Hukum dasar perkembangan masyarakat ialah bahwa produksi kebutuhankebutuhan material manusia menentukan bentuk masyarakat dan pengembangannya.
Fakta sederhana itu ialah bahwa manusia pertama-tama harus makan, minum, bertempat
tinggal, dan berpakaian.
Setelah itu baru mereka melakukan kegiatan politik, ilmu pengetahuan, seni,
agama, dan seterusnya. Jadi, produksi nafkah hidup material bersifat langsung. Dengan
demikian tingkat perkembangan ekonomis sebuah masyarakat atau jaman menjadi dasar
dari bentuk-bentuk kenegaraan, pandangan-pandangan hukum, seni, dan bahkan
perkembangan pandangan-pandangan religius orang-orang yang bersangkutan.
Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya
keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Pemikiran ini tidak
bertolak dari apa yang dikatakan orang, tidak dari bayangan dan cita-cita orang, juga tidak
dari yang dipikirkan orang, melainkan dari manusia yang nyata dan aktif. Dari proses
hidup nyata merekalah perkembangan refleks-refleks serta gema-gema ideologis tentang
proses hidup itu dijelaskan
Keadaan sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat. Manusia
ditentukan oleh produksi mereka: apa yang mereka produksi dan cara mereka
berproduksi. Pandangan ini disebut materialis. Disebut materialis karena sejarah manusia
dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi Marx memakai kata
materialisme bukan dalam arti filosofis, yakni sebagai pandangan/kepercayaan bahwa
seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjuk pada faktor-faktor yang
menentukan sejarah.
Faktor-faktor tersebut bukanlah pikiran melainkan keadaan material manusia dan
keadaan material adalah produksi kebutuhan material manusia. Cara manusia
menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut keadaan manusia dan
cara itulah yang menentukan kesadaran manusia. Cara manusia berpikir ditentukan oleh
cara ia bekerja.
Jadi, untuk memahami sejarah dan arah perubahannya, manusia tidak perlu
memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, melainkan bagaimana ia bekerja dan
bagaimana ia berproduksi.
Kualitas hidup ditentukan oleh kedudukannya dalam masyarakat dan keanggotaan
dalam kelas sosial tertentu sangat menentukan cara seseorang memandang dunia. Maka
kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh kedudukannya dalam kelas sosial.
Demikian juga cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas sosial; keanggotaan
menentukan kepentingan orang, dan kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan.
Maka, hidup rohani masyarakat, kesadarannya, agamanya, moralitasnya, nilai-nilai
budaya, dan seterusnya bersifat sekunder.
10
masyarakat sosialis, yaitu masyarakat tanpa kelas yang dalam bayangan Marx muncul
bagaikan matahari, bersifat otomatis[3].
12
Magnis-Suseno, Frans. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Magnis-Suseno, Frans. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. Jakarta: Diktat Kuliah Marxisme dan
Komunisme, 1977.
[1] Frans Magnis-Suseno, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, (Jakarta: Diktat kuliah Marxisme dan Komunisme STF
DRIYARKARA, 1977) hlm. 24 - 25.
[2] Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003) hlm. 135-147.
[3] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 242-244.
[4] Franz Magnis-Suseno. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hlm. 151-152
[5] Harry Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986, hlm. 73-74.
13
MARHAENISME
Sejarah Lahirnya Marhaenisme
Pada saat Soekarno berumur 20 tahun ketika beliau berada dibagian selatan kota
bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang bisa melihat para petani
bekerja mengerjakan sawahnya. Perhatian soekarno tertuju pada seorang petani yang
sedang mencangkul sawah miliknya, dia seorang diri, pakaiannya sudah lusuh, gambaran
yang khas ini dipandang sebagai perlambang.
Seorang petani ini bernama Marhaen, didalam ceritanya petani tersebut miskin
bukan karena dia itu miskin, tetapi miskin dikarenakan ada sebuah sistem yang membuat
dia miskin. Petani yang bernama Marhaen tersebut memiliki alat perlengkapan sendiri
untuk bercocok tanam, baik dari sawah yang luas, cangkul, dll. Akan tetapi kehidupan
petani ini tetap miskin, hal inilah yang menjadi sebuah keanehan dalam pikiran Soekarno.
Marhaenisme berasal dari kata Marhaen dan isme. Marhaen adalah nama seorang
petani Sunda yang dijadikan sebagai simbol rakyat melarat Indonesia. Sedangkan isme
adalah paham atau paham politik. Untuk menelusuri asal-usul penemuan kata Marhaen
dalam Marhaenisme maka perlu merujuk kepada pidato Soekarno tentang Marhaenisme
pada peringatan 30 tahun PNI pada tanggal 3 Juli 1957 yang berjudul Shaping and
Reshaping, Menggalang Massa-aksi Revolusioner Menuju Masyarakat Adil dan Makmur.
