Anda di halaman 1dari 153

Sekapur Sirih

Buku yang diberi judul “Pergulatan GmnI


Menuju Sosialisme Indonesia. RADIKAL”, adalah hasil
dari pemikiran yang berkembang di lingkungan gerakan
kader-kader GmnI beberapa tahun terakhir ini.
Pemikiran tersebut adalah gagasan dan ide yang
kemudian menjadi perdebatan yang rumit dan panjang
di antara sesama kader. Perdebatan itu adalah upaya
kader dalam mencari strategi baru (jalan baru) demi
mengembalikan progresivitas dan radikalisasi gerakan
bagi kebangunan cita-cita ideologi. Perdebatan itupun
pada akhirnya menghasilkan sebuah pilihan strategi
baru yang kemudian diputuskan dalam Kongres Luar
Biasa GmnI 2001 Semarang, yang terus menguat dan
mengkristal sampai saat ini.
Melihat perkembangan itu, kemudian tercetus
sebuah ide tentang perlunya merangkai gagasan dan ide-
ide yang berkembang itu dalam sebuah dokumentasi
tertulis. Harapannya, tulisan itu akan memberikan
stimulus dan élan baru bagi para kader lengkap dengan
critic-self-critic-nya. Oleh karenanya diharapkan pula
buku ini akan menjadi buku awalan yang akan
memunculkan buku-buku lain oleh kader-kader GmnI
maupun kader-kader nasionalis muda lainnya.
Buku ini disusun melalui pendekatan kesejarahan
GmnI khususnya sejarah pergulatan pemikiran, konsepsi
dan strategi organisasi yang mengalami pasang surut
dari jaman ke jaman. Tentu saja unsur subyektifitas
sangat mungkin terjadi dalam buku ini. Oleh karena itu
maka penyusun mencoba untuk lebih komprehensif lagi
dengan ikut memasukkan unsur-unsur konteks sejarah
yang dipandang ikut mendukung dan mempengaruhi
munculnya motivasi-motivasi ide, gagasan dan strategi
pada masa itu, selain literatur-literatur yang mem-
perkuat kejadian-kejadian sejarah itu.
Selanjutnya buku ini khusus memuat tentang
perdebatan ide dalam kurun waktu 2 (dua) tahun
terakhir, yang kemudian melahirkan sebuah strategi
baru sebagai proyeksi “jalan baru”, yang didasarkan
pada sebuah refleksi atas pasang-surutnya perjuangan
GmnI sejak sejarah kediriannya. Jalan baru itu
ditujukan sebagai upaya GmnI menghadapi tantangan
baru kebangsaan Indonesia yang berada dalam hegemoni
imperium kapitalisme global yang dirasa telah merubah
sekian nilai kehidupan kebangsaan di dalam masyarakat
Indonesia.
Terakhir, buku ini mencoba untuk sedikit
mengangkat masalah ideologi sebagai paradigma
organisasi yang dikaitkan dengan beberapa perdebatan
wacana di tubuh kader khususnya mengenai relevansi
ideologi dan keberadaan marhaenisme yang sempat
dikait-kaitkan dengan “jalan ketiga”.
Sekali lagi, buku ini hanyalah awalan, yang
tentunya memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu
maka critic-self-critic diharapkan mampu terbangun.

Jakarta, Maret 2003


Penyusun

Donny Tri I. Margiono


Daftar Isi
Sekapur Sirih
Daftar Isi
Pengantar Presidium GmnI

I. GmnI dan Sejarah Kelahirannya


II. Pasang Surut Perjuangan GmnI
III. KLB dan Jalan Baru GmnI
IV. GmnI dan Tantangan Kedepan
1. Globalisasi: Matinya Negara dan Demokrasi Indonesia
2. Otonomi Daerah dan Fragmentasi Perjuangan
3. Feodalisme dan Peradaban Baru
4. Agama dan Nation and Caracter Building
5. Hukum dan Kekuasaan
6. Ilmu untuk Perjuangan
V. Marhaenisme dan Jalan Baru GmnI
1. Kelahiran Marhaenisme
2. Marhaenisme dalam Pemahaman GmnI
3. Dasar Perjuangan GmnI
4. Kewajiban Perjuangan GmnI
5. Kekuatan Perjuangan GmnI
6. Syarat Perjuangan GmnI
7. Musuh-Musuh Perjuangan GmnI
8. Taktik dan Strategi Perjuangan GmnI
VI. Marhaenisme Bukan Jalan Ketiga
VII. Marhaenisme Tidak Lagi Relevan?
Lampiran:
- Silabus Kaderisasi GmnI
- Amanat PYM Presiden Bung Karno pada Konferensi
Besar GMNI di Kaliurang 17 Februari 1959 dan Jakarta 20
Juli 1963;
Pengantar
Presidium GmnI

Jika saja dalam sejarah perubahan kita mengenal


yang dinamakan sebagai Very Important Person (VIP),
mahasiswa tentu merupakan nominator utamanya. Dan
andaikata memang ada, mungkin bukan lagi Very
Important Person, melainkan Very Important Community.
Betapa tidak, dalam setiap episode perubahan yang
terjadi di Republik ini, selalu saja mahasiswa menjadi
pelopornya. Tengok saja pada tahun 1908, ketika
gerakan kebangkitan nasional yang dimotori mahasiswa-
mahasiswa STOVIA. Atau mungkin pada tahun 1966
yang dipelopori mahasiswa-mahasiswa yang tergabung
dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang
akhirnya melahirkan rejim Orde Baru. Atau juga pada
peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang
aksi-aksinya juga dipimpin oleh para mahasiswa. Pun di
tahun 1998 kemarin yang kemudian dikenal sebagai
pelopor gerakan reformasi.
Semua itu adalah lembaran-lembaran emas dalam
sejarah perjuangan yang diperankan mahasiswa. Namun
demikian, ada satu catatan penting yang harus kita
cermati bersama, bahwa dalam setiap gerakannya,
mahasiswa sebenarnya merupakan subyek dari
perubahan, tetapi dalam perjalanannya kemudian
ternyata mulai menjadi obyek permainan (khususnya
oleh para segelintir elit). Dan menjadi ironis ketika
perubahan peran ini justru tidak disadari oleh sebagian
besar mahasiswa.
Dan pada konteks critic-self-critic sebagai
mahasiswa, harus diakui bahwa perubahan itu
menunjukkan bahwa kita (mahasiswa) telah terjebak
dalam pola gerakan yang selama ini kita jalankan
sendiri. Gerakan-gerakan yang selama ini kita sebut
sebagai sebuah gerakan moral ini cenderung
dimanifestasikan sebagai gerakan yang hanya akan
turun ketika terjadi proses-proses sosial dan politik yang
tersumbat. Padahal sebagaimana yang telah kita alami
selama ini, tersumbatnya proses-proses sosial dan politik
ini selalu saja kita ketahui setelah menimbulkan
implikasi. Dan konsekuensi dari semua itu adalah high-
cost politic yang harus kita bayar.
Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita
dengan apa yang terjadi pada masa pemerintahan
Soeharto. Ketika Orde Baru dapat dengan leluasa
melaksanakan sistem pemerintahan yang sentralistik
dan kapitalistik, sebagian besar mahasiswa kita terlelap
dalam tidur panjangnya. Semua baru tersentak bangun
ketika sistem itu telah menghasilkan sebuah krisis
ekonomi yang maha-dahsyat, dan memang hal ini
menjadi sebuah ironi yang luar biasa. Dalam
ketersentakan itulah kita harus membayarnya dengan
economic-cost dan political-cost yang tidak murah. Ketika
bangun, kita baru sadar, berapa asset negara kita yang
telah dirampok, berapa pulau kita yang telah
tergadaikan, berapa trilyun hutang yang harus kita
tanggung, dan berapa puluh kebijakan negara dibuat
sehingga membuat sistem ketatanegaraan kita menjadi
semakin amjburadul. Seringkali, dalam kondisi yang
sudah parah itu kita baru sadar. Dan seringkali pula
dalam kondisi itu kita juga baru bergerak dengan
gelombang besarnya.
Itulah pola gerakan moral mahasiswa selama ini!
Sebagai mahasiswa, kita sering memposisikan diri
sebagai seorang resi yang duduk di singgasana dalam
sebuah menara gading yang hanya akan turun ketika
melihat suatu persoalan terjadi di tengah masyarakat.
Dan pada gilirannya pula, ketika problematika politik
maupun kemasyarakatan itu sirna, kita kembali duduk
tenang di singgasana kampus dan kembali menyerahkan
semuanya pada orang-orang yang justeru sebenarnya
merupakan biang dari segala persoalan tersebut.
Kenapa semua itu terjadi? Pertanyaan itulah yang
kemudian mendasari mengapa buku ini ditulis.

*********

Andaikan GmnI adalah sesosok manusia, usia 49


tahun adalah usia yang lebih dari sekedar dewasa. Sejak
kelahirannya, organisasi yang merupakan fusi dari tiga
organisasi yang berazaskan marhaenisme ini telah
mengalami beberapa kali masa pasang surut. Pada
tahun-tahun awal kelahirannya saja misalnya, GmnI
yang bercirikan nasionalis dan berwatak kerakyatan ini
langsung berada dalam “kebesarannya”. Dari kongres
pertama hingga kongres ketiga pada tahun 1959,
meskipun programnya lebih banyak pada konsolidasi
internal, namun demikian GmnI telah mampu
menunjukkan eksistensinya di dunia pergerakan. Dan
potensi strategis ini kemudian terbaca oleh Soekarno,
hingga dalam kapasitasnya sebagai Presiden, kemudian
bersedia memberikan pidato pada Konperensi Besar di
Kaliurang dengan judul “Hilangkan Steriliteit dalam
dalam Gerakan Mahasiswa”.
Di tengah-tengah semangatnya, ketika GmnI yang
mulai meningkatkan kiprah gerakannya, tiba-tiba
muncul satu persoalan. Gejolak politik yang terjadi pada
tahun 1965 memberikan dampak luar biasa terhadap
GmnI. Kongres V yang rencananya dilaksanakan di
Jakarta harus gagal dan hanya sanggup terealisir di
Pontianak dalam bentuk Konperensi Besar. Dan
persoalan ternyata tidak hanya berhenti di situ. Dalam
babak politik selanjutnya, ketika perpecahan melanda di
tubuh front marhaenis, hal tersebut ternyata juga
menjadi cobaan berat yang harus dihadapi GmnI.
Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Baik conflict
of interest maupun pertarungan ide selalu mewarnai
perjalanan GmnI. Hingga pada tahun-tahun berikutnya
pasang surut GmnI terus saja terjadi, bahkan sampai
detik ini.

*********

Dari sedikit ulasan sejarah perjalanan GmnI di


atas tentu akan memunculkan satu pertanyaan besar,
mampukah GmnI merumuskan satu pola baru dalam
gerakan mahasiswa? Bagi kami, keberanian adalah
modal utama. Kesalahan, kekurangan, kelemahan,
kebodohan, serta hal-hal lain yang pernah terjadi dan
dilakukan oleh GmnI di masa lalu merupakan cambuk
bagi kami. Keberanian untuk menerbitkan semua ide
dan gagasan yang selama ini didiskusikan dan
dirumuskan bukan hanya oleh Presidium, melainkan
juga korda, cabang, dan seluruh kader GmnI ini,
mungkin oleh beberapa pihak dinilai sebagai sebuah
kesombongan, tapi bagi kami, sesungguhnya merupakan
sebuah bentuk radikalisasi. Dan radikalisasi yang kami
maksudkan dalam konteks ini adalah radikalisasi untuk
merubah cultuur kita yang tidak pernah self-reliance,
tidak pernah percaya pada diri sendiri.
Jalan Baru yang akan kita tempuh dan tawarkan
kepada setiap elemen pro-demokrasi ini pun,
sesungguhnya juga merupakan bentuk radikalisasi
kami, yakni sebuah radikalisasi atas pola gerakan (yang
secara subyektif kami nilai salah) yang sedang dan telah
dipraktekkan oleh kita, para kaum muda. Alam bawah
sadar kita yang menyatakan bahwa urusan negara
adalah hanya urusan orang tua haruslah dihilangkan.
Pemahaman yang menyatakan bahwa urusan pendidikan
dan pemberdayaan politik adalah tugas dan urusan
partai politik harus dibersihkan pula dari otak kita,
mengapa? Karena masa depan adalah masa kita, juga
telah terbukti dalam sejarah jaman bahwa mereka sering
lalai dalam tugas-tugasnya.

*********

Di Republik yang konstitusinya telah dengan jelas


menyatakan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip
demokrasi ini, kaum muda harus menjadi sebuah
kekuatan kritis. Adalah tugas dan porsinya, bahwa
mahasiswa harus senantiasa melakukan kritik, kontrol,
dan pengawasan terhadap segala kebijakan yang
menyangkut nasib seluruh rakyat, khususnya yang
dikeluarkan oleh para penyelenggara negara. Dan satu
hal yang harus menjadi keyakinan dan prinsip kita pula,
bahwa mengkritik, mengontrol, dan mengawasi dalam
alam demokrasi bukan saja sesuatu yang penting, namun
lebih dari itu, peran-peran tersebut merupakan peran-
peran yang terhormat dan mulia.
Oleh karenanya, dalam melakukan tugas-tugas
perubahan menuju Indonesia yang berperadaban baru
itulah, GmnI jauh-jauh hari hingga detik ini telah
memposisikan diri sebagai “oposisi permanen”. Sebuah
kekuatan yang memposisikan diri mengawal bangsa ini
mewujudkan masyarakat sosialis-religius. Sikap oposisi
permanen adalah satu sikap yang di satu sisi akan setia
mendukung setiap kebijakan yang menyelamatkan kaum
marhaen, dan di sisi yang lain, sebuah sikap yang siap
berhadap-hadapan dengan negara sekalipun, apabila
dalam kebijakannya, negara justeru menindas rakyat.
Dan siap untuk vivere pericoloso adalah sesuatu yang
telah include dalam sikap kita untuk melakukan
perubahan menuju kehidupan zonder penindasan.

