan gerakan dan perkembangan, dan penolakannya terhadap
segala kontradiksi. Namun, gerakan dan perubahan mengimplikasikan kontradiksi.

“Bagi para ahli metafisika, hal-ihwal dan refleks mental dan gagasan-gagasan mereka terisolasi, dan
harus dibahas satu per satu secara terpisah, adalah obyek-obyek penyelidikan, yang pasti, kaku, dan
berlaku sepanjang masa. Ahli metafisika berpikir dalam antitesis yang tak terdamaikan… Baginya suatu
hal itu ada atau tidak ada: suatu hal tidak mungkin, pada saat yang sama, menjadi dirinya sendiri dan
juga menjadi sesuatu hal yang lain. Positif dan negatif secara mutlak saling meniadakan: sebab dan
akibat berdiri dalam antitesis yang kaku satu sama lain.” (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah)

Untuk keperluan sehari-hari, misalnya, kita bisa mengatakan dengan cukup yakin apakah seseorang,
tanaman atau hewan itu hidup atau mati. Namun pada kenyataannya masalah itu tidak sederhana,
seperti yang ditunjukkan oleh kasus-kasus hukum tentang aborsi dan “hak janin”. Pada titik manakah
hidup manusia dimulai? Pada titik manakah hidup manusia berakhir? Kematian, juga bukanlah sebuah
kejadian yang sederhana. Kematian juga adalah suatu proses rumit, seperti dikemukakan Heraclitus:
“Adalah hal yang sama dalam diri kita yang hidup dan mati, tertidur dan terjaga, muda dan tua; setiap
darinya bertukar tempat dan menjadi yang lainnya. Kita menginjak dan tidak menginjak ke dalam arus
sungai yang sama: kita ada dan tidak ada.”
Trotsky, dalam tulisannya ABC Dialektika Materialisme menilai dialektika sebagai “sebuah ilmu
mengenai bentuk-bentuk pemikiran kita yang tidak sebatas masalah-masalah kehidupan sehari-hari,
namun berusaha untuk sampai ke pemahaman yang lebih rumit dan berkelanjutan.”

Ia membandingkan dialektika dan logika formal (metafisika) dengan matematika tinggi dan rendah.
Aristoteles merupakan orang pertama yang mengembangkan hukum-hukum logika formal, dan sistem
penalarannya telah diterima oleh para ahli metafisika dari masa ke masa sebagai satu-satunya metode
pemikiran ilmiah yang benar.

“Logika silogisme sederhana Aristoteles telah diterima sebagai aksioma (terj: pernyataan yang diterima
sebagai kebenaran yang menjadi titik awal diskusi) untuk berbagai aktivitas manusia yang praktis dan
generalisasi dasar. Postulat ini dimulai dari preposisi bahwa ‘A’ = ‘A’. Tetapi pada kenyataannya ‘A’ tidak
setara dengan ‘A’. Ini cukup mudah dibuktikan jika kita memandang dua huruf ini di bawah lensa -
mereka cukup berbeda satu sama lain. Namun, orang bisa saja berkeberatan, bahwa pertanyaannya
bukan mengenai ukuran atau bentuk dari huruf-huruf ini, karena mereka hanya simbol untuk jumlah
kuantitas yang setara, semisal satu kilogram gula. Keberatan ini tidaklah relevan - dalam kenyataannya
satu kilogram gula tidak akan pernah setara dengan satu kilogram gula - sebuah timbangan yang lebih
akurat akan selalu menunjukkan perbedaannya. Lagi-lagi seorang bisa berkeberatan; namun satu
kilogram gula itu setara dengan dirinya sendiri. Namun ini pun tidak tepat - semua hal terus berubah
tanpa henti dalam ukuran, berat, warna, dll. Mereka tidak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang
sofis bisa menanggapi bahwa satu kilogram gula itu setara dengan dirinya sendiri “di satu momen
tertentu”. Terlepas dari nilai praktis “aksioma” yang sangat mencurigakan ini, ia tidak mampu
menghadapi kritik teoritis. Bagaimana seharusnya kita memahami arti kata “momen” sebagai abstraksi
matematis, yaitu waktu di titik nol? Tetapi semua hal eksis dalam waktu: dan eksistensi itu sendiri
adalah sebuah proses perubahan yang terus-menerus: waktu adalah elemen fundamental dalam
eksistensi. Maka aksioma ‘A’ setara dengan dirinya sendiri jika ia tidak berubah, atau dalam kata lain,
jika ia tidak eksis.

“Sekilas, sepertinya ‘hal-hal kecil’ ini tidak berguna. Pada kenyataannya mereka memiliki signifikansi
yang menentukan. Aksioma ‘A sama dengan A’ di satu sisi hadir untuk menjadi titik tolak bagi seluruh
ilmu pengetahuan dan di sisi lainnya menjadi titik tolak bagi semua kesalahan dalam ilmu pengetahuan
kita. Untuk menggunakan aksioma ‘A sama dengan A’ dengan impunitas hanya mungkin dalam batasan
tertentu. Ketika perubahan kuantitatif dalam ‘A’ dapat diabaikan untuk tugas di tangan, barulah kita
dapat berasumsi bahwa ‘A setara dengan A’. Sebagai contoh, bagaimana pembeli dan penjual
memahami satu kilogram gula. Kita pun memahami suhu matahari seperti itu. Hingga akhir-akhir ini kita
memahami daya beli mata uang dolar dengan cara yang sama. Namun perubahan kuantitatif yang
melampaui suatu batas tertentu berubah menjadi kualitatif. Satu kilogram gula yang dicampur dengan
air atau kerosin berhenti menjadi satu kilogram gula. Satu dolar yang digenggam seorang presiden
berhenti menjadi satu dolar. Untuk menentukan momen yang tepat, titik kritis di mana kuantitas
berubah menjadi kualitas adalah salah satu tugas paling penting dan sulit dalam semua ranah ilmu
pengetahuan, termasuk sosiologi.” (Trotsky, ABC Dialektika Materialisme)

Hegel

Metode penalaran dialektika yang lama, yang telah terbengkalai sejak zaman pertengahan, dibangkitkan
kembali pada awal abad ke-19 oleh seorang filsuf Jerman terkemuka, G.W.F Hegel, (1770-1831). Hegel,
salah satu orang pada zamannya dengan pengetahuan seperti ensiklopedia, mengkritik secara terperinci
bentuk-bentuk penalaran formal, dan menunjukkan batasan-batasan dan keberpihakannya. Hegel
menciptakan analisis pertama yang benar-benar lengkap mengenai hukum-hukum dialektika, yang
dijadikan dasar Marx dan Engels dalam mengembangkan teori materialisme dialektis mereka. Lenin
mengkarakterisasi dialektika Hegel sebagai “doktrin perkembangan yang paling komprehensif, paling
benar dan paling dalam”. Dibandingkan dengannya, segala formulasi lainnya terlihat “berat-sebelah dan
miskin konten, serta mendistorsi dan memutilasi alur perkembangan alam dan masyarakat yang
sesungguhnya (yang sering dalam perjalanannya melalui lompatan, bencana, dan revolusi)”. (Lenin, Karl
Marx)

Pandangan Hegel mengenai hal-ihwal adalah “Suatu perkembangan yang kelihatannya mengulangi fase-
fase yang telah lalu, namun mengulanginya dengan berbeda, pada dasar yang lebih tinggi (negasi atas
negasi), sebuah perkembangan, yang bisa dibilang, mengikuti alur spiral, tidak dalam garis lurus; sebuah
perkembangan melalui lompatan, bencana, revolusi; jeda-jeda dalam kesinambungan; perubahan
kuantitas menjadi kualitas; impuls-impuls internal dalam perkembangan, yang disebabkan oleh
kontradiksi dan konflik antara berbagai kekuatan dan kecenderungan yang berlaku pada suatu hal, atau
dalam sebuah fenomena tertentu, atau dalam sebuah masyarakat tertentu; saling ketergantungan dan
hubungan erat yang tidak dapat dihilangkan di segala sisi dari setiap fenomena (sementara sejarah
terus-menerus menunjukkan sisi-sisi yang baru), suatu hubungan yang menyediakan proses pergerakan
yang seragam, berhukum, dan universal, demikianlah sejumlah fitur dari dialektika sebagai doktrin
perkembangan yang lebih kaya (dari biasanya).” (Ibid.)

“Filsafat Jerman yang baru ini menemukan titik puncaknya pada sistem Hegelian. Dalam sistem ini - dan
di sinilah kita temui keunggulannya- untuk pertama kalinya seluruh dunia, yang alami, historis,
intelektual, disajikan sebagai suatu proses, yakni dalam pergerakan, perubahan, transformasi,
perkembangan yang konstan; dan muncullah usaha untuk menyusuri hubungan-hubungan internal yang
membangun keseluruhan gerakan dan perkembangan ini secara berkesinambungan. Dari sudut pandang
ini, sejarah umat manusia tidak lagi tampak seperti keruwetan kekejaman yang tak bermakna, sebagai
hal yang patut dikutuk dari tahta filsafat dan nalar, dan yang lebih baik dilupakan secepatnya, namun
sebagai proses evolusi manusia itu sendiri. Sekarang tugas kaum intelektual adalah untuk mengikuti alur
proses ini setahap demi setahap melewati semua liku-likunya yang berkelok dan untuk menyusuri
hukum-hukum internal yang meliputi semua fenomena-fenomena di permukaan tampak seperti
kebetulan.” (Engels, Anti-Dühring)

Hegel menyatakan masalah ini dengan brilian, namun terhalang untuk menyelesaikannya karena
pandangan-pandangannya yang idealis. Itu merupakan, dalam kata-kata Engels, “sebuah keguguran
yang kolosal”. (Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah) Walaupun memiliki sisi mistis, filsafat Hegel telah
menjelaskan hukum yang paling penting dalam dialektika: Kuantitas dan kualitas, kutub berlawanan
yang saling merasuki, dan negasi dari negasi.

Kuantitas dan kualitas

“Meskipun terjadi secara bertahap, transisi dari satu bentuk gerakan ke bentuk lainnya selalu berupa
lompatan, sebuah perubahan yang menentukan”. (Engels, Anti-Dühring)

Gagasan mengenai perubahan dan evolusi sekarang sudah diterima secara luas, namun bentuk-bentuk
perubahan yang terjadi di alam dan masyarakat baru dijelaskan oleh dialektika Marxis. Pandangan
umum mengenai evolusi sebagai perkembangan yang damai, halus dan berkesinambungan adalah
pandangan yang sepihak dan salah. Dalam politik ini disebut teori perubahan sosial yang “gradualis” -
fondasi teori dasar reformisme.

Hegel mengembangkan gagasan “hubungan garis pengukuran nodal - di mana pada suatu titik nodal
tertentu, pengurangan atau peningkatan yang murni kuantitatif menyebabkan loncatan kualitatif:
contohnya air mendidih, di mana titik didih dan titik beku adalah titik-titik nodal di mana pada tekanan
udara normal, terjadi loncatan menuju bentuk agregasi yang baru, dan sebagai akibatnya kuantitas
berubah menjadi kualitas.” (Engels, Anti-Dühring)

Maka, dalam contoh di atas, perubahan air dari cairan menjadi uap atau es padat tidak terjadi melalui
penggumpalan atau penguapan yang bertahap, namun mendadak pada suhu tertentu (0°C, 100°C). Efek
kumulatif dari berbagai perubahan kecepatan molekul pada akhirnya menghasilkan suatu perubahan
bentuk - kuantitas menjadi kualitas.