Dalam pidato tersebut, Soekarno mengawalinya dengan mendeskripsikan realitas
masyarakat Indonesia yang menderita dan sengsara akibat praktek imperialisme dan
kolonialisme sehingga dibutuhkanlah perjuangan yang berdasarkan pada kesadaran
massa dan sikap tidak bekerja sama dengan pihak imperialis. Massa-rakyat Indonesia
yang menderita dan sengsara itulah yang melahirkan istilah Marhaen dan Marhaenisme.
Menurut Soekarno, pada saat itu, Massa-rakyat Indonesia memiliki corak pekerjaan
yang berbeda-beda. Diantaranya adalah buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan
kaum melarat lainnya yang bekerja pada sektor usaha kecil. Mereka adalah kaum yang
secara langsung menerima dampak paling menyengsarakan dari penghisapan kaum
feodal bangsa sendiri dan penindasan yang dilakukan oleh kaum imperialis. Kemudian di
kalangan rakyat Indonesia saat itu, ada sebuah istilah populer dari Eropa Barat yang
digunakan untuk menggambarkan seluruh massa-rakyat Indonesia yang berbeda-beda
corak pekerjaannya yaitu proletar. (Ir. Soekarno, Shaping and Reshaping : Menggalang
Massa Aksi Revolusioner Menuju Masyarakat adil dan Makmur. Jakarta : Cipta Lestari,
1999. hal 16).
Namun hal tersebut disangkal oleh Soekarno karena perkataan proletar dinilai tidak
mewakili kaum melarat Indonesia
Menurut Soekarno, proletar adalah buruh yang bekerja menjual tenaganya, dengan
tidak memiliki alat-alat produksi. (Di dalam Manifesto Partai Komunis yang dituliskan
oleh Karl Marx dan Engels pada tahun 1848, proletar adalah buruh yang tidak mempunyai
alat-alat produksi dan yang menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi. Proletar
adalah kelas buruh modern yang digunakan sebagai senjata oleh kaum kapitalis untuk
menumbangkan feodalisme. Kemudian oleh Marx dan Engels dikatakan bahwa proletar
menjadi senjata makan tuan yang menyerang balik kaum kapitalis karena prakteknya
yang memisahkan proletar dari kepemilikan terhadap alat-alat produksi.)
14
Apa sebab saya memakai perkataan Marhaen, tak lain tak bukan, ialah oleh
karena saya pada suatu hari berjalan-jalan di sawah Kiduleun Cigalereng, saudarasaudara, saya berjumpa dengan seorang-orang yang sedang memacul disana, saya
bertanya kepadanya. Saudara, tanah ini siapa punya? Gaduh abdi. Jadi dia ikut
memiliki alat-alat produksi, sawah ini ia punya. Ini pacul siapa punya? Gaduh abdi.
Alat-alat ini, siapa punya? Gaduh abdi. Tetapi saudara, engkau hidup miskin. Betul
saya hidup miskin. Saya pada waktu itu berpikir, ini orang jelas dan tegas bukan
proletar. Ia jembel, ia miskin, ia papa sengsara, ia kekurangan hidup, tetapi ia bukan
proletar, oleh karena dia tidak menjual tenaganya kepada orang lain, dengan ikut
memiliki alat-alat produksi. Sawahnya, milik sendiri, paculnya milik sendiri. Aritnya
milik sendiri. Garunya, milik sendiri. Segala apa-apanya milik sendiri. Hasil daripada
sawahnya ini untuknya sendiri. Tetapi ia jembel, ia miskin. Ia bukan proletar, dia
adalah seorang petani kecil, tani sieur, kata saya pada waktu itu, tani gurem, dia
bukan proletar. Pada waktu itulah saudara-saudara, saya Tanya kepadanya: nama
saudara siapa? Heh, abdi marhaen.
Sementara jutaan rakyat Indonesia pada saat itu bukanlah buruh dan tidak menjual
tenaganya kepada orang lain. Banyak rakyat Indonesia yang bekerja dengan alat-alat
produksinya sendiri seperti kaum tani, pedagang kecil, nelayan, dan lain sebagainya akan
tetapi kehidupan mereka tetap miskin namun mereka tidak tepat jika dikatakan sebagai
proletar. Oleh karena itu, Soekarno mengintegrasikan massa-rakyat Indonesia yang
melarat tersebut kedalam Marhaen bukan proletar, karena proletar sendiri telah masuk
kedalam istilah Marhaen.
