Anda di halaman 1dari 7

TEORI POLITIK

ANALISIS PERBEDAAN ANTARA TEORI STRUKTUR SOSIAL EMILE DURKHEIM


DENGAN TEORI PERJUANGAN KELAS KARL MARX

(Relevansi Teori Dalam Pengembangan Ilmu Politik)


Oleh: Andika Jaka
ABSTRAK
Banyak teori-teori yang telah berkembang mengenai kehidupan sosial dalam
masyarakat yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh sosiologi. Salah satu dari teori-teori
sosial tersebut ada teori struktur sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dengan teori
perjuangan kelas Karl Marx, dimana kedua teori tersebut muncul dari kondisi kehidupan
masyarakat pada saat itu. Pada teori struktur sosial lebih menekankan pada cara bagaimana
individu hidup bermasyarakat dengan adanya norma, nilai, aturan sehingga menciptakan
tatanan kehidupan sosial lebih teratur. Sedangkan dalam teori perjuangan kelas lebih
menekankan pada persamaan antar kelas, dimana menuntut adanya kehidupan bermasyarakat
tanpa adanya perbedaan golongan/kelas. Kedua teori sosiologi tersebut, mempunyai hubungan
keterkaitan/ relevansi terhadap perkembangan ilmu politik, dimana kedua teori tersebut
sebenarnya berkaitan dengan konsep kekuasaan.

A. Teori Struktur Sosial Emile Durkheim


Emile Durkheim merupakan salah satu tokoh sosiologi klasik dari perancis. Salah satu
sumbangan pemikiran Emile Durkheim dalam ilmu sosiologi adalah teori struktur sosial,
pemikiran Durkheim mengenai struktur sosial ini terinspirasi dan dilandasi oleh dua pemikiran
tokoh lain, yaitu Thomas Hobbes dan Charles Darwin. Dalam salah satu buku karangan Thomas
Hobbes menerangkan bahwa manusia dapat menjadi halangan atau musuh bagi sesamanya,
dalam hal ini manusia disebut sebagai homo homini lupus. Dan kondisi sosial pada saat itu
berhubungan dengan adanya Revolusi Perancis dan Revolusi Inggris. Oleh karena itu Emilie
Durkheim berpandangan bahwa diperlukannya sebuah struktur sosial yang dapat membentuk
sebuah tatanan sosial yang tertib, rasional, dan moral.

Teori struktur sosial merupakan, salah satu teori yang lahir atas fenomena yang terjadi
dimasyarakat. Fenemona sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan suatu
interkasi antara manusia dengan lingkungan alam. Bahkan hubungan antara manusia dengan
sang penciptanya. Hal ini mengingat bahwa manusia merupakan sebagai makhluk sosial yang
tidak bisa lepas dari antar keterkaitan manusia yang satu dengan satunya.
Emile Durkheim berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan
nilai-nilai dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya melalui
proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan kehidupan sosial mereka.[1]
Disini Emile Durkheim pada tingkat analisa struktur sosial menekankan pada analisa mengenai
hasil-hasil dari tindakan sosial yang obyektif terlepas dari motif-motif subyektif, serta minatnya
pada penelitian mengenai dasar-dasar keteraturan sosial, merupakan elemen-elemen utama dalam
teori fungsional masa kini.[2]
Emile Durkheim juga telah mengungkapkan bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia
dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, kemudian
ditekankan melalui sosialisasi dengan melalui proses tindakan sosial manusia secara kolektif
belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku. Hal ini kemudian disebut oleh Durkheim
dengan Fakta Sosial.
Fakta Sosial menurut Emile Durkheim terletak pada bagian eksternal dan mengendalikan
individu-individu. Meski tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan itu nyata bagi individu yang
perilakunya ditentukan oleh fakta sosial tersebut. Ini kemudian membuat Durkheim berpendapat
bahwa masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.
Menurut Durkheim, sifat struktur diberikan kepada warga masyarakat sejak mereka lahir,
sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari realitas fakta
sosial yang sama bersifat eksternal dan menghambat individu. Kita tidak memilih untuk
meyakini sesuatu yang kita yakini kini atau memilih tindakan yang kita ambil sekarang. Aturanaturan kebudayaan yang sudah ada yang menentukan gagasan dan perilaku kita melalui
sosialisasi individu dalam masyarakat.