*********
Akhirnya, sebagai sebuah buku yang berisi
tawaran tentang konsep gerakan, buku ini tentu terlalu
sederhana, bahkan malah lebih terkesan compang-
camping. Dan itu sangat disadari benar, oleh karena itu
pula, kami juga telah bersepakat bahwa buku ini hanya
merupakan starting point. Sehingga kami atas nama
Presidium, yang juga sebagai penerbit buku ini, dengan
penuh kerendahan hati memohon kritik, saran, dan
masukan dari pembaca sekalian demi lebih
sempurnanya gagasan yang akan kami tawarkan. Dan
tak lupa pula, kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang memberikan bantuannya sehingga dapat
diterbitkannya buku ini.
Terima kasih kami yang sangat khusus dan tulus
juga kami berikan kepada kawan-kawan di Serikat
Asongan Pulogadung yang telah memberi pengetahuan
kepada kami tentang ganasnya kapitalisme, kawan-
kawan dari jaringan pengobatan alternatif “Sido Waras”
yang telah menjaga kesehatan kami, para bapak dan ibu
dari serikat kaum miskin kota yang telah banyak
mengajari kami tentang arti dari kehidupan dan
pengharapan, dan tak ketinggalan pula para anggota dari
serikat nelayan, buruh, maupun petani, yang meskipun
di beberapa tempat kawan-kawan GmnI mendampingi
kasus-kasusnya, namun dalam banyak hal, kami justeru
banyak belajar. Dan kepada bapak, ibu, dan kawan-
kawan yang secara khusus telah saya sebutkan itulah
buku ini kami dedikasikan.
Jakarta, 18 Maret 2003
Atas Nama
Presidium GmnI