Marhaenisme Sebagai ide dan Gagasan
Perjalanan Indonesia pernah mengalami kondisi yang sangat menyakitkan bagi
rakyatnya. Saat itu merupakan masa penjajahan, sistem yang diterapkan pada masa itu
adalah imperialisme. Imperialisme ini merupakan sistem penyebaran kekuasaan. Dengan
menyebarkan kekuasaan tersebut negara yang kuat akan mendapatkan keuntungan
ekonomi, wilayah, dan tenaga kerja. Pada masa imperialisme ini Indonesia dibawah
kekuasaan Belanda dan Jepang.
Kondisi rakyat Indonesia pada masa itu sangat menyedihkan, mulai dari status
social sampai pada pendidikan. Saat itu rakyat Indonesia berada pada kasta paling
bawah. Kasta tertinggi saat itu adalah bangsa eropa kemudian pedagang asia dan yang
terakhir baru rakyat Indonesia.
Melihat kondisi itu Soekarno melihat bahwa masyarakat itu terbagi atas dua
golongan yaitu golongan terjajah dan golongan penjajah. Golongan terjajah merupakan
masyarakat yang menjadi korban imperialisme, sedangkan golongan penjajah itu
merupakan golongan yang menerapkan sistem imperialisme. Dari kondisi ini Soekarno
mempunyai gagasan untuk merespon fenomena tersebut. Gagasan dan ide itu adalah
marhaenisme.
Marhaenisme berasal dari kata marhaen yang mempunyai makna kaum miskin
yang tertindas oleh sistem dan isme yang mempunyai arti sebagai faham. Jadi menurut
kata-kata itu marhaenisme adalah faham kaum miskin, faham yang digunakan untuk
15
tentang Marhaen dan Marhaenisme. Pidato tersebut juga dijadikan keputusan dalam
konferensi Partindo yang terdiri dari Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme.
Tesis-tesis tersebut antara lain:
1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan
kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena
perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh
perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum
yang melarat tidak termaktub didalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat
Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagianbagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
5. Didalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum
proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan
susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus
suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki
hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan
Marhaenisme
Nilai-nilai Marhaenisme
Didalam marhaenisme terdapat tiga nilai yang disebut sebagai trisila yang harus
diwujudkan, yaitu :
1. Sosio Nasiolalisme
Sosio nasionalisme merupakan faham kebangsaan yang menekankan pada
kemanusiaan. Sosio mempunyai arti sebagai kemanusiaan sedangkan
nasionalisme merupakan faham kebangsaan. Jadi sosio-nasionalisme adalah satu
asas kehidupan rakyat Indonesia yang berdasarkan nasionalisme Indonesia.
Soekarno berpendapat bahwa nasionalisme harus dilandasi oleh rasa cinta
terhadap manusia dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, ras, maupun
agama, sehingga nasionalisme Indonesia tidak akan pernah bersifat chauvis,
melainkan humanis. Dari nilai ini terkandung ajaran tentang hidup berbangsa dan
bernegara, dimana dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak dipandang sebagai
kehidupan atas dasar ras, agama, suku, dll. Akan tetapi hidup berbangsa dan
beragama merupakan kehidupan sosial akibat dari tujuan dan keinginan yang
sama, yaitu keinginan untuk kemakmuran, keselarasan, kedamaian, keadilan dan
kesejahteraan.
17
2. Sosio Demokrasi
Sosio demokrasi adalah satu asas kehidupan rakyat yang berdemokrasi gotong
royong, yaitu suatu demokrasi yang bersumber dari kepribadian rakyat Indonesia,
demokrasi yang memberikan keselamatan pada seluruh rakyat Indonesia. Sosio
demokrasi dapat diartikan pula sebagai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
ala Indonesia. Demokrasi politik yang dimaksud dengan konsep ini adalah
terciptanya sistem politik yang mampu untuk menampung dan mewujudkan
kebutuhan setiap rakyat Indonesia, baik dilihat dari sektor-sektor masyarakat
sampai pada ideologi masyarakat. Semua sektor dan ideologi ini harus mampu
untuk diwujudkan cita-citanya dengan sistem politik keterwakilan. Sistem demokrasi
ekonomi yang dimaksud disini adalah sistem ekonomi yang mampu untuk
menciptakan dan mewujudkan segala kebutuhan rakyat Indonesia sehingga rakyat
akan menjadi makmur dan sejahtera. Sistem ekonomi ini bukan sistem ekonomi
yang hanya dilihat perkembangannya melalui kenaikan pendapatan perkapita, akan
tetapi sistem ekonomi yang dilihat perkembangannya melalui kenaikan atas
kemakmuran rakyatnya, kenaikan atas kesejahteraan rakyatnya, sistem ekonomi
inilah yang dimaksud dengan sistem ekonomi kerakyatan. Dalam menerapkan
sistem demokrasi ini baik itu demokrasi ekonomi atau politik, yang harus
ditekankan adalah pada keadilan demokrasinya, sehingga akan mencerminkan
demokrasi negara yang merdeka dan berdaulat.
3. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pondasi dari dua asas diatas (sosionasionalisme dan sosio demokrasi), sebagai unsur spiritual guna membimbing
kedua sosio tersebut. Dalam asas ini menekankan bahwa setiap warga negara
Indonesia hendaknya mempunyai agama atau ber-ketuhanan yang maha esa.
Agama yang dimaksud bukan pada satu atau condong pada suatu agama,
melainkan menekankan bahwa semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk
saling menghormati dan menyayangi sesama manusia. Perbedaan setiap agama
hanya berbeda pada tata cara mereka beribadah akan tetapi semua agama
memiliki tujuan yang sama. Oleh sebab itu hendaknya kita saling menghormati atas
kemerdekaan beragama lain.
Itisari
Di dalam Sembilan tesis mengenai Marhaen dan Marhaenisme, disebutkan bahwa
Marhaenisme yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi17. Dalam beberapa pidato
dan tulisan-tulisan Soekarno pun sering disinggung mengenai sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi. Bahkan di dalam pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka
Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 dikatakan Soekarno:
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara Tanya kepada saya,
apakah perasan yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia,
ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang
pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan
18
saya peras menjadi satu; itulah yang dahulu saya namakan sosio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan barat, tetapi politiek-eckonomische democratie, yaitu
politiek democratie dengan sociale rechtvardigheid, demokrasi dengan
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan
socio-democratie. (Ir. Soekarno, Lahirnja Pantja-Sila dalam Tudjuh Bahan Pokok
Indoktrinasi. Jakarta: Departemen penerangan Republik Indonesia, 1964, hal. 2829 )
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Sosio-nasionalisme dan Sosiodemokrasi merupakan konsep penting dalam pemikiran Bung Karno. Mulai dari
Marhaenisme sebagai ideologi memaktubkan istilah Sosio-nasionalisme dan Sosiodemokrasi hingga Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia pun memiliki
kaitan erat dengan Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sebelum menjelaskan
istilah tersebut, perlu dikaji konteks historis Soekarno melahirkan Sosio-nasionalisme dan
Sosio-demokrasi.
Menurut Soekarno, demokrasi adalah cara pemerintahan rakyat dimana cara
pemerintahan tersebut memberikan hak kepada rakyat untuk ikut dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dan cara pemerintahan tersebut dikatakan Soekarno menjadi cita-cita
semua partai-partai nasionalis di Indonesia saat itu Namun Soekarno menganjurkan agar
kaum Marhaen jangan hanya meniru secara bulat konsep demokrasi yang berkembang di
Eropa Barat saat itu Alasan Soekarno tersebut memiliki dasar yang kuat dan jelas. Sebab
paham demokrasi berkembang setelah meletusnya Revolusi Perancis tahun 1789 yang
membawa perubahan siginifikan dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan yang paling mendasar adalah digantikannya sistem otokrasi (monarki
absolut) yang feodalistis dengan kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) berada di
tangan raja kepada demokrasi yang liberalistis dengan mengembalikan kekuasaan
kepada rakyat. Melalui sistem demokrasi, rakyat mendapatkan kebebasan atas jeratan
kekuasaan raja yang otoriter pada saat itu. Namun, yang perlu dipahami bahwa
demokrasi yang bersifat liberalistis tersebut hanya menguntungkan kelas tertentu saja,
yakni kaum borjuis atau kaum pemilik modal. Kebebasan rakyat baik kaum pemilik modal
(borjuis) maupun kaum buruh (proletar) memang dijamin dalam bidang politik seperti hak
untuk ikut menyelenggarakan pemerintahan ataupun masuk kedalam parlemen. Akan
tetapi dalam bidang ekonomi tetap terjadi diskriminasi antara kedua kelas tersebut. Di
saat kaum buruh merasakan persamaan di dalam urusan politik, di saa itu juga kaum
buruh menjadi tenaga bayaran dalam urusan ekonomi yang dapat diberhentikan atau
dipecat kapan saja oleh kaum pemilik modal. Dikatakan Soekarno bahwa demokrasi yang
berlandaskan liberalisme hanyalah menciptakan kepincangan dalam struktur masyarakat.
Demokrasi dalam bidang politik memang dijalankan akan tetapi tidak diikuti juga oleh
demokrasi ekonomi (Ir.Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta : Panitia
Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 171. )
Alasan tersebutlah yang mendasari argumentasi Soekarno agar kaum Marhaen
dan kaum nasionalis Indonesia hendaknya tidak hanya meniru demokrasi Barat yang
seperti itu. Menurut Soekarno, kaum nasionalis haruslah menghendaki perubahan yang
mendasar dengan mewujudkan sistem yang tidak ada unsur tindas-menindas. Oleh sebab
19
bidang politik maupun di bidang ekonomi yang berusaha mewujudkan masyarakat adil
dan makmur tanpa ada eksploitasi dan diskriminasi dalam masyarakat.