Contoh-contoh lain bisa mudah didapatkan, dari seluruh cabang ilmu, dari sosiologi dan bahkan dari
kehidupan sehari hari (misalnya, titik di mana menambahkan garam ke dalam sup mengubahnya dari
sesuatu yang lezat menjadi sesuatu yang tidak layak dimakan).

Garis pengukuran nodal Hegel dan hukum transisi dari kuantitas menuju kualitas dan sebaliknya sangat
penting tidak hanya untuk sains (di mana, seperti hukum-hukum dialektika lainnya, digunakan secara
tidak sadar oleh para ilmuwan yang bukan merupakan ahli dialektika yang sadar) namun di atas
segalanya dalam analisa sejarah, masyarakat, dan pergerakan kelas buruh.

Kutub berlawanan yang saling merasuki

Sebagaimana metafisika “akal sehat” berusaha menghilangkan kontradiksi dari pemikiran dan revolusi
dari evolusi, ia juga berusaha membuktikan bahwa semua gagasan dan gaya yang bertolak belakang itu
saling eksklusif. Namun, “setelah mengamati lebih dekat kita menemukan bahwa dua kutub dari sebuah
antitesis, positif dan negatif, contohnya, adalah tak terpisahkan sebagaimana mereka saling bertolak
belakang, dan meski mereka saling berlawanan mereka saling merasuki. Dan kami menemukan, dengan
cara yang sama, bahwa sebab dan akibat adalah konsepsi bagi kasus-kasus secara individual, tetapi jika
kita memahami kasus-kasus individual ini dan hubungan mereka secara umum dengan alam semesta
sebagai keseluruhan, mereka saling menabrak, dan mereka menjadi tercampur aduk ketika kita
membayangkan aksi dan interaksi universal di mana sebab dan akibat terus bertukar tempat sepanjang
waktu, maka apa yang merupakan akibat di sini dan sekarang akan menjadi sebab di tempat dan waktu
lain dan sebagainya”. (Engels, Anti-Dühring)

Dialektika adalah ilmu tentang saling-keterhubungan, kontras dengan metafisika yang memperlakukan
fenomena sebagai sesuatu yang terpisah dan tersendiri. Dialektika berusaha mengupas benang-benang,
transisi, sebab dan akibat yang jumlahnya tak terhitung itu yang menjadi perekat alam semesta. Tugas
pertama dalam analisis dialektika adalah untuk melacak “Hubungan yang niscaya, hubungan obyektif
dari segala aspek, gaya, dan kecenderungan dll., dari suatu fenomena tertentu”. (Lenin, Mukadimah dan
Pengantar Rangkuman buku Hegel “Ilmu Penalaran”)
Dialektika mendekati suatu fenomena dari sudut pandang perkembangannya, gerakan dan
kehidupannya sendiri; bagaimana ia muncul dan bagaimana ia menghilang; ia juga mempertimbangkan
kecenderungan-kecenderungan dan sisi-sisi kontradiksi internal di dalamnya.

Gerakan adalah mode keberadaan seluruh semesta yang material. Energi dan benda tidak terpisahkan.
Terlebih, gerakan bukan datang “dari luar”, namun adalah perwujudan dari tegangan-tegangan internal
yang tidak terpisahkan bukan hanya dari kehidupan , namun juga dari segala bentuk benda.
Perkembangan dan perubahan terjadi melalui kontradiksi internal. Maka analisis dialektik berawal dari
menelanjangi kontradiksi-kontradiksi internal ini melalui penyelidikan empiris yang kemudian
menghasilkan perkembangan dan perubahan.

Dari sudut pandang dialektis seluruh “kutub yang berseberangan” itu sepihak dan tidak memadai,
termasuk kontradiksi antara “kebenaran dan kesalahan”. Marxisme tidak menerima keberadaan
“Kebenaran Abadi”. Semua “kebenaran” dan “kesalahan” itu relatif. Yang benar di suatu waktu dan
konteks menjadi salah dalam waktu dan konteks lainnya: kebenaran dan kesalahan saling melewati satu
sama lain.

Maka kemajuan pengetahuan dan ilmu tidak berawal dari negasi suatu “teori yang tidak benar”. Semua
teori itu relatif, yang menjelaskan satu sisi dari kenyataan. Awalnya mereka diasumsikan memiliki
validitas dan aplikasi yang universal. Mereka “benar”. Namun pada suatu titik, kekurangan-kekurangan
teori ini mulai disadari; mereka tidak bisa dipakai untuk segala situasi, pengecualian selalu ada. Ini harus
bisa dijelaskan, dan pada suatu titik, teori-teori baru dikembangkan untuk menjelaskan pengecualian-
pengecualian tersebut. Namun teori-teori baru ini tidak hanya “menegasikan” yang lama, tetapi juga
menyatukannya dalam bentuk yang baru.

Kita bisa mengesampingkan kontradiksi hanya dengan menganggap obyek-obyek sebagai benda mati,
yang statis dan ditempatkan secara terpisah dari satu sama lain, yaitu, secara metafisik. Namun begitu
kita memahami hal-hal dalam pergerakan dan perubahan mereka, dalam kehidupan mereka, dalam
saling ketergantungan dan interaksi mereka, kita menemukan serangkaian kontradiksi.

Gerakan itu sendiri adalah kontradiksi antara berada di suatu tempat dan ada di suatu tempat lain pada
waktu yang sama.
Hidup, juga merupakan kontradiksi di mana “suatu makhluk pada setiap waktu adalah dirinya sendiri
namun juga sesuatu yang lain”. (Engels, Anti-Dühring)

Makhluk hidup terus-menerus menyerap zat dari lingkungan, mengasimilasi mereka dan di waktu yang
sama bagian-bagian lain dari tubuhnya membusuk, terurai dan dibuang. Transformasi terus-menerus
juga terjadi di dunia alam organik; contohnya, sebuah batu yang terurai di bawah tekanan. Oleh karena
itu semua hal secara terus-menerus adalah dirinya sendiri dan adalah hal lain pada waktu yang sama.
Maka, hasrat untuk menyingkirkan kontradiksi adalah hasrat untuk menyingkirkan kenyataan.

Negasi dari negasi

Engels menyebut ini sebagai “hukum perkembangan alam, sejarah dan pemikiran yang sangat umum
dan oleh karena itu sangat luas dan penting; suatu hukum yang … berlaku dalam ilmu satwa dan
tumbuhan, dalam geologi, dalam matematika, dalam sejarah dan filsafat”. (Ibid)

Hukum ini, yang telah diamati dalam alam jauh sebelum ia dituliskan, yang pertama kali dijabarkan
dengan jelas oleh Hegel, yang memberikan serangkaian contoh-contoh konkret yang diterangkan dalam
buku Anti-Dühring.

Hukum negasi dari negasi berhubungan dengan kodrat perkembangan melalui serangkaian kontradiksi,
yang tampaknya menganulir atau menegasikan suatu fakta, teori, atau bentuk keberadaan yang
sebelumnya, yang kemudian pada gilirannya dinegasi. Pergerakan, perubahan dan perkembangan oleh
karenanya bergerak melalui serangkaian negasi-negasi yang tak terinterupsi.

Walaupun begitu, negasi dalam artian dialektik tidaklah berarti peniadaan atau penghancuran semata,
di mana tahapan yang sebelumnya dilampaui dan juga dilestarikan dalam waktu yang sama. Negasi,
dalam artian ini, adalah aksi yang positif dan negatif.

Hegel memberi contoh sederhana dalam bukunya, Fenomenologi Pikiran: “Kuncup menghilang ketika ia
mengembang menjadi bunga, dan kita bisa saja berkata bahwa kuncup disangkal oleh kembang; dengan
cara yang sama ketika buah muncul, bunga bisa dijelaskan sebagai bentuk palsu dari keberadaan
tumbuhan, karena buah muncul sebagai kodrat aslinya yang menggantikan tempat bunga. Tahap-tahap
ini tidak hanya terdiferensiasi, mereka saling melengkapi dan tidak dapat saling dibandingkan. Namun
aktivitas alami tanpa henti mereka membuat mereka di waktu yang sama menjadi momen-momen
dalam kesatuan organik, di mana mereka tidak hanya saling mengkontradiksi, tetapi salah satu dari
mereka sama niscaya dengan yang lain; dan keniscayaan yang setara dari semua momen adalah bagian
dari kehidupan secara keseluruhan.”

Dalam proses peniadaan-diri yang tanpa akhir ini, hilangnya bentuk-bentuk tertentu dan munculnya
bentuk-bentuk yang lainnya, suatu pola muncul yang sering nampak seperti pengulangan dari bentuk-
bentuk, kejadian-kejadian, dan teori-teori yang telah dilalui. Oleh karena itu, sering dikatakan “sejarah
terulang kembali”. Sejarawan borjuis yang reaksioner telah mencoba untuk membuktikan bahwa sejarah
hanyalah pengulangan tanpa makna, yang melaju dalam lingkaran tanpa akhir.

Dialektika, sebaliknya, menemukan dalam pengulangan-pengulangan ini suatu perkembangan dari yang
rendah ke tinggi, suatu evolusi di mana bentuk-bentuk yang sama dapat mengulangi dirinya sendiri,
namun dalam tingkat yang lebih tinggi, yang diperkaya oleh perkembangan-perkembangan sebelumnya.

Ini dapat dilihat paling jelas dari proses perkembangan gagasan-gagasan manusia. Hegel telah
menunjukkan bagaimana filsafat berkembang melalui serangkaian kontradiksi; suatu mazhab
menegasikan yang lain, namun pada saat yang sama menyerap teori-teori yang lebih tua ke dalam
sistem berpikirnya sendiri.

Sama halnya dengan perkembangan sains. Para alkemis di Abad Pertengahan terdorong untuk mencari
“Batu Filsuf” yang dapat mengubah logam menjadi emas. Karena rendahnya tingkat tenaga produksi dan
ketiadaan teknik ilmiah, eksperimen-eksperimen awal dari “transmutasi” elemen ini pada kenyataannya
hanyalah fantasi utopis. Namun, dalam proses eksperimen-eksperimen yang gagal ini, para alkemis
rupanya menemukan fakta-fakta bernilai mengenai benda-benda kimia dan aparatus-aparatus
eksperimen yang nantinya menjadi dasar kimia modern.

Seiring bangkitnya kapitalisme, industri dan teknik, ilmu kimia menjadi ilmu yang menolak gagasan-
gagasan awal yang “gila” seperti transmutasi elemenyang kemudian telah dinegasikan. Namun, semua
yang bernilai dan ilmiah dalam penemuan-penemuan alkimia telah diawetkan dalam ilmu kimia baru,
yang menegaskan bahwa elemen-elemen itu tidak dapat diubah dari satu menjadi lainnya.

Abad ke-20 telah menjadi saksi mata revolusi dalam sains dan teknik seiring penemuan fisika nuklir, di
mana suatu elemen rupanya bisa diubah menjadi elemen lainnya. Pada kenyataannya di zaman modern
hari ini secara teori timbal dapat diubah menjadi emas, namun proses itu akan menjadi terlalu mahal
untuk dijustifikasi secara ekonomi. Maka proses ini tampaknya sudah menjadi suatu lingkaran:

(a) Transmutasi elemen

(b) Non-transmutasi elemen

(c) Transmutasi elemen.