B. Teori Perjuangan Kelas Karl Marx

Sepert Adam Smith yang telah berbicara mengenai si miskin atau kelas pekerja, di
dalam karya Marx dan Engels, terdapat tentang kelas kapitalis yang hidup diantara kelas
pekerja dan kelas si kaya. Dalam artian di dalam Kapitalisme terdapat dua golongan yaitu
golongan dari kelas borjuis dengan golongakn dari kelompok Proletar.
Berdasarkan kenyataan di atas, kedua kelas tersebut yaitu antara kelas poletariat dan
bourgeois memiliki fungsi sosial yang berbeda-beda. Di mana kelas borjuis memiliki alat-alat
produksi dan menguasai proses pengeluaran secara keseluruhannya, sedangkan kelas proletariat
pula dianggap sebagai objek dalam proses pengeluaran dengan menjual tenaga kerja mereka
dan mengenakan gaji atau upah yang rendah (McLellan 1977: 176).[3] Inilah yang kemudian
Karl Marx memunculkan konsep teori perjuangan kelas.
Menurut Karl Max kelas-kelas yang memiliki kesadaran diri, memerlukan sejumlah
kondisi tertentu untuk menjamin kelangsungannya, yaitu mereka memerlukan adanya suatu
jaringan komukasi di antara mereka, seperti pemusatan massa rakyat serta kesadaran akan
adanya musuh bersama dan adanya bentuk organsisasi yang rapi.
Organisasi ini dapat berupa serikat-serikat buruh atau serikat-serikat kerja lainnya
untuk mendesak upah yang lebih tinggi, perbaikan kodisi kerja, dan sebagainya. Akhirnya
organisasi kelas buruh ini akan menjadi cukup kuat bagi mereka untuk menghancurkan seluruh
struktur sosial kapitalis dan menggantikan dengan struktur sosial yang menghargai kebutuhan
dan kepentingan umat manusia seluruhnya yang diwakili oleh kelas proletar.
Dalam pemikiran sosio-politik Marxis, diktator proletariat merujuk pada negara sosialis
di mana kaum proletar atau kelas burh memegang kekuasaan politik. Ini seusai penghancuran
kapitalisme dengan paksa, dan setelah perebutan kekuasaan yang didominasi kapitalis, maka
masyarakat akan masuk dalam suatu masa yang disebut masa transisi. Dalam masa ini akan
muncul suatu kelas baru yakni kelas proletar yang tidak hanya menentang kelas borjuis atau
pemilik modal, tetapi juga bertujuan untuk merebut kekuasaan dari kelas borjuis. Kemudian,
nantinya kelas proletar akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengatur masyarakat serta
segenap aspek faktor-faktor produksi.
Setelah masa transisi berlalu, maka akan muncul masa diktator proletariat, yaitu
merupakan suatu masa dimana kekuasaan dan semua aspek produksi yang dikuasai oleh kaum
proletar yang dipertahankan dengan cara membentuk partai tunggal yang menjadi satu-satunya
cara untuk merebut suatu kekuasaan, yaitu partai komunis. Demi mempertahankan keadaan-