Keenam, Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi,
artinya rakyat berhak ikut dalam pemerintahan ataupun parlemen dalam prinsip
persamaan dan keadilan tanpa merasa khawatir akan nasibnya saat mencari rezeki di
bidang ekonomi.
Marhaenisme ditengah-tengah tantangan global
Indonesia sekarang merupakan satu masyarakat kapitalis yang bersifat setengah
jajahan. Kapitalisme neoliberal telah mencerca. Perubahan ini sekarang ditunjukkan oleh
fenomena globalisasi. Proses ini dianggap sebagai proses revolusi global yang dimana
terdapat satu perubahan yang melibatkan bukan sekedar proses dibidang ekspansiekspansi hubungan pasar, komodifikasi di sembarang tempat dan komunikasi yang
merangkum seantero dunia, melainkan juga memandu dengan transformasi dibidang
kultural. Hal ini merupakan sebuah tantangan baru bagi kaum marhaenis (kaum yang
membela marhaen) dimana tak lain dari korban dari sistem global adalah kaum marhaen.
Dalam kondisi ini terdapat beberapa kebutuhan akan marhaenisme yaitu :
1. Marhaenisme digunakan sebagai sistem negara
Marhaenisme sebagai sistem negara merupakan penciptaan proses politik yang
mampu membentuk keadilan, yang mampu untuk mewakili segenap kepentingan
rakyat Indonesia dan menciptakan demokrasi politik kerakyatan.
2. Marhaenisme difungsikan sebagai jati diri rakyat
Marhaenisme difungsikan sebagai jati diri rakyat, disini menekankan bahwa yang
mampu untuk menciptakan dan membuat gerakan demi terciptanya kemakmuran,
keadilan dan kesejahteraan terletak pada rakyat itu sendiri. Disinilah dibutuhkan
penanaman akan nilai marhaenisme sehingga akan mampu untuk menyatukan
pergerakan demi mencapai tujuan bangsa dan negara.
3. Marhaenisme digunakan sebagai penyeimbang pasar global
Marhaenisme digunakan sebagai penyeimbang pasar yaitu dimana dalam pasar
global yang sudah tidak bisa lagi dikontrol oleh negara sehingga pasar akan
berjalan liar dan membawa korban kaum marhaen. Disini kebutuhan akan konsep
demokrasi ekonomi yang bersifat kerakyatan untuk meyeimbangi kekuatan pasar
global.
Sistem liberalisasi yang saat ini terjadi, tak lain hanya imperialisme modern. Dalam
sistem liberalisme ini korban penindasan tak lain adalah kaum marhaen, mereka tertindas
akan ekonomi, sosial, politik, bahkan budayanya. Untuk itulah marhaenisme ini masih
sangat relevan digunakan sebagai ideologi gerakan pembebasan rakyat Indonesia.
21
New Marhaenisme
Setelah puluhan tahun raib di ruang publik, setelah Sukarno dijatuhkan dan semua
eksperimen politiknya digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu.
Demikianlah Orde Baru membunuh Marhaenisme.
Marhaenisme adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil.
Paham ini dijadikan ideologi oleh GMNI dengan mengacu pada sosok Sukarno.
Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan rakyat kecil. Istilah
Marhaenisme dan Marhaen pertama kali disebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI
(Partai Nasional Indonesia) yang didirikannya pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah
Marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di
Bandung pada 1930. Lebih jauh, hal ini dijabarkan dalam "Sukarno, Marhaen, dan
Proletar" dalam Pikiran Rakyat pada 1933. Sukarno menyatakan bahwa "pergaulan hidup
Marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil,
buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah yang semuanya kaum
kecil sengsara dan melarat."
Idiologi partai yang mengunakan Marhaenisme.
Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam PDI pada 1975. Setelah
Soeharto jatuh pada 1998, memang terdapat parpol dan ormas yang seideologi dengan
Sukarno. Mereka ada yang langsung menyebut diri Marhaenis, seperti PNI Front
Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan
Keluarga Besar Marhaenis. Tapi, PDI Perjuangan, meskipun getol memasang gambar
Sukarno dan mengklaim sebagai partainya wong cilik, tak termasuk yang beralih ideologi
ke Marhaenisme.