Namun pengulangan ini hanya tampak di permukaan saja. Kenyataannya, sains modern, yang bisa
dibilang telah kembali pada ide-ide ahli alkimia kuno, mencakup di dalamnya seluruh penemuan-
penemuan besar dari sains abad ke-18 dan abad ke-19. Satu generasi berdiri di pundak generasi
sebelumnya. Ide-ide yang sepertinya telah “dibantah” atau “dinegasikan” kembali muncul, namun pada
tingkat yang lebih tinggi, diperkaya oleh penemuan-penemuan dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya.

Dialektika mendasarkan dirinya pada determinisme: gagasan bahwa tidak ada hal dalam alam,
masyarakat atau pikiran yang kebetulan; yang terlihat seperti “kebetulan” muncul hanya dikarenakan
suatu keniscayaan yang lebih dalam.

Sejarawan-sejarawan dangkal telah menulis bahwa Perang Dunia I “disebabkan” oleh pembunuhan
seorang Putra Mahkota di Sarajevo. Bagi seorang Marxis peristiwa ini adalah kecelakaan sejarah, dalam
artian kejadian ini hadir sebagai dalih, atau katalis, bagi konflik dunia yang sudah tidak bisa dielakkan
karena kontradiksi-kontradiksi ekonomi, politik dan militer dari imperialisme. Jika peluru si pembunuh
meleset, atau jika si Putra Mahkota tidak pernah dilahirkan, perang tersebut tetap akan meledak, atas
alasan diplomatis lainnya. Hal yang memang harus terjadi akan tetap terekspresikan walau dengan
bentuk “kecelakaan” lainnya.

Semua hal yang eksis, eksis karena keniscayaan. Namun, pada saat yang sama, semua hal yang eksis
sama-sama telah ditakdirkan untuk tiada, untuk diubah menjadi suatu hal yang lain. Maka apa yang
“niscaya” di suatu waktu dan tempat menjadi “tidak niscaya” di waktu dan tempat lainnya. Semua hal
mendapatkan lawannya yang ditakdirkan untuk melampaui dan menegasikannya. Ini benar bagi tiap-tiap
makhluk hidupdan juga masyarakat.
Segala bentuk masyarakat manusia eksis karena itu merupakan keharusan pada waktunya: “Tidak ada
tatanan khusus yang menghilang sebelum semua tenaga produksi yang ada tempatnya, telah
dikembangkan: dan relasi-relasi produksi baru yang lebih tinggi tidak pernah muncul sebelum kondisi
material keberadaan mereka telah cukup matang di dalam rahim masyarakat lama. Oleh karena itu
umat manusia selalu mengambil masalah hanya yang bisa ia pecahkan, karena, jika mengamati masalah
ini dengan lebih dekat, kita akan selalu menemukan bahwa masalah itu sendiri muncul hanya ketika
kondisi material yang diperlukan untuk solusinya telah ada atau paling tidak sedang dalam proses
pembentukan”. (Marx, Sebuah Kontribusi untuk Kritik Ekonomi Politik).

Perbudakan, pada masanya, merepresentasikan suatu loncatan besar melampaui barbarisme.


Perbudakan merupakan tahap yang diperlukan dalam perkembangan tenaga produksi, kebudayaan, dan
masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Hegel: “Bukan dari perbudakan, namun melalui perbudakan-
lah manusia menjadi bebas”. (Hegel, Filsafat Sejarah)

Sama halnya kapitalisme juga merupakan suatu tahap yang niscaya dan progresif dalam masyarakat.
Namun, seperti perbudakan, komunisme primitif dan feodalisme (lihat bagian 2), kapitalisme telah lama
berhenti merepresentasikan sistem sosial yang diperlukan dan progresif. Ia telah reyot karena
kontradiksi-kontradiksi mendalam yang ada dalamnya, dan pada waktunya akan ditumbangkan oleh
naiknya sosialisme, yang direpresentasikan oleh kaum proletariat modern. Kepemilikan pribadi atas alat-
alat produksi dan negara-bangsa, yang merupakan fitur-fitur dasar masyarakat kapitalis, yang awalnya
menandakan langkah maju ke depan, sekarang hanya merintangi perkembangan tenaga produksi dan
mengancam segala kemajuan yang telah didapatkan setelah berabad-abad perkembangan manusia.

Sekarang kapitalisme adalah sistem sosial yang keropos dan terbelakang, yang harus ditumbangkan dan
digantikan oleh lawannya, Sosialisme, jika kebudayaan manusia masih ingin bertahan. Marxisme itu
determinis, tetapi bukan fatalis, karena penyelarasan kontradiksi dalam masyarakat hanya bisa dicapai
oleh manusia yang dengan sadar berusaha menciptakan transformasi masyarakat. Perjuangan antar
kelas-kelas ini bukanlah sesuatu yang sudah kodrati. Siapa yang berhasil tergantung pada banyak faktor,
dan suatu kelas progresif yang sedang bangkit memiliki banyak keunggulan dibandingkan kekuatan
reaksi yang tua renta. Namun pada akhirnya, hasilnya pasti tergantung pada pihak mana yang tekadnya
lebih kuat, organisasinya lebih besar dan kepemimpinannya lebih bertalenta dan tangguh.

Oleh karena itu filsafat Marxis pada intinya adalah suatu panduan untuk bergerak: “Para filsuf telah
menginterpretasikan dunia dengan berbagai cara; namun tujuannya, bagaimanapun juga, adalah untuk
mengubahnya”. (Marx, Tesis Feuerbach)
Kemenangan sosialisme akan menandai tahapan yang baru dan jelas berbeda dalam sejarah umat
manusia. Lebih akuratnya, ini akan menandai akhir dari prasejarah umat manusia, dan memulai sejarah
yang sebenarnya.

Akan tetapi, di sisi lain, sosialisme menandakan kembalinya kita ke bentuk masyarakat yang paling awal -
komunisme kesukuan - namun dalam level yang jauh lebih tinggi, yang berdiri di atas seluruh kontribusi
luar biasa selama ribuan tahun masyarakat kelas. Ekonomi berkelimpahan akan dibuat mungkin dengan
penerapan perencanaan sosialis pada industri, sains dan teknik yang telah dikukuhkan oleh kapitalisme,
dalam skala global. Ini akan pada gilirannya menghapus pembagian kerja, perbedaan antara kerja pikiran
dan kerja fisik, antara kota dan pedesaan, dan konflik kelas yang barbar dan tidak perlu, dan
memungkinkan umat manusia untuk akhirnya dapat mengalokasikan sumber dayanya untuk menguasai
alam: dalam kata-kata Engels yang terkenal, “Loncatan umat manusia dari dunia kebutuhan menuju
Dunia Kebebasan”. (Marx dan Engels, Kapital Vol. III)

Diterjemahkan oleh Sekar dari “What is Marxism?” oleh Rob Sewell dan Alan Woods.

Bersambung ke Bagian 2: Materialisme Historis

Bergabunglah dengan Perhimpunan Sosialis Revolusioner!

Form Pendaftaran

Nama

Email

Telepon / WA

Domisili

Ingin bergabung?

Ya

Tidak

Mengapa kamu ingin bergabung dengan PSR?


Security

Kirim

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com

Switch to desktop site

HOME

BERITA

ANALISA

TEORI

INTERNASIONAL

Cari...

logo

Mengenal Dasar-dasar Filsafat Marxisme: Bagian II. Materialisme Historis

13 Sep 2012

Ted Sprague

Sejarah dibuat oleh manusia. Dia adalah aktor di dalam drama yang telah berlangsung tanpa henti
selama ratusan ribu tahun, semenjak ia beranjak berdiri keluar dari hutan belantara Afrika ke ladang
savana yang luas, dan lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan berdiri tegak, tangannya
terbebaskan untuk melakukan kerja yang tak mampu dilakukan sepupu keranya. Dengan kedua
tangannya ini, dibangunlah peradaban-peradaban megah dan bangunan-bangunan raksasa: dari
Piramida Mesir, Tembok Raksasa China, sampai Borobudur Indonesia.

Manusia bukanlah makhluk-makhluk yang pasrah tak berdaya di hadapan apa yang kerap disebut
“suratan takdir”. Namun ia juga tidak bisa sekehendak hatinya mengubah sejarah. Marx mengatakan:

“Manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sekehendak hati mereka;
mereka tidak membuatnya di bawah situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, tetapi di bawah
situasi-situasi yang sudah ada, yang ditentukan dan ditransmisikan dari masa lalu.”

Jadi manusia hanya bisa mengubah sejarah dalam batasan-batasan yang ada pada saat itu. Bila pada
tahun 1845, seratus tahun sebelum proklamasi 1945, ada seorang Soekarno, maka dia pun tidak akan
bisa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1845. Seluruh peristiwa dari 1845 hingga
1945, yakni dari munculnya pemikir besar Marx dan Engels, Revolusi Rusia 1917, lahirnya PKI dan
kegagalan pemberontakan 1926, lalu sampai Perang Dunia I dan II, semua ini harus terjadi terlebih
dahulu untuk menyiapkan segala kondisi yang memungkinkan seorang yang bernama Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1945 untuk memproklamirkan kemerdekaan kita.

Sejarah yang digambarkan oleh kelas penguasa sampai hari ini selalu adalah sejarah orang-orang besar.
Di dalam pikiran mereka, sejarah digerakkan oleh segelintir orang saja: pemikir-pemikir ulung,
pemimpin-pemimpin besar, orator-orator karismatik. Sejarah adalah ciptaan dari gagasan-gagasan yang
ada di pikiran orang-orang besar ini. Mereka mendapatkan ilham yang begitu hebatnya sehingga
menggerakkan sejarah. Napoleon Bonaparte menjadi kaisar Prancis yang menguasai hampir seluruh
Eropa karena kejeniusan perangnya. Perang Dunia II terjadi karena sosok Hilter dengan pemikiran-
pemikiran fasisnya, yang tertuang di buku Mein Kampf. Revolusi Oktober di Rusia adalah karena Lenin
seorang dengan kemampuannya memahami Marxisme. Di dalam sejarahnya kaum penguasa, rakyat
jelata tidak memainkan peran sama sekali. Mereka bukan faktor. Mereka hanyalah domba-domba yang
mengikuti pemimpin mereka. Dan kalaupun mereka memainkan peran, hanya sebagai sekumpulan
orang liar yang melakukan kerusuhan.

Materialisme Historis menjungkirbalikkan sejarah kaum penguasa, bahwa rakyat jelatalah aktor utama
di dalam perubahan sejarah. Kalaupun ada figur-figur pemimpin, ia tidak lain adalah pengejawantahan
dari kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Materialisme Historis tidak menyangkal peran individu di
dalam sejarah, tetapi meletakkannya dalam konteks kondisi masyarakat yang ada saat itu, dalam
hubungannya yang dialektis.

Bila manusia membuat sejarah mereka sendiri, maka pada analisa terakhir ia melakukannya dengan
satu-satunya cara ia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, yakni dengan kerjanya (labour). Dalam
karyanya, Peranan yang Dimainkan oleh Kerja dalam Peralihan dari Kera ke Manusia, Engels menulis
bahwa “kerja itu sendiri yang menciptakan manusia”.