Sonny T. Danaparamita
Sekretaris Jenderal
Bab Satu

GmnI dan Sejarah


Kelahirannya

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau


disingkat GMNI lahir dari hasil peleburan 3 (tiga)
organisasi mahasiswa yang ketiganya berazaskan
marhaenisme. Ketiga organisasi tersebut adalah:
Gerakan Mahasiswa Marhaenis berpusat di Yogyakarta;
Gerakan Mahasiswa Merdeka berpusat di Surabaya; dan
Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berpusat di
Jakarta.
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa
tersebut mulai tampak ketika pada awal bulan
September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat
Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni
dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Sjarief kepada
Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh Hadi Prabowo.
Dalam suatu rapat pengurus GMDI yang diseleng-
garakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur
56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan
ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah.
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan
kedua organisasi lain yang hadir (Gerakan Mahasiswa
Marhaenis dan Gerakan Mahasiswa Merdeka), dan
ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan,
maka dalam Rapat Bersama antara ketiga Pimpinan
Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di
rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan
Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan
antara lain:
1. Ketiga organisasi setuju melakukan fusi;
2. Wadah peleburan tiga organisasi dalam fusi tersebut
diberi nama Gerakan mahasiswa Nasional Indonesia,
atau disingkat GmnI; Azas organisasi GmnI adalah
Marhaenisme ajaran Bung Karno;
3. Disepakati pula dalam pertemuan itu untuk
melaksanakan Kongres I GmnI di Kota Surabaya.
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam
pertemuan ini antara lain:
dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
- SLAMET DJAJAWIDJAJA
- SLAMET
- RAHARDJO
- HERUMAN
dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
- WAHYU WIDODO
- SUBAGIO
- MASRUKIN
- SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO
dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
- S.M. HADIPRABOWO
- DJAWADI HADIPRADOKO
- SULOMO
Atas dukungan Bung Karno, pada tanggal 22
Maret 1954 segera dilangsungkan Kongres I GmnI di
Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai
Hari Jadi GmnI (Dies Natalis) yang diperingati hingga
sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam
Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan
antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk
menetapkan pimpinan organisasi di tingkat pusat.
Sehubungan dengan masih banyaknya persoalan
yang ternyata belum mampu terselesaikan dalam
pertemuan Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956),
GmnI menggelar Kongres II di Bandung. Dalam kongres
tersebut GmnI masih mengkonsentrasikan dirinya untuk
membahas persoalan konsolidasi internal yang
dipandang masih belum selesai walaupun telah berusia 2
(dua) tahun sejak kediriannya. Kongres itu kemudian
memutuskan untuk memprioritaskan kerja organisasi
pada peningkatan kuantitas GmnI dengan cara
mendirikan cabang-cabang baru di seluruh wilayah
Indonesia.
Keputusan Kongres II tersebut ternyata membawa
pengaruh yang sangat positif di tubuh GmnI. Sebab
paska Kongres II itu, cabang-cabang GmnI mulai banyak
didirikan di beberapa kota khususnya wilayah Jawa dan
Sumatera atas bantuan dan dukungan Partai Nasional
Indonesia (PNI). Mengingat pesatnya pertumbuhan GmnI
di daerah-daerah, maka 3 (tiga) tahun kemudian, GmnI
menyelenggarakan Kongres III di Malang pada tahun
1959. Kongres III tersebut merupakan sejarah penting,
karena momentum itu adalah kematangan GmnI dalam
perjuangan mendukung revolusi sosial yang sedang
berlangsung di Indonesia.
Pada tahun yang 1959 itu juga, GmnI kembali
menyelenggarakan Konperensi Besar GmnI di Kaliurang
Yogyakarta dalam rangka peneguhan ideologi
marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan
organisasi. Dalam Konperensi Besar itu, Bung Karno
sebagai Presiden RI, memberikan Pidato Sambutan
berjudul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan
Mahasiswa!" yang intinya ikut menegaskan tentang nilai-
nilai ajaran marhaenisme tersebut.
Pada tanggal 20 Juli 1963, GmnI kembali
mengadakan Konperensi Besar di Jakarta. Agenda pokok
yang dibahas dalam konperensi tersebut adalah
penataan organisasi yang lebih menyeluruh dalam upaya
menunjang kerja-kerja gerakan di tubuh GmnI. Dalam
konperensi tersebut, Bung Karno juga memberikan
sambutan sekaligus amanat yang pada intinya meminta
kepada GmnI untuk lebih menegaskan ideologi
marhaenisme-nya. Dengan ketegasan ideologi tersebut
maka GmnI diharapkan akan mampu melakukan upaya
pengorganisasian rakyat untuk kesatuan bangsa dan
kekuatan new emerging force dalam melawan segala
bentuk ancaman kekuatan neo kolonialisme-
imperialisme yang menginginkan perpecahan bangsa
dengan menciptakan pemberontakan-pemberontakan di
wilayah tanah air.
Untuk lebih mematangkan gerakan di tubuh GmnI
sebagai salah satu elemen pelopor jalannya revolusi
sosial di Indonesia, maka segera direncanakan untuk
melaksanakan Kongres V di Jakarta pada tahun 1965.
Namun kongres yang dicanangkan tersebut pada
akhirnya gagal karena gejolak politik nasional yang tidak
menentu akibat peristiwa G 30 S. Walaupun kongres
tersebut gagal dilaksanakan, namun GmnI masih sempat
melaksanakan Konperensi Besar di Pontianak pada
tahun 1965 yang berhasil menyusun Kerangka Program
Perjuangan, dan Program Aksi bagi Pengabdian
Masyarakat.
Peristiwa G 30 S yang membawa negara pada
pergantian rejim kekuasaan, ternyata harus dibayar
mahal oleh GmnI dengan terpolarisasinya GmnI dalam 2
(dua) kubu, yaitu antara kelompok yang tetap setia pada
ideologi marhaenisme dan sepakat untuk melanjutkan
jalannya revolusi, dan kubu yang memilih kompromi
dengan Orde Baru dengan mengakui Orde Baru sebagai
pemerintahan baru yang berkuasa. Kubu yang menolak
tunduk terhadap rejim baru pada akhirnya harus rela
menjadi korban dari represivitas rejim melalui
stigmatisasi komunis dan represi fisik yang berakhir
dengan dipenjarakannya kader-kader GmnI sebagai
tahanan politik.
Sementara kubu yang sepakat kompromi dengan
rejim diberikan fasilitas berupa pengakuan oleh rejim
dan dijinkan untuk meneruskan kerja-kerja
keorganisasiannya. Bahkan “kubu kompromis“ tersebut
diberikan legitimasi politik dengan merestui pelaksanaan
Kongres V di Salatiga yang menghasilkan kepemimpinan
nasional baru di bawah pimpinan Suryadi. Paska
kongres tersebut, kelompok Suryadi kemudian diakui
sebagai satu-satunya pimpinan nasional GmnI oleh
pemerintah Orde Baru. Namun sebagai kompensasinya,
Presidium kubu Suryadi harus tunduk dan patuh pada
pemerintahan Orde Baru sebagai rejim yang berkuasa.
Setelah gejolak politik mulai mereda, GmnI yang
telah terpecah kembali memanfaatkan momentum untuk
melakukan upaya konsolidasi demi kebangunan GmnI.
Upaya konsolidasi tersebut membuahkan hasil dengan
kembali disatukannya 2 (dua) kubu yang pecah dalam
Kongres VI GmnI yang dilaksanakan di Ragunan-Jakarta
pada tahun 1976. Rekonsiliasi tersebut dilakukan
dengan cara melakukan power sharing antara 2 (dua)
kubu untuk mengisi struktur pimpinan nasional. Untuk
mengakhiri konflik perpecahan organisasi, disepakati
bahwa kader-kader yang akan didudukkan dalam
kepemimpinan nasional haruslah kader yang tidak
terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di
masa lalu. Tema pokok yang digagas dalam kongres
tersebut adalah "Pengukuhan Independensi GmnI serta
Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat
dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang
asas marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga
apapun juga. Untuk masalah keorganisasian, model
kepemimpinan di tubuh GmnI diubah dari instruktif
menjadi kolektif-kolegial dalam bentuk lembaga
Presidium. Paska Kongres VI Ragunan-Jakarta, gerakan
di tubuh GmnI mulai bangkit kembali walaupun masih
berada di bawah bayang-bayang kekuasaaan rejim Orde
Baru.
Pada tahun 1979, GmnI kembali melaksanakan
Kongres VII di Medan Sumatera Utara. Dalam kongres
tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting antara
lain tentang asas marhaenisme yang tetap tidak boleh
diubah; penegasan tentang independensi organisasi; dan
perlunya keseimbangan antara konsolidasi organisasi
dengan konsolidasi ideologi terhadap seluruh kader-
kader GmnI. Kongres VII Medan tersebut pada dasarnya
adalah awal dari kebangkitan kembali gerakan di tubuh
GmnI mengingat telah diputuskannya beberapa sikap
yang radikal terutama menyangkut asas marhaenisme
yang dipertahankan sebagai asas organisasi serta
dilancarkannya program konsolidasi ideologi terhadap
seluruh basis kader. Sikap radikal tersebut patut untuk
dihargai karena secara tidak langsung telah
menunjukkan adanya sikap yang berani dari kader-
kader GmnI dalam menentang rejim Orde Baru yang
phobi dengan marhaenisme ajaran Bung Karno.
Namun sikap radikal itu ternyata tidak cukup
mampu untuk kembali menggerakkan GmnI dalam
sebuah radikalisasi gerakan. Sebab sikap radikal itu
harus berbenturan dengan gencarnya intervensi
kekuatan rejim yang tidak menginginkan GmnI menjadi
kuat. Intervensi tersebut dilakukan oleh rejim dengan
melakukan pembusukan di tubuh GmnI yaitu dengan
menyusupkan kader gadungan atau memanfaatkan
kader-kader GmnI yang tidak memiliki mental ideologi
yang kuat untuk dibeli dan didudukkan sebagai
pimpinan nasional GmnI. Dengan demikian, akan
memudahkan rejim untuk mengendalikan setiap gerak
dan langkah GmnI.
Intervensi rejim tersebut berlangsung sampai
menjelang dilaksanakannya Kongres VIII di Yogyakarta.
Kongres tersebut berhasil digagalkan oleh sejumlah
cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan
lain-lain) yang sadar akan adanya bahaya intervensi dan
kepentingan rejim di dalam kongres. Tetapi sayang,
protes cabang-cabang tidak mampu membendung
intervensi kekuatan rejim karena toh pada akhirnya
kongres tetap dilaksanakan dengan memindahkan
tempatnya dari Yogyakarta ke Lembang Bandung (1982)
di bawah pengawalan ketat militer Orde Baru. Dan
akhirnya pimpinan nasional GmnI pun tetap tidak bisa
diselamatkan dari intervensi, karena sudah terlanjur
dimasuki oleh beberapa kelompok kekuatan luar yang
memiliki kepentingan terhadap GmnI.
Kader-kader “titipan-rejim” yang duduk di
kepemimpinan nasional tersebut pada akhirnya harus
berakibat pecahnya lembaga Presidium GmnI. Ironisnya,
perpecahan ditingkat pimpinan nasional tersebut
ternyata merambat sampai pada perpecahan di antara
cabang-cabang. Implikasinya, organisasi yang mulai
bangkit pada akhirnya harus ambruk karena konflik
berkepanjangan yang menyita sebagian besar energi
kader-kader GmnI. Akibatnya, sebagian besar kerja-kerja
organisasi menjadi terbengkalai. Proses kaderisasi dan
regenerasi menjadi stagnan yang berakibat runtuh dan
matinya sebagian besar cabang-cabang karena
kehabisan kader.
Di tengah ancaman keruntuhan organisasi itu,
Kongres IX GmnI akhirnya tetap dilaksanakaan pada
tahun 1985 di Samarinda. Karena stagnannya kaderisasi
dan regenerasi, maka sebagian besar pimpinan nasional
yang terpilih adalah wajah-wajah lama (status quo) yang
sebenarnya masih dipertanyakan tentang loyalitasnya
terhadap ideologi dan organisasi. Kongres IX tersebut
relatif tidak menghasilkan konsepsi apapun terutama
tentang pembaharuan pemikiran serta operasional
program.
Perpecahan yang berlarut-larut di tubuh GmnI
tersebut terus menjalar ke berbagai struktur organisasi
dan memuncak saat dilaksanakannya Kongres X di
Salatiga tahun 1989, yang diwarnai oleh kericuhan fisik.
Dalam Kongres X tersebut, lagi-lagi wajah-wajah lama
menduduki kepemimpinan nasional GmnI akibat
stagnannya kaderisasi dan regenerasi di tubuh GmnI.
Lebih ironis lagi, konflik di kepimpinan nasional
GmnI ternyata semakin parah dan sudah mulai
mengarah pada saling "pecat-memecat". Akhirnya,
identitas sebagai organisasi perjuangan pun menjadi
luntur akibat konflik yang tidak jelas dan deideologis.
Perilaku yang lebih menonjol justru adalah mental-
mental birokrat demi mempertahankan status-quo. Lebih
parah lagi, demi melestarikan status-quonya, beberapa
pimpinan nasional GmnI mulai mengintrodusir apa yang
disebut "Komunitas Baru GmnI" yang ditetapkan melalui
Deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan terberat yang dihadapi
GmnI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap
dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat
sesaat, tetapi sudah mengarah pada kehancuran ideologi
dan nafas gerakan.
Mental-mental birokrat yang menjadi perilaku elite
GmnI saat itu pada akhirnya mendapat perlawanan dari
cabang-cabang dalam Kongres XI yang dilaksanakan di
Malang pada tahun 1992. Reaksi perlawanan tersebut
dilakukan dengan cara menuntut adanya otonomi yang
lebih luas dari cabang-cabang. Tuntutan itu akhirnya
melahirkan format baru tentang tata-hubungan antara
kader-kader GmnI yang tidak boleh lagi bersifat “formal-
institusional” untuk mengikis mental-mental birokrat
kader GmnI. Sebagai gantinya tata-hubungan antar
kader diganti dalam bentuk hubungan “personal-
fungsional” karena dipandang cukup relevan dan mampu
mendukung GmnI menjadi organisasi yang benar-benar
berbasiskan gerakan.
Radikalisasi GmnI kembali bangkit pada saat
dilaksanakannya Kongres XII di Denpasar-Bali tahun
1996, walaupun GmnI telah mengalami penurunan
kuantitas kader yang cukup tajam akibat stagnasi
regenerasi. Radikalisasi gerakan itu oleh cabang-cabang
kemudian dituangkan dalam perubahan Pembukaan
Anggaran Dasar dengan memasukkan klausul "sosialis-
religius” dan “progressif-revolusioner". Dalam kongres
tersebut, juga kembali ditegaskan tentang independensi
gerakan dengan membuat aturan baru yang ditetapkan
dalam AD/ART tentang dilarangnya anggota GmnI
merangkap keanggotaan dengan partai politik dan
organisasi sejenis.
Namun sayang, komitmen radikalisasi gerakan
oleh cabang-cabang kembali mendapatkan ujian dengan
intervensi kekuatan luar yang selalu memasukkan
orang-orang titipannya dalam lembaga Presidium GmnI.
Dan dapat diprediksi akibat intervensi tersebut,
Presidium GmnI hasil Kongres XII kembali terpecah
seperti juga lembaga sebelumnya. Dan komitmen yang
dihasilkan dalam Kongres XII Denpasar kembali
tercoreng dengan dilanggarnya komitmen oleh beberapa
anggota Presidium yang masuk menjadi anggota partai
politik dan menjadi salah satu calon legislatif dari partai
politik tersebut.
Melihat pelanggaran komitmen itu, maka DPC-
DPC sepakat untuk melakukan penyikapan dalam
konsolidasi nasional yang dilaksanakan di Malang
tanggal 23 April 1999. Dalam konsolidasi tersebut
disepakati bahwa seluruh cabang menyatakan tidak
percaya lagi terhadap pimpinan nasional pada saat itu
sebagai sikap protes terhadap konflik kepentingan dan
pelanggaran organisasi yang dilakukan oleh beberapa
anggota presidium. Akhirnya cabang-cabang bersepakat
pula untuk meneruskan jalan baru tentang
pengembalian radikalisasi gerakan di tubuh GmnI yang
telah digulirkan di Kongres XII tanpa melibatkan
pimpinan nasional.
Demi percepatan radikalisasi gerakan, seluruh
cabang sepakat untuk segera melakukan konsolidasi
ideologi yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 21
Juni 1999 di Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut,
cabang-cabang berhasil merumuskan kembali nilai-nilai
marhaenisme untuk mengembalikan roh gerakan di
tubuh GmnI. Rumusan nilai-nilai itu kemudian
disempurnakan dalam pertemuan antar cabang pada
tanggal 1 Juli 1999 di Surabaya. Selain berhasil
menyempurnakan rumusan marhaenisme, pertemuan
tersebut juga menghasilkan kesepakatan antar cabang
untuk menyusun Silabus Kaderisasi yang akan
direlevansikan dengan rumusan marhaenisme yang telah
disusun.
Oleh karena itu, cabang-cabang kemudian
menyepakati untuk mengadakan satu kali pertemuan
lagi dalam bentuk Lokakarya Nasional yang khusus
membahas tentang silabus kaderisasi. Sebelum
Lokakarya Silabus Kaderisasi terlaksana, Presidium
GmnI ternyata telah menyebarkan undangan ke seluruh
cabang untuk segera melaksanakan Kongres XIII di
Kupang NTT. Akhirnya, Lokakarya ditunda sampai
selesainya Kongres XIII.
Namun sebelum kongres terlaksana, cabang-
cabang ternyata memiliki sikap dan pandangan yang
berbeda-beda terhadap Kongres XIII. Perbedaan sikap
dan pandangan itu menyebabkan perpecahan baru di
tubuh GmnI. Beberapa perbedaan pandangan tersebut
antara lain:
Dua cabang (Bandung, Yogyakarta) bersikeras
untuk tetap mengabaikan undangan Presidium atas
dasar sejarah kongres-kongres GmnI terdahulu yang
selalu melahirkan kepemimpinan nasional yang corrupt
akibat intervensi rejim. Sehingga tidak ada toleransi
terhadap pengkhianatan organisasi yang dilakukan oleh
anggota Presidium tersebut. Akhirnya Bandung dan
Yogyakarta memutuskan untuk tidak hadir dalam
Kongres XIII di Kupang-NTT.
Tiga cabang (Surabaya, Denpasar, Jember) tetap
memutuskan untuk berangkat menghadiri Kongres
namun dengan tuntutan:
- Presidium harus memberikan klarifikasi terlebih
dahulu tentang pelanggaran organisasi yang telah
dilakukan;
- serta Presidium diminta untuk menyelesaikan
konflik internalnya terlebih dulu sebelum Kongres
XIII dilaksanakan.
Tuntutan tersebut disampaikan oleh ketiga
cabang yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang lain
ketika seluruh cabang berkumpul di Jakarta untuk
bersama-sama berangkat menuju Kupang. Namun
karena tuntutan itu tidak dipenuhi oleh Presidium, maka
Surabaya, Jember dan Denpasar kemudian memutuskan
untuk tidak menghadiri kongres dan kembali pulang ke
daerah masing-masing.
Cabang-cabang lainnya memutuskan untuk tetap
berangkat dengan berbagai macam pertimbangan.
Namun di tengah-tengah pelaksanaan Kongres, ternyata
5 (lima) cabang yaitu Malang, Solo, Semarang, Pontianak
dan Medan melakukan aksi walk-out sebagai bentuk
protes terhadap Presidium yang dinilai tidak quorum
sehingga tidak bisa dimintai laporan pertanggung-
jawabannya (Kongres XIII Kupang hanya dihadiri oleh 4
orang Presidium dari 13 cabang).
Tiga cabang lain yaitu Pontianak, Mataram dan
Garut memutuskan untuk tetap mengikuti Kongres
sampai selesai untuk menghindari pressure fisik dari
cabang-cabang yang tetap ngotot meneruskan kongres,
namun dengan sikap abstain terhadap segala keputusan.
Akhirnya, dari keseluruhan cabang yang hadir dalam
Kongres XIII Kupang, otomatis hanya ada 10 (sepuluh)
cabang yaitu DKI Jakarta, Depok, Bogor, Purwokerto,
Pasuruan Kupang, Ende, Manado, Tondano dan Bitung.
Namun ternyata kesepuluh cabang tersebut tetap
meneruskan Kongres bahkan membentuk kepemimpinan
nasional yang baru di tubuh GmnI walaupun sebenarnya
Kongres tersebut tidak quorum untuk membuat sebuah
keputusan.
Karena sikap yang berbeda-beda antar cabang
terhadap Kongres XIII Kupang seperti di atas, akibatnya
sejarah konflik dan perpecahan di tubuh GmnI kembali
terjadi. Untuk mengatasi perpecahan agar tidak meluas
dan membias, maka beberapa cabang (Solo, Bandung,
Yogyakarta, Malang, Semarang, Jember, Surabaya dan
Medan) sepakat untuk melakukan konsolidasi lanjutan
antar cabang yang dilaksanakan di Jember tanggal 15
Desember 1999. Pertemuan tersebut diadakan khusus
untuk mencari upaya-upaya solusi yang dipandang bisa
mengatasi perpecahan di tubuh GmnI yang terjadi.
Menjadi fenomena menarik karena di pertemuan itu
ternyata juga dihadiri oleh salah seorang Presidium hasil
Kongres XIII Kupang (Yanto) yang juga mengakui bahwa
Kongres XIII Kupang mengalami kecacatan.
Akhirnya dalam pertemuan tersebut disepakati
untuk menyelesaikan perpecahan dengan cara
menggagas adanya sebuah pertemuan tingkat nasional
yang akan dihadiri oleh seluruh cabang (baik yang
mendukung dan menolak Kongres XIII Kupang), untuk
kembali duduk bersama dalam satu pertemuan resmi.
Dan berdasarkan AD/ART GmnI, satu-satunya
pertemuan resmi yang setingkat dengan kongres
hanyalah Kongres Luar Biasa (KLB). Mengenai agenda-
agenda yang akan dibicarakan dalam KLB tersebut
antara lain:
1. Menyelesaikan konflik antar cabang paska
Kongres XIII Kupang;
2. Pengesahan Manifesto Politik GmnI berupa
rumusan nilai-nilai marhaenisme hasil pertemuan
antar cabang di Yogyakarta dan Surabaya;
3. Pengesahan Silabus Kaderisasi dan Garis-Garis
Besar Program Perjuangan (GBPP). Mengingat
belum dirumuskannya Silabus Kaderisasi dan
GBPP GmnI karena terhenti oleh adanya Kongres
XIII Kupang, maka diputuskan dalam pertemuan
tersebut untuk segera melaksanakan Lokakarya
Silabus Kaderisasi yang sempat tertunda.
Lokakarya Kaderisasi akhirnya bisa dilaksanakan
pada tanggal 22-23 Januari 2000 di Solo. Dalam
Lokakarya tersebut cabang-cabang akhirnya mampu
menyelesaikan rumusan Silabus Kaderisasi dan GBPP-
GmnI. Di dalam Lokakarya itu juga diputuskan bahwa
Yogyakarta ditetapkan sebagai tuan rumah pelaksanaan
KLB. Namun karena tidak kesulitan dana, akhirnya KLB
dipindahkan ke kota Semarang yang menyatakan diri
siap untuk menjadi tuan rumah. KLB kemudian
dilaksanakan pada tanggal 9-12 Februari 2001 di
Semarang Jawa Tengah. Penggalangan dana sebagian
besar diperoleh dari sumbangan cabang-cabang yang
hadir.
Agenda pertama KLB tentang penyelesaian konflik
antar cabang ternyata tidak berhasil diwujudkan karena
cabang-cabang yang mendukung Kongres XIII Kupang
(DKI Jakarta, Depok, Bogor, Purwokerto, Pasuruan
Manado dan Kupang) tidak hadir walaupun telah
diundang. Cabang-cabang yang menghadiri KLB antara
lain: Lampung, Bengkulu, Jakarta Raya, Bandung,
Garut, Cianjur, Jogyakarta, Semarang, Solo, Magelang,
Surabaya, Malang, Jember, Banyuwangi, Denpasar,
Pontianak, Palangkaraya dan Balikpapan. Sementara
Medan dan Siantar Simalungun tidak bisa menghadiri
KLB karena terbentur oleh persoalan dana, namun
masih sempat membuat surat yang menyatakan patuh
dan sepakat terhadap segala keputusan yang dihasilkan
dalam KLB.
KLB kemudian menghasilkan beberapa keputusan
penting antara lain: pengembalian azas organisasi dari
Pancasila kepada Marhaenisme dan Pengesahan Silabus
Kaderisasi hasil Lokakarya Nasional di Solo. Mengenai
Manifesto Politik yang berisi rumusan nilai-nilai
marhaenisme diputuskan untuk disempurnakan dalam
Rapat Koordinasi Nasional GmnI.
Ketidakhadiran cabang-cabang GmnI yang
mendukung Kongres XIII Kupang di KLB telah
memunculkan perdebatan sengit antar cabang. Sebagian
cabang menuntut untuk terus melakukan upaya
rekonsiliasi, dan sebagian cabang lagi menolak
rekonsiliasi dan menuntut GmnI memisahkan diri demi
pemurnian dan radikalisasi gerakan di tubuh GmnI.
Akhirnya perdebatan tersebut berakhir dalam sebuah
kesepakatan antara lain:
1. Cabang-cabang GmnI KLB memutuskan untuk
memilih kepemimpinan nasionalnya sendiri yang
memiliki kewajiban pokok membawa GmnI pada
pemurnian dan radikalisasi gerakan sebagai “jalan
baru” yang akan ditempuh GmnI menuju cita-cita
sosialisme Indonesia;
2. Rekonsiliasi akan tetap dilaksanakan secara
proporsional dengan menggunakan pendekatan
ideologis dan kultural, sehingga rekonsiliasi akan
terukur dan tidak sampai keluar dari rel ideologi
karena hanya akan dilakukan sesama kader
marhaenis dan bukan kader-kader marhaenis
gadungan yang selalu muncul sejak sejarah
kedirian GmnI;
3. Rekonsiliasi yang dilakukan tidak boleh
mengorbankan komitmen, konsepsi dan gerakan
pemurnian GmnI yang telah dirintis dan disusun
oleh cabang-cabang KLB. Oleh karena itu
rekonsilasi tidak bisa dilakukan jika harus
merubah asas organisasi (marhaenisme), Silabus
Kaderisasi GmnI, Manifesto Politik GmnI dan
GBPP-GmnI yang selama ini telah menjadi roh
kebangkitan GmnI ditubuh cabang-cabang KLB
include strategi perjuangannya yang baru.
Upaya rekonsiliasi tersebut ternyata masih sulit
bahkan semakin harapan semakin tipis seiring dengan
dilaksanakannya Kongres XIV Manado pada bulan
Desember 2002 oleh Presidium hasil Kongres XIII
Kupang. Menjadi semakin tipis, karena cabang-cabang
KLB di Rakornas II GmnI bulan Januari 2003 di
Bandung juga memutuskan untuk meneruskan
radikalisasi gerakan sebagai jalan baru yang akan
dideklarasikan dalam Kongres XIV di Medan Sumatera
Utara pada tanggal 1 Juni 2003.
Akhirnya, sejarah juga yang nanti akan menguji
komitmen, militansi dan loyalitas masing-masing
barisan. Semoga GmnI tetap Jaya…!!!
Bab Dua

