*********
*********
*********
*********
Akhirnya, sebagai sebuah buku yang berisi
tawaran tentang konsep gerakan, buku ini tentu terlalu
sederhana, bahkan malah lebih terkesan compang-
camping. Dan itu sangat disadari benar, oleh karena itu
pula, kami juga telah bersepakat bahwa buku ini hanya
merupakan starting point. Sehingga kami atas nama
Presidium, yang juga sebagai penerbit buku ini, dengan
penuh kerendahan hati memohon kritik, saran, dan
masukan dari pembaca sekalian demi lebih
sempurnanya gagasan yang akan kami tawarkan. Dan
tak lupa pula, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang memberikan bantuannya sehingga dapat
diterbitkannya buku ini.
Terima kasih kami yang sangat khusus dan tulus
juga kami berikan kepada kawan-kawan di Serikat
Asongan Pulogadung yang telah memberi pengetahuan
kepada kami tentang ganasnya kapitalisme, kawan-
kawan dari jaringan pengobatan alternatif “Sido Waras”
yang telah menjaga kesehatan kami, para bapak dan ibu
dari serikat kaum miskin kota yang telah banyak
mengajari kami tentang arti dari kehidupan dan
pengharapan, dan tak ketinggalan pula para anggota dari
serikat nelayan, buruh, maupun petani, yang meskipun
di beberapa tempat kawan-kawan GmnI mendampingi
kasus-kasusnya, namun dalam banyak hal, kami justeru
banyak belajar. Dan kepada bapak, ibu, dan kawan-
kawan yang secara khusus telah saya sebutkan itulah
buku ini kami dedikasikan.
Jakarta, 18 Maret 2003
Atas Nama
Presidium GmnI
Sonny T. Danaparamita
Sekretaris Jenderal
Bab Satu
Pasang Surut
Perjuangan GmnI
1
R. William Liddle (editor), 1973, Political Participation in Modern
Indonesia, Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies.
masses in orde to prevent isolation from them. To do this,
the party must seriously train cadres to lead the mass
organizations2.
Sampai tahun 1965, posisi GmnI di tengah
percaturan politik nasional tetap sebagai salah satu
kekuatan front marhaenis yang menjadi back-up bagi
jalannya revolusi yang sedang digencarkan oleh
pemerintahan Bung Karno. Bahkan GmnI juga sempat
mengambil peran di parlemen untuk menjalankan
strategi kejuangannya dengan mendudukkan kader-
kadernya di DPRGR dan Dewan Konstituante sebagai
jatah kursi yang diberikan PNI atas kemenangannya
pada Pemilu 1955. Bahkan Sri Sumantri, salah seorang
kader GmnI sempat berperan secara optimal dalam
mewarnai rumusan Undang-Undang Dasar di Dewan
Konstituante sebelum kemudian dibubarkan.
Ruang yang dimiliki GmnI pada era 1950-1960
memang cukup besar dan luas sehingga GmnI mampu
meletakkan posisi organisasi dalam posisi multistrategis:
sebagai alat pencetak kader, alat pengorganisasian
rakyat dan ikut melakukan perjuangan di dalam
parlemen. Peran optimal GmnI tersebut sebenarnya tidak
terlepas dari dukungan realitas politik saat itu, dimana
kekuatan-kekuatan sosialis dan nasionalis masih
mendominasi pemerintahan Indonesia. Dan di bawah
demokrasi terpimpin (guided democracy), kekuatan-
kekuatan kiri terutama partai-partai beraliran sosialis
dan kekuatan agama bersatu dalam satu strategi
perjuangan (nasakom) demi pencapaian konsentrasi
kekuatan nasional untuk melawan rongrongan kekuatan
neo kolonialisme-imperialisme yang masih menjadi
ancaman terbesar bagi kehidupan bangsa saat itu.
2
Ibid.
Namun demikian, penyatuan kekuatan sosialis
dan agama dalam kesatuan perjuangan demi
perwujudan revolusi sosial pada akhirnya menjadi
kandas seiring dengan peristiwa coup 30 September
1965. Dan sejak saat itu, perekonomian Indonesia secara
cepat langsung berada di bawah kekuatan kapitalisme
global.
Ironisnya, Pancasila yang pada masa Bung Karno
menjadi roh bagi revolusi Indonesia ternyata digunakan
oleh Orde Baru untuk memberangus kekuatan-kekuatan
sosialis di dalam pemerintahan dan legislatif, kemudian
menggantikannya dengan militer, teknokrat dan
kelompok modal. Seperti yang diungkap Hardoyo:
“Pancasila Democracy” of Suharto indirectly claimed the
position of “extreme centre”, to keep in mind that the
primary enemies are the extreme left, meaning
communists and the extreme right meaning Islam.
Suharto’s central pillar was the triple ideologi of militari-
technocrats-business3.
Pada era 1970 sampai 1990-an, gerak perjuangan
GmnI telah berada dalam kekuasaan rejim otoriter yang
berpihak pada kepentingan modal. Dalam realitas rejim
yang otoriter tersebut, gerakan di tubuh GmnI pun
menghadapi pasang surut. Dari catatan sejarah
dokumentasi organisasi yang masih dimiliki cabang-
cabang, arah strategi gerakan GmnI terbagi dalam dua
movement grand strategy yaitu studi wacana/diskursus
dan pengorganisiran rakyat.
Strategi gerakan yang dipusatkan pada wacana
dan diskursus dilakukan sebagai bagian dari upaya
siasat menghadapi represivitas rejim yang tidak
menghendaki adanya radikalisasi gerakan yang
mengarah pada tindakan subversif versi rejim. Selain itu,
3
Hardoyo, The Future of The Left in Indonesia
strategi tersebut sebenarnya adalah salah satu bagian
dari keputusan Kongres VI GmnI di Ragunan-Jakarta
yang menghendaki adanya konsolidasi ideologi untuk
segera mengakhiri konflik perpecahan paska Kongres V
Salatiga pada tahun 1969. Konsolidasi ideologi tersebut
kemudian dituangkan oleh sebagian cabang dalam
bentuk kajian dan diskursus tentang marhaenisme yang
diderivasikan ke dalam ilmu-ilmu politik, ekonomi
sosiologi, antropologi dan budaya.
Derivasi tersebut dipandang penting, mengingat
gencarnya stigmatisasi Orde Baru yang melakukan
pemberangusan terhadap segala gerakan yang
dipandang berbau kiri seiring dengan penggunaan
kekuasaan yang militeristik. Oleh karena itu, beberapa
penggunaan bahasa di tubuh GmnI yang dimasa
pemerintahan Bung Karno selalu digunakan sebagai alat
propaganda politik terhadap rakyat, sejak saat itu telah
dibatasi penggunaannya hanya di kalangan internal
GmnI.
Implikasinya, bahasa-bahasa propaganda ideologi
pada akhirnya hanya dikenal di kalangan internal kader
GmnI saja, tetapi tidak meluas terutama di kalangan
rakyat. Penggunaan bahasa-bahasa seperti: marhaen,
sosialisme, revolusi, buruh tani, radikalisme, historis
materialisme dan lainnya mulai tenggelam digantikan
dengan bahasa-bahasa “akademisi” sebagai siasat
menghadapi stigmatisasi “bahasa kiri” oleh rejim
kekuasaan.
Kajian-kajian ideologi yang diderivasikan ke dalam
ilmu-ilmu praksis akademis tersebut, pengembangannya
dipusatkan pada penguasaan kampus untuk dijadikan
sebagai alat perubahan (agent of change). Dan sejak saat
itu, taktik yang diambil GmnI adalah menjadikan
kampus sebagai alat taktis untuk melakukan kontrol
terhadap jalannya kekuasaan yang diterapkan oleh
rejim. Kampus pun menjadi corong segala konsepsi yang
digulirkan oleh GmnI untuk membangun perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat. Hanya saja, strategi
tersebut akhirnya menjadi surut seiring dengan tragedi
1974 dan 1978 yang diakhiri dengan pembersihan
kampus dari kekuatan-kekuatan kiri (pemberlakuan
NKK/BKK) oleh rejim Orde Baru.
Mengingat tidak kondusifnya lagi kampus sebagai
kendaraan taktis dan corong gerakan bagi GmnI yang
diakhiri dengan pengusiran paksa GmnI bersama organ-
organ kiri mahasiswa lainnya, maka sebagian besar
cabang menyusun strategi baru yang diarahkan pada
perjuangan yang bersifat terjun langsung ke dalam
kehidupan rakyat yang kemudian dikenal dengan
strategi integratif.
Harus diakui, strategi baru yang ditempuh
sebenarnya memiliki resiko tinggi karena akan berada
dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan rejim.
Radikalisasi strategi tersebut berpuncak pada tahun
1980-an yang telah membawa GmnI kepada sebuah
keputusan besar untuk menyatakan dirinya “keluar” dari
kampus. Keputusan itu diambil sebagai bagian dari
protes GmnI terhadap rejim yang telah mengkebiri
kehidupan kampus dari kebebasan berorganisasi,
berpikir dan bergerak. Strategi gerakan ini, juga memiliki
relevansi dengan gerakan di Amerika Latin yang
berkembang saat itu dimana gerakan telah mengarah
pada delegitimasi terhadap “institusi sekolah” karena
dianggap penyebab munculnya ketidakadilan adalah
sistem yang membatasi kebebasan ekonomi masyarakat
melalui labelisasi intelektual. Tokoh-tokoh yang terkenal
dalam gerakan tersebut adalah Ivan Illich dan Paulo
Freire.
Labelisasi intelektual oleh hegemoni lembaga
pendidikan oleh sebagian kader-kader GmnI kemudian
dijawab secara tegas dengan segera melepas status
kemahasiswaannya dan memilih untuk belajar secara
otodidak tanpa terikat oleh lembaga pendidikan apapun.
Proses pembelajaran otodidak tersebut dilakukan dengan
cara berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Strategi
baru itu oleh sebagian besar kader-kader GmnI
kemudian dikenal dalam slogan: “makan bersama
rakyat, minum bersama rakyat, belajar bersama rakyat
dan berjuang bersama rakyat”.
Pola pembelajaran bersama rakyat yang sekaligus
dijadikan sebagai alat pengorganisiran oleh kader GmnI
dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik
pendampingan (advokasi) dengan isu keadilan, hak asasi
manusia, lingkungan hidup dan gender. Strategi tersebut
terus berjalan sampai tahun 1990-an.
Strategi pengorganisasian yang meninggalkan
kampus sebagai basis telah membawa implikasi
stagnannya regenerasi di tubuh GmnI akibat terhentinya
proses rekruitmen kader terhadap mahasiswa-
mahasiswa baru. Stagnasi tersebut diperparah lagi oleh
konflik yang berkepanjangan di tingkat pimpinan
nasional yang tidak mampu dibersihkan dari intervensi
kekuatan rejim dan pihak-pihak lain yang memiliki
kepentingan terhadap GmnI. Stagnasi regenerasi
tersebut terus membawa GmnI pada penurunan
kuantitas kader, karena sampai tahun 1998 tercatat
hanya 30-an cabang saja yang masih tersisa dan
bertahan sebagai kekuatan riil GmnI di seluruh
Indonesia (berdasarkan daftar hadir peserta Kongres XII
Denpasar Bali dan Kongres XII Kupang NTT).
Selain penurunan kuantitas, ternyata GmnI juga
mengalami penurunan kualitas yang cukup tajam.
Sebagian besar kader dipandang telah kehilangan basic
ideologinya akibat ketidakmampuan GmnI dalam
mentransformasikan nilai-nilai marhaenisme melalui
kaderisasi. Bahkan sebagian besar kader-kader GmnI di
era 1990-an dipandang tidak memiliki pemahaman yang
cukup kuat untuk memanifestasikan nilai-nilai ideologi
organisasi.
Bab Tiga
4
Hafid, J.O.S. Perlawanan Petani. Kasus Tanah Jenggawah. Pustaka Latin.
Bogor. 2001.
Berdasarkan pengalaman pengorganisasian itulah
maka kemudian GmnI menyusun format baru yang
diarahkan pada pola-pola integratif dimana setiap kader
GmnI dituntut untuk melebur ke dalam kehidupan
rakyat. Slogan perjuangan GmnI era 80-an yang dikenal
dalam jargon “makan bersama rakyat, minum bersama
rakyat, belajar bersama rakyat dan berjuang bersama
rakyat”, kembali dintrodusir untuk menguatkan kembali
komitmen pengorganisasian terhadap kader-kader GmnI.
Beberapa modul pengorganisasian tersebut
kemudian dimasukkan dalam Silabus Kaderisasi GmnI
yang disempurnakan dalam Rakornas GmnI di Jakarta
bulan April 2002. Pola integratif yang diterapkan dalam
pengorganisasian membutuhkan syarat pokok adanya
kader yang memiliki kemampuan ideologi, loyalitas dan
militansi gerakan. Oleh karena itulah, maka Silabus
Kaderisasi kemudian menyempurnakan beberapa format
pengkaderan yang mensyaratkan kader-kader GmnI
harus sanggup leave in di tengah-tengah masyarakat.