Lewat proses evolusi yang berlangsung jutaan tahun, manusia akhirnya memisahkan dirinya dari
binatang. Inilah perubahan dari kuantitas menjadi kualitas, di mana evolusi selama jutaan tahun
(perubahan kuantitas) akhirnya berubah menjadi perubahan kualitas, yakni dalam tubuh manusia,
seorang binatang yang sadar dan dapat melakukan kerja. Manusia memisahkan dirinya dari binatang
lainnya dengan kemampuannya melakukan kerja dengan sadar. Dengan kedua tangannya yang bebas
karena berdiri tegak dan otot-otot jari yang luwes yang dapat melakukan berbagai macam operasi yang
rumit, manusia dapat mengubah alam di sekitarnya. Ia dapat membuat api, kapak batu, dan berbagai
perkakas dari logam, yang digunakannya untuk mengendalikan alam demi kelestarian dirinya. Manusia
memulai sejarahnya sebagai sebuah spesies dengan kerjanya atau modus produksinya. Oleh karenanya,
sejarah manusia ditentukan oleh kerja, oleh modus produksi manusia itu sendiri. Inilah konsepsi utama
dari Materialisme Historis, yang ditulis oleh Engels seperti berikut ini:

“Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk
mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi,
merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul
dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-
tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk
itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-
revolusi politis mesti dicari, tidak dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih
baik akan kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara
produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam perekonomian satu
epos tertentu.” (Engels, Anti Dühring)

Keluar dari hutan dan menuju padang rumput luas, manusia memulai sejarahnya, dari komunisme
primitif sampai kapitalisme hari ini.

Komunisme Primitif
Manusia yang pertama muncul sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika. Ia muncul setelah melewati
proses evolusi yang kompleks selama 2 juta tahun. Puluhan dan mungkin ratusan spesies kera-yang-
berdiri muncul dan punah selama periode evolusi tersebut hingga tertinggal satu spesies pada akhirnya,
yakni homo sapiens atau manusia moderen hari ini.

Proses evolusi dari kera yang bergelayutan di pohon-pohon menjadi kera yang berdiri tegak dan berjalan
dengan dua kakinya dimulai dengan perubahan iklim dan lingkungan di Afrika. Awalnya Afrika penuh
dengan hutan belantara. Namun perubahan iklim yang bertambah panas mengubah hutan-hutan
tersebut menjadi padang rumput savanna yang luas. Semakin sedikit pohon-pohon untuk bergelayutan,
yang merupakan modus transportasi kera yang utama. Padang rumput yang luas juga mengharuskan
binatang-binatang berjalan jauh untuk mendapatkan makanan. Binatang-binatang berkaki empat di
Afrika seperti zebra, jerapah, dan gajah mampu berjalan jauh, tetapi tidak demikian dengan kera.
Tekanan evolusi inilah yang lalu mendorong kera-kera hutan untuk berdiri tegak dan berjalan dengan
dua kaki. Ini jauh lebih efisien dibandingkan dengan kera yang berjalan dengan kaki dan tangan terkepal,
sehingga memungkinkannya berjalan jauh. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, tetapi dalam jutaan
tahun. Inilah awal dari evolusi menuju manusia moderen. Dengan berdiri tegak, tangannya terbebaskan
untuk mulai melakukan kerja. Kera berdiri ini mulai bisa membuat perkakas-perkakas sederhana.
Bersama dengan kerja, berkembang jugalah otak secara dialektis. Perubahan kuantitas di dalam
perkembangan otak – yakni kemampuan berpikir – akhirnya melahirkan perubahan kualitas: munculnya
kesadaran yang membuat manusia berbeda dengan binatang lainnya.

Awalnya manusia primitif ini hidup secara nomadik, yakni berpindah-pindah. Mereka belum tahu cocok-
tanam, sehingga terus bergerak mencari sumber makanan. Berburu dan mengumpulkan makanan dari
tumbuh-tumbuhan sekitarnya (berburu-meramu) adalah modus produksi mereka yang utama. Seluruh
keberadaan mereka, dari pagi hingga malam, disibukkan dengan mencari makanan. Tidak ada waktu
untuk berpikir dan menciptakan penemuan-penemuan. Pada masa ini, tidak ada kepemilikan pribadi
karena memang tidak ada basis material untuk kepemilikan pribadi. Berburu-meramu sebagai modus
produksi tidak memungkinkan adanya kepemilikan pribadi. Binatang-binatang liar yang diburu tidak
mungkin dijadikan milik pribadi. Tidak ada tanah yang bisa dimiliki karena mereka terus berpindah-
pindah. Alam dalam segala bentuknya adalah milik bersama. Di dalam kepercayaan-kepercayaan suku-
suku primitif – yang bahkan masih ada sisa-sisanya sampai hari ini – binatang, tumbuhan, tanah, air, dan
segala yang ada di alam adalah milik bersama. Periode ini disebut sebagai periode komunisme primitif.
Di dalam komunisme primitif, karena semua adalah milik bersama, maka juga tidak ada perbedaan kelas
antara yang berpunya dan tidak berpunya, terutama dalam hal kepemilikan alat produksi. Tidak ada
kelas-kelas, dan oleh karenanya tidak ada penindasan oleh satu kelas terhadap kelas yang lain.

Di dalam komunisme primitif, tidak ada yang namanya Negara. Tidak ada polisi, tentara, hakim, dan alat-
alat pemaksa seperti yang kita kenal hari ini. Ini karena tidak ada kepemilikan pribadi atas alat-alat
produksi yang harus dijaga. Kita tahu bahwa pada dasarnya Negara dan aparatus-aparatusnya (polisi,
tentara, hakim) sebenarnya adalah penjaga kekeramatan kepemilikan kelas penguasa atas kekuatan
ekonomi dan politik mereka. Ketika buruh mogok dan lantas mengancam kepemilikan sang kapitalis
(yakni mengancam profit mereka), maka polisi, hakim, tentara pun digunakan untuk menghentikan
pemogokan ini. Ketika gerakan buruh menuntut nasionalisasi dan ingin berkuasa, semua alat penindas
dikerahkan oleh rejim penguasa. Jadi, di sebuah masyarakat di mana semua adalah milik bersama tidak
diperlukan Negara dan alat-alat pemaksa tersebut.

Tidak ada perbedaan sosial antara tiap-tiap anggota di dalam masyarakat komunisme primitif. Pencarian
makanan yang sangat sulit mengharuskan mereka semua untuk bekerja sama. Yang berburu tidak bisa
setiap hari mendapatkan buruan, dan oleh karenanya para peramu (pengumpul makanan) juga
memainkan peran yang penting. Perkakas-perkakas – termasuk senjata – juga tidak bisa jadi milik
pribadi. Bayangkan kalau seorang kehilangan perkakasnya atau rusak perkakasnya. Sangat sulit sekali
membuat perkakas tersebut, sehingga kalau ini adalah milik pribadi maka akan matilah dia tanpa
perkakasnya. Jadi perkakas-perkakas adalah milik bersama demi menjaga keberlangsungan hidup tiap-
tiap anggota.

Di dalam periode komunisme primitif ini, juga ada demokrasi yang seluas-luasnya. Semua permasalahan
di dalam kelompok diselesaikan secara demokratis, di mana tiap-tiap anggota punya kedudukan yang
sama. Keputusan diambil di dalam pertemuan umum. Semua adalah pengambil keputusan dan semua
adalah pelaksana keputusan. Begitu sederhananya. Sisa-sisa bentuk pemerintahan ini masih dapat kita
temui di beberapa kebudayaan di Indonesia dan juga di luar Indonesia.

Tidak seperti yang dipropagandakan oleh kelas penguasa, masyarakat kelas itu bukan sesuatu yang
sudah ada selama-lamanya. Ia bukan sesuatu yang alami di dalam karakter manusia. Sebagian terbesar
keberadaan manusia adalah dalam periode masyarakat tanpa kelas. Para propagandis kaum kapitalis
ingin kita menerima masyarakat kelas sebagai sesuatu yang alami supaya kita juga menerima
penindasan kelas sebagai sesuatu yang alami. Tetapi sejarah manusia berkata lain.
Dari Komunisme Primitif ke Masyarakat Kelas

Apa yang menyebabkan pergeseran dari masyarakat komunisme primitif ke masyarakat kelas? Apakah
karena tiba-tiba ada segelintir orang yang serakah dan jahat, yang ingin menjadi penguasa? Tidak.
Pergeseran ini terjadi karena perubahan modus produksi. Antara 10 ribu dan 12 ribu tahun yang lalu,
manusia membuat loncatan dalam hal produksi makanan: dari berburu meramu menjadi bercocok
tanam dan berternak. Ini memungkinkan mereka untuk menetap di satu tempat dan tidak lagi nomaden.
Periode yang lebih tinggi ini dikenal sebagai Zaman Batu Baru. Mereka bisa membangun tempat
menetap yang kurang lebih permanen, yang memberikan dorongan lebih besar terhadap teknologi
pembuatan perkakas. Populasipun semakin membesar.

Dengan lahirnya pertanian dan perternakan, maka manusia untuk pertama kalinya dapat menghasilkan
makanan berlebih atau surplus. Ini berbeda dengan masa berburu-meramu di mana hampir tidak
mungkin menghasilkan surplus. Manusia menghabiskan semua waktunya untuk mencari makan, dan
sedikit untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan. Dengan surplus dari pertanian dan
perternakan, maka mulai terbebaskanlah sejumlah orang untuk melakukan kerja berpikir dan
mengembangkan pengetahuan. Kebudayaan tumbuh subur dengan lahirnya pertanian dan perternakan.
Kemajuan teknologi mengalami lompatan revolusioner, yang pada gilirannya membuat pertanian-
perternakan lebih efisien.

Dari kemampuan memproduksi surplus makanan ini, dan peningkatan kesejahteraan secara umum,
tertuailah bibit-bibit masyarakat kelas. Ini dimulai dengan lahirnya kepemilikan pribadi. Pada awal
Zaman Batu Muda ini, kepemilikan kolektif masih mendominasi. Pertanian dan peternakan masih
dikerjakan secara kolektif dan dimiliki bersama. Belum ada mukiman-mukiman terpisah. Semua tinggal
di satu atap besar, layaknya dulu kala ketika jaman berburu-meramu. Namun, perlahan-lahan
kemampuan memproduksi surplus makanan memungkinkan tiap-tiap klan di dalam suku untuk mulai
memisahkan diri dari kepemilikan kolektif. Mereka tidak perlu lagi bekerja sama seperti dahulu untuk
menjaga keberlangsungan hidup. Tanah dan ternak – dan juga perkakas-perkakas kerja – mulai dijadikan
milik pribadi, yakni milik klan dan bukan lagi milik suku bersama. Ada tanah yang lebih subur, ada ternak
yang lebih produktif. Ini lalu menciptakan perbedaan ekonomi di antara klan-klan yang berbeda, yang
lantas perlahan-lahan mengkristal menjadi perbedaan kelas, antara yang memiliki alat produksi dan
yang tidak memiliki.

Masyarakat Budak

Dahulu, ketika peperangan pecah antara dua suku, tidaklah ekonomis untuk mengambil tawanan perang
sebagai budak. Modus produksi yang berdasarkan berburu-meramu tidak memungkinkan sang budak
menghasilkan surplus. Sang budak hanya bisa menghasilkan makanan cukup untuk dirinya sendiri. Satu-
satunya fungsi tawanan perang adalah sebagai sumber daging. Inilah basis material dari kanibalisme.

Namun dengan adanya pertanian-peternakan yang bisa menghasilkan surplus makanan, maka tenaga
budak menjadi sesuatu yang diincar-incar. Para budak bisa dipaksa bekerja untuk menghasilkan surplus
untuk tuannya. Tetapi bagaimana caranya mengendalikan para budak? Masyarakat komunisme primitif
yang lama tidak punya alat-alat pemaksa. Tiap-tiap orang bebas dan juga adalah prajurit yang
memegang senjatanya sendiri. Bentuk masyarakat yang lama berbenturan dengan mode produksi yang
baru, dan yang pertama harus berubah. Lahirlah Negara dengan alat-alat pemaksanya untuk melindungi
kepentingan pemilik alat produksi. Dalam hal ini pemilik alat produksinya adalah pemilik budak.