Pasang Surut
Perjuangan GmnI

Pendirian organisasi GmnI sebenarnya berkaitan


erat dengan keberadaan Partai Nasional Indonesia (PNI)
sebagai salah satu partai politik terkemuka di Indonesia
pada tahun 1950-an hingga 1960-an yang mengusung
bendera nasionalisme dan berbasiskan ideologi
marhaenisme. PNI sebagai pelopor kekuatan nasionalis
memiliki tanggung jawab untuk membangun sebuah
front marhaenis dengan cara membangun organ-organ
marhaenis di setiap elemen-elemen bangsa meliputi
elemen pemuda, pelajar, mahasiswa, buruh, petani,
perempuan, dan lain-lain. Pembangunan front
marhaenis tersebut bertujuan sebagai penyusunan
kekuatan kaum marhaenis demi percepatan revolusi
sosial yang sedang dilakukan di Indonesia
(samenbundeling van alle revolutionare krachten).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kedirian GmnI
diharapkan akan menjadi representasi kekuatan elemen
mahasiswa yang nantinya akan mendukung penguatan
front marhaenis.
Sebagai salah satu kekuatan front marhaenis dari
elemen mahasiswa, maka fungsi pokok GmnI saat itu
adalah mencetak kader-kader muda yang akan disiapkan
sebagai penerus perjuangan partai dengan memasukkan
kader-kader GmnI ke dalam kepengurusan partai dari
tingkat ranting, cabang, daerah sampai nasional. Wajar
jika pada saat itu sebagian besar anggota GmnI masih
merangkap keanggotaan di Partai Nasional Indonesia
(PNI) sebagai wujud konsekuensi logis dari GmnI yang
menjadi underbow PNI.
Walaupun menjadi underbow partai, GmnI masih
memiliki posisi strategis terutama hal-hal yang
menyangkut tanggung jawabnya sebagai motor
penggerak massa di tingkatan grass root bersama ormas
underbow PNI lainnya. Sebagai motor penggerak,
tentunya GmnI memiliki peran yang cukup signifikan
dalam upaya-upaya penciptaan perubahan di tingkatan
masyarakat. Sebab dengan posisi tersebut, GmnI
memiliki kunci jalannya massa-aksi dalam proses
perubahan yang dilakukan untuk perwujudan cita-cita
revolusi sosial Indonesia. Penggalangan kekuatan di
tingkat masyarakat dalam gerakan yang radikal saat itu
memang lebih banyak didominasi oleh GmnI
dibandingkan dengan PNI sendiri.
Sikap radikal GmnI pada akhirnya harus
berbenturan dengan kelompok-kelompok tua PNI yang
dipandang sebagai kelompok feodal, konservatif dan
ortodok. Benturan dengan kelompok tua tersebut pada
akhirnya berpuncak pada perlawanan frontal GmnI
terhadap kelompok nasionalis tua. Perlawanan itu
dilakukan GmnI dengan menggalang kekuatan-kekuatan
muda yang masih dipandang radikal dan revolusioner
untuk melakukan upaya pembersihan partai dari kader-
kader marhaenis gadungan. Pembersihan itu penting
dilakukan karena kelompok marhaenis gadungan
tersebut cenderung melakukan gerakan yang bersifat
kontra revolusioner.
Pada bulan Februari 1959, pimpinan nasional
GmnI kemudian menyusun sebuah dokumen yang
kemudian dikenal dengan nama “Beberapa Thesis
Pedoman Perjuangan” (Some Theses as Guidelines for
Struggle). Beberapa isi penting dari dokumen tersebut,
seperti yang dikutip oleh Eliseo Rocamora, antara lain
menyebutkan:
……in the revolution, we recognize two types of persons
and groups, a person or group working actively for the
revolution and a counterrevolutionary. The revolution
does not recognize a dual personality, for commitment to
the revolution is tital and absolute. It does not recognize
compromise, for it is compromise which obstructs and
eventually causes the failure of the revolution.
Thus we must consciously and firmly separate the
revolutionary form the counterrevolutionary types. A
politics of isolation, of separating counterrevolutionaries
from the masses, is an absolute necessity1.
Kelompok yang diidentfikasi sebagai kontra revolusi di
dalam dokumen tersebut adalah:
….capitalists, landlords, compradors, federalists,
‘conservative-orthodox-doctrinaire-formalist’ bureaucrats,
opportunist and corrupt politicians, and economic
speculators. The most important revolutionary element is
labor youth. The revolutionaries also include poor
peasants, members of the armed forces, and poor
intellectuals. Counterrevolutionary elements must be
purged form the party. Although control over
governmental institutions is important, a major part of
party energies must be devoted to work among the

1
R. William Liddle (editor), 1973, Political Participation in Modern
Indonesia, Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies.
masses in orde to prevent isolation from them. To do this,
the party must seriously train cadres to lead the mass
organizations2.
Sampai tahun 1965, posisi GmnI di tengah
percaturan politik nasional tetap sebagai salah satu
kekuatan front marhaenis yang menjadi back-up bagi
jalannya revolusi yang sedang digencarkan oleh
pemerintahan Bung Karno. Bahkan GmnI juga sempat
mengambil peran di parlemen untuk menjalankan
strategi kejuangannya dengan mendudukkan kader-
kadernya di DPRGR dan Dewan Konstituante sebagai
jatah kursi yang diberikan PNI atas kemenangannya
pada Pemilu 1955. Bahkan Sri Sumantri, salah seorang
kader GmnI sempat berperan secara optimal dalam
mewarnai rumusan Undang-Undang Dasar di Dewan
Konstituante sebelum kemudian dibubarkan.
Ruang yang dimiliki GmnI pada era 1950-1960
memang cukup besar dan luas sehingga GmnI mampu
meletakkan posisi organisasi dalam posisi multistrategis:
sebagai alat pencetak kader, alat pengorganisasian
rakyat dan ikut melakukan perjuangan di dalam
parlemen. Peran optimal GmnI tersebut sebenarnya tidak
terlepas dari dukungan realitas politik saat itu, dimana
kekuatan-kekuatan sosialis dan nasionalis masih
mendominasi pemerintahan Indonesia. Dan di bawah
demokrasi terpimpin (guided democracy), kekuatan-
kekuatan kiri terutama partai-partai beraliran sosialis
dan kekuatan agama bersatu dalam satu strategi
perjuangan (nasakom) demi pencapaian konsentrasi
kekuatan nasional untuk melawan rongrongan kekuatan
neo kolonialisme-imperialisme yang masih menjadi
ancaman terbesar bagi kehidupan bangsa saat itu.