keadaan yang telah diraih lewat revolusi kaum proletar tersebut, maka Marx mensyaratkan partai
komunis yang dibentuk oleh kaum proletar itu haruslah menjadi partai yang diktator. Oleh karena
itu, partai-partai yang menganut komunis selalu bersifat radikal, karena mereka menuntut adanya
sebuah revolusi.
Menurut Karl Marx, pada masa diktator proletariat, sarana-sarana produksi yang telah
dikuasai tersebut, diarahkan oleh kaum proletar untuk pemerataan kesejahteraan bersama. Dalam
kondisi seperti ini, kelas pekerja tidak lagi mengalami alienasi, karena hasil-hasil kerjanya
ditujukan tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, tetapi juga untuk tujuan bersama,
yaitu kesejahteraan bersama atau kesejahteraan masyarakat.
Marx berpendapat, dalam kondisi semacam itu para pekerja jauh lebih mengenali hasil
kerja mereka. Para pekerja juga jauh memahami mengapa pekerjaan mereka harus dijalankan,
untuk apa hasil kerja mereka, dan cita-cita besar apakah yang berada di balik semua aspek
produksi yang mereka lakoni.
Selanjutnya, diktator proletariat akan diarahkan menuju sistem sosial atau masyarakat
yang memiliki tatanan sosial baru. Di dalam tatanan sosial tersebut, kelas-kelas di dalam
masyarakat telah dihapuskan. Dlam artian, pada sistem produksi, sudah tidak ada lagi pembagian
kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar. Di dalam masyarakat yang memiliki tatanan baru
tersebut, karena segenap aspek produksi dikuasai secara bersama dan diorientasikan untuk
kesejahteraan bersama, maka setiap orang akan bekerja menurut batas kemampuannya, dan akan
diberi menurut kebutuhannya.
Dengan kekuasaan yang sangat dipengaruhi oleh partai komunis yang diktator inilah
kaum proletar mengambil-alih segenap aspek produksi, dengan menjalankan sistem
pemerintahan, serta menerapkan sistem ekonomi sosialis di dalam suatu negara sosialis ataupun
negara komunis.
Pada akhirnya, ketika masyarakat dengan tatanan baru tersebut tercipta, dan tatanan
baru tersebut telah bisa dijalankan dengan baik oleh masyarakat, maka menurut Marx secara
perlahan-lahan keberadaan negara ditiadakan. Negara yang telah lenyap itu berganti dengan
lahirnya masyarakat komunis, atau yang populer di kalangan sosialis sebagai masyarakat
tanpa kelas.
Sehubungan dengan itu, Karl Marx dalam teori konfliknya mengungkapkan bahwa
konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara dua kelompok didalam masyarakat,

yaitu kelompok borjuis dengan kelompok proletar. Kelas borjuis mempunyai kepentingan untuk
mencari keuntungan yang sebesar besarnya dengan cara menghasilkan komoditas yang
sebanyak-banyaknya yang diikuti dengan menekan biaya produksi sekecil mungkin. Cara yang
dilakukan untuk menghasilkan komoditas yang sebanyak-banyaknya tersebut adalah dengan
cara menambah jam kerja bagi para buruh atau keum proletar, sehingga mampu menghasilkan
komoditas yang lebih banyak. Sedangkan cara yang digunakan untuk mencapai biaya produksi
seminim mungkin adalah dengan cara menekan upah buruh tersebut. Sedangkan disisi lain kelas
proletar menginginkan upah yang cukup bagi kebutuhan hidupnya dan juga jam kerja yang tidak
terlalu padat sehingga tetap dapat bersosialisasi dalam kehidupan lingkungan sosialnya. Jadi,
disini telah terlihat jelas antara kelas borjuis dan kelas proletar mempunyai perbedaan
kepentingan yang sangat bertolak belakang.
Marx melihat bahwa dasar dari terjadinya sebuah konflik adalah karena adanya sebuah
bentuk penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis terhadap kelas proletar atau kaum buruh.
Penindasan itu bisa berupa upah yang tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarakan untuk
melakukan proses produksi, atau jam kerja yang diterapkan kelas borjuis terlalu tinggi.
Maka dari itu, Karl Marx berpandangan bahwa hanya dengan cara revolusi, kaum
buruh bisa bebas terhadap penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis. Hal itu dalam artian
bahwa dalam melalui revolusi, nantinya akan menghapuskan kelas antara kedua golongan
masyarakat tersebut.
Kemudian revolusi proletariat itu akan menghasilkan sebuah kemenangan bagi kelas
proletar. Kelas proletar akan mengambil alih alat-alat produksi yang selama ini hanya dimiliki
oleh kelas borjuis. Dengan keadaan seperti ini tidak ada lagi penindasan yang terjadi oleh karena
kepemilikan alat produksi telah menjadi kepemilikan bersama sehingga semua orang mempunyai
kesempatan yang sama untuk menggunakannya. Kemenangan kelas proletar ini akan
menyebabkan terbentuknya sistem yang baru yaitu diktator proletariat. Yaitu bagaimana
kepemimpian dalam bidang ekonomi maupun politik akan diambil alih oleh kelas proletar.
Kondisi ini akan menciptakan sebuah keadaan yang selaras dan tidak ada konflik lagi yang
terjadi mengenai kesenjangan golongan sosial tersebut, atau sudah terciptanya masyarakat tanpa
kelas.