Alat-alat kekerasan harus dimonopoli oleh Negara. Dibentuklah polisi dan tentara sebagai kesatuan
bersenjata yang terpisah dari masyarakat. Hanya mereka yang boleh menyandang senjata. Hukum –
yang berpihak pada pemilik kekuasaan ekonomi – harus ditulis dan diimposisikan. Pengadilan dengan
hakim-hakimnya dibentuk sebagai sebuah institusi hukum yang terpisah dari rakyat, yang tujuan
utamanya adalah melindungi hak milik para pemilik budak dengan berbagai perangkat hukum. Selain
alat kekerasan, diperlukan juga para pendeta, filsuf, dan orang-orang pintar yang tugasnya adalah
memberikan pembenaran moral terhadap kekuasaan.

Perbudakan membebaskan banyak anggota masyarakat dari kerja sehari-hari mencari makan. Bebas dari
beban mencari makan, mereka lantas punya waktu bebas untuk berpikir dan mengembangkan
teknologi, ilmu pengetahuan dan filsafat. Masyarakat perbudakan mencapai puncaknya di Yunani Kuno
dan Kerajaan Romawi, dari sekitar 800 SM sampai tahun 500 M. Di periode inilah filsuf-filsuf terutama
dalam sejarah manusia muncul: Socrates, Aristoteles, dan Plato. Kesenian dan kebudayaan tumbuh
subur di periode ini. Bahkan dari reruntuhan bangunan-bangunan yang tertinggal hari ini kita masih bisa
saksikan keindahan dan kemegahan kebudayaan mereka.
Namun semua yang lahir haruslah mati. Masyarakat perbudakan menemui kontradiksi dan jalan buntu.
Kekaisaran Romawi semakin membesar dan semakin membutuhkan banyak budak. Satu sumber utama
untuk mendapatkan budak adalah menaklukkan daerah lain. Di dalam peperangan melawan Makedonia
pada tahun 169 SM, 70 kota di Epirus ditaklukkan dan 150 ribu penduduknya dijual sebagai budak.
Ekonomi perbudakan sangatlah boros. Stok budak harus terus disuplai untuk menggantikan mereka
yang terluka atau mati akibat kondisi kerja yang mengenaskan. Reproduksi mereka juga rendah karena
standar hidup mereka yang sangat rendah. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk terus menyediakan
stok budak adalah perang dan penaklukan daerah lain.

Karena semakin banyak perang yang harus dilakukan untuk mendapatkan budak, maka dibutuhkan
semakin banyak tentara. Karena tidak ada lagi cukup tentara, Kekaisaran Romawi harus menggunakan
jasa tentara bayaran yang mahal harganya. Berakhirlan era budak yang murah, yang menandai
berakhirnya Kekaisaran Romawi. Sistem ekonomi perbudakan menjadi begitu mahalnya dan tidak
mampu lagi mendorong perkembangan kemanusiaan (alat produksi, kebudayaan, iptek). Ia justru
sekarang menjadi beban bagi kemajuan peradaban manusia. Sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak
dapat lagi memajukan peradaban manusia haruslah hilang dan digantikan dengan yang sistem ekonomi
yang lebih tinggi.

Akan tetapi, kendati banyaknya pemberontakan budak – yang paling terkenal adalah yang dipimpin oleh
Spartacus – kaum budak ternyata bukanlah kelas revolusioner yang dapat merebut kekuasaan dan
menggantikan sistem perekonomian budak. Seperti yang dikatakan oleh Marx, bahwa perjuangan kelas
akan membawa dua hasil: kemenangan sebuah kelas dan lalu transformasi revolusioner masyarakat,
atau kehancuran bersama semua kelas bila tidak ada kelas yang mampu menang. Yang terjadi di
Kerajaan Romawi adalah yang belakangan ini. Kelas pemilik budak sudah bangkrut dan impoten.
Sementara para budak juga bukan kelas revolusioner.

Sejarah Eropa lalu memasuki apa yang disebut “Zaman Kegelapan” dari abad ke-6 hingga abad ke-13 M.
Di Zaman Kegelapan ini, masyarakat Eropa mengalami kemunduran besar-besaran.

Kebangkitan Feodalisme dan Monarki Absolut

Dari kehancuran masyarakat perbudakan, setelah memasuki Zaman Kegelapan selama ratusan tahun,
sebuah sistem ekonomi yang baru perlahan-lahan lahir: feodalisme. Setelah runtuhnya Kerajaan
Romawi, orang-orang Eropa hidup di desa-desa dengan pertanian yang primitif. Tiap-tiap desa punya
pemimpin dan posisi ini diwariskan dari ayah ke anak. Desa-desa ini terus berperang dengan tetangga-
tetangganya. Dengan menaklukkan desa lain, para pemimpin desa menjadi semakin kaya dan berkuasa.
Dalam waktu ratusan tahun, pemimpin desa dan keluarganya menjadi keluarga bangsawan dan baron.
Sebuah struktur kelas yang baru lahir, di satu sisi adalah kelas bangsawan pemilik tanah dan di sisi lain
adalah petani (serf).

Kepemilikan tanah adalah sumber kekuatan ekonomi dan politik para bangsawan. Hampir semua
kebutuhan hidup dihasilkan dari tanah pertanian. Semakin banyak tanah yang dimiliki oleh seorang
bangsawan, semakin berkuasa dianya. Kelas penguasa berkuasa melalui monopoli kepemilikan
tanahnya, di mana para petani terikat. Tidak seperti budak, para petani punya hak milik. Walaupun
tanah yang dikelolanya bukan miliknya, tetapi ia dapat memiliki hasil dari tanah tersebut. Dia juga tidak
dapat dijual layaknya seorang budak. Sebagai gantinya, para petani harus bekerja secara gratis untuk
tuan tanahnya pada hari-hari tertentu. Dia juga harus siap menjadi tentara bila dipanggil. Sebagian dari
hasil tani mereka harus dipersembahkan kepada tuan tanahnya. Para petani ini juga tidak boleh
meninggalkan tanah mereka. Dia harus mendapatkan ijin tuan tanahnya bila ingin menikah dengan
orang luar.

Sistem ekonomi feodalisme ini bersandar pada kepemilikan tanah. Ia memberikan dorongan terhadap
perkembangan kekuatan-kekuatan produksi. Kali ini surplus dihasilkan dari kerja para petani yang disita
oleh kaum bangsawan lewat hubungan feodal mereka.

Dengan semakin terkonsolidasikannya feodalisme dan kelas-kelas yang ada di dalamnya, diperlukan juga
Negara beserta aparatus-aparatusnya untuk mempertahankan bentuk kepemilikan feodal ini. Moralitas
dan ideologi yang baru dibentuk untuk menguatkan hubungan-hubungan sosial feodal. Gereja Katolik
menjadi pondasi spiritual terutama dari masyarakat feodal ini, dan bahkan Paus pun menjadi lebih kuat
daripada para Raja dan bangsawan. Gereja memiliki sepertiga sampai setengah tanah yang ada. Gereja
juga menjadi kaya dengan pajak 10 persen yang mereka kumpulkan, dengan menggunakan Kitab Suci
sebagai pembenaran atas pajak ini. Untuk melindungi kekayaan Gereja Katolik, maka para pastor tidak
boleh menikah supaya kekayaan mereka tetap ada di dalam institusi gereja dan tidak diwariskan ke
anak-anak pastor. Inilah basis material dari tradisi selibat Katolik.

Secara umum, feodalisme masih belum menjadi kekuatan yang tersentralisir sampai bangkitnya Monarki
Absolut pada abad ke-16. Peperangan antar bangsawan terus menggoncang kestabilan Eropa. Usaha
monarki pusat untuk menundukkan daerah-daerah dan bangsawan-bangsawan lokal adalah karakter
utama dari periode ini. Setelah berhasil mengalahkan para bangsawan lokal dan menghentikan
peperangan, perdaganganpun meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi. Ini menciptakan kondisi yang
semakin menguatkan kelas pedagang (kapitalis) yang baru. Kelas pedagang inilah yang nantinya akan
menumbangkan feodalisme dan melahirkan kapitalisme.

Dulu tidak ada negara-bangsa yang kita ketahui seperti hari ini. Kesetiaan orang pada saat itu bukanlah
pada bangsa, tetapi kepada bangsawan, kota, atau daerah. Tidak ada yang namanya bangsa Prancis,
Inggris, dll.

Dengan tumbuhnya perdagangan di kota-kota, kelas kapitalis mulai tumbuh yang menuntut kondisi-
kondisi yang cocok untuk mereka. Mereka menginginkan kestabilan dan keamanan. Perperangan terus-
menerus antara bangsawan-bangsawan lokal harus dihentikan. Sebuah otoritas sentral, yakni sebuah
negara-bangsa, dibutuhkan.

Konflik antara monarki pusat dan para bangsawan lokal – dua sayap dari kelas penguasa feodal –
akhirnya dimenangkan oleh para Raja Monarki. Dia mendapatkan dukungan dari para pedagang yang
memberinya pinjaman uang besar untuk membiayai perangnya. Munculnya negara-bangsa bersama
dengan Monarki Absolut memberikan dorongan besar untuk perdagangan. Para pedagang dan finansier
sekarang menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan yang sesungguhnya. Kerajaan-kerajaan dan para
bangsawan semua berhutang pada pedagang-pedagang kaya. Di dalam masyarakat feodal, lahir sebuah
kelas yang akan menumbangkannya.

Revolusi Kapitalis

Revolusi Kapitalis adalah satu peristiwa revolusioner yang membebaskan umat manusia dari beban
feodalisme yang mengikat mereka. Feodalisme sudah tidak lagi produktif. Ia sudah bangkrut dan tidak
bisa lagi memajukan peradaban manusia. Sementara kelas kapitalis yang baru adalah sebuah kelas yang
revolusioner. Modus produksi yang berdasarkan kepemilikan tanah sudah tidak bisa lagi bersaing
dengan perdagangan dan manufaktur (pabrik-pabrik). Ia harus disingkirkan. Tetapi sejarah menunjukkan
bahwa kelas penguasa tidak pernah menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Ia harus didorong paksa ke
liang kuburnya, dan walaupun sudah masuk liang kubur ia akan terus berjuang untuk keluar darinya
dengan mati-matinya.

Kapitalisme membutuhkan kondisi persaingan bebas. Feodalisme yang tidak demokratis menjadi
penghalang bagi kaum kapitalis. Oleh karenanya kaum borjuis nasional, dengan memimpin seluruh
lapisan masyarakat, memberontak untuk membangun sebuah republik yang demokratis. Ini pada
dasarnya bukan karena sentimen kebebasan dan keadilan kaum borjuis. Ini hanya karena dibutuhkan
demokrasi untuk persaingan bebas kapitalisme, yakni sebuah demokrasi yang sempit hanya untuk kaum
borjuis. Namun rakyat luas yang dipimpin oleh kaum borjuis – kaum tani, pedagang kecil, artisan, dll. –
percaya akan nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh kaum borjuis dan mereka memberikan
dukungan besar kepadanya.