2
Ibid.
Namun demikian, penyatuan kekuatan sosialis
dan agama dalam kesatuan perjuangan demi
perwujudan revolusi sosial pada akhirnya menjadi
kandas seiring dengan peristiwa coup 30 September
1965. Dan sejak saat itu, perekonomian Indonesia secara
cepat langsung berada di bawah kekuatan kapitalisme
global.
Ironisnya, Pancasila yang pada masa Bung Karno
menjadi roh bagi revolusi Indonesia ternyata digunakan
oleh Orde Baru untuk memberangus kekuatan-kekuatan
sosialis di dalam pemerintahan dan legislatif, kemudian
menggantikannya dengan militer, teknokrat dan
kelompok modal. Seperti yang diungkap Hardoyo:
“Pancasila Democracy” of Suharto indirectly claimed the
position of “extreme centre”, to keep in mind that the
primary enemies are the extreme left, meaning
communists and the extreme right meaning Islam.
Suharto’s central pillar was the triple ideologi of militari-
technocrats-business3.
Pada era 1970 sampai 1990-an, gerak perjuangan
GmnI telah berada dalam kekuasaan rejim otoriter yang
berpihak pada kepentingan modal. Dalam realitas rejim
yang otoriter tersebut, gerakan di tubuh GmnI pun
menghadapi pasang surut. Dari catatan sejarah
dokumentasi organisasi yang masih dimiliki cabang-
cabang, arah strategi gerakan GmnI terbagi dalam dua
movement grand strategy yaitu studi wacana/diskursus
dan pengorganisiran rakyat.
Strategi gerakan yang dipusatkan pada wacana
dan diskursus dilakukan sebagai bagian dari upaya
siasat menghadapi represivitas rejim yang tidak
menghendaki adanya radikalisasi gerakan yang
mengarah pada tindakan subversif versi rejim. Selain itu,
3
Hardoyo, The Future of The Left in Indonesia
strategi tersebut sebenarnya adalah salah satu bagian
dari keputusan Kongres VI GmnI di Ragunan-Jakarta
yang menghendaki adanya konsolidasi ideologi untuk
segera mengakhiri konflik perpecahan paska Kongres V
Salatiga pada tahun 1969. Konsolidasi ideologi tersebut
kemudian dituangkan oleh sebagian cabang dalam
bentuk kajian dan diskursus tentang marhaenisme yang
diderivasikan ke dalam ilmu-ilmu politik, ekonomi
sosiologi, antropologi dan budaya.
Derivasi tersebut dipandang penting, mengingat
gencarnya stigmatisasi Orde Baru yang melakukan
pemberangusan terhadap segala gerakan yang
dipandang berbau kiri seiring dengan penggunaan
kekuasaan yang militeristik. Oleh karena itu, beberapa
penggunaan bahasa di tubuh GmnI yang dimasa
pemerintahan Bung Karno selalu digunakan sebagai alat
propaganda politik terhadap rakyat, sejak saat itu telah
dibatasi penggunaannya hanya di kalangan internal
GmnI.
Implikasinya, bahasa-bahasa propaganda ideologi
pada akhirnya hanya dikenal di kalangan internal kader
GmnI saja, tetapi tidak meluas terutama di kalangan
rakyat. Penggunaan bahasa-bahasa seperti: marhaen,
sosialisme, revolusi, buruh tani, radikalisme, historis
materialisme dan lainnya mulai tenggelam digantikan
dengan bahasa-bahasa “akademisi” sebagai siasat
menghadapi stigmatisasi “bahasa kiri” oleh rejim
kekuasaan.
Kajian-kajian ideologi yang diderivasikan ke dalam
ilmu-ilmu praksis akademis tersebut, pengembangannya
dipusatkan pada penguasaan kampus untuk dijadikan
sebagai alat perubahan (agent of change). Dan sejak saat
itu, taktik yang diambil GmnI adalah menjadikan
kampus sebagai alat taktis untuk melakukan kontrol
terhadap jalannya kekuasaan yang diterapkan oleh
rejim. Kampus pun menjadi corong segala konsepsi yang
digulirkan oleh GmnI untuk membangun perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat. Hanya saja, strategi
tersebut akhirnya menjadi surut seiring dengan tragedi
1974 dan 1978 yang diakhiri dengan pembersihan
kampus dari kekuatan-kekuatan kiri (pemberlakuan
NKK/BKK) oleh rejim Orde Baru.
Mengingat tidak kondusifnya lagi kampus sebagai
kendaraan taktis dan corong gerakan bagi GmnI yang
diakhiri dengan pengusiran paksa GmnI bersama organ-
organ kiri mahasiswa lainnya, maka sebagian besar
cabang menyusun strategi baru yang diarahkan pada
perjuangan yang bersifat terjun langsung ke dalam
kehidupan rakyat yang kemudian dikenal dengan
strategi integratif.
Harus diakui, strategi baru yang ditempuh
sebenarnya memiliki resiko tinggi karena akan berada
dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan rejim.
Radikalisasi strategi tersebut berpuncak pada tahun
1980-an yang telah membawa GmnI kepada sebuah
keputusan besar untuk menyatakan dirinya “keluar” dari
kampus. Keputusan itu diambil sebagai bagian dari
protes GmnI terhadap rejim yang telah mengkebiri
kehidupan kampus dari kebebasan berorganisasi,
berpikir dan bergerak. Strategi gerakan ini, juga memiliki
relevansi dengan gerakan di Amerika Latin yang
berkembang saat itu dimana gerakan telah mengarah
pada delegitimasi terhadap “institusi sekolah” karena
dianggap penyebab munculnya ketidakadilan adalah
sistem yang membatasi kebebasan ekonomi masyarakat
melalui labelisasi intelektual. Tokoh-tokoh yang terkenal
dalam gerakan tersebut adalah Ivan Illich dan Paulo
Freire.
Labelisasi intelektual oleh hegemoni lembaga
pendidikan oleh sebagian kader-kader GmnI kemudian
dijawab secara tegas dengan segera melepas status
kemahasiswaannya dan memilih untuk belajar secara
otodidak tanpa terikat oleh lembaga pendidikan apapun.
Proses pembelajaran otodidak tersebut dilakukan dengan
cara berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Strategi
baru itu oleh sebagian besar kader-kader GmnI
kemudian dikenal dalam slogan: “makan bersama
rakyat, minum bersama rakyat, belajar bersama rakyat
dan berjuang bersama rakyat”.
Pola pembelajaran bersama rakyat yang sekaligus
dijadikan sebagai alat pengorganisiran oleh kader GmnI
dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik
pendampingan (advokasi) dengan isu keadilan, hak asasi
manusia, lingkungan hidup dan gender. Strategi tersebut
terus berjalan sampai tahun 1990-an.
Strategi pengorganisasian yang meninggalkan
kampus sebagai basis telah membawa implikasi
stagnannya regenerasi di tubuh GmnI akibat terhentinya
proses rekruitmen kader terhadap mahasiswa-
mahasiswa baru. Stagnasi tersebut diperparah lagi oleh
konflik yang berkepanjangan di tingkat pimpinan
nasional yang tidak mampu dibersihkan dari intervensi
kekuatan rejim dan pihak-pihak lain yang memiliki
kepentingan terhadap GmnI. Stagnasi regenerasi
tersebut terus membawa GmnI pada penurunan
kuantitas kader, karena sampai tahun 1998 tercatat
hanya 30-an cabang saja yang masih tersisa dan
bertahan sebagai kekuatan riil GmnI di seluruh
Indonesia (berdasarkan daftar hadir peserta Kongres XII
Denpasar Bali dan Kongres XII Kupang NTT).
Selain penurunan kuantitas, ternyata GmnI juga
mengalami penurunan kualitas yang cukup tajam.
Sebagian besar kader dipandang telah kehilangan basic
ideologinya akibat ketidakmampuan GmnI dalam
mentransformasikan nilai-nilai marhaenisme melalui
kaderisasi. Bahkan sebagian besar kader-kader GmnI di
era 1990-an dipandang tidak memiliki pemahaman yang
cukup kuat untuk memanifestasikan nilai-nilai ideologi
organisasi.
Bab Tiga

KLB dan Strategi Baru


Kejuangan GmnI

Kembali kepada Marhaenisme


Masalah internal GmnI yang bersangkut paut
pada penurunan kualitas dan kuantitas kader di tubuh
organisasi telah memaksa GmnI untuk menyusun ulang
strateginya agar dapat menyelamatkan organisasi yang
berada di ambang kematian. Oleh karena itu sejak tahun
1998 sebagian cabang-cabang segera melakukan
pertemuan-pertemuan tingkat nasional yang khusus
membahas tentang kajian-kajian marhaenisme yang
ditinjau kembali dari runtutan sejarah sekaligus
berusaha untuk merelevansikan strateginya kembali
agar sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat Indonesia yang telah jauh berubah.
Kajian ideologi tersebut bertujuan untuk membuat
rumusan baku tentang marhaenisme yang akan
dijadikan sebagai sumber dari segala aturan organisasi
terutama aturan-aturan yang menyangkut rancangan
Silabus Kaderisasi, Manifesto Politik GmnI dan Garis-
Garis Besar Perjuangan (GBPP) GmnI.
Setelah dilaksanakan beberapa kali pertemuan di
Malang, Yogyakarta dan Surabaya dan terakhir dalam
Lokakarya Nasional di Solo, akhirnya GmnI mampu
membuat rumusan ideologi yang kemudian dituangkan
dalam bentuk rancangan Silabus Kaderisasi dan Garis-
Garis Besar Program Perjuangan (GBPP) GmnI. Selama
pertemuan dilangsungkan, cabang-cabang GmnI
memang tidak melibatkan lembaga presidium karena
cabang-cabang telah belajar dari sejarah kepemimpinan
nasional GmnI yang selalu tidak pernah bersih dari
intervensi kekuasaan rejim.
Namun upaya perbaikan organisasi tersebut
ternyata harus kembali mengalami cobaan yang cukup
berat akibat perpecahan pimpinan nasional GmnI yang
kemudian berimbas pada perpecahan antar cabang di
Kongres XIII GmnI di Kupang 1999. Ditengah
perpecahan antar cabang yang masih terus berlangsung,
kedua rancangan masih berhasil disahkan dalam
Kongres Luar Biasa (KLB) GmnI di Semarang bulan
Februari 2001 yang tidak dihadiri oleh cabang-cabang
yang mendukung Kongres XIII Kupang.

Membangun Oposisi dan Kembali pada


Kekuatan Rakyat
Sejarah KLB memiliki sejarah penting bagi
perubahan strategi di tubuh GmnI. Sebab dalam KLB
tersebut telah menghasilkan sebuah keputusan yang
pada akhirnya membawa GmnI pada pilihan sebagai
“oposisi permanen” terhadap kekuasaan. Keputusan
tersebut diambil setelah terjadinya pergulatan pemikiran
yang cukup melelahkan antar cabang tentang peran
negara yang mulai melenyap di bawah kekuatan
kapitalisme global.
Akhirnya GmnI mengakui bahwa hegemoni neo-
liberalisme saat ini telah memaksa negara Indonesia
menjadi subordinat (antek) kekuatan kapitalisme global.
Realitas tersebut pada akhirnya bertentangan dengan
salah satu asas perjuangan GmnI yang masih mengakui
dan memberikan kepercayaan kepada negara sebagai
alat pemersatu, pelopor revolusi sosial, dan panglima
penegak keadilan dalam demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi yang berjalan di Indonesia.
Peran negara yang terdistorsi oleh kebijakan-
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat sangat
bertentangan dengan asas perjuangan GmnI. Hal ini
telah memaksa GmnI untuk merumuskan kembali
tentang peran negara dalam keikutsertaannya
mewujudkan revolusi sosial di Indonesia. Disini
kemudian memunculkan perdebatan lagi di antara
cabang mengenai sejauh mana peran negara harus
dibatasi keikutsertaannya dalam mewujudkan cita-cita
revolusi sosial tersebut. Perdebatan itu akhirnya tidak
menghasilkan sebuah keputusan yang tegas, namun
masih berhasil membuat sebuah catatan tentang negara
yang dipandang masih terlalu sulit bagi GmnI untuk
mengandalkannya sebagai alat perlawanan terhadap
kapitalisme global dalam kondisi ketergantungan negara
seperti saat ini.
Sikap GmnI itu baru bisa dipertegas dalam
pertemuan nasional berikutnya yang difasilitasi oleh
Presidium KLB dan DPC GmnI Bandung (Agustus 2001)
yang menghasilkan keputusan bahwa GmnI secara
institusional harus mengambil strategi “oposisi
permanen” terhadap negara. Pertemuan itu kemudian
dikenal dengan nama “Deklarasi Lembang”. Strategi itu
diambil sebagai upaya melakukan kontrol terhadap
kekuasaan negara yang berada dalam kendali kekuatan
kapitalisme global. Hal tersebut dipandang penting
untuk dilakukan, mengingat posisi negara sebagai
representasi rakyat dalam konstitusi kita, dimana
keselamatan dan nasib rakyat Indonesia berada di
tangan negara, namun di satu sisi, justru negara
acapkali mengkhianati “amanat penderitaan rakyat”.
Unsur-unsur negara include unsur-unsur kekuatan lain
yang ikut mempengaruhi negara yang dirumuskan GmnI
antara lain: eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik
dan kekuatan modal.
Sikap oposisi permanen terhadap negara tersebut
bukan diartikan sebagai upaya GmnI mendekonstruksi
negara dan peranannya dalam kehidupan kebangsaan
Indonesia seperti apa yang digagas oleh kelompok
postmodernisme selama ini. Oposisi permanen tersebut
justru dilakukan dalam upaya mengembalikan peran
negara dari ambang kematian akibat penetrasi kekuatan
kapitalisme global seperti saat ini.
Bagaimanapun dalam konsepsi marhaenisme,
negara adalah sebuah wadah yang tetap dipandang perlu
untuk membawa kehidupan bangsa ke masa depan res
publica yang sejahtera, adil dan makmur. Namun
demikian, belajar dari sejarah dunia, negara justru
acapkali melahirkan pemerintahan yang corrupt dan
menindas. Dan mungkin realitas sejarah itulah yang
menjadi penyebab kenapa sistem demokrasi kemudian
menjadi pilihan populer bagi bangsa-bangsa dunia dalam
upaya menjinakkan kekuasaan negaranya.
Locke dan Montesque telah berbicara banyak
kepada kita tentang perlunya menciptakan media kontrol
atas negara melalui pembagian kekuasaan yang
kemudian dikenal dengan konsep trias politikanya.
Namun demikian, dalam sejarah kontemporer, trias
politika itu pun ternyata tidak mampu lagi menjalankan
kontrolnya terhadap kekuasaan seiring dengan
munculnya sebuah kekuatan baru yang melebihi
kekuatan negara dalam bentuk kapitalisme global
sebagai metamorfosa kapitalisme klasik.
Bagi Indonesia yang juga menganut nilai-nilai
demokrasi juga menghadapi persoalan serupa. Negara
Indonesia selama 33 tahun terakhir telah disulap oleh
pemerintahan Orde Baru menjadi sebuah negara yang
bersifat facis kedalam dan bersifat liberalis keluar.
Negara di bawah rejim Orde Baru telah memaksa rakyat
dan konstitusi menundukkan dirinya kepada kekuatan
kapitalisme global.
Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa sistem
demokrasi yang terlalu mempercayakan media
kontrolnya kepada trias politika dan konstitusi, ternyata
juga tidak cukup mampu menjadikan negara yang
berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebaliknya, tiga
elemen negara (trias politika) justru secara serempak
bersama-sama menyerahkan kekuasaannya kepada
kapitalisme global. Konstitusi pun yang selama ini
dipandang mampu mengontrol jalannya negara acapkali
terkhianati karena hanya dijadikan sebatas simbol dan
“macan kertas” oleh kekuatan yang selama ini
menjalankan negara.
Fakta ketertundukan negara selama 33 tahun
terhadap kekuatan kapitalisme global di atas tentu saja
tidak dapat dipungkiri oleh GmnI maupun elemen
bangsa lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks
demokratisasi kemudian GmnI memandang perlu untuk
membangun media kontrol baru yang tidak hanya
tergantung pada kekuatan tiga elemen negara dan
konstitusi. Media kontrol baru tersebut adalah
kebangkitan seluruh kekuatan rakyat untuk bersama-
sama mengontrol jalannya negara. Untuk
membangkitkan kekuatan rakyat tersebut, GmnI
kemudian menyusun strategi baru untuk kembali
mengefektifkan pengorganisasian rakyat (machtvorming)
yang sempat menjadi grand strategy GmnI di era 1980-
an sampai awal 90-an. Pola-pola pengorganisasian itu
kemudian disusun ulang dalam sebuah modul-modul
baru pengorganisiran. Perubahan paling mendasar dari
strategi pengorganisasian GmnI itu adalah reorientasi
tentang tujuan pengorganisasian itu sendiri.
Berdasarkan dari pengalaman sejarah
pengorganisiran yang dilakukan pada 80-an, gerakan di
tubuh GmnI seringkali mengarah pada pembiasan akibat
terlalu kakunya pola pendampingan (advokasi) terhadap
rakyat. Sebab disadari kemudian bahwa pola advokasi
yang selama ini diterapkan, ternyata secara tidak
langsung telah membatasi gerak GmnI karena terlalu
tergantungnya pengorganisasian dengan menunggu
adanya kasus-kasus di tingkatan rakyat. Implikasinya,
pola pengorganisasian GmnI akhirnya bersifat pasif dan
menunggu. Jika tidak terjadi kasus-kasus kerakyatan,
maka pengorganisasian tidak dapat dilakukan oleh GmnI
baik secara institusional maupun personal kader-kader
GmnI.
Disamping itu, pola pengorganisasian tersebut
juga acapkali menjebak GmnI pada pola-pola
developmentalis dan rutinitas gerakan yang membuat
pendampingan kepada rakyat yang dilakukan justru
menyimpang dari tujuan pokok pengorganisasian.
Beberapa kasus pendampingan GmnI seperti yang
dilakukan oleh GmnI Jember terhadap kasus perebutan
tanah antara petani Jenggawah dengan pemerintah dan
swasta hanya berhasil meraih tujuan jangka pendek saja
yaitu berhasil direbutnya kembali tanah-tanah petani
yang sempat diambil alih oleh negara dan swasta selama
pemerintahan rejim Orde Baru.
Namun target jangka menengah dan panjang
dimana seharusnya GmnI bisa membangun simpul-
simpul rakyat dan menciptakan sebuah tatanan
kehidupan baru sebagai wujud perlawanan terhadap
peradaban barat yang dikonstruksi kekuatan kapitalisme
global, seringkali tidak mampu dijalankan oleh kader-
kader GmnI. Perlawanan-perlawanan melalui aksi-aksi
massa yang dilakukan oleh GmnI bersama-sama rakyat
masih dipandang sebagai sebuah gerakan yang bersifat
reaksioner. Sebab aksi-aksi massa tersebut hanya baru
berhasil di tingkatan mobilisasi, bukan “massa aksi”.
Sebab aksi-aksi massa tersebut terjadi hanya karena
kepentingan pragmatis dan jangka pendek, bukan
muncul atas kesadaran rakyat tentang perlunya
melakukan perubahan secara terus-menerus. Hal ini
tergambar jelas dari pengakuan Hafid (salah seorang
wakil petani Jenggawah) yang menyatakan bahwa:
…..puncak keberhasilan dari perjuangan petani
Jenggawah adalah ketika GmnI Jember berhasil
membawa petani-petani Jenggawah berangkat ke
Jakarta untuk mengadukan nasibnya kepada Komnas
HAM4.
Wajar jika dalam salah satu kasus tanah yang
diadvokasi oleh GmnI kemudian menjadi stagnan ketika
tanah-tanah tersebut berhasil direbut kembali oleh
rakyat. Karena puncak keberhasilan perjuangan hanya
diukur dari berhasilnya merebut tanah saja. Sementara
konsepsi-konsepsi mengenai konstruksi bangunan
masyarakat baru yang didasarkan kepada nilai-nilai
ideologi pada akhirnya harus diabaikan karena tidak
mampu tersampaikan ke dalam kehidupan rakyat.