Hubung keterkaitan antara Marhaenisme dan Marxisme-Komunisme. Akar
Marhaenisme adalah keyakinan pemikiran Marxis-Komunis, seperti juga Islam dan
Nasionalis adalah syarat mutlak jika ingin mencapai cita-cita kemerdekaan. Sukarno juga
mendukung ketika pada 1964 timbul penafsiran Marhaenisme adalah MarxismeKomunisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penulis biografi
politiknya, Bernard Dahm, menyatakan Sukarno percaya komunisme adalah avant-garde
23
yang dibutuhkan untuk melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Karena
itulah Sukarno selepas Gestok 1965 berkukuh menolak membubarkan PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Sukarno pun kerap mewanti-wanti masyarakat agar jangan bersikap komunistophobi dan memahami betul bahwa gagasan Marhaenisme adalah peningkatan ke derajat
yang lebih tinggi dari metode berjuang (hogere optrekking) serta berpikir Marxis-Komunis.
Bahkan, Sukarno mengatakan bahwa Pancasila hogere optrekking dari Declaration of
Independent dan Communist Manifest.
Dalam amanat pada gemblengan pendidikan kader pelopor Marhaenis 24-25 Maret
1965 di Jakarta, Sukarno menyatakan Marhaenis tidak hanya terdapat dalam PNI, tapi
ada pula dalam gerakan mahasiswa. Sukarno pun menegaskan barangsiapa bersikap
komunisto-phobi dan tidak bersifat progresif revolusioner adalah Marhaenis gadungan.
Sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa,
Kaum intelektual dan agent of change itulah yang selalu di dengungkan kepada
kaum muda atau mahasiswa. Memandang situasi gerakan mahasiswa (dalam hal ini
konteks Indonesia) adalah suatu keharusan bagi kita yang notabenenya adalah bagian
atau termasuk sebagai kaum muda yang intelek.
Berbicara soal gerakan mahasiswa saat ini pastinya tidak bisa terlepas dari sejarah
mahasiswa dan gerakan mahasiswa itu sendiri, namun sebelumnya kita mesti memahami
apa itu gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa bisa di katakan kegiatan
kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk
meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis
yang terlibat di dalamnya. Namun itu bukan hanya sekedar meningkatkan intelektualitas
dan kecakapan semata, ada tujuan penting dari gerakan mahasiswa itu sendiri yaitu
pembebasan rakyat dari tirani.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali
menjadi cikal bakal perjuangan nasional, Gerakan Boedi Oetomo (1908) salah satu bukti
betapa berpengaruhnya mahasiswa ini dalam hal perkembangan bangsa. Kita tau bahwa
Gerakan ini didirikan oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA,
wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari
primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Gerakan ini sangat memberikan pengaruh besar di Indonesia dimana kita ketahui
melahirkan pemuda-pemuda sampai sekarang masih sering kita dengar bahkan di sebut
sebagai guru bangsa, seperti misalnya Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Syahrir
tentunya. bahkan sampai pada pasca kemerdekaan Indonesia 1945 pun gerakan
mahasiswa (waktu itu masih di katakana pemuda) masih terbukti jelas masifnya gerakan
mereka. Walau berbagai asumsi lahir sekarang ini tentang terkotak-kotakkannya juga
gerakan mereka yang memang notabenenya gerakan pemuda ke daerahan atau seperti
organda yang kita kenal saat ini.
Namun itu jauh lebih baik jika di bandingkan dengan gerakan mahasiswa sekarang
yang justru lebih terkotak-kotaknya lagi, pragmatis, elitis, dan eksklusif. Dan coba kita lihat
juga prestasi yang di capai gerakan mahasiswa dan rakyat pada saat penggulingan rezim
dan system Orde baru Soeharto. Walaupun lahir lagi sebuah asumsi yang menyatakan
24
gerakan itu bukanlah murni gerakan atas nama Rakyat Indonesia yang tertindas atas
Orba. Bahkan di katakan bahwa gerakan itu justru merupakan settingan dari pelaku
penjajahan gaya baru Indonesia itu sendiri atau yang kita sebut Kapitalisme.
Jika kita melihat pemikiran dan perkembangan secara individual mahasiswa
sekarang memang tidak bisa di nafikkan bahwa mereka memang pantas di daulat sebagai
Agent Of change atau Social Control. Namun kambali lagi bahwa bukan hanya konsep
atau teori yang kita butuhkan sekarang ini tapi justru lebih kepada implementasinya. Ada
pernyataan yang mengatakan bahwa 1 ons gerakan/implementasi lebih berharga di
bandingkan 100 kg konseptor. Dan itu yang benar-benar terjadi di Indonesia saat ini,
Indonesia bisa di bilang gudang para konseptor karna memang pemikiran-pemikiran dan
pembacaan situasi atau geopolitiknya yang tajam dan jelas tapi semua itu tidaklah
berguna jika tidak ada gerakan nyata yang harus di lakukan mahasiswa sekarang ini.
