2. Dalam pada itu, kita mendapati adanya ketegangan (tension) di dalam Marxisme,
bahkan sejak Marx, tentang konsepsi tentang ketidakadilan itu sendiri. Me-ngonceki
habis kapitalisme, di satu sisi Karl Marx tidak pernah menyatakan secara eksplisit
bahwa kapitalisme tidak adil. Alih-alih, bersama dengan koleganya, Frederick Engels,
Marx mengagumi kapitalisme sebagai formasi ekonomi-politik yang progresif (lihat
misalnya dalam Manifesto Komunis, 1848). Kapitalisme menggantikan feodalisme,
mendorong demokrasi (liberal), dan mengembangkan tenaga-tenaga produktif yang
memungkinkan penciptaan sekaligus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia.
5. Marx yakin, “kebodohan tidak menolong siapapun.” Alternatif bagi Sosialisme Utopis
adalah Sosialisme ilmiah, yang mendasarkan diri pada pemahaman tentang dinamika
sosio-historis dan “hukum-hukum” yang bekerja di dalamnya: kemunculan dan
pergantian cara-cara produksi, relasi-relasi produksi dan perkembangan tenaga-tenaga
produktif di satu sisi, serta kelas, perjuangan kelas, dan revolusi di sisi lain.
“Materialisme dialektik” (istilah yang diciptakan oleh Engels) menjadi konsepsi
materialis tentang sejarah (“Materialisme historis”, dalam istilah Kautsky, Plekhanov,
dan kaum Marxis selanjutnya). “Interpretasi” (ilmiah) atas dunia bermuara pada
program mengubah dunia (bdk Tesis XI tentang Feuerbach).
6. Dari titik pandang ini, “keadilan” terkondisi oleh formasi ekonomi. Artinya, sebagai
bagian dari “bangunan atas,” konsepsi tentang keadilan berbeda-beda sesuai dengan
2
formasi ekonomi yang menjadi bangunan bawahnya. Apa yang adil menurut pemilik
budak (dalam Masyarakat Perbudakan) tidak adil menurut si kapitalis. Apa yang adil
menurut tuan tanah (dalam Masyarakat Feodal) tidak adil menurut si kapitalis.
Kapitalisme membebaskan budak dari kepemilikan total tuan pemilik budak atas
dirinya dan membebaskan hamba sahaya dan tani bebas dari kewajiban feodal agar
dengan bebas dapat menjual kemampuan kerja mereka kepadanya.
7. Kedua, pandangan Marx tentang manusia. Marx memiliki pandangan yang tinggi
tentang manusia. Kita bisa menyimaknya dalam Economic and Philosphic
Manuscripts (1844). Baginya manusia adalah “makhluk-spesies,” yang proses
kemenjadiannya dicirikan oleh aktualisasi diri guna mencapai kebebasan penuh (dari
alam dan berbagai keterbatasannya). Terkait erat dengan itu, manusia adalah manusia-
dalam-komunitas, yang hidup dalam relasi-relasi sosial, yang terpanggil merayakan
kebebasannya sebagai manusia justru di dalam relasi-relasi tersebut. Akan tetapi,
formasi ekonomi yang eksploitatif (wabil chusus kapitalisme) telah mengalienasikan
manusia. Dalam kapitalisme, seorang buruh terhambat untuk menjadi manusia-spesies
dan menjadi manusia yang merayakan kebebasannya dalam relasi-relasi sosial.
Pasalnya, ia teralienasi (1) dari hasil (produk) kerjanya; (2) kerja itu sendiri; (3)
dirinya sendiri; dan (4) sesamanya. Alienasi atau keterasingan manusia terjadi di
dalam formasi ekonomi yang tidak adil.
8. Dalam pada itu, menurut hemat saya, dua pendekatan Marx memiliki corak etis, yakni
rasa keadilan itu sendiri. Marxisme atau Sosialisme Ilmiah, yang berpilarkan
pengembangan yang kritis atas Filsafat Klasik Jerman, Ekonomi-politik Inggris, dan
Sosialisme Prancis, memiliki motif moral, yakni berakhirnya ketidakadilan (dalam
kapitalisme) melalui pembebasan proletariat dan “penciptaan manusia baru”:
10. Marx tidai merumuskan teori tentang keadilan. Tapi ia mengembangkan kritik ganda
terhadap keadilan: (1) keadilan yang terkondisi secara sosio-historis seturut dengan
formasi ekonomi atau modus produksinya; dan (2) keadilan dari sudut pandang
proletariat selaku kelas terhisap, yang dengan menjadi aktor bagi pembebasannya
sendiri akan “menciptakan” keadilan di dalam relasi-relasi produksi yang baru.
Disampaikan dalam acara Diskusi Rabuan, Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptis.
Pdt. Rudiyanto, MTh adalah pendeta GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Yogyakarta,
serta staf pengajar di STT Abdiel dan peneliti di Pusat Studi Teologi Sosial (PSTS) STT
Abdiel, Ungaran.
3