4
Hafid, J.O.S. Perlawanan Petani. Kasus Tanah Jenggawah. Pustaka Latin.
Bogor. 2001.
Berdasarkan pengalaman pengorganisasian itulah
maka kemudian GmnI menyusun format baru yang
diarahkan pada pola-pola integratif dimana setiap kader
GmnI dituntut untuk melebur ke dalam kehidupan
rakyat. Slogan perjuangan GmnI era 80-an yang dikenal
dalam jargon “makan bersama rakyat, minum bersama
rakyat, belajar bersama rakyat dan berjuang bersama
rakyat”, kembali dintrodusir untuk menguatkan kembali
komitmen pengorganisasian terhadap kader-kader GmnI.
Beberapa modul pengorganisasian tersebut
kemudian dimasukkan dalam Silabus Kaderisasi GmnI
yang disempurnakan dalam Rakornas GmnI di Jakarta
bulan April 2002. Pola integratif yang diterapkan dalam
pengorganisasian membutuhkan syarat pokok adanya
kader yang memiliki kemampuan ideologi, loyalitas dan
militansi gerakan. Oleh karena itulah, maka Silabus
Kaderisasi kemudian menyempurnakan beberapa format
pengkaderan yang mensyaratkan kader-kader GmnI
harus sanggup leave in di tengah-tengah masyarakat.
Leave in tersebut dilaksanakan paling singkat 2 (dua)
bulan dan paling lama 6 (enam) bulan. Tugas pokok
kader GmnI selama kaderisasi di tengah-tengah
masyarakat tersebut adalah melakukan analisa sosial
tentang relasi-relasi sosial, pranata-pranata sosial,
kontradiksi-kontradiksi ekonomi, berbagai tingkat keter-
gantungan hidup, budaya kekuasaan, dan lain-lain.
Target yang hendak dicapai dari pola pengkaderan
tersebut antara lain5:
Kaderisasi Tingkat Menengah:
1. Menguji tingkat wacana dan cara berpikir kader yang
dikaitkan langsung dengan ideologi marhaenisme.
Sekaligus mengolah seluruh wacana (teori) yang
5
Silabus Kaderisasi GmnI. Hasil Kongres Luar Biasa GmnIdi Semarang
2001.
dikuasai para kader untuk disinergikan sesuai
dengan roh dan jiwa marhaenisme, sehingga tidak
paradoks jika diimplementasikan dalam langkah-
langkah perjuangan;
2. menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang
siap menjadi motor penggerak perjuangan untuk
memimpin rakyat menuju revolusi demi terwujudnya
cita-cita sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka
para kader yang telah lulus dari kaderisasi
diharapkan telah mampu memegang kantung-
kantung massa dan melakukan pengorganisiran di
tiap kantung-kantung massa tersebut.
Kaderisasi Tingkat Pelopor:
1. uji materiil setiap kader dalam proses membangun
sintesa sistem-sistem sosial di setiap elemen
masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial
bersangkut paut pada pola dan tata cara yang
dilakukan kader dalam mengkonstruksi ulang
bangunan sistem sosial menuju pada cita-cita
masyarakat sosialis Indonesia;
2. terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan
sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori,
mental dan watak progressif revolusioner sehingga
benar-benar menjadi kader yang berkualitas.
Dengan Kaderisasi Tingkat Pelopor diharapkan
setiap kader akan mampu memanifestasikan
ideologi marhaenisme dalam setiap kehidupan
pribadinya dan dalam langkah perjuangannya
sebagai leader rakyat.
Kembali ke Kampus
Strategi baru lain, sebagai upaya revisi dari
strategi GmnI 80-an adalah strategi “kembali ke
kampus”. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
sebagian kader-kader GmnI 80-an saat itu mengambil
strategi keluar kampus untuk bergabung ke tengah-
tengah kehidupan masyarakat dalam upaya melakukan
pembelajaran dan pergerakan bersama rakyat. Strategi
itu ternyata membawa implikasi stagnannya proses
kaderisasi dan regenerasi di tubuh GmnI.
Belajar dari sejarah kegagalan gerakan GmnI di
tahun 80-an itu, maka GmnI kemudian membuat
kebijakan baru untuk segera kembali ke dalam kampus.
Kebijakan itu memang perlu diambil, karena
bagaimanapun kampus merupakan basic organisasi
GmnI yang anggotanya adalah para mahasiswa. Oleh
karena itu maka kampus harus kembali menjadi alat
bagi GmnI dalam rangka rekrutmen anggota baru demi
berjalannya kembali proses regenerasi dan kaderisasi
yang sempat stagnan.
Strategi GmnI 80-an yang memilih meninggalkan
kampus sebagai upaya mendekonstruksi lembaga
pendidikan yang dipandang tidak mencerdaskan
kehidupan bangsa, secara konsepsional dapat dipandang
bagus karena sesuai dengan sikap non-kooperatif GmnI
terhadap kekuasaan. Namun sayang, strategi itu tidak
diikuti dengan penguatan organisasi sebagai bentuk
konsekuensi atas hengkangnya GmnI dari kampus.
Jika GmnI menyepakati keluar dari kampus,
mestinya GmnI harus mencari kantung-kantung massa
alternatif lain yang berada di luar kampus sebagai
sumber rekrutmen kader yang baru. Yang berarti GmnI
harus rela merubah basic organisasi kemahasiswaannya
dengan cara berubah menjadi organisasi kemasyarakat-
an (Ormas). Karena itu adalah langkah yang paling
memungkinkan bagi GmnI untuk mengganti kantung
massa dari kampus dengan merekrut anggota dari
masyarakat umum. Namun ternyata langkah itu tidak
diambil, implikasinya jelas, GmnI secara cepat dan pasti
akan kehilangan kader-kadernya karena tidak lagi
memiliki kantung-kantung massa baik di dalam kampus
maupun di masyarakat.
Oleh karena itu, “kembali ke kampus”, adalah
satu-satunya jalan bagi GmnI saat ini untuk
membangun kembali kuantitas dan kualitas kader-
kadernya. “Kembali ke kampus” akan menjadi
momentum bagi GmnI untuk kembali mewarnai kampus
dengan menjadikan kampus sebagai alat perubahan
(agent of change). Kampus yang selama tiga dekade telah
menjadi “menara gading” yang tak tersentuh oleh
kehidupan masyarakat, harus dikembalikan fungsinya
sebagai “menara air” yang akan mengairi kehidupan
masyarakat dengan ilmu yang dimiliki. Kampus akan
menjadi corong dari segala konsepsi yang akan
digulirkan GmnI untuk membangun perubahan-
perubahan baru di dalam masyarakat.
Tiga grand strategy yang telah disampaikan di
atas adalah bagian dari pergulatan pemikiran yang
terjadi di GmnI saat ini. Mengenai peran GmnI sebagai
alat pencetak kader, GmnI tetap memiliki kewajiban
untuk mendistribusikan kader-kadernya ke seluruh
potensi-potensi kekuatan nasional, baik pemerintahan,
legislatif, eksekutif, pers, akademisi, teknokrat dan lain-
lain. Kewajiban lainnya, GmnI tetap dituntut untuk
membangun konsolidasi dengan kekuatan-kekuatan
front marhaenis (organ-organ marhaenis) dan front
nasional (kekuatan-kekuatan nasional) demi tercapainya
sebuah konsentrasi kekuatan nasional yang akan
mendukung jalannya kembali revolusi menuju cita-cita
sosialisme Indonesia (samenbundeling van alle
revolutionare krachten).
Tanggung jawab GmnI tersebut merupakan
tanggung jawab yang sangat berat, sebab GmnI dituntut
untuk terus mencetak kader-kader yang benar-benar
militan dan setia terhadap ideologi. Padahal calon-calon
kader GmnI saat ini berbeda jauh dengan tahun 50-60-
an, sebab calon-calon kader GmnI yang ada saat ini
adalah generasi muda yang hidupnya berada dalam
bangunan rejim kapitalis yang tentu pola perilaku dan
pandangan hidupnya banyak diwarnai oleh sifat-sifat
kapitalisme (individualis, westernis, hedonis,
konsumeris, pragmatis). Dibutuhkan waktu, keuletan
dan ketekunan untuk merubah pandangan dan cita-cita
hidup mereka agar benar-benar menjadi kader
marhaenis.
Bab Empat