Leave in tersebut dilaksanakan paling singkat 2 (dua)
bulan dan paling lama 6 (enam) bulan. Tugas pokok
kader GmnI selama kaderisasi di tengah-tengah
masyarakat tersebut adalah melakukan analisa sosial
tentang relasi-relasi sosial, pranata-pranata sosial,
kontradiksi-kontradiksi ekonomi, berbagai tingkat keter-
gantungan hidup, budaya kekuasaan, dan lain-lain.
Target yang hendak dicapai dari pola pengkaderan
tersebut antara lain5:
Kaderisasi Tingkat Menengah:
1. Menguji tingkat wacana dan cara berpikir kader yang
dikaitkan langsung dengan ideologi marhaenisme.
Sekaligus mengolah seluruh wacana (teori) yang
5
Silabus Kaderisasi GmnI. Hasil Kongres Luar Biasa GmnIdi Semarang
2001.
dikuasai para kader untuk disinergikan sesuai
dengan roh dan jiwa marhaenisme, sehingga tidak
paradoks jika diimplementasikan dalam langkah-
langkah perjuangan;
2. menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang
siap menjadi motor penggerak perjuangan untuk
memimpin rakyat menuju revolusi demi terwujudnya
cita-cita sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka
para kader yang telah lulus dari kaderisasi
diharapkan telah mampu memegang kantung-
kantung massa dan melakukan pengorganisiran di
tiap kantung-kantung massa tersebut.
Kaderisasi Tingkat Pelopor:
1. uji materiil setiap kader dalam proses membangun
sintesa sistem-sistem sosial di setiap elemen
masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial
bersangkut paut pada pola dan tata cara yang
dilakukan kader dalam mengkonstruksi ulang
bangunan sistem sosial menuju pada cita-cita
masyarakat sosialis Indonesia;
2. terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan
sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori,
mental dan watak progressif revolusioner sehingga
benar-benar menjadi kader yang berkualitas.
Dengan Kaderisasi Tingkat Pelopor diharapkan
setiap kader akan mampu memanifestasikan
ideologi marhaenisme dalam setiap kehidupan
pribadinya dan dalam langkah perjuangannya
sebagai leader rakyat.
Kembali ke Kampus
Strategi baru lain, sebagai upaya revisi dari
strategi GmnI 80-an adalah strategi “kembali ke
kampus”. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
sebagian kader-kader GmnI 80-an saat itu mengambil
strategi keluar kampus untuk bergabung ke tengah-
tengah kehidupan masyarakat dalam upaya melakukan
pembelajaran dan pergerakan bersama rakyat. Strategi
itu ternyata membawa implikasi stagnannya proses
kaderisasi dan regenerasi di tubuh GmnI.
Belajar dari sejarah kegagalan gerakan GmnI di
tahun 80-an itu, maka GmnI kemudian membuat
kebijakan baru untuk segera kembali ke dalam kampus.
Kebijakan itu memang perlu diambil, karena
bagaimanapun kampus merupakan basic organisasi
GmnI yang anggotanya adalah para mahasiswa. Oleh
karena itu maka kampus harus kembali menjadi alat
bagi GmnI dalam rangka rekrutmen anggota baru demi
berjalannya kembali proses regenerasi dan kaderisasi
yang sempat stagnan.
Strategi GmnI 80-an yang memilih meninggalkan
kampus sebagai upaya mendekonstruksi lembaga
pendidikan yang dipandang tidak mencerdaskan
kehidupan bangsa, secara konsepsional dapat dipandang
bagus karena sesuai dengan sikap non-kooperatif GmnI
terhadap kekuasaan. Namun sayang, strategi itu tidak
diikuti dengan penguatan organisasi sebagai bentuk
konsekuensi atas hengkangnya GmnI dari kampus.
Jika GmnI menyepakati keluar dari kampus,
mestinya GmnI harus mencari kantung-kantung massa
alternatif lain yang berada di luar kampus sebagai
sumber rekrutmen kader yang baru. Yang berarti GmnI
harus rela merubah basic organisasi kemahasiswaannya
dengan cara berubah menjadi organisasi kemasyarakat-
an (Ormas). Karena itu adalah langkah yang paling
memungkinkan bagi GmnI untuk mengganti kantung
massa dari kampus dengan merekrut anggota dari
masyarakat umum. Namun ternyata langkah itu tidak
diambil, implikasinya jelas, GmnI secara cepat dan pasti
akan kehilangan kader-kadernya karena tidak lagi
memiliki kantung-kantung massa baik di dalam kampus
maupun di masyarakat.
Oleh karena itu, “kembali ke kampus”, adalah
satu-satunya jalan bagi GmnI saat ini untuk
membangun kembali kuantitas dan kualitas kader-
kadernya. “Kembali ke kampus” akan menjadi
momentum bagi GmnI untuk kembali mewarnai kampus
dengan menjadikan kampus sebagai alat perubahan
(agent of change). Kampus yang selama tiga dekade telah
menjadi “menara gading” yang tak tersentuh oleh
kehidupan masyarakat, harus dikembalikan fungsinya
sebagai “menara air” yang akan mengairi kehidupan
masyarakat dengan ilmu yang dimiliki. Kampus akan
menjadi corong dari segala konsepsi yang akan
digulirkan GmnI untuk membangun perubahan-
perubahan baru di dalam masyarakat.
Tiga grand strategy yang telah disampaikan di
atas adalah bagian dari pergulatan pemikiran yang
terjadi di GmnI saat ini. Mengenai peran GmnI sebagai
alat pencetak kader, GmnI tetap memiliki kewajiban
untuk mendistribusikan kader-kadernya ke seluruh
potensi-potensi kekuatan nasional, baik pemerintahan,
legislatif, eksekutif, pers, akademisi, teknokrat dan lain-
lain. Kewajiban lainnya, GmnI tetap dituntut untuk
membangun konsolidasi dengan kekuatan-kekuatan
front marhaenis (organ-organ marhaenis) dan front
nasional (kekuatan-kekuatan nasional) demi tercapainya
sebuah konsentrasi kekuatan nasional yang akan
mendukung jalannya kembali revolusi menuju cita-cita
sosialisme Indonesia (samenbundeling van alle
revolutionare krachten).
Tanggung jawab GmnI tersebut merupakan
tanggung jawab yang sangat berat, sebab GmnI dituntut
untuk terus mencetak kader-kader yang benar-benar
militan dan setia terhadap ideologi. Padahal calon-calon
kader GmnI saat ini berbeda jauh dengan tahun 50-60-
an, sebab calon-calon kader GmnI yang ada saat ini
adalah generasi muda yang hidupnya berada dalam
bangunan rejim kapitalis yang tentu pola perilaku dan
pandangan hidupnya banyak diwarnai oleh sifat-sifat
kapitalisme (individualis, westernis, hedonis,
konsumeris, pragmatis). Dibutuhkan waktu, keuletan
dan ketekunan untuk merubah pandangan dan cita-cita
hidup mereka agar benar-benar menjadi kader
marhaenis.
Bab Empat
9
R. William Liddle (editor). Political Participation in Modern Indonesia,
Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies. 1973.
10
Hardoyo. The Future of The Left in Indonesia, …….
selama 33 tahun pemerintahannya, segala gerakan
berbau sosialis terutama yang bersumber pada ajaran
marxis menjadi larangan dan masuk kategori subversif.
Tidak cukup itu, Orde Baru pun memaksa merendahkan
nilai pajak, mempermurah upah buruh dan
membungkam setiap pemogokan buruh dengan
kekuatan militernya, sebagai varian pendukung
kebijakan meraih simpati para investor.
Fukuyama dalam karyanya The End of History
berpendapat bahwa
……I want to avoid the materialist determinism that
says that liberal economics inevitably produces
liberal politics, because I believe that both
economics and politics presuppose an autonomous
prior state of consciousness that makes them
possible. But that state of consciousness that
permits the growth of liberalism seems to stabilize
in the way one would expect at the end of history if
it is underwritten by the abundance of a modern
free market economy. We might summarize the
content of the universal homogenous state as liberal
democracy in the political sphere combined with
easy access to VCRs and stereos in the economic 11.
Bagi Fukuyama, sistem ekonomi pasar secara
niscaya akan mendorong munculnya demokrasi.
Alasannya karena hak milik pribadi yang menjadi
landasan ekonomi kapitalis hanya akan terjamin oleh
institusi politik yang demokratis. Namun ternyata
pendapat Fukuyama ini berbanding terbalik dengan
realitas perkembangan globalisasi saat ini, dimana para
investor justru berlomba-lomba mencari negara-negara
11
Fukuyama, Francis. The End of History?. in The National Interest.
Summer. 1989.
yang berkekuatan rejim otoriter (bukan demokratis) demi
keamanan dan keselamatan modalnya. Indonesia adalah
salah satu contohnya. Mungkin benar apa yang
dikatakan Noreena Hertz12 yang menyatakan bahwa
globalisasi ekonomi hanya akan berakibat matinya
demokrasi di seluruh negara.
12
Hertz, Noreena. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of
Democracy. Publisher: Free Press. 2002
alam di seluruh wilayah nusantara Otonomi daerah
adalah sebuah contoh terhadap quo vadisnya visi
kebangsaan kita akibat euphoria dalam memaknai
transisi demokrasi termasuk didalamnya masalah
amandemen UUD 1945 yang sebagian besar isinya telah
mengarah pada bentuk-bentuk federalisme yang jelas-
jelas bertentangan dengan nilai-nilai ideologi negara dan
konstitusi.
Perkembangan sistem multipartai dalam transisi
demokrasi Indonesia saat ini juga berimplikasi terjadinya
perubahan realitas politik Indonesia yang mengarah
pada penguatan kekuatan-kekuatan kelompok yang
mengatas namakan agama, kesukuan dan bentuk-
bentuk golongan lainnya. Dalam perspektif penguatan
daya kritis masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah
perkembangan yang cukup positif dalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia. Namun jika kekuatan-
kekuatan kelompok tersebut tidak dapat dibingkai dalam
kerangka kesatuan bangsa maka tentu akan
mengakibatkan fragmentasi perjuangan yang akan
menghambat konsentrasi kekuatan nasional dalam
upaya memuluskan jalan revolusi yang sedang
ditempuh.
Sejatinya, sistem multi partai yang berkembang
saat ini harus menempatkan partai sebagai avantgarde
atau pelopor dalam kejuangan mewujudkan cita-cita
revolusi sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945. Sebagai partai pelopor, maka tugas utama
partai politik adalah melakukan pendidikan politik dan
pemberdayaan terhadap seluruh masyarakat Indonesia
agar tercipta peran serta aktif masyarakat dalam segala
tingkat perubahan yang hendak dan akan dicapai.
Feodalisme dan Peradaban Baru
Harus disadari bahwa globalisasi saat ini telah
membawa proses perubahan nilai terhadap masyarakat
Indonesia tentang hidup dan eksistensi hidup.
Globalisasi secara massif telah memaksa masyarakat
Indonesia untuk membuat sebuah pandangan baru
tentang eksistensi dirinya yang diarahkan pada
kemampuan membeli barang (konsumerisme).
Pandangan baru tersebut ternyata mampu membuat
sebuah perubahan besar-besaran dalam sejarah
peradaban bangsa-bangsa di dunia. Bangunan baru
tersebut dikemas dalam image “modernisme” yang
dipropagandakan kapitalisme global melalui media-
media informasi yang juga telah mengglobal.
Propaganda media itu diarahkan pada upaya
pembangunan image (pencitraan) terhadap barang dalam
bungkus “modernisme”. Di Indonesia, pencitraan
tersebut telah efektif memasuki kisi-kisi bangunan
pergaulan hidup masyarakat Indonesia akibat masih
kuatnya budaya feodal yang membuat sebagian besar
masyarakat mengalami penyakit minder karena merasa
bangsanya adalah bangsa kecil dan primitif
dibandingkan dengan perkembangan budaya negara-
negara maju. Implikasinya, semua perubahan sosial dan
budaya masyarakat Indonesia sepenuhnya dikendalikan
oleh kekuatan kapitalisme global terutama dalam budaya
pergaulan hidup yang hedonis, konsumeris dan
pragmatis.