Selain itu, dalam melaksanakan revolusi kapitalis (atau revolusi borjuis demokratik), kaum borjuis juga
melaksanakan reforma agraria. Tanah para bangsawan dibagi-bagikan kepada para petani. Ini
mengamankan dukungan kaum tani untuk revolusi kapitalis. Akan tetapi reforma agraria ini dilakukan
oleh kaum kapitalis bukan karena hati mereka tersentuh oleh kesengsaraan para petani yang ditindas
oleh kaum tuan tanah bangsawan. Ini dilakukan untuk alasan politik dan ekonomi kaum borjuis. Alasan
politik: karena tanah adalah sumber kekuasaan politik dan ekonomi kaum feodal, maka menyita tanah
mereka dan membagi-bagikannya ke tani adalah cara tercepat untuk menghancurkan mereka. Alasan
ekonomi: reforma agraria membebaskan jutaan kaum tani dari ikatan feodal terhadap tanah dan tuan
tanahnya. Dengan reforma agraria sekarang kaum tani bebas meninggalkan desa-desa dan membanjiri
kota sebagai suplai buruh upahan yang dibutuhkan kaum kapitalis.

Revolusi borjuis demokratik bukanlah sebuah drama satu babak yang selesai dalam setahun dua tahun
saja. Ia adalah sebuah proses yang dipenuhi dengan revolusi dan konter-revolusi. Di dalam sejarah,
revolusi selalu diikuti oleh konter-revolusi. Konter-revolusi melempar ke belakang masyarakat, tetapi
tidak pernah lebih jauh daripada titik mula revolusi. Dua langkah ke depan, satu langkah ke belakang.

Misalnya seperti Revolusi di Inggris, di mana setelah melahirkan republik demokratis yang pertama
kaum borjuis Inggris segera membuat kompromi dengan elemen-elemen borjuis aristrokat. Monarki
Inggris diselamatkan, tetapi ia tidak lebih dari simbol dan peran politik dan ekonominya didominasi oleh
kaum borjuis. Lain halnya dengan Revolusi Prancis yang megah (1789) yang dilaksanakan tanpa
kompromi sama sekali terhadap Monarki Prancis. Namun bahkan Revolusi Prancis pun mengalami
kemunduran, dengan konter-revolusi oleh Napoleon Bonaparte yang menobatkan dirinya sebagai
Kaisar. Kendati demikian, Revolusi Prancis telah menegakkan rejim kapitalis dengan kokoh dan kaum
feodal dan monarki tersapu bersih tanpa bisa bangkit kembali.

Revolusi Kapitalis menciptakan sebuah orde baru, dimana sekarang ada dua kelas yang dominan:
kapitalis dan buruh. Kapitalis memiliki alat-alat produksi (pabrik-pabrik), sementara buruh hanya punya
tenaganya untuk dijual. Modus produksi kapitalis adalah mode produksi manufaktur, dengan buruh
sebagai penggerak mesin.
Kapitalis terus merevolusionerkan teknologi produksi dengan bersaing satu sama lain. Siapa yang bisa
memproduksi dengan waktu yang lebih cepat dan biaya yang lebih murah, dialah yang akan menang. Ini
mensyaratkan mesin dan teknologi yang lebih canggih. Pencarian laba terus mendorong kapitalis untuk
menciptakan teknologi-teknologi baru. Dengan cara ini, kapitalisme secara historis memainkan peran
yang progresif dengan terus mengembangkan teknologi.

Kontradiksi Kapitalisme

Namun apa yang awalnya adalah kekuatan progresif sekarang telah menjadi penghambat dari kemajuan
peradaban manusia. Bahkan kapitalisme hari ini berpotensi menghancurkan seluruh umat manusia. Kita
hanya perlu ingat Perang Dunia Pertama dan Kedua – yang merupakan perang Kapitalis – yang hampir
menghancurkan seluruh dunia.

Kapitalisme berawal dengan persaingan bebas antara perusahaan-perusahaan. Mereka terus saling
menaklukkan. Perusahaan-perusahaan yang gagal dimangsa yang besar, sampai akhirnya hanya tersisa
segelintir perusahaan korporasi besar. Inilah era kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme monopoli. Sudah
tidak ada lagi persaingan bebas seperti periode awal kapitalisme. Kekuatan-kekuatan monopoli ini
mengontrol harga dan distribusi, mempermainkan pasar dan konsumen demi laba besar mereka.
Sementara bank-bank dan institusi-institusi finansial sekarang telah menjadi kekuatan kapitalis yang
dominan, dan mereka tidak tertarik dengan pengembangan industri manufaktur. Mereka hanya tertarik
dengan spekulasi saham, kredit, dan mata uang untuk meraup laba. Inilah kapitalisme hari ini, yang
bersifat monopolistik dan spekulatif. Sebuah kapitalisme yang sudah tidak lagi progresif.

Kontradisi terutama dari kapitalisme adalah over-produksi. Dalam proses produksinya, buruh
memproduksi lebih banyak nilai daripada yang diterimanya dalam upah. Nilai surplus ini diambil oleh
kapitalis. Oleh karenanya buruh tidak pernah punya daya beli yang mencukupi untuk membeli semua
produk yang mereka buat. Akhirnya terlalu banyak mobil yang diproduksi, yang duduk di pelataran
parkir showroom-showroom, sementara buruh pabrik mobil yang membuatnya harus puas naik bis.
Terlalu banyak rumah yang dibangun, yang kosong melompong di tangan bank-bank sementara rakyat
harus puas tinggal di perumahan kumuh.

Krisis finansial 2008 baru-baru ini, yang disebut-sebut sebagai krisis kredit perumahan, pada dasarnya
adalah krisis over-produksi perumahan. Kapitalis memproduksi begitu banyak rumah tetapi tidak ada
yang bisa membelinya. Untuk menunda krisis ini, mereka memberikan kredit kepada rakyat pekerja
supaya mereka bisa membelinya. Namun pada akhirnya kredit harus dibayar dengan bunga, dan ini
justru memperparah krisis di hari depan. Dan terbukti, rakyat pekerja tidak mampu membayar kredit
perumahan yang diberikan kepadanya, dan meletuslah balon perumahan ini. Jadi mekanisme yang
digunakan oleh kapitalis untuk menunda krisis over produksi justru memperparah krisis di hari depan.
Inilah kebuntuan kapitalisme.

Setiap kali ada krisis over-produksi, yang menjadi korban adalah buruh. Karena terlalu banyak barang
yang diproduksi dan tidak bisa dijual, maka cara kaum kapitalis untuk menanggulangi krisis ini – kalau
sudah tidak bisa memberikan kredit lagi – adalah dengan menutup pabrik-pabrik dan melempar jutaan
buruh ke jurang pengangguran. Kapitalis dengan modalnya yang besar bisa menutup pabrik satu tahun
dan tidak akan kelaparan. Tetapi lain halnya dengan buruh. Cara kapitalis untuk melewati krisis ini
adalah dengan menghancurkan alat-alat produksi (menutup pabrik). Sungguh kapitalisme ini adalah
sebuah sistem yang tidak rasional.

Sosialisme sebagai Keniscayaan

Sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak bisa lagi memajukan peradaban manusia adalah sebuah sistem
yang sudah tidak punya alasan lagi untuk eksis di dunia ini. Kapitalisme harus digantikan dengan
sosialisme.

Mungkin kita akan bertanya: mengapa sosialisme dan bukan yang lainnya? Ini karena kapitalisme dalam
perkembangannya telah menyiapkan kondisi-kondisi untuk terbangunnya sosialisme sebagai jawaban
atas masalah-masalahnya. Program-program Sosialisme tidak jatuh dari langit tetapi lahir dari
kebuntuan kapitalisme itu sendiri.

Kapitalisme telah menciptakan sebuah modus produksi yang bersifat sosial. Sosial dalam arti bahwa
semua produk dikerjakan oleh ratusan atau bahkan ribuan buruh dari berbagai industri. Kita ambil saja
telpon genggam. Tidak ada satupun buruh yang bisa mengatakan bahwa ini adalah hasil kerja
keringatnya sendiri saja. Di dalam telpon genggam terkandung ratusan komponen yang datang dari
ratusan pabrik, dikerjakan oleh ribuan buruh. Begitu juga dengan mobil, televisi, bahkan kebutuhan
sehari-hari.

Akan tetapi walaupun produksi bersifat sosial, tetapi nilai-lebih dari produksi bersifat pribadi, yakni
hanya segelintir orang yang mendapatkan laba dari produksi tersebut. Inilah kontradiksi di dalam
kapitalisme. Untuk menyelesaikan kontradiksi ini, maka nilai lebih produksi harus dijadikan milik sosial.
Alat-alat produksi harus dinasionalisasi oleh buruh, sehingga nilai lebih produksi dapat menjadi milik
kelas yang memproduksinya, yakni kelas buruh.

Dan juga kapitalisme telah menciptakan industri-industri besar dan sindikat-sindikat raksasa. Mungkin di
Indonesia hanya ada 100 sampai 200 perusahaan yang mengendalikan ekonomi Indonesia. Ini
sebenarnya mempermudah tugas kaum buruh untuk melakukan nasionalisasi. Cukup dengan
menasionaliasi 100 atau 200 perusahaan terbesar maka secara praktis ekonomi sudah ada di tangan
kaum buruh. Selain itu, sindikat-sindikat ini telah menyatukan ratusan industri ke dalam satu payung
besar, yang lalu mempermudah tugas kaum buruh untuk mencanangkan program ekonomi terencana.

Kapitalisme beroperasi dengan motif laba. Pemenuhan kebutuhan manusia adalah hasil sampingan dari
pencarian laba ini. Pasar kapitalis beroperasi dengan acak. Tidak ada perencanaan sama sekali.
Kebutuhan manusia dijadikan bulan-bulanan pasar dan pencarian laba oleh kaum kapitalis. Sementara
Sosialisme akan menjungkirbalikkan semua ini. Pemenuhan kebutuhan manusia adalah motif utama dari
Sosialisme. Produksi, distribusi, dan konsumsi akan direncanakan secara demokratis, sehingga tidak ada
lagi segelintir orang naik BMW sementara ribuan anak hidup di jalan mengemis.

Terakhir, kapitalisme telah menciptakan sebuah kelas yang kuat, yakni kelas buruh. Merekalah yang
sebenarnya menciptakan kekayaan-kekayaan di muka bumi ini. Roda-roda industri berjalan hanya
dengan ijin kaum buruh. Bila buruh mogok, tidak ada pabrik yang jalan, jalan-jalan sepi, dan lapangan
terbangpun sunyi. Hari ini mereka memang tidak tahu kekuatan mereka. Namun bila saatnya kaum
buruh sadar akan kekuatan mereka ini maka kapitalisme pun akan tumbang. Kapitalisme telah
menciptakan penggali liang kuburnya sendiri.

Tidak hanya merebut kekuasan ekonomi, kaum buruh harus merebut kekuasaan politik. Salah satu tugas
utama dari kaum buruh adalah menghancurkan mesin-mesin Negara borjuis yang lama. Kaum buruh
tidak bisa menggunakan Negara borjuis yang memang diciptakan untuk menindas kaum buruh. Ia harus
menghancurkannya dan membentuk Negara yang baru yang sesuai dengan kepentingan kelasnya.
Negara buruh yang baru ini mempunyai karakter yang sangat berbeda. Ia berdasarkan dewan-dewan
yang dibentuk di tiap-tiap tempat kerja. Demokrasi di dalam dewan-dewan ini adalah demokrasi
partisipatoris, yakni bukan hanya tempat berdiskusi ria tetapi juga tempat untuk melaksanakan
keputusan.