GmnI dan Tantangan


Kedepan

Globalisasi: Matinya Negara dan


Demokrasi Indonesia
Doug Lorimer (anggota National Executive Commite
Democratic Sosialist Party Australia) pernah menyatakan
dalam tulisannya Globalisation, Neoliberalism, and The
Capitalist Austerity Drive6 bahwa peradaban baru saat ini
telah memasuki fase dimana ekonomi dan budaya
nasional serta batas-batas kenegaraan (territorial) telah
kehilangan makna dan luntur oleh sebuah proses
globalisasi yang cepat dan baru. Ekonomi dunia saat ini
didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah
menginternasionalisasikan aktivitas produksi barang
mereka ke seluruh negara-negara dunia. Perusahaan-
perusahaan tersebut tidak memiliki kesetiaan terhadap
suatu negara-bangsa secara khusus, mereka hanya setia
6
Jurnal Kiri
kepada negara yang memberikan keuntungan baginya.
Jika sebuah negara dipandang kontra atau tidak
kooperatif dengan mereka, maka mereka pun akan
memindahkan modal dan usahanya ke negara lain yang
dipandang lebih kooperatif dan mendatangkan
keuntungan yang lebih baik dari sebelumnya.
Globalisasi yang membawa ideologi neoliberalisme
seperti yang disampaikan Lorimer di atas pada dasarnya
adalah runtutan dari sejarah perkembangan kapitalisme
dunia yang telah berlangsung hampir dua abad lamanya.
Neoliberalisme tersebut sebenarnya berakar dari
ekonomi neo-klasik, yang menuntut kebebasan dari
campur tangan negara terhadap segala kegiatan ekonomi
karena negara dianggap sebagai penghalang berjalannya
mekanisme pasar, yang berarti juga sebagai penghalang
terwujudnya pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Dua tokoh utama yang mungkin dapat dianggap
sebagai moyang neoliberalisme adalah Milton Friedman
yang harus melawan ekonomi Keynesian, dan Frederick
von Hayek yang harus melawan ekonomi terencana dari
negara komunis. Pandangan negatif mereka tentang
peran negara ternyata benar-benar membawa negara
(state) menuju jurang “kematian”. Bahkan di akhir abad
20 kekuatan neoliberalisme telah memaksa negara-
negara menjadi subordinat dari kekuatan kapitalisme
global. Bahkan kebijakan welfare state yang telah
menjadi kebijakan populis beberapa puluh tahun di
Eropa Barat harus rontok menghadapi perkembangan
neoliberalisme tersebut.
Sampai tahun 1980-an, tidak ada satu pun partai
di Eropa Barat yang berani mengotak-atik masalah yang
amat sensitif, seperti pendidikan, kesehatan, dan
pensiun hari tua yang menjadi nafas kebijakan welfare
state selama ini. Bahkan Thatcher dan Partai
Konservatifnya segera mereformasi sistem perekonomian
Inggris dan kembali menuruti kemauan kapitalis global
dan lokal, karena welfare state dipandang sebagai sebab-
musabab takutnya para investor membawa masuk
modalnya ke Inggris. Kebijakan Thatcher ini pada
akhirnya diikuti pula oleh partai-partai lainnya di Eropa
dengan mengusung “Thatcherism”. Tindakan Thatcher
tersebut sebenarnya sama saja dengan memperparah
posisi negara sebagai subordinat kekuatan kapitalis
global.
Gidden dengan Third Way-nya mungkin
memberikan jawaban baru terhadap peran negara yang
semakin menjadi subordinat kapitalis global. Menurut
Gidden, jalan ketiga merupakan suatu keharusan
sebagai upaya pembaruan demokrasi sosial di dunia di
mana pandangan-pandangan golongan kiri dianggap
telah usang, sementara pandangan-pandangan kelompok
kanan dianggap tidak memadai dan kontradiktif.
Ide Gidden untuk membentuk negara demokrasi
baru yang bertumpu pada pembangunan investasi di
bidang sosial, dengan cara mengaktifkan masyarakat
sipil (pendidikan), dan membentuk ekonomi campuran
baru dalam demokrasi berkarakter kosmopolitan,
sebenarnya tidak lebih dari bentuk kompromi Gidden
dengan kapitalisme global, dimana kompromi tersebut
hanya bentuk bargain politik untuk mengembalikan
sebagian peran negara, namun tetap membiarkan
keadilan dalam kehidupan rakyat ditentukan oleh pasar.
Satu sisi, Gidden memang berhasil memberikan ruang
kembali bagi negara, namun tetap saja ia belum mampu
melepaskan negara dari pendiktean kapitalis global.
Bahkan Tony Blair (salah seorang penganut
Gidden) dalam konsepsi New Labour Party-nya secara
terang-terangan berusaha mentransformasikan Partai
Buruh Inggris menjadi partai kapitalis seperti Partai
Demokrat di Amerika Serikat. Paska kemenangan Pemilu
1997, Blair mereformasi besar-besaran pengurus partai
buruhnya yang pada awalnya berlatar belakang pekerja
digantikan oleh kaum profesional dari kalangan kelas
menengah ke atas. Sebagai partai pemenang Pemilu,
langkah Blair ini tidak ubahnya dengan mengkapitalisasi
partainya dengan cara memasukkan kaum kapitalis
dalam kepengurusan partai.
Di negara dunia ketiga khususnya di Indonesia,
neoliberalisme telah tumbuh dan menguat sejak awal 70-
an dibawah kepemimpinan rejim militer Orde Baru. Jika
mau jujur, tumbuhnya neoliberalisme tersebut
sebenarnya telah membawa kematian “negara” di
Indonesia. Mengutip teori dependensianya Paul Baran
(Direktur ECLA), jebakan hutang (dept trap) yang
digunakan MNC melalui World Bank dan IMF kepada
Indonesia telah memaksa negara ini menjadikan
wilayahnya sebagai pasar global melalui liberalisasi dan
deregulasi, dan membiarkan MNC mengeruk sumber
daya alam melalui privatisasi.
Tidak cukup itu, pos-pos anggaran yang dianggap
“tidak produktif” (seperti pendidikan dan kesehatan) dan
segala jenis subsidi pun harus dipotong. Aturan main
yang ditetapkan IMF dan World Bank ini adalah bagian
dari political game MNC yang telah disahkan dalam
sidang tahunan IMF dan World Bank di Washington DC
sejak tahun 1976, sebagai syarat bagi negara-negara
penghutang termasuk Indonesia7.
Implikasinya, negara ini pada akhirnya harus
terjerembab dalam jurang kemiskinan sebagai negara
7
World Bank. Entering the 21st Century. World Development Report
1999/2000. Oxford University Press. New York. 2000.
koloni (jajahan) baru di era globalisasi akibat
keterjebakannya pada hutang dan ketergantungannya
pada investasi MNC. Sehingga wajar jika sampai saat ini,
walaupun telah terjadi proses pergantian kepemimpinan
nasional sebanyak tiga kali paska Orde Baru (Habibie,
Gus Dur dan Megawati), negara ini tetap saja tidak
mampu melepaskan diri dari cengkaraman
neoliberalisme, bahkan perannya semakin melenyap
karena terus terdikte oleh permainan MNC.
Akhirnya, negara yang sebenarnya memiliki
tanggung jawab ideologi, sebagai pengemban “amanat
penderitaan rakyat”, karena dipilih oleh rakyat, pada
akhirnya harus membunuh nilai-nilai ideologi
(Pancasila), konstitusi (UUD 1945) dan konstituennya
(rakyatnya) sendiri, yang seharusnya menjadi sumber
dari segala kebijakannya.
Pada masa Bung Karno, sistem perekonomian
nasional masih nyata berpijak pada pondasi nilai-nilai
ideologi, dimana manusia Indonesia masih menjadi
sebuah kedirian (entity) bebas yang hak dan
kewajibannya diletakkan di dalam suatu kepentingan
bersama. Setiap warga negara berhak memperoleh
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan bebas
berusaha demi perkembangan kemanusiaanya (pasal
27).
Namun demikian, negara juga menjamin bahwa
setiap cabang produksi dan kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak akan dikuasai
(dikelola) oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (pasal 33 UUD 1945). Oleh karena itu pada masa
Bung Karno, perkebunan, pertambangan, kereta api, dll,
jenis badan usahanya adalah perusahaan negara (tidak
ada swasta di dalamnya).
Yang terpenting dari itu, dasar penyusunan
perekonomian nasional pada masa Bung Karno juga
murni didasarkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai
(asas) kekeluargaan, yang kemudian dijabarkan dalam
bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum (recht
persoon) utama dalam perekonomian nasional. Sebab
koperasi dianggap mampu mengintegrasikan sistem
kepemilikan privat dalam naungan kebersamaan. Dalam
istilah Bornstein yang dikutip Winoto diartikan: the
variants of private ownership include individual,
partnership, cooperative and enterpreise 8.
Sistem perekonomian campuran, dimana negara
diposisikan sebagai panglima keadilan, yang dapat
mengintervensi pasar, yang dapat memaksa investor
mengkolektifkan modalnya dalam sistem koperasi, dan
tidak dijinkannya modal privat memasuki ruang-ruang
usaha yang menyangkut khalayak hidup orang banyak,
jelas tidak akan membuat banyak investor tertarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Oleh karena itulah,
pada masa Bung Karno, sistem perekonomian nasional
tersebut banyak mendapatkan tentangan dari negara-
negara imperialis maju yang memiliki kepentingan
terhadap sumber daya alam dan pasar di Indonesia.
Tentangan tersebut pada akhirnya memunculkan
krisis yang berlarut-larut pada dekade 50-an akibat
embargo dan rongrongan kelompok kapitalis pribumi dan
luar negeri. Akhirnya menjelang 60-an, Bung Karno
mengambil langkah tegas dengan menggunakan
demokrasi terpimpin (guided democracy) untuk
menyatukan kekuatan-kekuatan nasional terutama
partai-partai beraliran sosialis dan kekuatan agama
(nasakom) untuk membantu terwujudnya revolusi sosial
8
Winoto, Joyo. Sistem Ekonomi Dunia. Makalah Kaderisasi Tingkat
Menengah GmnI. Presidium GmnI. Jakarta. 2002.
di Indonesia yang banyak mendapat rongrongan dari
neoliberalisme (bahasa Bung Karno neo kapitalisme dan
imperialisme). Elisio Rocamora dalam tulisannya Political
Participation in Modern Indonesia menyatakan:
“……sosialist party (PNI and PKI) efforts to organize the
peasantry and the urban workers against landlords and
bureaucratic capitalists in the last years of Guide
Democracy gave party leaders a sense of political
dynamism and ameasure of potential power”9.
Namun demikan, kekuatan untuk mewujudkan
revolusi sosial sebagai tahapan revolusi kedua tersebut
pada akhirnya menjadi kandas seiring dengan peristiwa
coup 30 September. Dan sejak saat itu, perekonomian
Indonesia secara cepat langsung berada di bawah
kekuatan kapitalisme global. Dan atas nama Pancasila,
Suharto mulai memberangus kekuatan-kekuatan sosialis
di pemerintahan dan legislatif, dan menggantikannya
dengan militer, teknokrat dan kelompok modal, seperti
yang diutarakan Hardoyo:
“Pancasila Democracy” of Suharto indirectly
claimed the position of “extreme centre”, to keep in
mind that the primary enemies are the extreme left,
meaning communists and the extreme right
meaning Islam. Suharto’s central pillar was the
triple ideologi of militari-technocrats-business 10.
Sebagai negara subordinat kekuatan MNC, negara
Indonesia secara efektif telah mematikan nilai-nilai
demokrasi atas nama “stabilitas pembangunan” demi
kepentingan pasar. Orde Baru secara massif
membungkam kekuatan demokrasi demi memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi para investor. Bahkan

9
R. William Liddle (editor). Political Participation in Modern Indonesia,
Monograph Series No.19/ Yale University Southeast Asia Studies. 1973.
10
Hardoyo. The Future of The Left in Indonesia, …….
selama 33 tahun pemerintahannya, segala gerakan
berbau sosialis terutama yang bersumber pada ajaran
marxis menjadi larangan dan masuk kategori subversif.
Tidak cukup itu, Orde Baru pun memaksa merendahkan
nilai pajak, mempermurah upah buruh dan
membungkam setiap pemogokan buruh dengan
kekuatan militernya, sebagai varian pendukung
kebijakan meraih simpati para investor.
Fukuyama dalam karyanya The End of History
berpendapat bahwa
……I want to avoid the materialist determinism that
says that liberal economics inevitably produces
liberal politics, because I believe that both
economics and politics presuppose an autonomous
prior state of consciousness that makes them
possible. But that state of consciousness that
permits the growth of liberalism seems to stabilize
in the way one would expect at the end of history if
it is underwritten by the abundance of a modern
free market economy. We might summarize the
content of the universal homogenous state as liberal
democracy in the political sphere combined with
easy access to VCRs and stereos in the economic 11.
Bagi Fukuyama, sistem ekonomi pasar secara
niscaya akan mendorong munculnya demokrasi.
Alasannya karena hak milik pribadi yang menjadi
landasan ekonomi kapitalis hanya akan terjamin oleh
institusi politik yang demokratis. Namun ternyata
pendapat Fukuyama ini berbanding terbalik dengan
realitas perkembangan globalisasi saat ini, dimana para
investor justru berlomba-lomba mencari negara-negara
11
Fukuyama, Francis. The End of History?. in The National Interest.
Summer. 1989.
yang berkekuatan rejim otoriter (bukan demokratis) demi
keamanan dan keselamatan modalnya. Indonesia adalah
salah satu contohnya. Mungkin benar apa yang
dikatakan Noreena Hertz12 yang menyatakan bahwa
globalisasi ekonomi hanya akan berakibat matinya
demokrasi di seluruh negara.