Mungkin benar yang disampaikan Foucault 13
bahwa episteme yang menjadi mayoritas pada akhirnya
akah menjadi sebuah “rejim kebenaran”. Dan
13
Foucault, Michele. Pengetahuan dan Metode. Jalatustra. 2002.
propaganda media iklan kapitalis telah memasukkan
sebuah episteme baru yang memaksa pandangan
masyarakat berubah tentang kemajuan dan modernisme
yang diarahkan pada kepentingan pasar. Pandangan itu
pun pada akhirnya menjadi sebuah “rejim kebenaran”
ketika masyarakat Indonesia membenarkan dan
menerapkannya. Dan pada akhirnya konsumerisme pun
menjadi budaya hidup yang merubah tatanan peradaban
masyarakat dengan segala asumsinya atas episteme
mayoritas yang dimiliki (hegemoni wacana liberal).
Implikasinya, budaya hidup tersebut pada akhirnya telah
membawa masyarakat pada sebuah tatanan kehidupan
masyarakat yang mengarah pada patronase peradaban
yang berkembang di negara-negara maju.
Kelahiran Marhaenisme
Marhaenisme dilahirkan dari pemikiran seorang
Sukarno muda. Runtutan sejarah singkatnya dimulai
pada saat Bung Karno menjalankan studinya di
Bandung (1921). Marhaenisme dilahirkan dari proses
perenungan panjang Bung Karno terhadap realitas
perkembangan sejarah bangsa dan dunia internasional
yang dipenuhi oleh penghisapan sesama manusia dan
sesama bangsa. Sejarah ketertindasan bangsa adalah
faktor pokok yang telah membangunkan Bung Karno
dalam sebuah kesadaran berpikir untuk membangkitkan
rakyat Indonesia dari penghisapan dan kemiskinan
akibat kolonialisme dan imperialisme.
Kesadaran Bung Karno itu kemudian ditopang
oleh ketekunannya dalam mendalami ajaran-ajaran
marxisme. Konsepsi perlawanan kaum buruh
sebagaimana yang menjadi gagasan pemikiran Marx
telah memberikan stimulus bagi Bung Karno untuk ikut
membangkitkan sebuah perlawanan nasional
menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Namun pola perlawanan yang diinginkan Bung
Karno bukanlah perjuangan kelas sebagaimana yang
menjadi konsepsi pemikiran Marx. Sebab kultur dan
natur masyarakat eropa sangatlah berbeda dengan
kultur dan natur masyarakat Indonesia. Mayoritas
masyarakat eropa yang dihisap oleh sistem kapitalisme
adalah kaum buruh. Namun di Indonesia, masyarakat
yang terhisap oleh kapitalisme dan kolonialisme adalah
masyarakat yang terdiri dari pluralitas profesi, mulai dari
petani, nelayan, kusir delman, buruh perkebunan,
buruh tani, kuli, dan kaum melarat lainnya. Untuk
itulah kemudian Bung Karno memandang perlu untuk
mencari sebuah simbol pemersatu dari sekian pluralitas
profesi kaum melarat Indonesia agar terbangun dalam
satu wadah perlawanan bersama.
Simbol pemersatu itu kemudian ditemukan Bung
Karno ketika ia sedang berjalan-jalan di sebuah desa
pinggiran kota Bandung. Saat itulah ia bertemu dengan
seorang petani dan terlibat sebuah dialog antara Bung
Karno dan petani tersebut15:
“Milik siapakah tanah ini?”
“Milik saya”, petani itu menjawab.
“Siapa yang memiliki pacul itu?”
“Milik saya”, petani itu menjawab.
“Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu?
“Milik saya”, jawab petani itu lagi.
“Siapakah nama Bapak?”
“Marhaen”
Dialog itu telah menghasilkan sebuah pemikiran
baru bagi Bung Karno karena telah memberikan fakta
sosial tentang petani Indonesia yang memiliki alat
produksi berupa sawah dan bajak, yang seluruh hasil
pertaniannya itu digunakan untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri, namun masih tetap saja melarat
akibat sistem kolonialisme yang terjadi di Indenesia.
Dan fakta sosial tentang petani tersebut ternyata
juga sama dengan fakta sosial yang terjadi pada rakyat
miskin Indonesia lainnya, baik nelayan, tukang besi,
penjual sate sampai pedagang kaki lima. Kesemuanya
juga memiliki alat-alat produksi namun ternyata
nasibnya juga sama melaratnya dengan petani akibat
15
Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung.
Jakarta. 1967
sistem yang menghisap (pauverishing). Berdasarkan fakta
sosial itu kemudian diputuskan oleh Bung Karno untuk
memberikan sebuah simbol pemersatu bagi rakyat
miskin Indonesia dengan nama kaum “marhaen”
Indonesia yang diambil dari nama seorang petani yang
ditemui Bung Karno.
Sejarah kemunculan nama “marhaen” tersebut
pada masa rejim Orde Baru sempat menjadi kontroversi
dikalangan masyarakat. Nama “marhaen” diragukan
keberadaannya. Bahkan beberapa kalangan masyarakat
berpendapat bahwa kata-kata “marhaen” tidak diambil
dari nama seorang petani karena itu hanya merupakan
cerita rekayasa Bung Karno. Nama “marhaen” dihasilkan
dari penggabungan 3 (tiga) nama yaitu Marx, Hegel dan
Engel yang jika disingkat menjadi MARHEN.
Namun tuduhan itu disangkal mati-matian oleh
kaum nasionalis. Sebab tuduhan itu akan
membahayakan keberadaan ideologi marhaenisme dari
pemberangusan dan stigmatisasi rejim Orde Baru yang
melarang setiap ajaran yang berbau marxis. Untuk
membuktikan kebenaran cerita Bung Karno tersebut
kemudian diadakan “penyelidikan” yang menyatakan
bahwa nama marhaen itu memang ada dengan
menunjukkan kuburannya di pinggiran kota Bandung.
Kontroversi tentang ada tidaknya nama petani
bernama Marhaen tersebut sebenarnya bukanlah
masalah prinsip karena tidak akan mempengaruhi
keberadaan kaum nasionalis Indonesia sebagai penerus
ajaran Bung Karno. Sebab substansi pokok dari
kemunculan nama “marhaen” tersebut adalah:
berhasilnya Bung Karno memberikan sebuah simbol
baru yang mampu menyatukan seluruh kekuatan kaum
miskin Indonesia, tidak peduli apakah nama itu hasil
rekayasa ataukah tidak.
Marhaenisme dalam Pemahaman GmnI
Dalam tulisannya Marhaen dan Proletar16 Bung
Karno mempertegas pengertiannya tentang marhaenisme
dengan mengutip hasil-hasil keputusan Konferensi
Partindo di Mataram tahun 1933 antara lain:
a. Marhaenisme yaitu, sosio nasionalisme dan sosio
demokrasi.
b. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani
yang melarat dan kaum melarat indonesia yang lain-
lain.
c. Partindo memakai parkataan marhaen, dan tidak
proletar karena perkataan proletar sudah termaktub
di dalam perkataan marhaen, dan oleh karena
perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa
kaum tani dan lain-lain kaum melarat tidak
termaktub di dalamnya.
d. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam
perjuangan kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang
harus menjadi elemen-elemennya, maka Partindo
memakai perkataan marhaen itu. mengambil bagian
yang besar sekali.
e. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang di
dalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
f. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk
mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri
yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu
cara-cara perjuangan yang revolusioner.
16
Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
g. Jadi marhaenisme adalah cara-cara perjuangan yang
menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan
imperialisme.
h. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa indonesia
yang menjalankan marhaen-isme.
Berdasarkan tulisan Bung Karno tersebut dapat
ditegaskan bahwa marhaenisme adalah sosio
nasionalisme dan sosio demokrasi. Namun atas beberapa
pertimbangan dalam Kongres Luar Biasa (KLB), maka
marhaenisme yang dianut oleh GmnI ditambah dengan
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan
tersebut didasarkan pada perkembangan pemikiran
Bung Karno tentang sejarah Ketuhanan masyarakat
Indonesia yang tertuang dalam bukunya berjudul
“Sarinah” dan Pidatonya di depan sidang Dokuritsu
Zyunbi Tooyskai (lahirnya Pancasila).
Sosio Nasionalisme
Sosio nasionalisme dijelaskan oleh Bung Karno
dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Politik dan
Demokrasi Ekonomi”17 yang mengemukakan secara jelas
pokok-pokok pikirannya yaitu:
……nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang
mencari selamatnya perikemanusiaan.
……sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen,
dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi
sebabnya kepincangan masyarakat.
…..sosio nasionalisme, bukanlah nasionalisme
“ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”,
bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah
nasionalisme yang dengan dua kaiknya berdiri di dalam
masyarakat.
17
Bung Karno, ibid.
Kemudian Bung Karno menegaskan lagi dalam
tulisannya “Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi”18:
….sosio nasionalisme adalah “nasionalsme
masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya
seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-
wetnya masyarakat.
Berdasarkan pandangan Bung Karno tersebut di
atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio
nasionalisme pada dasarnya adalah satu asas kehidupan
rakyat Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai
nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia muncul
dan tumbuh atas kesadaran sejarah ketertindasan
bangsa oleh kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena
itu nilai-nilai yang dianut oleh nasionalisme Indonesia
adalah nilai-nilai kebangsaan yang menginginkan
penegakan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, zonder
exploitation de lhomme par lhomme dan zonder
exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi
serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat
Indonesia, dan bertindak berdasarkan hukum-hukum
yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.
Sosio-nasionalisme adalah idea yang dijadikan
sebagai asas pergaulan hidup rakyat dan bangsa
Indonesia, yang dilandasi oleh semangat cinta terhadap
manusia dan kemanusiaan. Sosio nasionalisme adalah
idea tentang sebuah susunan masyarakat Indonesia
yang tidak chauvist melainkan humanis, tegas dan
revolusioner terhadap segala bentuk penindasan yang
dilakukan oleh feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan
imperialisme sebagai sebuah kesadaran dan keharusan
sejarah (historische notwendeigheit).
18
Bung Karno, ibid.
Sosio Demokrasi
Dijelaskan oleh Bung Karno dalam tulisannya
“Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” 19 bahwa
sosio demokrasi memiliki artian:
…. timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio demokrasi
adalah demokrasi yang berdiri dengan dua kakinya di
dalam masyarakat. Sosio demokrasi tidak ingin
mengabdi kepentingan sesuai gundukan kecil saja,
tetapi kepentingan masyarakat.
Sosio demokrasi bukanlah demokrasi ala revolusi
Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala
Nederland, ala Jerman dan lain-lain, tetapi ia adalah
demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio
demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi.
Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat
dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio demokrasi adalah
asas kehidupan rakyat Indonesia yang memiliki 2 (dua)
makna demokrasi yaitu: demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi. Demokrasi politik adalah sistem kehidupan
politik ketata-negaraan Indonesia yang memberikan
keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia, dan tidak
mengabdi pada segolongan masyarakat. Demokrasi
politik Indonesia adalah demokrasi yang memberikan
hak penuh kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai
entitas merdeka untuk mengartikulasikan seluruh
kemerdekaan politiknya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Demokrasi politik Indonesia mengedepankan
nilai-nilai solidaritas kebangsaan daripada kepentingan
individu, kelompok maupun golongan.
19
Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
Demokrasi ekonomi adalah bangunan sistem
perekonomian nasional yang berpijak pada pondasi nilai-
nilai ideologi, dimana manusia Indonesia menjadi sebuah
kedirian (entity) bebas yang hak dan kewajibannya
diletakkan di dalam suatu kepentingan bersama. Setiap
warga negara berhak memperoleh penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan bebas berusaha demi
perkembangan kemanusiaanya. Dasar penyusunan
perekonomian nasional juga harus didasarkan pada
upaya mewujudkan nilai-nilai (asas) kekeluargaan, yang
kemudian oleh Bung Karno dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum
(recht persoon) utama dalam perekonomian nasional.
Sebab koperasi adalah sebuah badan hukum yang
mampu mengintegrasikan sistem kepemilikan privat
dalam naungan kebersamaan.
Historis Materialisme
Historis materialisme adalah metode berpikir yang
berpijak pada hukum dialektika sejarah. Tokoh yang
terkenal sebagai pelopor dari hukum dialektika sejarah
tersebut adalah Heraclitus, seorang filusuf Yunani dari
abad 5 SM. Teorinya yang terkenal sampai saat ini
adalah pantharei oden menei (semua mengalir tidak ada
yang berhenti) dan sering dikutip Bung Karno dalam
beberapa tulisannya. Ajaran dialektika tersebut
diteruskan oleh G.F.W. Hegel, seorang filsuf Jerman dari
aliran idealis. Teori Hegel yang terkenal yaitu
pernyataannya yang memandang bahwa alam pikiran
manusia sebagai dasar dari kemunculan segala hal yang
bersifat materi di dunia. Pemikiran dialektika Hegel ini
kemudian di teruskan oleh Marx dan Engel yang
membalik teori Hegel dalam sebuah pernyataan bahwa
bukan alam pikiran manusia yang melahirkan hal-hal
yang bersifat materi, tetap sebaliknya, hal-hal yang
bersifat materilah yang menentukan segala perubahan
alam pikiran manusia.