Berbagai Macam Krakteristik Mahasiswa Saat ini
Memang jelas jika di katakan berbagai macam krakteristik mahasiswa, karena
memang mahasiswa sekarang ini sepertihalnya barang dagangan. Ada yang berkualitas,
sedang, bahkan tidak berkualitas sama sekali. Penyakit apatis dan hedon mungkin yang
sangat urgen di miliki mahasiswa sekarang ini. sudah banyaknya mahasiswa yang tidak
tahu posisinya dan tidak mampu membaca kondisi Indonesia saat ini yang sebenarnya
telah mengalami penjajahan gaya baru. Banyak hal memang yang mempengaruhi ke
apatisan dan hedonisme yang menggrogoti mahasiswa bahkan anggapan buruknya
tentang organisasi.
Disini saya lebih menekankan mahasiswa untuk berorganisasi, dimana kita sendiri
mengetahui bahwa posisi dan kondisi yang saya maksud tadi akan tercipta dan lahir
kebenyakan karena dukungan organisasi atau orang yang berorganisasi. Namun
nyatanya ketakutan akan organisasi bahkan anti organisasi kini di alami oleh sebahagian
besar mahasiswa saat ini. contoh yang mempengaruhinya adalah doktrin-doktrin regulasi
kampus dan juga pandangan buruk dari orang tua. Namun sebenarnya yang lebih fatal
adalah dari aktivis organisasi itu sendiri, karena nyatanya justru para organisatorislah
yang memang seakan memperlihatkan keburukan-keburukannya otomatis paradigma
buruk terhadap mahasiswa yang berorganisasi jelas buruk pula di mata para orang tua
dan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Terus apa gagasan untuk permasalahan seperti
ini ? jelas harus di jawab oleh para organisatoris tentunya.
Di masa orde baru, organisasi-organisasi mahasiswa dicekal dengan berbagai cara
bahkan diskusi-diskusi forum mahasiswa juga sangat di haramkan karena di takutkan
mahasiswa mulai terfokus pada permasalahan-permasalahan birokrasi pada waktu itu.
Namun si penguasa jelas tidak tinggal diam jika mahasiswa semakin gencar dengan
gerakannya yang sudah mulai sadar akan buruknya dan tertindasnya kita di zaman
ordebaru. Maka di kampus-kampus pada waktu itu sudah mulai di masuki oleh pihak
militer untuk malihat situasi dan kondisi mahasiswa dan juga menetapkan regulasi
kampus yang pro terhadap pemerintahan Soeharto.
Kemudian ada juga bentuk lain penggiringan mahasiswa itu untuk selalu
terkungkung dalam kampus dengan pengawasan regulasi dan militer, yaitu pembentukan
25
dari konsep matang atau bahkan sudah basi karena terlalu lama tersimpan di kepala para
mahasiswa ini, makanya tidak heran jika di katakan mahasiswa kini hanya beronani
dengan pikirannya sendiri.
Gejala-gejala social yang kini sudah semakin terlihat dan gerak-gerik sang
penjajah kini sudah mulai di dengar dan di lihat tapi seakan tidak ada yang berani untuk
melakukan perlawanan terhadap mereka. Kini mahasiswa hanya sibuk bergelut dalam
ruang lingkup internalnya masing-masing, terperangkap dalam tempurung dengan
menjalankan aktifitas yang kadang tidak produktif bahkan ada yang membuat kesibukan
kompetisi sesama kawan sendiri yang semestinya dijalani dengan program bersama,
sehingga suatu keniscayaan jika gerakan mahasiswa sebagai insan intelektual
terkungkung dalam keterpurukan. Dan kemudian karena banyaknya bentuk dan pemikiran
organisasi ini sehingga menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang arogansi
organisasinya tinggi bahkan bersifat egois dan fundamental. Lain halnya permasalahan
para kaum muda lain pula halnya permasalahan atau pergolakan di ruang lingkup si kaum
borjuasi dan slingkuhannya pemodal asing. Dimana kita ketahui bahwa Indonesia yang
merupakan anggota dari WTO (world trade organization) semakin terpuruk, semakin
dimiskinkan itu semua dikarenakan kepentingan-kepentingan serakah dari pemerintah
atau penguasa di Indonesia sendiri.
Berbagai macam asumsipun lahir atau prediksi-prediksi bahwa di tahun 2015
neoliberalisme real akan menjadi system pasar di Indonesia. Walau sebenarnya
neoliberalisme sudah lama menghantui produksi ekonomi local Indonesia. Contohnya
berbagai macam usaha-usaha luar yang dengan bebas berdiri di berbagai daerah di
Indonesia yang jelas semua itu akan mematikan lokalitas ekonomi di Indonesia tentunya.
walau sebenarnya di setiap daerah ada regulasi atau peraturan daerah yang
mengaturnya, namun semua itu tak mampu menahan keseimbangan antara pelaku usaha
asing dan local di setiap daerah di Indonesia. Pemerintah memang sudah tak mampu lagi
berbuat apa-apa, bisa di bilang kita hanya menunggu Indonesia di miliki oleh Negaranegara adikuasa seperti USA.