Untuk mencegah munculnya birokrasi, juga ada beberapa kebijakan yang akan diperkenalkan: 1) Semua
pejabat harus dipilih, dan dapat di-recall setiap saat, bukan setiap lima tahun seperti demokrasi borjuis
hari ini; 2) Tidak boleh ada badan-badan khusus angkatan bersenjata yang terpisah dari rakyat,
melainkan milisi rakyat bersenjata yang secara demokratis bertanggungjawab langsung pada dewan-
dewan buruh; 3) Tidak boleh ada pejabat yang menerima gaji lebih tinggi daripada buruh terampil; 4)
Posisi-posisi di pemerintah harus dirotasi di antara rakyat pekerja. Bila semua menjadi birokrat, maka
tidak ada lagi birokrasi.

Hari ini pemerintahan dan politik adalah monopoli orang-orang berpunya. Rakyat pekerja terlalu sibuk
bekerja menyuapi keluarganya untuk bisa terlibat dalam pemerintah. Dengan mengurangi jam kerja,
maka massa rakyat akan mendapatkan kesempatan melibatkan diri mereka di dalam pemerintahan. Ia
dapat belajar kebudayaan, sains, politik dan kesenian, dan menjadi warga yang aktif dalam mengatur
bukan hanya nasibnya sendiri tetapi juga nasib masyarakat secara luas.

Sosialisme akan membuka jalan ke masyarakat tanpa kelas. Seperti yang kita kemukakan di atas bahwa
Negara adalah hasil dari munculnya masyarakat kelas. Oleh karenanya, Negara buruh semenjak
kelahirannya adalah negara yang segera mulai melayu karena kelas-kelas di dalam masyarakat sendiri
mulai menghilang.

Di bawah sosialisme, demokrasi primitif akan lahir kembali. Ini tidak bisa tidak, karena untuk pertama
kalinya massa luas akan terlibat di dalam demokrasi sesungguhnya, di mana sebelumnya demokrasi
hanyalah alat segelintir kaum penguasa. Massa luas akan berperan secara aktif dan mandiri, bukan
hanya dalam pemilu dan pengambilan suara, tetapi juga dalam menjalankan roda-roda pemerintahan.
Kita akan kembali lagi ke komunisme primitif, tetapi dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi, dengan
semua pencapaian yang telah diraih oleh umat manusia selama ratusan ribu tahun. Inilah dialektika
perkembangan peradaban manusia.

Hukum Perkembangan Tak Berimbang dan Tergabungkan

Kapitalisme muncul pertama kali di Eropa, di negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Marx
percaya kalau kaum buruh akan merebut kekuasaan pertama kalinya di negara-negara kapitalis maju.
Tetapi setelah Marx meninggal, kapitalisme memasuki tahapan baru, yakni imperialisme. Over-produksi
di negara-negara maju memaksa mereka untuk mengekspor kapital mereka ke negara-negara lain, dan
dengan ini mencangkok kapitalisme di negara-negara terbelakang. Sehingga kapitalisme di negara-
negara terbelakang berkembang dengan cara yang berbeda daripada negara-negara Eropa.
Di negara-negara terbelakang ini, seperti Indonesia salah satunya, kaum borjuis nasional tidak
berkembang secara mandiri. Mereka muncul terlalu terlambat di panggung sejarah. Mereka menjadi
terikat dengan kapital-kapital asing yang masuk ke dalam negeri. Karena itu mereka tidak bisa
menyelesaikan revolusi borjuis demokratik seperti halnya kaum borjuis Eropa dulu. Inilah Hukum
Perkembangan Tak Berimbang dan Tergabungkan. Kapitalisme di dunia ini tidak berkembang secara
serentak dengan cara yang sama. Ia muncul dulu di Eropa, lalu menyebar ke negara-negara lain yang
terbelakang. Oleh karenanya karakter kaum borjuis negara-negara terbelakang berbeda dengan karakter
kaum borjuis Eropa. Mereka korup, tidak kompeten, reaksioner, dan tidak mandiri. Mereka tidak
mampu menyelesaikan tugas-tugas borjuis demokratik (reforma agraria, pembentukan republik yang
demokratis, kemandirian bangsa, dan modernisasi bangsa) seperti layaknya kaum borjuis Eropa.

Tugas-tugas borjuis demokratik ini jatuh ke kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang revolusioner.
Dengan menyatukan di sekitarnya rakyat pekerja lainnya (tani, nelayan, kaum miskin kota), kaum buruh
akan memimpin revolusi ini. Akan tetapi, kaum buruh tidak akan berhenti di sini saja. Tugas kaum buruh
bukanlah membentuk kapitalisme nasional yang mandiri dan mapan, dengan harapan bahwa ini akan di
hari depan membuka pintu bagi mereka untuk menuju sosialisme. Kaum buruh tidak bisa tidak
melangkah langsung ke tugas-tugas revolusi sosialis: nasionalisasi industri-industri penting, perbankan,
dan institusi-institusi finansial, dan sistem perencanaan ekonomi yang tersentralisir dan demokratis.

Laju dan cakupan dari tumbuhnya revolusi borjuis demokratik ke revolusi sosialis didikte oleh dua hal
utama: pertama, tingkat kesiapan kaum proletar, dan terlebih lagi tingkat kesiapan pelopornya,
kepemimpinannya; kedua, prospek revolusi sosialis di Asia Tenggara dan dunia. Indonesia dengan
sendirinya tidak memiliki tingkat produksi yang cukup untuk bisa membangun sosialisme. Ia
membutuhkan revolusi di negara-negara lain yang lalu bisa saling memberikan bantuan ekonomi dan
teknik guna memenuhi tugas-tugas sosialis. Kita tidak bisa membangun sosialisme dengan tingkat
produksi yang rendah. Seperti yang Marx katakan, “dengan kemiskinan yang umum, maka semua
sampah yang lama akan bangkit kembali.” Kaum proletar Indonesia bisa membuat gebrakan yang
pertama dengan mengobarkan revolusi sosialis, yang lalu akan menyebar dan membakar merah seluruh
Asia Tenggara, dan bahkan dunia. Sebuah kelas buruh yang sadar akan tugas historis ini dan siap dengan
partainya, inilah yang perlu kita bangun.

Bersambung ...
Bagian I: Materialisme Dialektis

Bagian II: Materialisme Historis

Bagian III: Ekonomi Marxis

Bergabunglah dengan Perhimpunan Sosialis Revolusioner!

Form Pendaftaran

Nama

Email

Telepon / WA

Domisili

Ingin bergabung?

Mengapa kamu ingin bergabung dengan PSR?

Security

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com

Switch to desktop site


HOME

BERITA

ANALISA

TEORI

INTERNASIONAL

Cari...

logo

Mengenal Dasar-dasar Filsafat Marxisme: Bagian III. Ekonomi Marxis

15 Sep 2012

Ted Sprague

Risalah singkat ini akan mengupas bagaimana kapitalisme berfungsi. Dengan menerapkan metode
materialisme dialektis ke dalam ranah ekonomi, kita akan dapat melihat bagaimana buruh menjadi
objek penindasan kapitalisme. Hanya dengan memahami mekanisme kapitalisme lewat kacamata Marxis
maka buruh bisa menjawab kebohongan-kebohongan dan distorsi-distoris yang disebarkan oleh ahli-ahli
ekonomi borjuis.

Nilai dan Komoditas

Ketika kita berbicara bahwa kapitalisme menindas buruh, kita harus melihatnya tidak hanya dari
kacamata moral. Kita harus mencari dasar material dari penindasan ini. Karena kalau kita hanya terjebak
pada moralitas, maka jawaban yang akan kita dapat juga hanya jawaban moral, seperti melakukan zakat
atau memberi derma kepada orang miskin.

Semua perusahaan kapitalis memproduksi barang atau jasa, atau lebih tepatnya mereka memproduksi
komoditas. Komoditas adalah barang atau jasa yang diproduksi untuk dijual. Sebelum ada kapitalisme,
barang atau jasa diproduksi terutama untuk digunakan, bukan untuk dijual. Hari ini di bawah kapitalisme
semua barang dan jasa adalah komoditas. Oleh karenanya kita harus memulai penelitian kita dari
karakter komoditas itu sendiri.

Setiap komoditas memiliki nilai-guna (use-value) untuk orang-orang. Ini berarti mereka berguna untuk
seseorang. Nilai-guna ini terbatas pada karakter fisik dari komoditas itu.

Komoditas juga punya nilai. Misalnya 1 jam tangan = Rp. 50.000. 1 meter kain = Rp. 5.000. 1 kilo jeruk =
Rp. 25.000. Kalau kita tinggalkan uang untuk sementara, maka kita bisa juga mengatakan bahwa 1 jam
tangan = 2 kilo jeruk = 10 meter kain. Mereka bisa saling dipertukarkan, dan uang hanyalah alat ukur.
Satu-satunya hal yang sama di antara semua barang ini adalah mereka hasil kerja manusia. Jumlah kerja
yang ada di dalam setiap komoditas bisa diukur dengan waktu: bulan, minggu, hari, jam, menit. Jadi
misalnya 10 jam kerja adalah sama dengan 1 jam tangan, 2 kilo jeruk, dan 10 meter kain.

Jadi, nilai komoditas itu ditentukan jumlah kerja rata-rata yang digunakan untuk memproduksinya, atau
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Dilihat dari ini, maka tampaknya sebuah
pekerja yang malas akan menghasilkan komoditas yang lebih mahal dibandingkan pekerja yang rajin.
Tetapi tidak begitu! Misalnya kalau ada tukang tenun yang menggunakan teknologi usang, yang
membutuhkan waktu 5 jam untuk membuat satu meter kain. Di sampingnya ada pabrik garmen yang
memakai mesin-mesin moderen, sehingga 1 meter kain hanya butuh 5 menit kerja. Maka tukang tenun
ini harus menjual kainnya dengan harga yang sama dengan pabrik garmen, karena kalau dia menjualnya
lebih mahal tidak akan ada yang mau membelinya. Jadi, lebih tepatnya, nilai komoditas itu ditentukan
oleh jumlah kerja yang diperlukan secara sosial. Jumlah kerja ini terus berubah seiring dengan
perkembangan teknik produksi. Juga ketika kita berbicara mengenai waktu kerja yang dibutuhkan untuk
memproduksi komoditas, kita tidak hanya menghitung waktu kerja di satu pabrik saja, tetapi jumlah
total dari semua cabang industri yang terlibat di dalamnya.

Dari penjelasan singkat di atas ini, kita dapat melihat bagaimana peningkatan tingkat produksi akan
meningkatkan jumlah barang yang diproduksi. Ini juga dapat mengurangi nilai komoditas, karena kerja
yang dibutuhkan untuk setiap komoditas menjadi semakin berkurang. Kalau 10 tahun yang lalu butuh
waktu 1 jam untuk membuat sepatu, mungkin hari ini sepatu yang sama hanya membutuhkan waktu 15
menit karena teknik yang lebih maju.

Tentunya ada barang-barang yang punya nilai-guna tetapi tidak punya nilai, yakni barang-barang
berguna yang tidak membutuhkan kerja dalam memproduksinya: udara, air sungai, hujan. Oleh
karenanya kerja bukanlah satu-satunya sumber kekayaan (atau nilai-guna), tetapi juga alam. Juga ada
barang-barang yang punya nilai tetapi tidak ada nilai-gunanya, seperti barang-barang seni antik dan
langka. Namun barang-barang ini hanyalah sebagian kecil (teramat kecil) dari jumlah total komoditas
yang diproduksi di dunia sehingga mereka tidaklah memainkan peran penting di dalam ekonomi
kapitalisme.