Mengenai historis materialisme, Bung Karno
pernah menjelaskan dalam artikelnya berjudul
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” 21 bahwa:
… historis materialisme memberi jawaban atas soal:
sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu
atau begini…. historis materialisme mempelajari
tumbuhnya pikiran… historis materialisme adalah
historis.
Dari lontaran Bung Karno tersebut dapat
ditegaskan lebih lanjut bahwa historis materialisme
adalah metode berpikir (denk methode) yang digunakan
untuk mengetahui jalannya sejarah sekaligus mencari
cara untuk mengubahnya. Dengan historis materialisme
dapat diketahui bahwa segala kejadian, segala alam
pikiran manusia di dalam setiap masa, di semua
kehidupan bangsa, adalah pencerminan dari keadaan-
keadaan sosial ekonomi. Jika keadaan sosial ekonomis
materiilnya berubah, maka alam pikiran manusia pun
ikut berubah. Sehingga setiap perubahan dalam alam
pikiran manusia akan selalu mengikuti perubahan-
perubahan sosial ekonomi di dalam setiap komunitas
manusia (masyarakat).
Secara prinsip, historis materialisme yang digagas
terakhir oleh Marx tersebut telah membuka pikiran kita
tentang sejarah yang akan terus dan selalu mengalami
perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena adanya
pertentangan (kontradiksi) nilai dalam setiap kehidupan
sejarah manusia. Setiap perubahan tersebut adalah
sebuah proses akumulasi kuantitatif yang kemudian
bergerak menuju kualitatif (the lawl of the quantitative
change into the qualitative change). Perubahan tersebut
akan menuju sebuah arah perubahan yang dipandang
21
Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
lebih baik dibandingkan dengan kondisi kehidupan
sebelumnya (the law of the negation of the negation).
Historis materialisme oleh GmnI digunakan
sebagai pisau analisa untuk mencari jawaban terhadap
segala perubahan-perubahan sejarah yang terjadi
sekaligus mencari cara untuk menyusun perubahan-
perubahan tersebut menuju perubahan yang lebih baik
sesuai dengan cita-cita ideologi. Historis materialisme
akan memberikan seluruh perangkat kepada nilai-nilai
marhaenisme agar dapat terbumikan dalam kehidupan
sejarah manusia. Sebab historis materialisme telah
memberikan metode untuk mengetahui segala jenis dan
bentuk perubahan sejarah yang sekaligus membeirkan
jawaban untuk merubahnya.
22
Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.
penghisapan. Oleh karena itu, negara tidak boleh terikat
maupun tergantung dengan kekuatan lain (negara asing,
modal, militer, dan lain-lain). Negara hanya tunduk
kepada kedaulatan rakyat dan mengabdi kepada rakyat.
Berdikari di bidang ekonomi diletakkan dalam
kerangka negara bangsa yang mendasarkan
perekonomiannya pada potensi bangsa (ilmu
pengetahuan, teknologi, sumber daya alam, dan lain-
lain) tanpa tergantung dengan kekuatan lain (modal dan
negara asing). Susunan perekonomian Indonesia juga
harus didasarkan pada nilai-nilai (asas) kekeluargaan
yang mengintegrasikan sistem kepemilikan privat dalam
naungan kebersamaan. (the variants of private ownership
include individual, partnership, cooperative and
enterpreise).
Berkepribadian di bidang kebudayaan diletakkan
dalam kerangka negara bangsa yang mendasarkan
pergaulan hidupnya pada budaya bangsa sendiri.
Budaya bangsa adalah bangunan karakter kebangsaan
rakyat Indonesia dalam semangat persatuan
(nasionalisme) yang berkesadaran sejarah, humanis dan
percaya kepada kekuatan sendiri (self reliance).
Radikal
25
ibid
Radikal adalah semangat perubahan yang harus
dilakukan secara cepat dengan mendobrak segala bentuk
penindasan demi percepatan revolusi Indonesia;
Dialektis
Dialektis adalah syarat yang mewajibkan revolusi
Indonesia atas dasar hukum dialektika sejarah. Sebuah
hukum yang mempelajari sebab akibat terjadinya
perubahan sejarah yang akan memberikan arah
perubahan pasti bagi cita-cita revolusi Indonesia;
Kritis
Kritis adalah sikap dan cara berpikir rakyat
Indonesia dalam menjalankan revolusi Indonesia. Sikap
dan cara berpikir kritis tersebut adalah sikap dan cara
berpikir yang tidak puas dan tidak percaya terhadap
segala bentuk kebijakan dan sistem yang ada. Sebuah
sikap dan cara berpikir yang terus mengkaji dan menilai
setiap kebijakan dan sistem yang timbul dalam sejarah
perkembangan masyarakat sehingga mampu menilai
tentang keadilan dan kebenaran dari setiap perubahan
yang terjadi, dan mampu memperbaikinya dalam sebuah
perubahan untuk menuju sebuah tatanan kehidupan
yang lebih baik;
Mandiri
Mandiri adalah sikap revolusi Indonesia yang
tidak tergantung oleh kekuatan lain selain kekuatan
nasional, kekuatan seluruh rakyat Indonesia. Mandiri
adalah sikap revolusi yang tidak tunduk pada kemauan
siapapun kecuali kemauan seluruh rakyat Indonesia
yang didasarkan pada tuntutan budi nurani;
Gotong Royong
Gotong royong adalah kehidupan revolusi
Indonesia yang meletakkan entitas manusia Indonesia
yang bebas merdeka di atas kepentingan bersama yang
berdasarkan pada nilai-nilai solidaritas kebangsaan
(kekeluargaan);
Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah jiwa dan roh revolusi
Indonesia yang menginginkan sebuah perubahan
menuju kehidupan yang berdasar atas dasar-dasar
perikemanusiaan zonder exploitation de l’homme par
l’homme.
Religius
Religiusitas masyarakat Indonesia adalah alat
untuk membangun kesadaran revolusi yang didasarkan
atas tuntutan budi nurani manusia, yang mana tuntutan
budi nurani tersebut merupakan inti dari nilai-nilai
ajaran agama yang dianut dan diyakini oleh seluruh
rakyat Indonesia.
Feodalisme Bangsa
Dalam kesejarahan bangsa di seluruh wilayah
nusantara, kaum marhaen Indonesia telah diperintah
oleh raja-raja kerajaan Hindustan dalam tatanan
kehidupan feodal. Kaum marhaen hanya menjadi alat
kepuasan para raja dengan segala bala keningratannya.
Kaum marhaen tidak memiliki hak menentukan
nasibnya sendiri (self determination). Akibat sistem
feodalisme yang berlangsung selama berpuluh-puluh
abad tersebut telah membentuk mental masyarakat
Indonesia yang lemah, tidak percaya diri (minder),
sungkan dan ewuh pakewuh terhadap kelas yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi.
Mental-mental warisan feodalisme tersebut adalah faktor
penghambat terwujudnya revolusi Indonesia karena
kontradiktif dengan syarat-syarat revolusi yang
menginginkan kejuangan bersifat progressif,
revolusioner, radikal dan kritis.
Taktik26
Taktik yang dilakukan dalam perjuangan oleh
GmnI adalah: isu kontra isu, propaganda ideologis,
penguasaan media, statement, intelejen kontra intelejen,
kaderisasi, diplomasi, tanpa kekerasan (non violence),
kontra hegemoni, aliansi taktis dan strategis,
pendampingan
26
Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.
Bab Enam
Marhaenisme bukan
Jalan Ketiga
27
Giddens, Anthony. The Third Way:The Renewal of Social Democracy.
Polity Press. UK. 1998.
28
ibid
itu, maka dasar penyusunan perekonomian nasional
diarahkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai
kekeluargaan (cooperative), yang dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum
(recht persoon) utama perekonomian nasional. Dengan
media koperasi maka penguasaan modal (kapital) tidak
dimiliki dan diusahakan secara perorangan melainkan
kolektif sebagai syarat cooperation dan partnership.
Dengan demikian, maka pasar yang ada di Indonesia
adalah sebuah transaksi ekonomi antara sesama badan
koperasi (transaksi modal kolektif), bukan modal
perorangan seperti pasar negara liberal.
Intervensi negara terhadap pasar dalam konsepsi
marhaenisme tetap dipandang perlu oleh Bung Karno
untuk menghindari terjadinya ketidak-adilan (monopoli,
pengekangan buruh, permainan harga dll). Mengenai
investasi sumber daya alam yang menyangkut
kebutuhan hidup masyarakat, Bung Karno tetap
mempercayakannya kepada negara untuk berinvestasi,
yang keuntungannya akan digunakan untuk
kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Konsepsi Bung Karno di atas, jelas sangat jauh
berbeda dengan konsepsi Giddens. Jika Giddens memilih
kompromi dengan kekuatan kapitalisme global, bagi
Bung Karno tidak, karena bagaimanapun kapitalisme
global adalah antitesa marhaenisme, sehingga tidak ada
jalan untuk kompromi, kecuali mengganti sama sekali
sistem kapitalisme dengan marhaenisme sebagai satu-
satunya jalan.
Oleh karena itu, marhaenisme tidak dapat
dikategorikan sebagai jalan ketiga jika diartikan sebagai
upaya mengkompromikan sosialisme dan kapitalisme.
Namun marhaenisme bisa diartikan sebagai jalan tengah
yang akan mengganti sosialisme dan kapitalisme dengan
nilai-nilai marhaenisme yang sama sekali baru, bukan
revisi seperti Giddens. Sehingga jelas bahwa baik dari
latar belakang kemunculan gagasan dan nilai-nilainya,
antara marhaenisme dan jalan ketiga Giddens adalah
berbeda.
Perbedaan paling pokok dalam konsepsi ekonomi
antara jalan ketiga Giddens dengan Marhaenisme adalah
terletak pada peran negara dalam mengatur jalannya
perekonomian pasar. Jalan ketiga Giddens yang memilih
kompromi terhadap sistem ekonomi liberal telah
membagi peran antara negara dan kekuatan modal
dalam masalah pembagian usaha dan rejeki. Kompromi
itu diwujudkan dengan spesialisasi usaha antara negara
dan kekuatan modal, dimana negara hanya diberikan
ruang usaha dibidang investasi-investasi yang bersifat
sosial saja. Sementara usaha-usaha perekonomian yang
bersifat profit sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan
modal tanpa ada celah bagi negara untuk melakukan
intervensi lagi.
Sebagai kompensasinya, negara diberikan
keleluasan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang
bersifat mendukung peningkatan kesejahteraan kelas
pekerja dengan cara memberikan fasilitas pendidikan
dan pelatihan untuk meningkatkan skill para pekerja
dalam jangka panjang sebagai wujud revisi terhadap
fungsi welfare negara yang lama, seperti yang ditulis
Giddens:
….Governments need to emphasize life-long education,
developing education programmes that start from an
individual’s early years and continue on even late in
life29.
29
Giddens. ibid.
Konsepsi Giddens tentang pembagian peran
negara dan kapital di atas adalah berbeda dengan
marhaenisme. Secara prinsip, perekonomian
marhaenisme tetap tidak mengijinkan pasar
dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan kapital. Namun
demikian, marhaenisme masih tetap menganut teori
persaingan pasar. Tetapi persaingan itu harus dilakukan
oleh badan-badan usaha koperasi yang kepemilikan
modalnya bersifat kolektif, tidak perorangan.
Kepemilikan modal kolektif berarti dalam sebuah badan
usaha (recht persoon), semua elemen yang ada
didalamnya mulai dari pekerja, tukang sapu, mandor
sampai pimpinan perusahaan adalah pemilik modal.
Kepemilikan modal kolektif itu tidak sama rata
sebagaimana yang menjadi konsepsi Marxian dalam teori
“pasar negara”. Kepemilikan modal kolektif dalam
kosepsi marhaenisme tetap menganut diferensiasi saham
dan keuntungan yang disesuaikan dengan tingkat resiko,
porsi tanggung jawab dan nilai kerja masing-masing
elemen dalam perusahaan tersebut. Persaingan antar
badan koperasi dalam mekanisme pasar tersebut tetap
berada dalam pantauan dan kendali negara sebagai
penegak keadilan pasar. Negara diberikan kewenangan
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
mendukung terciptanya keadilan pasar.
Mengenai peran negara di bidang investasi,
konsepsi marhaenisme berbeda dengan Giddens yang
mengarahkan negara pada investasi bersifat sosial saja.