Jika seperti itu kita mesti harus kembali membangunkan harimau-harimau forum
agar mulai keluar dari sarangnya dan mulai melakukan gerakan nyata bukan hanya
bisanya obral teori semata. perlawanan terhadap system kapitalisme mungkin sudah
banyak di rancang oleh berbagai organisasi mahasiswa atau elemen-elemen masyarakat
tertindas. Namun karena tidak menyatunya gerakan atau terkoktak-kotakkannya gerakan
sehingga tidak sampai pada hasil yang di inginkan. Semua itu bukan hanya arogansi
organisasi yang dimiliki sebahagian besar para aktivis pro rakyat tapi juga keegoisan dari
mereka sendiri dan anggapan mereka atau yang menganggap bahwa mahasiswalah satusatunya yang mampu merubah Indonesia saat ini. sehingga menganggap bahwa
masyarakat yang awam (buruh, petani, dan miskin kota) harusnya hanya tinggal diam dan
menunggu nasibnya di rubah. Padahal kalau kita melihat justru gerakan merekalah yang
massif saat ini karena memang mereka sudah terserikatkan dan semua itu karena
kesadaran mereka yang timbul karena memang merekalah yang lebih merasakan
penindasan itu. Andai jika gerakan persatuan mahasiswa dan elemen rakyat tertindas
lainnya menyatu untuk melakukan perlawanan, mungkin kita atau Indonesia akan menuai
harapan yang indah yaitu kesejahteraan.
27
28
2. GmnI adalah Organisasi Mahasiswa yang berwawasan Nasional yang tidak membedabedakan kesukuan, keagamaan, dan status sosial anggotanya, senantiasa
menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan Bangsa dan Negara dalam Perjuangan.
3. GmnI adalah Organisasi Mahasiswa yang berkewajiban membela dan mengamalkan
Pancasila senantiasa menjunjung tinggi Kedaulatan Negara di bidang ekonomi, politik,
budaya dan pertahanan keamanan.
4. GmnI adalah Organisasi Mahasiswa yang berkewajiban menggalang kekuatan nasional
yang berjuang tanpa pamrih dalam melaksanakan amanat penderitaan rakyat.
5. GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang menjunjung tinggi kedaulatan
negara, harkat dan martabat rakyat serta nama dan citra GmnI dalam kata-kata, sikap
maupun perbuatan.
6. GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang sebagai kader bangsa yang
bersikap jujur, senantiasa patuh dan taat pada amanat dan konstitusi organisasi,
menepati janji dan sumpah keanggotaan.
7. Anggota GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang sebagai penuntut ilmu yang
bertanggung jawab, bersikap sopan dan menghargai sesamanya.
8. Anggota GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang tidak menjadikan
status sebagai predikat, senantiasa mengejar cita-cita tanpa kenal menyerah,
menunjukkan kesederhanaan hidup serta menjadi tauladan dalam lingkungannya.
9. Anggota GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang bermaksud
melanjutkan cita-cita proklamasi dan amanat UUD 1945 dalam mewujudkan tatanan
masyarakat yang berkeadilan sosial.
10. Anggota GmnI adalah pejuang pemikir dan pemikir pejuang sebagai insan akademis
yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan dalam pergaulan bangsa-bangsa.
PANCALOGI GMNI
Lima prinsip yang harus menjadi jati diri bagi perjuangan setiap anggota GMNI :
Pertama : I D E O L O G I
Ideologi artinya, perjuangan setiap anggota GmnI harus dilandaskan pada Ideologi
yang menjadi Azas dan Doktrin Perjuangan GmnI, sebab ideologi merupakan acuan
pokok dalam penentuan format dan pola operasional pergerakan.
Kedua : R E V O L U S I
Revolusi artinya, perjuangan setiap anggota GmnI harus berorientasi pada
perombakan susunan masyarakat secara revolusioner. Revolusi bukan berarti
pertumpahan darah, tetapi dalam pengertian pemikiran.
Ketiga : O R G A N I S A S I
Organisasi artinya, perjuangan GmnI adalah perjuangan yang terorganisir, sesuai
dengan azas dan doktrin perjuangan GmnI.
Keempat : S T U D I
Studi artinya, sebagai organisasi mahasiswa, maka titik berat perjuangan GmnI
adalah pada aspek studi. Amanat Penderitaan Rakyat harus dijadikan titik sentral
dalam pendorong upaya studi ini.
Kelima : I N T E G R A S I
29
Integrasi artinya, Perjuangan GmnI senantiasa tidak terlepas dari Perjuangan Rakyat
Semesta. Setiap warga GmnI harus selalu berada ditengah-tengah Rakyat yang
berjuang.
30