Uang

Metode perdagangan dengan pertukaran barang atau barter menjadi semakin sulit dilakukan seiring
dengan meningkatnya frekuensi perdagangan. Oleh karenanya digunakanlah sebuah komoditas umum
yang bisa menjadi alat tukar. Selama periode berabad-abad, emas dijadikan alat tukar universal ini. Alih-
alih mengatakan bahwa sebuah barang harganya setara dengan sekian-sekian meter kain, sekian-sekian
kilo daging, dsbnya., harga barang diekspresikan dengan emas. Ekspresi uang dari nilai komoditas adalah
harga.

Emas digunakan karena kualitasnya. Dia mengkonsentrasikan nilai yang besar, mudah dibagi-bagi
menjadi koin, dan juga tahan lama. Seperti komoditas lainnya, nilai emas juga ditentukan oleh jumlah
kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Misalnya, kalau dibutuhkan waktu 100 jam untuk
menambang dan memproduksi 1 gram emas, maka 1 gram emas akan setara dengan komoditas lain
yang membutuhkan waktu kerja yang sama. Menggunakan perhitungan di atas, maka 1 gram emas
dapat memberikan kita 10 jam tangan, 20 kilo jeruk, dan 100 meter kain.

Harga Komoditas

Hukum nilai mengatur harga barang. Secara teori, nilai komoditas setara dengan harganya. Tetapi pada
kenyataan harga komoditas biasanya berfluktuasi di atas dan di bawah nilai sesungguhnya. Fluktuasi ini
ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Kalau ada surplus komoditas di pasar, maka harga
barang itu akan lebih rendah daripada nilainya. Kalau ada kekurangan, maka harganya akan naik. Tetapi
pada dasarnya kalau kita lihat harganya dalam kurun waktu yang panjang ia selalu berfluktuasi di sekitar
sebuah nilai, dan nilai ini ditentukan oleh jumlah kerja yang dihabiskan untuk memproduksi komoditas
itu. Misalnya, sebuah mobil pasti akan selalu mahal daripada sepeda.

Dari mana Laba Datang?


Kalau kita tanya seorang kapitalis dari mana dia mendapatkan labanya, dia kemungkinan besar akan
mengatakan kalau labanya di dapat dari membeli murah dan lalu menjual mahal. Tetapi ini sangatlah
keliru. Kalau semua orang melakukan ini, membeli murah dan menjual mahal, maka tidak akan ada laba
yang datang. Laba kapitalis datang dari kerja yang dilakukan oleh buruh.

Kita sudah mengatakan di atas bahwa nilai dari sebuah komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang
dibutuhkan, yakni sekian-sekian jam kerja. Seorang kapitalis yang ingin memproduksi komoditas harus
memperkerjakan buruh untuk melakukan kerja ini. Sang kapitalis mencari ini di “pasar buruh”, yang juga
sama seperti pasar komoditas. Bila ada banyak buruh, maka gaji buruh akan murah. Kalau persediaan
buruh sedikit, maka gaji buruh akan mahal.

Yang sebenarnya dibeli oleh kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya (labour) tetapi kemampuan-
kerjanya (labour power). Kemampuan-kerja adalah komoditas juga dan hukum-hukum komoditas yang
sama juga berlaku. Nilai kemampuan-kerja seorang buruh ditentukan oleh waktu-kerja yang dibutuhkan
untuk memproduksinya. Jadi nilai kemampuan-kerja seorang buruh ditentukan oleh apa saja yang
dibutuhkan untuk menjaga keberadaan, kesehatan, dan kekuatan sang buruh untuk bekerja. Contoh
konkritnya adalah bagaimana pemerintah kapitalis menghitung UMK, yakni dengan menghitung biaya
minimum untuk hidup cukup seorang buruh: cukup sandang, pangan, dan papan, dan juga cukup
reproduksi agar kelas buruh bisa kawin dan punya anak dan menjamin generasi buruh selanjutnya bila ia
mati. Nilai kemampuan-kerja ini disebut gaji.

Besaran gaji tiap-tiap daerah dan negara berbeda-beda, tergantung dari banyak faktor. Misalnya di
Amerika. karena perjuangan buruh yang lebih lama dan juga karena tingkat produksi yang lebih tinggi
(dan banyak faktor historis lainnya), maka gaji buruh di sana lebih tinggi. Ini karena pabrik-pabrik dan
tempat-tempat kerja di Amerika sangat canggih sehingga membutuhkan buruh terdidik. Buruh Amerika
harus diberi gaji yang cukup supaya mampu bersekolah tinggi. Berbeda dengan di India misalnya, yang
mana tidak dibutuhkan buruh terdidik, sehingga gajinya rendah. Tetapi pada dasarnya gaji secara umum
tetap merupakan nilai minimum untuk mempertahankan keberadaan sang buruh. Dengan globalisasi,
justru sekarang gaji buruh Amerika semakin tertekan karena persaingan dengan buruh India. Bila
kapitalis Amerika dapat memberikan gaji India kepada buruh Amerika, ia akan melakukan ini. Tetapi
tidak semudah itu karena kapitalis Amerika akan menghadapi perlawanan buruh yang sengit.

Penindasan kaum buruh datang dari kenyataan bahwa dia menjual kemampuan-kerjanya. Setelah
menjualnya, kaum kapitalis dapat menggunakan kemampuan-kerja si buruh sesuka hati. Kemampuan-
kerja adalah sebuah komoditas yang unik. Ia dapat menghasilkan nilai baru yang lebih daripada nilainya
sendiri.

Mari kita ambil contoh seorang pekerja pabrik sepatu. Ia digaji Rp 50.000 untuk bekerja satu hari (8
jam). Setelah bekerja 4 jam, dia dapat menghasilkan sepasang sepatu yang memiliki nilai Rp 200.000.
Nilai ini terdiri dari: bahan baku Rp 130.000, depresiasi mesin dan lain lain Rp 20.000, dan nilai baru Rp
50.000.

Dalam waktu 4 jam sebenarnya kaum kapitalis telah balik modal. Ia telah mendapatkan nilai baru yang
cukup untuk membayar gaji sang buruh untuk satu hari. Tetapi ia telah membeli kemampuan-kerja sang
buruh selama satu hari penuh, selama 8 jam. Dalam 4 jam berikutnya sang buruh memproduksi satu
pasang sepatu lagi, dan menciptakan nilai baru sebesar Rp 50.000. Inilah nilai-lebih (surplus value) yang
didapati oleh sang kapitalis. Dari sinilah kaum kapitalis mendapatkan profit. Ini yang disebut Marx
sebagai kerja buruh yang tak dibayar.

Rahasia dari nilai-surplus atau laba kapitalis adalah buruh terus bekerja walaupun dia sudah
memproduksi nilai yang cukup untuk menjaga kebutuhan hidupnya (atau membayar gajinya). Teknik
produksi hari ini sebenarnya sudah memungkinkan buruh untuk hanya bekerja selama kurang dari 8 jam
untuk mencukupi kebutuhannya, tetapi justru buruh masih diharuskan bekerja lebih dari 8 jam (sampai
bahkan 12 jam) sehari untuk mendapatkan gaji minimum. Inilah rahasia dari laba sang kapitalis. Untuk
terus meningkatkan labanya, kaum kapitalis harus terus menurunkan pengeluaran gajinya dengan:
memperpanjang hari kerja, meningkatkan produktivitas mesinnya, dan menahan atau menurunkan gaji
buruh (atau memperparah kondisi kerja buruh).

Krisis over-produksi

Salah satu kontradiksi utama dari ekonomi kapitalisme adalah bahwa kelas pekerja sebagai konsumen
tidak dapat membeli semua komoditas yang mereka produksi. Ini karena, seperti yang sudah dijelaskan
di atas, buruh tidak menerima nilai penuh dari kerjanya. Kapitalis mencoba menyelesaikan kontradiksi
ini dengan mengambil nilai-lebih ini dan menginvestasikannya ke dalam mesin-mesin, guna
meningkatkan produktivitas lebih lanjut. Tetapi ini hanya menyiapkan krisis over-produksi yang lebih
parah. Dengan mesin yang lebih produktif berarti semakin banyak komoditas yang tidak dapat dibeli
oleh buruh. Kaum kapitalis juga mencoba menghambur-hamburkan nilai-lebih ini dengan membangun
bangunan-bangunan megah. Inipun tidak cukup untuk menghabiskan nilai-lebih yang diproduksi buruh.
Lalu tentu juga mereka juga mencoba mengekspor kapital dan komoditas lebih ini ke luar negeri, seperti
yang dilakukan tiap-tiap negara. Namun bumi ini bulat, bukan satu lapang luas tak terbatas. Pasar dunia
ada batasannya dan dengan segera habis pula jalan keluar ini. Metode lain yang digunakan oleh kapitalis
adalah memberi kredit kepada rakyat pekerja agar bisa membeli produk-produk ini. Namun kredit hanya
menunda krisis over-produksi. Kredit pun harus dibayar dengan bunga, dan justru memperparah krisis di
hari depan.

Inilah mengapa kapitalisme selalu mengalami siklus boom-and-bust. Kapitalisme yang menjulang tinggi
lalu menukik jatuh. Terlalu banyak komoditas yang tidak bisa dijual. Akibatnya pabrik-pabrik harus
ditutup karena tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak komoditas. Justru semakin banyak buruh
yang tidak punya penghasilan, dan semakin tidak bisa membeli komoditas yang berlebihan ini. Dan terus
menerus dalam pusaran ke bawah yang tiada hentinya ini. Pada akhirnya, buruhlah yang harus
menanggung beban dari krisis over-produksi ini. Kaum kapitalis dapat menutup pabrik selama setahun
dan masih hidup mapan. Buruh yang tidak bekerja satu tahun akan berakhir di kolong jembatan, atau
bahkan mati.

Sungguh sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak masuk akal lagi ketika krisis terjadi akibat terlalu
banyak komoditas yang diproduksi, ketika satu-satunya cara untuk keluar dari krisis ini adalah menutup
pabrik, atau dalam kata lain menghancurkan alat-alat produksi. Sungguh ia adalah sebuah sistem yang
boros dan barbar. Hanya dengan melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi maka
masyarakat dapat keluar dari kegilaan kapitalisme. Dengan menyita pabrik-pabrik dan bank-bank dari
tangan kapitalis, buruh dapat menjalankan ekonomi dengan terencana. Kekuatan besar ekonomi ini
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Adalah sebuah skandal ketika dapat terjadi krisis
over-produksi di dunia yang penuh kemiskinan dan kesengsaraan. Kaum kapitalis dan sistemnya sudah
terbukti gagal, bukan hanya sekali tetapi berulang kali. Satu-satunya hal yang kurang adalah kekuatan
buruh yang dapat menyapunya dan menggantikannya.

Revolusi sosialis masihlah merupakan tugas terbesar umat manusia, terutama tugas terbesar dari satu-
satunya kelas yang dapat memimpinnya: kelas buruh. Kalau tidak ditumbangkan dengan sadar dan
secara revolusioner, kapitalisme akan membawa kita ke barbarisme. Jadi pilihan kita adalah: Barbarisme
atau Sosialisme. Buruh yang terlengkapi dengan senjata pemahaman Marxisme akan dapat membawa
umat manusia ke Sosialisme.

***
Bagian I: Materialisme Dialektis

Bagian II: Materialisme Historis

Bagian III: Ekonomi Marxis

Bergabunglah dengan Perhimpunan Sosialis Revolusioner!

Form Pendaftaran

Nama

Email

Telepon / WA

Domisili

Ingin bergabung?

Mengapa kamu ingin bergabung dengan PSR?

Security

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com

Switch to desktop site

Anda mungkin juga menyukai