Konsepsi marhaenisme tetap menganut teori sosialisme
klasik, yaitu cabang-cabang produksi dan sumber daya
alam yang menyangkut kepentingan umum tetap dikelola
oleh negara. Posisi ini penting untuk diambil mengingat
masa depan kehidupan rakyat saat ini dan akan datang
(generasi masa depan). Dengan pengambil-alihan negara
tersebut, dapat dimungkinkan semua keuntungannya
dimanfaatkan untuk kepentingan sosial masyarakat
daripada dikelola oleh perorangan yang keuntungannya
hanya akan dinikmati oleh segelintir pemilik modal saja.
Sedangkan tentang ide Giddens mengenai peran
negara yang akan diarahkan pada peningkatan skill
pekerja dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan,
secara substantif hampir sama dengan konsepsi
marhaenisme. Perbedaannya, jika Giddens hanya
memprioritaskan pendidikan kepada kelas pekerja,
marhaenisme menuntut negara untuk mencerdaskan
seluruh elemen masyarakat agar mendapatkan
penghidupan yang lebih layak karena masyarakat miskin
Indonesia tidak hanya masyarakat pekerja (proletar) saja.
Perbedaan kedua, jika tujuan pendidikan dan pelatihan
Giddens untuk menyiapkan kelas pekerja menghadapi
persaingan pasar, tujuan Bung karno untuk membawa
masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan sosial
bersama.
Ide Bung Karno ini mungkin hampir sama dengan
apa yang pernah dilontarkan oleh Saint Simon pada
abad delapan belas silam yang menggagas perlunya ilmu
pengetahuan dan teknologi dimanajemeni agar bisa
bermanfaat bagi kepentingan seluruh masyarakat. Bung
Karno menyadari bahwa bangsa Indonesia memang
mengalami ketertinggalan di bidang IPTEK sebagai
implikasi dari kolonialisme imperium barat. Oleh karena
itu maka transfer ilmu pengetahuan dan teknologi tetap
dibutuhkan bagi percepatan pertumbuhan perekonomian
di Indonesia.
Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan
sekali lagi bahwa bagaimanapun marhaenisme tidak
dapat dikategorikan sebagai ideologi jalan ketiga seperti
konsepsi yang digagas Giddens. Marhaenisme adalah
ideologi kiri yang menjadikan kapitalisme berikut
metamorfosanya sebagai antitesa. Marhaenisme bukan
ideologi kanan, tengah ataupun jalan ketiga yang bersifat
kompromi terhadap kapitalisme. Marhaenisme adalah
ideologi yang berdiri sendiri karena berpijak pada nilai-
nilainya sendiri, bukan hasil revisi dari ideologi apapun
seperti ide Giddens.
Bab Tujuh
Marhaenisme Tidak
Lagi Relevan?
31
Bung Karno, “Swadesi dan Massa Aksi Indonesia”, Dibawah Bendera
Revolusi, Jilid I Cetakan Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969.
32
Ibid.
diubah dari pendekatan bersenjata (perang) menjadi
pendekatan lunak dengan iming-iming pemberian modal
dan transfer IPTEK yang dijustifikasi melalui “teori
modernisme”33. Secara garis besar teori itu menegaskan
tentang perlunya transfer modal dan IPTEK untuk
membantu negara dunia ketiga (bekas jajahan) mengejar
ketertinggalannya terhadap negara maju. Teori itu pula
yang kemudian melahirkan lembaga-lembaga donatur
internasional terutama IMF dan World Bank. Namun
dalam realitasnya kemudian, teori itu dipatahkan oleh
“teori dependensia”34 yang berhasil membuktikan bahwa
transfer modal dan IPTEK tersebut justru
menjerumuskan negara dunia ketiga dalam jebakan
hutang (dept trap). Sebab transfer modal itu ternyata
digunakan sebagai bargain negara maju untuk
menguasai pasar dan sumber daya alam negara dunia
ketiga. Transfer IPTEK pun ternyata tidak pernah
dilakukan secara sungguh-sungguh oleh negara maju,
bahkan sebaliknya yang terjadi adalah transfer tenaga-
tenaga ahli ke negara dunia ketiga.
Bargain negara maju itu dilakukan dengan cara
menggunakan lembaga donatur internasional (IMF dan
World Bank) sebagai kendaraan politik untuk memaksa
negara penghutang mengikuti kemauan negara maju.
Wajar jika aturan-aturan yang dibuat IMF dan World
Bank kemudian tidak pernah jauh dari deregulasi,
liberalisasi, privatisasi dan pencabutan subsidi 35.
Melihat perubahan strategi kapitalisme itu, maka
jelas akan memunculkan pertanyaan bagi kita mengenai
masih relevan tidaknya strategi yang kita terapkan dalam
33
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Negara Dunia Ketiga
34
ibid.
35
World Bank. Entering the 21st Century, World Development Report 1999/
2000. Oxford University Press. New York.
menghadapi perubahan kapitalisme ini. Inilah
pertanyaan yang benar dan perlu untuk ditanggapi oleh
GmnI. Jadi –sekali lagi– bukan pertanyaan yang
menyangkut relevan tidaknya nilai-nilai marhaenisme,
tetapi lebih menyangkut pada relevan tidaknya strategi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab Tiga
“KLB dan Strategi Baru Kejuangan GmnI”, GmnI telah
mencoba menyusun ulang tentang strategi-strategi baru
yang coba diterapkan menghadapi kapitalisme global
tersebut. Strategi dasar yang dilakukan GmnI saat ini
adalah pembangunan kekuatan masyarakat
(machtvorming) melalui strategi pengorganisasian rakyat.
Tujuan pengorganisasian tersebut dalam jangka
pendek adalah upaya pembangunan simpul-simpul
kekuatan di dalam masyarakat yang nantinya
diharapkan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang
mandiri dan tidak tunduk pada kekuasaan, melainkan
kritis dan radikal. Dengan terbentuknya lembaga-
lembaga kontrol di tengah kehidupan masyarakat
tersebut, perubahan diharapkan akan berjalan lebih
cepat dan meningkat karena kekuasaan mulai dari RT,
RW, Desa, Kecamatan, Distrik sampai pusat dapat
dikontrol secara bertingkat karena lembaga-lembaga
kontrol masyarakat itu dengan sendirinya akan
membentuk jaring kerjasama antar masyarakat melalui
pemanfaatan media komunikasi global sebagai alat
transformasi dan komunikasi.
Dalam jangka menengah, tujuan pengorganisasian
adalah terciptanya sebuah kesadaran baru bagi
masyarakat tentang sistem nilai (ekonomi, politik dan
budaya) yang ditanamkan oleh kekuasaan, yang
dipandang tidak mendukung terwujudnya sebuah
perubahan yang lebih baik, sehingga perlu untuk
dilakukan pendekonstruksian nilai dengan cara
perlawanan terhadap kekuasaan. Cara penyadaran itu
dilakukan melalui pola-pola agitasi dan propaganda
melalui media-media informasi dan komunikasi yang
terdapat dalam sentra-sentra komunitas masyarakat
(tempat ibadah, karang taruna, warung kopi, pasar, dll).
Cara itulah yang dulu pernah dilakukan oleh Bung
Karno dan founding father lainnya dalam upaya
membangkitkan perlawanan nasional pada masa
kekuasaan imperium barat di Indonesia.
Tujuan jangka panjangnya adalah merekonstruksi
ulang tatanan nilai kehidupan masyarakat yang
kapitalistik untuk diarahkan pada bangunan sintesa
ideologi (marhaenisme). Untuk bisa merekonstruksi
bangunan nilai di masyarakat tersebut kader-kader
GmnI dituntut untuk memiliki kemampuan yang benar-
benar kuat dalam memahami nilai-nilai yang
berpengaruh dan berkembang di masyarakat. Sebab
tanpa memahami basic materiil masyarakat maka terlalu
mustahil bagi seorang kader untuk bisa melakukan
rekonstruksi karena tidak tahu dimana dan bagaimana
rekonstruksi nilai itu akan dilakukan.
Oleh karena itu, maka pemetaan dan analisa
sosial dengan cara integral di tengah-tengah kehidupan
masyarakat adalah satu-satunya cara strategis bagi
GmnI jika benar-benar menginginkan terjadinya sebuah
rekonstruksi nilai dalam kehidupan masyarakat. Dengan
cara integral maka GmnI akan mengetahui secara detail
tentang perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, mulai dari cara pandang
masyarakat, cita-cita hidup masyarakat, harapan-
harapan yang ada dalam kehidupan masyarakat,
budaya-budaya yang hidup di tengah masyarakat sampai
pada keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh
masyarakat. Variabel-variabel sosial itu adalah alat yang
akan membawa GmnI pada satu analisa dan pemikiran
yang tidak akan bersifat kuldesak sehingga benar-benar
bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat sebagai
sebuah sintesa ideologi.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pengorganisiran
itu, langkah pertama yang harus dilakukan GmnI adalah
menyusun format pengkaderan baru yang bisa
memadukan antara indoktrinasi ideologis dengan
kemampuan berpikir kader. Sehingga GmnI akan
memiliki kader-kader yang memiliki kemampuan dan
kemauan atas kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai kader untuk melakukan perjuangan melalui
strategi pengorganisasian rakyat tersebut. Dan cukup
menggembirakan karena Kongres Luar Biasa GmnI pada
akhirnya berhasil menyusun Silabus Kaderisasi yang
dipandang bisa mendukung strategi baru
pengorganisasian rakyat yang telah digagasnya.
Apakah strategi pengorganisasian rakyat ini
nantinya akan mampu menjadikan marhaenisme sebagai
tesa? Dan apakah strategi ini cukup relevan menghadapi
kapitalisme global? Hanya dialektika sejarahlah yang
bisa menjawabnya. Seorang kader GmnI pun hanya bisa
menjawab kapan strategi ini akan dijalankan, yang
tentunya akan dijawab: detik inipun akan kita jalankan.
Sampai kapan? Sampai sejarah meminta kita untuk
merubahnya kembali. Amien.
Daftar Bacaan
(* non aktif
SILABUS KADERISASI
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
Landasan Pemikiran
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
adalah sebuah organisasi gerakan yang berbasiskan
intelektual muda (mahasiswa) yang memiliki cita-cita
terwujudnya sosialisme Indonesia sebagai satu sinthesa
yang berdasarkan atas asas marhaenisme yaitu : sosio-
nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang
Maha Esa di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Namun di lain pihak, ternyata sejarah
perkembangan kapitalisme telah berimplikasi
terjerumusnya kehidupan rakyat Indonesia dalam
sebuah penderitaan panjang berupa penindasan dan
penghisapan kapitalisme dan imperialisme negara-
negara maju. Ketidakberdaulatan politik, ketergantungan
ekonomi, serta kehancuran mental dan moral budaya
bangsa, adalah sebuah realitas sejarah dimana rakyat
Indonesia menjadi tumbalnya. Dan realitas sejarah
tersebut telah menjauhkan cita-cita bangsa yang
menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur zonder exploitation de l’homme par l’homme dan
zonder exploitation de nation par nation. Padahal cita-cita
bangsa tersebut merupakan cita-cita ideologi yang
diemban oleh GMNI yaitu terwujudnya sosialisme
Indonesia.
Oleh karena itu, dengan mencermati realitas di
atas, telah menjadi tanggung jawab seluruh kader GMNI
untuk menegakkan kembali cita-cita sosialisme
Indonesia tersebut demi amanat penderitaan rakyat
(AMPERA). Revolusi adalah pilihan perjuangan yang
akan dilakukan GMNI. Revolusi yang berarti perubahan
secara cepat dan radikal; revolusi yang tidak mengenal
titik, melainkan terus mengalir sampai akhir jaman
(panta rhei); revolusi yang bersifat merombak mental dan
moral bangsa untuk dikembalikan kepada jati diri
masyarakat marhaenis yaitu humanis, gotong royong
dan anti penindasan.
Dengan tugas dan tanggung jawab tersebut, maka
GMNI sebagai alat pendidikan kader harus mampu
membentuk, menggembleng dan mencetak generasi
muda sebagai kader pelopor yang progressif, revolusioer
dan radikal, untuk memimpin jalannya revolusi dalam
upaya mewujudkan sosialisme Indonesia yaitu berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang kebudayaan.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas,
maka GMNI merasa perlu untuk menyusun Silabus
Kaderisasi yang akan menjadi acuan resmi organisasi
sebagai upaya mencetak kader-kader yang diharapkan
mampu menjadi pelopor dan pemimpin revolusi
Indonesia. Dengan terbentuknya silabus kaderisasi,
diharapkan sistem pengkaderan GMNI akan lebih
sistematis, terarah sehingga mendukung terbentuknya
kader-kader yang ideologis, progresif, revolusioner dan
berkepribadian. Untuk itu maka di dalam silabus
kaderisiasi GMNI, sistem pengkaderan diputuskan untuk
dibagi dalam 4 tahapan kaderisasi yaitu :
1. Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB);
2. Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD);
3. Kaderisasi Tingkat Menengah (KTM);
4. Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP).