C. Analisis Perbedaan Teori Struktur Sosial dan Perjuangan Kelas serta Hubungan dalam
Perkembangan Ilmu Politik
Melihat dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui tentang perbedaan, persamaan, dan
hubungan antara teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, serta relevansi teori-teori tersebut
dengan pengembangan Ilmu Politik. Teori-teori tersebut berasal dari antara pemikiran Emile
Durkheim dan Karl Marx.
Dalam teori Struktur Sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, struktur sosial
yang dimaksud adalah struktur sosial yang lebih ke arah bagaimana cara masing-masing
individu menjalankan kehidupan sosial mereka dengan adanya struktur sosial yang berupa
seperti nilai, norma, dan aturan-aturan demi tercapainya ketertiban atau keteraturan sosial.
Teori struktur sosial yang dikemukakan Emile Durkheim, berbeda dengan teori apa yang
dikemukakan oleh Karl Marx dengan teori perjuangan kelasnya. Karl Marx dapat menganalisa
lebih dalam dengan aktivitas kehidupan sosial yang terjadi disekitarnya saat itu. Dapat juga
dikatakan bahwa teori Karl Marx lebih ke status dalam pengklasifikasian masyarakat, sedangkan
teori Emile Durkheim berorientasi pada bagaimana sistem Individu/kelompok dalam menjalani
interaksi sosial. Dimana Karl Marx menjelaskan kelas sosial atau golongan sosial lebih kepada
perbedaan hierarkis/vertikal antara individu atau kelompok dalam masyarakat dan budaya.
Berdasarkan klasifikasi/stratifikasi sosial, ini akan menimbulkan pembagian kelas atau golongan
dalam nasayrakat.
Pada teori perjuangan kelas Marx menentang adanya sistem Kapitalis, dimana saat itu
terjadi pengelompokan kelas-kelas sosial antara kaum pemilik dengan kaum buruh. Hal semacam
ini sebenarnya sudah ada pada saat zaman feodal, tapi muncul kembali pada saat adanya
Kapitalisme. Di dalam Kapitalisme, terdapat pembagian golongan atau kelompok masyarakat,
yaitu kaum borjuis dan kaum prroletar. Kaum borjuis yang memiliki alat-alat produksi dan
menguasai hasil proses produksi yang dihasilkan. Sedangkan kaum/kelas proletar hanya sebagai
objek yang bertujuan untuk bertugas menghasilkan produk dengan jumlah yang banyak dengan
menjual tenaga kerja yang dimiliki. Sehingga Karl Marx melihat hal tersebut adalah sebuah
penindasan terhadap kaum proletar.
Kemudian bicara mengenai perubahan sosial, menurut Emile Durkheim bahwa perubahan
sosial itu bersifat negatif. Berbeda dengan pandangan Karl Marx yang mengemukakan bahwa
perubahan sosial adalah sesuatu yang bersifat positif. Emile Durkheim berpandangan bahwa

suatu perubahan sosial yang terlalu cepat atau dengan cara revolusi nantinya akan dapat
menyebabkan suatu keadaan disequilibrium atau ketidak seimbangan dalam kehidupan sosial
selanjutnya. Tipe perubahan sosial Emile Durkheim yang baik adalah perubahan sosial yang
bersifat lamban atau evolusioner. Sebaliknya, Karl Marx menganggap bahwa perubahan sosial
baik jika dilakukan dengan cara revolusioner.
Dan dari kedua teori ini, relevansi terhadap pengembangan ilmu politik salah satunya
adalah relevam dengan konsep kekuasaan politik. Seperti dalam teori perjuangan kelas, dimana
terdapat dua golongan yaitu kaum borjuis dengan kaum proletar. Kaum borjuis merupakan
kelompok penguasa atau pemilik modal, sehingga dapat dengan mudah mempengaruhi,
menekan, dan memerintah kepada kaum proletar dengan meningkatkan jumlah produksi dan
menekan gaji atau upah dari para buruh tersebut. Sedangkan para kaum proletar tidak memiliki
kemampuan untuk itu, sehingga kaum proletar/kaum buruh merasa teralienasi oleh pekerjaannya
sendiri, seperti apa yang dikemukakan oleh Karl Marx dengan teori Alienasi atau keterasingan.
Hal tersebut juga merujuk pada konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Robert Dahl,
yaitu dimana (A) memiliki kekuasaan atas (B). Apabila (A) dapat mempengaruhi (B) untuk
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh (B).[4] Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan, pengaruh yang dimiliki untuk
mempengaruhi perilaku orang lain sehingga perilaku yang dipengaruhi tersebut sesuai apa yang
diinginkan oleh yang mempengaruhi.

Anda mungkin juga menyukai