Pekan Penerimaan Anggota Baru
(PPAB)
Maksud
PPAB adalah masa penerimaan anggota baru
GMNI yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa
Indonesia. PPAB berfungsi sebagai alat pengenalan
organisasi kepada seluruh para calon anggota agar dapat
memahami peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab
GMNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan pelaksanaan PPAB tersebut diharapkan para
calon anggota akan terbangun kesadarannya khususnya
tentang kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai generasi muda terhadap masa depan dan cita-
cita bangsa.
Tujuan
Tujuan PPAB adalah membangun instuisi
kesadaran para calon anggota. Kesadaran yang
dimaksud adalah kesadaran akan ruang dan waktu
dimana calon anggota telah memahami dan meyakini
bahwa membangun kehidupan bangsa adalah benar-
benar menjadi tugas dan tanggung jawabnya yang harus
diimplementasikan, dan GMNI adalah wadah dalam
upaya mengimplementasikan tugas dan tanggung
jawabnya tersebut.
Materi
Selama pelaksanaan PPAB, para calon anggota
diberikan masukan-masukan materi yang diharapkan
akan membantu para calon anggota dalam membangun
kesadaran dan visi akan peran dan tanggung jawabnya
sebagai generasi muda bangsa. Materi-materi tersebut
antara lain : Ke-GMNI-an; Nasionalisme dan Patriotisme
Indonesia; serta Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Format Pengkaderan
Materi disampaikan dengan cara kuliah umum
(ceramah). Ceramah berfungsi sebagai alat pendorong
dan stimulus pemikiran bagi para calon anggota dalam
upaya memahami materi dan persoalan yang
diketengahkan. Materi ceramah harus tetap berpijak
pada teori dan realitas yang relevan agar mampu dicerna
secara baik oleh para calon anggota.
Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan
pada sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan
calon anggota, tetapi dialog diartikan sebagai proses
tukar pikiran antara pemateri dan para calon anggota.
Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian
para kader dalam mengemukakan pemikiran-
pemikirannya. Di samping itu, dengan dialog tersebut
panitia dapat melihat dan menilai tentang metode
berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon
anggota dalam menangkap dan menganalisa persoalan-
persoalan yang didasarkan pada materi yang mereka
serap.
Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan
dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para
calon anggota untuk dianalisa dalam sebuah diskusi
terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para
calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus
diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan erat
dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan
diskusi tersebut diharapkan para calon anggota akan
lebih mudah memahami dan menganalisa materi-materi
yang telah diberikan selama PPAB. Masa waktu
pelaksanaan PPAB paling lama 2 (dua) hari.
Pelaksana
PPAB dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yang
dibentuk dan disahkan oleh Pengurus Komisariat GMNI.
PPAB dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode
kepengurusan komisariat. Kepanitiaan PPAB dapat
dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas
komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan peserta
PPAB menjadi anggota GMNI dilakukan oleh Dewan
Pimpinan Cabang bersangkutan.
Kerangka Acuan
Materi Ke-GMNI-an
Materi ke-GMNI-an ditujukan untuk mengenalkan
GMNI sebagai organisasi kepada para calon anggota.
Pengenalan organisasi GMNI tersebut meliputi sejarah
GMNI, AD/ART GMNI dan peran GMNI dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah pertarungan
ide dan pemikiran yang bersifat ideologis. Dan GMNI
adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi
pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan
pertarungan ide dan pemikiran itu dapat dianalisa dari
runtutan kongres ke kongres dimana di dalamnya terjadi
dinamika gerakan dan perjuangan GMNI dalam upaya
mewujudkan cita-cita marhaenisme.
Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk
mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI,
khususnya tentang aturan hukum (rule of law) dan
aturan main (rule of game) yang berlaku di GMNI.
Dengan pengenalan AD/ART tersebut maka para calon
anggota diharapkan akan mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sesuai dengan mekanisme
keorganisasian yang berlaku di tubuh GMNI. Pokok-
pokok yang menjadi prioritas materi dalam pengenalan
AD/ART tersebut antara lain : pembukaan Anggaran
Dasar yang menerangkan tentang sifat dan watak
perjuangan GMNI; asas organisasi yang menerangkan
tentang ideologi dan cita-cita GMNI, struktur
keorganisasian yang bersangkut paut pada pembagian
tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ
kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis
keorganisasian, serta hak dan kewajiban para anggota.
Peran GMNI dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara disampaikan dengan cara pengemukaan
realitas perjuangan yang dilakukan GMNI agar dapat
lebih menggugah kesadaran dan semangat para calon
anggota. Pengemukaan realitas perjuangan dapat
dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh
gerakan yang dilakukan GMNI baik skala nasional,
regional maupun lokal. Namun dari pengemukaan
contoh tersebut, tetap lebih diprioritaskan pada kasus-
kasus lokal yang diperjuangkan oleh komisariat maupun
DPC bersangkutan. Sebab dengan pengemukaan kasus
lokal tersebut propaganda dan indoktrinasi akan lebih
mudah ditangkap dan diterjemahkan oleh para calon
anggota.
Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis
besar, kerangka acuan materi ke-GMNI-an dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Sejarah lahirnya GMNI
2. Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI
3. Watak dan cita-cita perjuangan GMNI
4. Asas dan asas perjuangan GMNI
5. Keorganisasian di tubuh GMNI
6. Peran dan tantangan yang dihadapi oleh GMNI
Maksud
Kaderisasi Tingkat Dasar adalah proses
pengkaderan tingkat pertama yang ditujukan bagi
mahasiswa yang telah disahkan sebagai anggota GMNI
melalui PPAB. KTD mengutamakan proses pengenalan
ideologi kepada para calon kader sehingga dapat
memahami marhaenisme secara menyeluruh, tidak
tekstual dan parsial. Dengan pemahaman ideologi yang
baik, maka para kader diharapkan akan mampu
melaksanakan perjuangan secara konsisten mulai dari
metode berpikir yang dipakai, pola gerakan yang
digunakan serta disiplin gerakan yang dianut,
kesemuanya akan selalu bersumber pada satu roh
ideologi yaitu marhaenisme.
Tujuan
Tujuan pokok dari KTD adalah menyiapkan para
anggota GMNI menjadi kader yang memahami, meyakini
dan mampu memanifestasikan marhaenisme dalam
kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya. Oleh karena
itu, maka KTD akan berfungsi sebagai proses
indoktrinasi kader untuk merubah sikap, mental,
kepribadian dan cara berpikir para calon kader agar
menjadi kader yang ideologis, progressif, revolusioner
dan berkepribadian.
Materi
Selama proses KTD, para calon kader akan
mendapatkan materi yang akan menunjang
penggemblengan diri anggota menjadi kader. Materi-
materi tersebut antara lain meliputi : Marhaenisme;
Metode Berpikir Marhaenisme; Nasionalisme Indonesia;
Sosiologi dan Analisa Sosial; Keorganisasian; Konstalasi
Politik Nasional; dan Ke-GMNI-an.
Disamping materi pokok di atas, di dalam KTD
juga akan diberikan materi pendukung, antara lain :
materi-materi lokal yang disesuaikan dengan geografis
dan geopolitik di tiap-tiap daerah bersangkutan. Materi
pendukung lainnya adalah materi tentang dinamika
kelompok dan dinamika pergerakan.
Format Pengkaderan
Kaderisasi Tingkat Dasar diharapkan dapat
dilaksanakan di tempat-tempat terbuka yang bernuansa
alam namun jauh dari keramaian (pantai, hutan,
pegunungan, dan lain-lain). Pemilihan tempat tersebut
bertujuan untuk memudahkan proses indoktrinasi
kepada para calon kader, dengan asumsi bahwa para
calon kader akan dapat lebih mengkonsentrasikan
pikirannya tanpa harus terganggu oleh pikiran-pikiran
lain yang justru semakin melemahkan mental dan
pikiran calon kader. Indoktrinasi yang ditekankan adalah
indoktrinasi tentang penindasan dan kesengsaraan yang
dihadapi oleh rakyat melalui simbolisasi dan simulasi
(modellings) kepada para calon kader. Simbolisasi dan
simulasi tersebut harus diimbangi pendekatan emosional
dan psikologis kepada seluruh calon kader dengan cara-
cara kontemplatif.
Penyampaian materi dilakukan dengan cara
pemberian ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah
berfungsi sebagai alat pendorong dan stimulus pemikiran
bagi para calon kader dalam upaya memahami materi
dan persoalan yang diketengahkan. Materi ceramah
harus tetap berpijak pada teori dan realitas yang relevan
agar mampu dicerna secara baik oleh para calon
anggota.
Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan
hanya sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan
calon kader, tetapi lebih diartikan sebagai proses tukar
pikiran (sharing) antara pemateri dan para calon kader.
Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian
para kader dalam mengemukakan pemikiran-
pemikirannya. Disamping itu, dengan dialog tersebut
panitia dapat melihat dan menilai tentang metode
berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon kader
dalam menangkap dan menganalisa persoalan-persoalan
yang didasarkan pada materi yang mereka serap.
Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan
dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para
calon kader untuk dianalisa dalam sebuah diskusi
terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para
calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus
diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan secara
erat dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan
diskusi tersebut diharapkan para calon kader akan lebih
mudah memahami dan menganalisa materi-materi yang
telah diberikan selama KTD. Masa waktu pelaksanaan
KTD minimal 3 (tiga) hari. Jika pemberian materi dinilai
tidak memiliki cukup waktu, maka KTD dapat
diperpanjang menjadi 5 (lima) hari.
Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Dasar dilaksanakan oleh
sebuah kepanitiaan yang dibentuk dan disahkan oleh
Pengurus Komisariat atau Dewan Pimpinan Cabang. KTD
dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode
kepengurusan komisariat. Kepanitiaan KTD dapat
dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas
komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan anggota
menjadi kader GMNI dilakukan oleh Dewan Pimpinan
Cabang bersangkutan disaksikan oleh Koordinator
Daerah.
Kerangka Acuan
Materi Marhaenisme
Pemberian materi marhaenisme dimulai dari
sejarah munculnya marhaenisme di Indonesia. Proses
sejarah tersebut dikaitkan dengan pandangan-
pandangan Bung Karno tentang realitas sejarah
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pada masa
pra kemerdekaan yang berakibat pada penindasan dan
penghisapan kehidupan rakyat. Sejarah munculnya
marhaenisme juga ditinjau dari ide-ide yang mengilhami
pemikiran Bung Karno sehingga menemukan
marhaenisme tersebut.
Pengenalan materi marhaenisme dimulai dengan
menerangkan 3 (tiga) pokok intisari marhaenisme yaitu :
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sosio nasionalisme adalah pandangan
hidup yang menjelaskan tentang watak nasionalisme
Indonesia. Sosio demokrasi adalah sistem sosial politik
dan sosial ekonomi yang berdasarkan pada sendi-sendi
kehidupan masyarakat Indonesia. Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Ketuhanan masyarakat Indonesia yang
berkebudayaan (DBR I dan Lahirnya Pancasila).
Setelah calon anggota memahami isi daripada
marhaenisme, materi selanjutnya adalah pengenalan
tentang marhaenisme sebagai asas (ideologi) dan asas
perjuangan. Marhaenisme sebagai asas adalah
pandangan dan cita-cita hidup yang harus dipegang
teguh oleh seluruh kader GMNI. Marhaenisme sebagai
asas perjuangan adalah cara dan upaya dalam
mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang
bersumber pada marhaenisme.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar, kerangka acuan materi “Marhenisme” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Sejarah lahirnya marhaenisme
- Realitas sejarah kapitalisme dan imperialisme di
Indonesia
- Marhaenisme sebagai satu keharusan sejarah
(historische notwendeig)
- Marhaenisme dan jiwa kehidupan rakyat
Indonesia
- Marhaenisme dan feodalisme di Indonesia
b. Marhaenisme sebagai antitesa kapitalisme
a. Marhaenisme sebagai asas (ideologi)
- sosio nasionalisme
- sosio demokrasi
- Ketuhanan Yang Maha Esa
c. Marhaenisme sebagai asas perjuangan
- Machtvorming dan machtanwending
- Non Kooperasi dan gerakan revolusioner
- Massa Aksi dan Masalle Actie
- Self reliance dan self help
Materi Metode Berpikir Marhaenisme
Materi metode berpikir marhaenisme diawali dari
sejarah perkembangan pemikiran manusia sebagai kata
pengantar, yang dimulai dari kehidupan filsafat masa
Yunani kuno (Heraclitus, Parmanides, Socrates,
Aristoteles dan Plato). Ruang lingkup materi filsafat
Yunani kuno tersebut lebih ditekanan pada pokok-pokok
pikiran tentang kosmologi dan epistemologi demi
memudahkan para calon kader untuk meruntut sejarah
perkembangan pemikiran manusia.
Setelah kata pengantar, materi dilanjutkan
dengan dasar-dasar filsafat Hegel terutama tentang
historische materialisme untuk memberikan pemahaman
dasar tentang cara berpikir dialektis dalam menangkap
fenomena dan realitas sejarah. Pemikiran Hegel lainnya
yang perlu diketengahkan dalam materi KTD adalah teori
“idealisme absolute” Hegel tentang alam dan Tuhan.
Pemikiran idealisme absolute Hegel tersebut
kemudian dikomparasikan dengan pemikiran Feurbach
tentang manusia dan Tuhan. Materi Feurbach tersebut
dianggap sebagai satu sejarah penting yang perlu
disampaikan karena memang pada masa Ferubach-lah
filsafat materialisme mulai berkembang sebagai wujud
kritik dan ketidak puasan terhadap filsafat idealisme
yang dikembangkan Hegel.
Setelah pemberian materi tentang Feurbach,
barulah diberikan pemikiran- pemikiran Karl Marx yang
menyempurnakan pemikiran Feurbach dan Hegel dengan
teori yang disusunnya yaitu materialisme sejarah dan
materialisme dialektika. Historis materialisme dan
materialisme dialektika yang dikembangkan oleh Marx
dan Engel tersebut kemudian dikomparasikan dengan
filsafat idealisme Hegel untuk dianalisa guna melihat
letak perbedaan-perbedaan prinsipnya.
Materi berikutnya adalah tentang materialisme
sejarah dan materialisme dialektika yang diterapkan dan
disempurnakan oleh Bung Karno ke dalam tubuh
marhaenisme sebagai pisau analisa untuk membedah
persoalan-persoalan dalam sejarah kehidupan
masyarakat Indonesia. Setelah pemberian materi
tersebut, pemateri harus mengkomparasikan antara
pemikiran materialisme dialektika Bung Karno dengan
Marx untuk mengetahui letak perbedaan dan kesamaan
prinsipnya. Pola komparasi dilakukan dengan
mengaitkan secara langsung dengan latar belakang
sejarah yang terjadi pada masa Marx dan masa Bung
Karno.
Setelah uji komparatif tersebut, materi
selanjutnya adalah pengenalan kepada para calon kader
tentang cara-cara menggunakan materialisme dialektika
sebagai pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara
garis besar kerangka acuan materi “metode berpikir
marhaenisme” dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Pengantar : Perkembangan sejarah pemikiran
manusia
- Heraclitus dan Parmanides
- Socrates, Plato dan Aristoteles
b. Kerangka pemikiran George Frederich Hegel
- Idealisme absolut
- Materialisme sejarah
a. Kerangka pemikiran Ludwig Feurbach
- Kritik Feurbach tentang idealisme absolut Hegel
c. Analisa komparatif filsafat idealisme Hegel dan
materialisme Feurbach
- Pandangan Hegel dan Feurbach tentang manusia
dan Tuhan
d. Kerangka pemikiran Karl Marx
- Pandangan Marx terhadap materialisme sejarah
Hegel
- Pandangan Marx terhadap Feurbach
- Materialisme dialektika dan hukum kontradiksi
Karl Marx
e. Metode berpikir marhaenisme
- Marhaenisme dan filsafat idealisme
- Marhaenisme dan filsafat materialisme
- Filsafat marhaenisme
- Materialisme sejarah dan materialisme dialektika
dalam roh marhaenisme
Cara menggunakan materialisme dialektika sebagai
pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia.
Materi Keorganisasian
Materi keorganisasian adalah materi yang
mengenalkan kepada calon kader tentang arti sebuah
organisasi yang mencakup bentuk-bentuk organisasi,
jenis-jenis organisasi dan fungsi organisasi. Bentuk-
bentuk organisasi disampaikan dengan cara menjelaskan
bentuk perbedaan antara organisasi dengan non
organisasi. Jenis-jenis organisasi disampaikan dengan
cara membedakan pola dan sistematika hirarkis
keorganisasian di tiap-tiap organisasi yang ada.
Setelah penyampaian materi tersebut, calon kader
diwajibkan melakukan identifikasi pada masing-masing
organisasi yang ada untuk membedakan organisasi
mana yang evolutif, tidak memiliki paradigma dan cita-
cita, dengan organisasi mana yang revolusioner,
berparadigma dan memiliki landasan ideologi yang kuat.
Setelah pengenalan dan identifikasi tiap-tiap organisasi,
calon kader kemudian diajak untuk mengidentifikasi
GMNI sebagai organisasi yang ditinjau dari ideologi dan
sistematika keorganisasian yang berlaku di AD/ART.
Dengan identifikasi tersebut diharapkan para calon
kader akan dapat memahami lebih baik lagi tentang
bentuk, jenis dan fungsi keorganisasian di tubuh GMNI.
Materi keorganisasian tersebut kemudian
direlevansikan dengan peran dan posisi GMNI sebagai
alat perjuangan dan sentral gerakan. GMNI sebagai alat
perjuangan berarti GMNI adalah alat untuk mewujudkan
cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat sosialis
Indonesia. GMNI sebagai sentral gerakan berarti GMNI
adalah titik pusat dari segala gerakan untuk
mewujudkan cita-cita tersebut.
Tambahan materi keorganisasian lainnya adalah
materi manajemen organisasi dan teori kepemimpinan.
Materi manajemen organisasi bersangkut paut pada rule
of law dan rule of game di tubuh GMNI sebagai sebuah
organisasi. Materi teori kepemimpinan bersangkut paut
pada tipe-tipe kepemimpinan dengan cara mencontohkan
pola-pola kepemimpinan yang ada dalam perkembangan
sejarah yang kemudian dikaitkan dengan budaya-budaya
kekuasaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
bersar Kerangka Acuan materi “Keorganisasian” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Pengenalan organisasi
- Bentuk organisasi
- Jenis organisasi
- Fungsi organisasi
2. Identifikasi organisasi
2. GMNI sebagai organisasi
- GMNI sebagai alat perjuangan
- GMNI sebagai sentral gerakan
3. Manajemen organisasi
4. Teori kepemimpinan
- Pola-pola kepemimpinan dalam perkembangan
sejarah
- Pola kepemimpinan dan budaya kekuasaan
Materi Ke-GMNI-an
Materi ke-GMNI-an merupakan pendalaman dari
materi ke-GMNI-an yang sebelumnya telah diberikan
selama masa PPAB. Materi ke-GMNI-an di dalam KTD
meliputi sejarah GMNI, AD/ART GMNI, serta peran dan
tanggung jawab GMNI dalam mengemban cita-cita
marhaenisme.
Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah
pertarungan ide dan pemikiran yang bersifat ideologis.
Dan GMNI adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi
pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan
pertarungan ide dan pemikiran itu ditinjau dari runtutan
kongres ke kongres dimana di dalamnya dipenuhi oleh
dinamika gerakan dalam upaya mewujudkan cita-cita
marhaenisme.
Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk
mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI
secara lebih mendalam, khususnya tentang aturan
hukum (rule of law) dan aturan main (rule of game) yang
berlaku di GMNI. Dengan pengenalan AD/ART tersebut
maka para calon kader akan dapat menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan
mekanisme keorganisasian yang berlaku di GMNI,
khususnya mengenai hak dan kewajiban sebagai anggota
GMNI. Item-item yang menjadi prioritas materi dalam
pengenalan AD/ART tersebut antara lain : pembukaan
Anggaran Dasar yang menerangkan tentang sifat dan
watak perjuangan GMNI; asas organisasi yang
menerangkan tentang ideologi dan cita-cita GMNI,
struktur keorganisasian yang bersangkut paut pada
pembagian tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ
kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis
keorganisasian yang berlaku, serta hak dan kewajiban
para anggota.
Materi tentang Pembukaan Anggaran Dasar
disampaikan untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam kepada kader tentang cita-cita, watak dan
sifat gerakan di dalam tubuh GMNI. Materi tentang asas
ditekankan pada alasan-alasan ideologis penggunaan
marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan. Materi
tentang struktur keorganisasian menjelaskan tentang
sistematika keorganisasian di tubuh GMNI mulai dari
tingkat teratas yaitu lembaga kepresidiuman sampai
tingkat terendah yaitu komisariat. Penjelasan tentang
struktur keorganisasian tersebut bertujuan agar kader
dapat memahami tentang maksud dan tujuan
dibentuknya struktur keorganisasian yaitu untuk
memudahkan langkah-langkah gerakan dengan cara
pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab sebagai
sebuah organisasi formal.
Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis
besar, Kerangka Acuan materi ke-GMNI-an dapat
dijelaskkan sebagai berikut :
1. Sejarah lahirnya GMNI
2. Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI
3. Watak perjuangan GMNI
4. Asas dan asas perjuangan GMNI
5. Sejarah perjuangan GMNI
6. Tantangan yang dihadapi oleh GMNI
7. Keorganisasian GMNI (AD/ART)
Maksud
Kaderisasi Tingkat Menengah adalah proses
pengkaderan tingkat kedua bagi kader GMNI yang telah
lulus dari Kaderisasi Tingkat Dasar. KTM memiliki
maksud untuk menguji tingkat wacana dan cara berpikir
kader yang dikaitkan langsung dengan ideologi
marhaenisme. Pelaksanaan KTM juga sekaligus
mengolah seluruh wacana (teori) yang dikuasai para
kader untuk disinergikan sesuai dengan roh dan jiwa
marhaenisme, sehingga tidak paradoks jika
diimplementasikan dalam langkah-langkah perjuangan.
Tujuan
Tujuan Kaderisasi Tingkat Menengah adalah
menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang siap
menjadi motor penggerak perjuangan untuk memimpin
rakyat menuju revolusi demi terwujudnya cita-cita
sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka para tiap-
tiap kader yang telah lulus dari KTM diharapkan telah
mampu memegang kantung-kantung massa dan
melakukan pengorganisiran di tiap kantung-kantung
massa tersebut.
Format Pengkaderan
Pengkaderan diharapkan dapat dilakukan di
tengah-tengah komunitas masyarakat marjinal dan
tertindas, misalnya perkampungan masyarakat miskin
pedesaan, perkampungan kumuh masyarakat miskin
perkotaan, perkampungan buruh perkebunan, dan lain-
lain. Dengan latar belakang komunitas tersebut,
diharapkan akan lebih membantu para kader dalam
upaya menerapkan wacana dan teori-teori yang dikuasai
sesuai dengan metode berpikir marhaenisme dengan
cara menatap dan menganalisa realitas sosial yang ada
di sekitar.
Format KTM dibagi dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah “KTM dalam ruang” yang berisi
pembekalan dan pematangan materi bagi seluruh kader.
Proses penyampaian materi dilakukan dengan cara
ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah, dialog dan
diskusi bertujuan untuk mensinergikan teori dan
kerangka berpikir kader dengan metode berpikir dan
ideologi marhaenisme. Masa waktu KTM dalam ruang
paling lama adalah 7 (tujuh) hari.
Tahap kedua adalah “KTM luar lapang” yang
merupakan praktek langsung di lapangan. Setiap kader
diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakat
untuk mempraktekkan secara langsung materi-materi
yang telah diberikan selama KTM dalam ruang. Tiap
kader memegang satu kantung massa dengan pilihan :
komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas
nelayan, komunitas buruh, dan komunitas miskin kota.
Setiap kader harus berprofesi dan berpola perilaku sama
dengan komunitas tempat tinggal. Masa waktu KTM luar
lapang paling cepat 1 (satu) bulan dan paling lama 2
(dua) bulan. Hasil selama penerjunan tersebut kemudian
didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis yang
mengacu pada format baku (standarisasi) pembuatan
tesis.
Materi
Materi yang akan disampaikan dalam Kaderisasi
Tingkat Menengah adalah materi tentang: ideologi
kapitalisme, marxisme, dan marhaenisme;
keorganisasian mengenai teknik pengorganisiran,
pemetaan, negosiasi, agitasi propaganda, teknik
diplomasi (networking), manajemen aksi dan analisa
sosial. Materi pendukung lain yang akan dipergunakan
dalam KTM luar lapang adalah : studi kasus.
Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan oleh
sebuah kepanitiaan yang dibentuk oleh Dewan Pimpinan
Cabang. Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan
minimal 1 (satu) kali selama periode kepengurusan
Dewan Pimpinan Cabang. Pelantikan bagi kader-kader
yang dinyatakan lulus dilakukan oleh Presidium atau
dapat diwakilkan kepada Koordinator Daerah atas surat
mandat dari Presidium.
Kerangka Acuan
Materi Ideologi
Materi ideologi merupakan tindak lanjut dari
materi ideologi yang diberikan pada saat Kaderisasi
Tingkat Dasar untuk menguji kemampuan kader dalam
melakukan penganalisaan terhadap perkembangan
ideologi di dunia. Materi ideologi yang diberikan di
Kaderisasi Tingkat Menengah adalah pembelajaran
secara khusus tentang 3 (tiga) ideologi di dunia yaitu :
kapitalisme, marxisme, dan sosialisme (sosialis non
marxis). Materi tentang kapitalisme mencakup pada
penganalisaan perkembangan kapitalisme dimulai dari
tinjauan filsafat, sejarah permulaan kapitalisme, sampai
pada bentuk-bentuk perubahan (metamorfosa)
kapitalisme dalam kesejarahan. Di dalam penyampaian
materi kapitalisme juga dipandang perlu untuk ikut
mengupas tentang konsep negara kemakmuran (welfare
state) yang mulai dikembangkan pada masa paska
perang dunia II di beberapa negara eropa dan Amerika
Serikat sebagai salah satu wujud metamarfosa
kapitalisme.
Materi tentang marxisme mencakup
perkembangan marxisme dimulai dari tinjauan filsafat
yaitu Hegel, Feurbach sampai Marx, dilanjutkan pada
perpecahan kelompok marxisme dengan
mengetengahkan pokok-pokok pikiran kaum
revisionisnya mulai dari Vladimir Ilyitz Lenin, Rosa
Luxemburg, Antonio Gramsci, Eduard Bernstein, Karl
Kautsky, Leon Trotsky, Mao Tse Tung, Otto Bauer
(Austromarxis) sampai pada masa Frankfurt School.
Materi tentang sosialisme di luar marxisme minimal
mencakup 4 (empat) pemikiran yaitu : anarkisme/anarko
sindikalisme, postmodernisme, sosialisme agama dan
teologi pembebasan.
Setelah dilakukan penjabaran dari tiap-tiap
ideologi tersebut, materi selanjutnya adalah analisa
komparatif antara marhaenisme dengan marxisme, dan
marhaenisme dengan sosialisme di luar marxisme
dengan kapitalisme sebagai antitesa masing-masing
ideologi, untuk mengetahui letak kesamaan dan
perbedaan-perbedaan prinsip antara ideologi-ideologi
tersebut dengan marhaenisme sendiri.
Materi Keorganisasian
Materi keorganisasian meliputi teknik negosiasi,
agitasi-propaganda, teknik diplomasi (networking), dan
manajemen aksi. Teknik negosiasi adalah materi yang
membahas tentang cara-cara melakukan negosiasi
terutama dengan kekuatan-kekuatan kontra
revolusioner, baik lawan taktis maupun lawan strategis.
Teknik negosiasi lebih ditekankan pada metode
pendekatan dalam upaya mencegah dan mengarahkan
konflik agar berbalik menjadi satu kekuatan yang
mendukung kita untuk menghantam kekuatan lawan.
Teknik agitasi dan propaganda ditekankan pada upaya
mempengaruhi massa dengan cara membangun isu dan
opini yang mampu menyatukan massa dalam satu
kekuatan “massa aksi” yang mampu digerakkan sebagai
satu kekuatan revolusioner. Manajemen aksi ditekankan
pada cara dan teknik dalam melaksanakan aksi-aksi
baik yang bersifat taktis maupun strategis.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan dari materi “keorganisasian dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Teknik diplomasi
2. Manajemen issu
3. Aliansi taktis dan aliansi strategis
4. Penggalangan massa
5. Manajemen Aksi
Maksud
Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP) adalah proses
pengkaderan formal tingkat akhir di dalam silabus
kaderisasi GMNI. KTP ditujukan bagi kader-kader yang
telah lulus dari Kaderisasi Tingkat Menengah. KTP
memiliki maksud untuk uji materiil setiap kader dalam
proses membangun sintesa sistem-sistem sosial di setiap
elemen masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial
bersangkut paut pada pola dan tata cara yang dilakukan
kader dalam mengkonstruksi ulang bangunan sistem
sosial menuju pada cita-cita masyarakat sosialis
Indonesia.
Tujuan
Kaderisasi Tingkat Pelopor memiliki tujuan pokok
terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan
sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori, mental
dan watak progressif revolusioner sehingga benar-benar
menjadi kader yang berkualitas. Dengan Kaderisasi
Tingkat Pelopor diharapkan setiap kader akan mampu
memanifestasikan ideologi marhaenisme dalam setiap
kehidupan pribadinya dan dalam langkah perjuangannya
sebagai leader rakyat.
Materi Pokok
Materi-materi yang disampaikan dalam Kaderisasi
Tingkat Pelopor adalah materi ideologi, organisasi dan uji
materi kemampuan kader dalam menyusun sintesa.
Materi ideologi melingkupi : kapitalisme, ideologi-ideologi
negara dunia ketiga, dan marhaenisme.
Materi Organisasi ditekankan pada materi net
working dan community organizing. Materi pendukung
lainnya adalah materi : sejarah dunia, perbandingan
sistem sosial politik dan sosial ekonomi negara-negara
dunia; dan strategi diplomasi untuk kepentingan
pengorganisiran massa.
Selain materi-materi tersebut di atas, di dalam
Kaderisasi Tingkat Pelopor masih akan diberikan materi
kemampuan khusus yaitu uji materi terhadap efektifitas
perjuangan kader dalam meng-construct ulang sistem
sosial masyarakat dalam sebuah komunitas sebagai uji
sintesa marhaenisme.
Format Pengkaderan
Format Kaderisasi Tingkat Pelopor dibagi dalam
dua tahap. Tahap pertama adalah “KTP dalam ruang”
yang berisi uji teori dan dialektika berpikir seluruh
kader. Proses penyampaian materi dilakukan dengan
cara mengeksplorasi pemikiran peserta, proses dialog
dan diskusi serta penyusunan karya tulis dengan
standarisasi disertasi, yang berisi sintesa kebangunan
sistem masyarakat berdasarkan sosialisme Indonesia.
Masa waktu “KTP dalam ruang” paling lama adalah 7
(tujuh) hari. Khusus untuk penyusunan karya tulis,
batas waktu yang diberikan adalah 6 (enam) bulan.
Tahap kedua adalah “KTP luar lapang” yang
merupakan uji materi kemampuan kader, dalam
menganalisa, mengorganisir, dan meng-construct sistem
kehidupan masyarakat berdasarkan asas-asas
marhaenisme. Tiap kader memilih satu komunitas antar
lain : komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas
nelayan, komunitas buruh manufaktur, komunitas
miskin kota, atau komunitas lain atas pilihan kader
sendiri dengan syarat diusulkan untuk mendapatkan
persetujuan dari panitia KTP. Tugas kader di dalam
komunitas tersebut adalah melakukan analisa sosial,
melakukan pengorganisiran dan melakukan
perekonstruksian sistem kehidupan komunitas atas
dasar marhaenisme sebagai sintesa. Hasil-hasil
penganalisaan, pengorganisiran dan perekonstruksian
sistem didokumentasikan dalam bentuk karya tulis
ilmiah yang mengacu pada format baku penulisan
disertasi. Karya tulis ilmiah tersebut akan diuji melalui
pendadaran oleh “tim khusus” yang dibentuk oleh
Presidium. Tim khusus yang dibentuk tersebut miminal
meliputi unsur : filusuf, ideolog/antropolog, sosiolog, dan
sejarawan.
Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Pelopor dilaksanakan oleh
sebuah kepanitian yang dibentuk dan disahkan oleh
Presidium GMNI. Kaderisasi Tingkat Pelopor
dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali selama satu
periode kepengurusan Presidium. Para kader yang lulus
dari Kaderisasi Tingkat Pelopor akan dilantik secara
langsung dan terbuka oleh Presidium di hadapan
pertemuan dalam “waktu yang diberikan secara khusus”
di sela-sela acara nasional GMNI (Kongres, Rakornas,
Seminar Nasional, atau agenda nasional lainnya).
Kerangka Acuan
Ideologi
Materi ideologi yang pertama adalah materi tentang
kapitalisme. Dalam materi tersebut yang ditekankan
adalah eksplorasi pemikiran kader tentang kapitalisme
yang diruntut dari sejarah perkembangan kapitalisme;
anatomi (ciri-ciri) kapitalisme; hubungan kapitalisme
dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dari eksplorasi tersebut diharapkan para
kader akan mampu menangkap dan menganalisa
perkembangan kapitalisme dalam putaran roda waktu.
Eksplorasi pemikiran kedua adalah tentang
perkembangan kapitalisme di Indonesia antara lain :
kekuatan-kekuatan kapitalisme di Indonesia, pengaruh
kapitalisme terhadap susunan politik, ekonomi dan
budaya masyarakat Indonesia; serta pemetaan
kapitalisme di dalam struktur politik pemerintahan
Indonesia. Dengan eksplorasi pemikiran tersebut
diharapkan para kader akan mampu memahami seluk
beluk perkembangan kapitalisme di Indonesia baik
dalam kehidupan masyarakat maupun dalam struktur
politik pemerintahan.
Materi ideologi yang kedua adalah pengeksplorasian
ideologi di negara-negara dunia ketiga dan negara maju
berikut tentang potensi, tantangan, peluang, dan
hambatan marhaenisme dalam upaya mengkonsolidasi
kekuatan negara-negara dunia ketiga. Dengan eksplorasi
pemikiran tersebut diharapkan para kader akan mampu
melihat marhaenisme sebagai ideologi alternatif yang
dapat menyatukan seluruh ideologi-ideologi dunia
khususnya negara dunia ketiga.
Materi ideologi ketiga adalah eksplorasi pemikiran
kader dari upaya-upaya yang telah, sedang dan akan
dilakukan kader untuk memanifestasikan marhaenisme.
Materi ini merupakan pembekalan materi guna
menghadapi uji materi “KTP luar lapang” dimana setiap
kader diuji untuk melakukan analisa, pengorganisiran
dan perekonstruksian sistem kehidupan masyarakat
menjadi susunan masyarakat sosialis Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan dari materi “ideologi” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Kapitalisme
- Sejarah perkembangan kapitalisme dunia
- Anatomi kapitalisme
- Metamorfosa kapitalisme saat ini
- Kapitalisme di negara dunia ketiga (beserta teori
yang membedahnya)
- Kapitalisme di Indonesia
- Kapitalisme di struktur politik pemerintahan
Indonesia
- Implikasi kapitalisme terhadap kehidupan politik,
ekonomi, budaya masyarakat Indonesia
2. Perbandingan sistem sosial politik dan sosial
ekonomi antar negara dunia ketiga.
1. Marhaenisme
- Marhaenisme sebagai ideologi dunia
- Marhaenisme sebagai alat pengkonsolidir negara
dunia ketiga
- Tantangan, peluang, dan hambatan marhaenisme
dalam roda perkembangan sejarah dunia
- Marhaenisme dalam kehidupan masyarakat
Indonesia
- Marhaenisme dalam manifestasinya
Materi Organisasi
Materi organisasi yang pertama adalah mengenai
net working yang menyangkut taktik dan strategi yang
digunakan oleh para kader dalam setiap gerakannya.
Taktik strategi yang dimaksud adalah taktik dan strategi
perlawanan terhadap “lawan taktis” dan “lawan
strategis”, serta taktik dan strategi aliansi dan
penggunaan kekuatan “kawan taktis” dan “kawan
strategis”. Dalam materi tersebut para kader diminta
untuk melakukan eksplorasi pemikirannya tentang cara-
cara memainkan peran dan pengelolaan issu yang baik
dalam upaya memetakan dan mematahkan kekuatan
lawan.
Materi organisasi kedua mengenai organizing yang
menyangkut tentang cara-cara machtvorming yang
dilakukan kader untuk tujuan massa aksi. Dalam materi
tersebut setiap kader diminta untuk melakukan
eksplorasi pemikiran tentang pemetaan struktur-
struktur sosial kemasyarakatan disertai dengan pola-
pola yang merujuk pada geografis, geo-politik dan
demografi komunitas bersangkutan. Materi organisasi
ketiga adalah eksplorasi pemikiran kader tentang metode
analisa yang dipakai terhadap segala persoalan di
masyarakat untuk menguji konsistensi pisau analisanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan materi “organisasi” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Kerja jaringan
- taktik strategi perlawanan terhadap kawan dan
lawan
- taktik strategi aliansi dan penggunaan kekuatan
kawan taktis dan strategis
- manajemen issu melalui agitasi dan propaganda
2. Pemetaan struktur sosial politik dan sosial
ekonomi masyarakat
1. Bangun kebudayaan
3. Taktik strategi pengorganisiran
4. Metode berpikir yang digunakan para kader
ditinjau dari pisau analisa materialisme dialektika
BUNG KARNO
BAPAK MARHAENISME
“Memikul Tanggung Jawab
Dalam Memenangkan
Pancasila”
Amanat PYM Presiden Bung Karno pada Konferensi
Besar GMNI di Jakarta, tanggal 20 Juli 1963