Otonomi Daerah dan Fragmentasi


Perjuangan
Dalam perkembangannya saat ini, neoliberalisme
telah mengakibatkan terjadinya sebuah perubahan
politik ketatanegaraan yang ternyata mengarah pada
penguatan kapitalisme global di seluruh wilayah (daerah)
Indonesia. Kebijakan otonomi daerah adalah salah satu
bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kedirian
bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang
menginginkan adanya kesatuan gerak dan perjuangan
dalam upaya mewujudkan bangsa yang adil dan
makmur.
Kedirian itu adalah sebuah wujud komitmen atas
kesamaan nasib sejarah ketertindasan bangsa-bangsa di
wilayah nusantara. Namun, dengan adanya kebijakan
otonomi daerah, bangsa ini telah dibawa pada sebuah
perpecahan solidaritas kejuangan yang melupakan atas
kesamaan nasib tersebut. Setiap daerah diberikan
kewenangan untuk mengelola daerahnya melalui
perjanjian-perjanjian internasional tanpa perlu membuat
kesepakatan bersama antar daerah. Tentu saja kebijakan
itu akan mempermudah kekuatan kapitalisme global
melakukan penetrasi modal, pasar dan sumber daya

12
Hertz, Noreena. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of
Democracy. Publisher: Free Press. 2002
alam di seluruh wilayah nusantara Otonomi daerah
adalah sebuah contoh terhadap quo vadisnya visi
kebangsaan kita akibat euphoria dalam memaknai
transisi demokrasi termasuk didalamnya masalah
amandemen UUD 1945 yang sebagian besar isinya telah
mengarah pada bentuk-bentuk federalisme yang jelas-
jelas bertentangan dengan nilai-nilai ideologi negara dan
konstitusi.
Perkembangan sistem multipartai dalam transisi
demokrasi Indonesia saat ini juga berimplikasi terjadinya
perubahan realitas politik Indonesia yang mengarah
pada penguatan kekuatan-kekuatan kelompok yang
mengatas namakan agama, kesukuan dan bentuk-
bentuk golongan lainnya. Dalam perspektif penguatan
daya kritis masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah
perkembangan yang cukup positif dalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia. Namun jika kekuatan-
kekuatan kelompok tersebut tidak dapat dibingkai dalam
kerangka kesatuan bangsa maka tentu akan
mengakibatkan fragmentasi perjuangan yang akan
menghambat konsentrasi kekuatan nasional dalam
upaya memuluskan jalan revolusi yang sedang
ditempuh.
Sejatinya, sistem multi partai yang berkembang
saat ini harus menempatkan partai sebagai avantgarde
atau pelopor dalam kejuangan mewujudkan cita-cita
revolusi sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945. Sebagai partai pelopor, maka tugas utama
partai politik adalah melakukan pendidikan politik dan
pemberdayaan terhadap seluruh masyarakat Indonesia
agar tercipta peran serta aktif masyarakat dalam segala
tingkat perubahan yang hendak dan akan dicapai.
Feodalisme dan Peradaban Baru
Harus disadari bahwa globalisasi saat ini telah
membawa proses perubahan nilai terhadap masyarakat
Indonesia tentang hidup dan eksistensi hidup.
Globalisasi secara massif telah memaksa masyarakat
Indonesia untuk membuat sebuah pandangan baru
tentang eksistensi dirinya yang diarahkan pada
kemampuan membeli barang (konsumerisme).
Pandangan baru tersebut ternyata mampu membuat
sebuah perubahan besar-besaran dalam sejarah
peradaban bangsa-bangsa di dunia. Bangunan baru
tersebut dikemas dalam image “modernisme” yang
dipropagandakan kapitalisme global melalui media-
media informasi yang juga telah mengglobal.
Propaganda media itu diarahkan pada upaya
pembangunan image (pencitraan) terhadap barang dalam
bungkus “modernisme”. Di Indonesia, pencitraan
tersebut telah efektif memasuki kisi-kisi bangunan
pergaulan hidup masyarakat Indonesia akibat masih
kuatnya budaya feodal yang membuat sebagian besar
masyarakat mengalami penyakit minder karena merasa
bangsanya adalah bangsa kecil dan primitif
dibandingkan dengan perkembangan budaya negara-
negara maju. Implikasinya, semua perubahan sosial dan
budaya masyarakat Indonesia sepenuhnya dikendalikan
oleh kekuatan kapitalisme global terutama dalam budaya
pergaulan hidup yang hedonis, konsumeris dan
pragmatis.
Mungkin benar yang disampaikan Foucault 13
bahwa episteme yang menjadi mayoritas pada akhirnya
akah menjadi sebuah “rejim kebenaran”. Dan
13
Foucault, Michele. Pengetahuan dan Metode. Jalatustra. 2002.
propaganda media iklan kapitalis telah memasukkan
sebuah episteme baru yang memaksa pandangan
masyarakat berubah tentang kemajuan dan modernisme
yang diarahkan pada kepentingan pasar. Pandangan itu
pun pada akhirnya menjadi sebuah “rejim kebenaran”
ketika masyarakat Indonesia membenarkan dan
menerapkannya. Dan pada akhirnya konsumerisme pun
menjadi budaya hidup yang merubah tatanan peradaban
masyarakat dengan segala asumsinya atas episteme
mayoritas yang dimiliki (hegemoni wacana liberal).
Implikasinya, budaya hidup tersebut pada akhirnya telah
membawa masyarakat pada sebuah tatanan kehidupan
masyarakat yang mengarah pada patronase peradaban
yang berkembang di negara-negara maju.

Agama dan Nation and Caracter


Building
Agama pada dasarnya pemegang kunci strategis
dalam nation and caracter building. Sebab nilai-nilai
agama adalah nilai-nilai unversal yang syarat dengan
ajaran-ajaran kebenaran, kebaikan, kemanusiaan dan
keadilan yang sebenarnya menjadi roh kunci dari
ideologi bangsa. Oleh karena itu, agama sudah
seharusnya tidak boleh dicampur-adukkan dengan
kepentingan-kepentingan politik apalagi kekuasaan.
Simbolisasi pertarungan elite yang kadangkala
membawa-bawa agama, adalah salah satu contoh
konkrit yang cukup ironis bagaimana agama telah
menjadi alat justifikasi politik dalam perebutan
kekuasaan elite. Apalagi dalam beberapa kurun waktu
terakhir, kekuatan-kekuatan agama yang muncul justru
membawa bangsa ini pada sebuah konflik sosial yang
mengarah pada disintegrasi bangsa. Padahal nilai-nilai
Ketuhanan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah
nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan dimana setiap
pemeluk agama menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan dalam semangat saling menghargai dan
menghormati dalam bingkai kesatuan.

Hukum dan Kekuasaan


Selama kepemimpinan rejim Orde Baru, disadari
bahwa hukum di Indonesia telah menjadi salah satu
kekuatan politik rejim untuk menjustifikasi setiap
tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, maka sebagian besar produk-produk
hukum tersebut merupakan produk yang dibuat oleh
pemerintah untuk kepentingan kekuatan modal asing
dalam upaya pembangunan pasar, penanaman modal
dan pengerukan sumber daya alam. Bahkan hampir
keseluruhan produk-produk hukum tersebut secara
kasat mata telah bertentangan dengan roh cita-cita
kebangsaan sebagaimana yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.
Produk-produk hukum yang dibuat oleh Rejim
Orde Baru tersebut adalah sebagai bentuk konsekuensi
politik dari posisi pemerintah yang menyerahkan negara
menjadi subordinat (antek) kekuatan kapitalisme global.
Wajar jika implikasi politik yang harus diterima adalah
ketidak mampuan negara dalam menahan setiap
intervensi kapitalisme global dalam bentuk penetrasi
politik dengan memaksa negara melakukan deregulasi
ekonomi dengan merubah dan membuat aturan-aturan
hukum baru yang dapat memberi peluang kepada
kekuatan kapitalisme global untuk melancarkan
kepentingannya.
Penetrasi politik dalam bentuk intervensi
kebijakan hukum di Indonesia oleh kekuatan kapitalisme
global tersebut sampai saat ini belum mampu teratasi
secara signifikan karena lemahnya bargaining negara
akibat ketergantungannya terhadap hutang dan investasi
asing.
Walaupun saat ini terdapat beberapa produk
hukum baru yang mendukung upaya menuju perubahan
nasib yang lebih baik seperti aturan hukum yang
membahas masalah korupsi, narkotika dan HAM, namun
belum mampu menunjukkan sebuah perubahan yang
signifikan. Faktor pokok yang menghambat efektifitas
produk hukum baru tersebut lebih banyak disebabkan
oleh faktor penegak hukum yang masih lemah dan tidak
bisa dipercaya. Beberapa kasus menonjol adalah dalam
penanganan masalah korupsi dimana aparat penegak
hukum belum mampu melawan intervensi politik dari
kekuatan luar sehingga membuat berlarut-larutnya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Faktor pokok yang harus diperhatikan oleh negara
dalam mengeluarkan produk hukum adalah harus tetap
berpijak pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
terutama hal-hal yang menyangkut adat-istiadat, budaya
dan hal-hal lain yang dipandang adil dan benar oleh
masyarakat. Dengan demikian, maka secara tidak
langsung negara telah melakukan kontrak social
(kesepakatan) dengan masyarakat dalam setiap
pembuatan kebijakan hukum yang tentunya lebih
obyektif. Kesalahan pokok negara selama ini dalam
setiap membuat kebijakan hukum adalah atas dasar
kepentingan kekuasaan atau kepentingan lain yang
justru bertolak belakang dengan kepentingan
masyarakat.
Implikasinya, sebagian besar produk hukum yang
dikeluarkan selalu mendapatkan aksi protes (penolakan)
dari masyarakat karena dianggap tidak berkeadilan dan
bertentangan dengan hati nurani (kebenaran)
masyarakat. Padahal Bung Karno telah menegaskan
bahwa sosio-nasionalisme harus berpihak pada wet-
wetnya (hukum) masyarakat14.

Ilmu untuk Perjuangan


Pendidikan nasional seharusnya tetap menjadi
tanggung jawab negara dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana yang telah menjadi
amanat cita-cita konstitusi. Pendidikan gratis adalah
kerangka ideal yang harus segera diwujudkan oleh
negara demi terjangkaunya biaya pendidikan oleh
seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi
ras, suku, agama, gender maupun tingkat sosial.
Privatisasi pendidikan melalui kebijakan otonomi
kampus adalah bentuk pengingkaran dari konstitusi
dimana negara secara tidak langsung telah melepas
tanggung jawabnya dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dengan privatisasi pendidikan
tersebut maka lembaga pendidikan secara otomatis telah
mengalami disfungsionalisasi dari lembaga sosial
(nirlaba) menjadi lembaga profit dimana setiap kampus
dituntut untuk membiayai secara otonom
kelembagaannya yang berarti setiap lembaga pendidikan
akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam
upaya memajukan sarana dan prasarana pendidikannya.
Secara mendasar konsepsi kebijakan otonomi kampus
tersebut jelas telah mengalami quo vadis visi karena
bertentangan dengan kebangsaan Indonesia saat ini.
Otonomi pendidikan seharusnya dipandang lebih
pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dimana setiap kampus diberikan kebebasan
14
Bung Karno. Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio
Demokrasi. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid Satu Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
dan keleluasaan untuk menyusun kurikulum
pendidikannya yang akan disesuaikan dengan kultur
dan natur daerah (wilayah) kampus sendiri. Dengan
otonomi kurikulum tersebut diharapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan mampu berkembang
lebih pesat karena bersinggungan dengan basic material
masyarakat secara langsung. Sehingga ilmu pun tidak
sebatas untuk ilmu, tetapi ilmu untuk perjuangan yang
akan mendukung jalannya revolusi sosial di Indonesia
(science is not for science but science for struggle).
Bab Lima

Marhaenisme dan Jalan


Baru GmnI

Kembalinya GmnI kepada marhaenisme


yang ditunjukkan dengan komitmen
merubah asas organisasi dari Pancasila
kembali ke marhaenisme di dalam Kongres
Luar Biasa GmnI, dipandang sebagai
sebuah upaya perubahan gerakan besar-
besaran yang akan merombak segala
strategi dan taktik di tubuh GmnI untuk
kembali merintis jalan revolusi sebagai
jalan baru GmnI.
Oleh karena itu, GmnI kemudian menyusun
kembali rumusan-rumusan tentang marhaenisme mulai
dari sejarah kelahirannya, nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, sampai dengan cara bagaimana marhaenisme
dimanifestasikan dalam asas perjuangan dan taktik
strategi GmnI ke depan. Rumusan marhaenisme itu
dikaji dengan cara kembali merelevansikannya dengan
perkembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
Indonesia yang telah jauh berubah. Rumusan
marhaenisme itu kemudian dimasukkan ke dalam
beberapa aturan kebijakan baru berupa Manifesto
Politik, GBPP dan Silabus Kaderisasi.

Kelahiran Marhaenisme
Marhaenisme dilahirkan dari pemikiran seorang
Sukarno muda. Runtutan sejarah singkatnya dimulai
pada saat Bung Karno menjalankan studinya di
Bandung (1921). Marhaenisme dilahirkan dari proses
perenungan panjang Bung Karno terhadap realitas
perkembangan sejarah bangsa dan dunia internasional
yang dipenuhi oleh penghisapan sesama manusia dan
sesama bangsa. Sejarah ketertindasan bangsa adalah
faktor pokok yang telah membangunkan Bung Karno
dalam sebuah kesadaran berpikir untuk membangkitkan
rakyat Indonesia dari penghisapan dan kemiskinan
akibat kolonialisme dan imperialisme.
Kesadaran Bung Karno itu kemudian ditopang
oleh ketekunannya dalam mendalami ajaran-ajaran
marxisme. Konsepsi perlawanan kaum buruh
sebagaimana yang menjadi gagasan pemikiran Marx
telah memberikan stimulus bagi Bung Karno untuk ikut
membangkitkan sebuah perlawanan nasional
menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Namun pola perlawanan yang diinginkan Bung
Karno bukanlah perjuangan kelas sebagaimana yang
menjadi konsepsi pemikiran Marx. Sebab kultur dan
natur masyarakat eropa sangatlah berbeda dengan
kultur dan natur masyarakat Indonesia. Mayoritas
masyarakat eropa yang dihisap oleh sistem kapitalisme
adalah kaum buruh. Namun di Indonesia, masyarakat
yang terhisap oleh kapitalisme dan kolonialisme adalah
masyarakat yang terdiri dari pluralitas profesi, mulai dari
petani, nelayan, kusir delman, buruh perkebunan,
buruh tani, kuli, dan kaum melarat lainnya. Untuk
itulah kemudian Bung Karno memandang perlu untuk
mencari sebuah simbol pemersatu dari sekian pluralitas
profesi kaum melarat Indonesia agar terbangun dalam
satu wadah perlawanan bersama.
Simbol pemersatu itu kemudian ditemukan Bung
Karno ketika ia sedang berjalan-jalan di sebuah desa
pinggiran kota Bandung. Saat itulah ia bertemu dengan
seorang petani dan terlibat sebuah dialog antara Bung
Karno dan petani tersebut15:
“Milik siapakah tanah ini?”
“Milik saya”, petani itu menjawab.
“Siapa yang memiliki pacul itu?”
“Milik saya”, petani itu menjawab.
“Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu?
“Milik saya”, jawab petani itu lagi.
“Siapakah nama Bapak?”
“Marhaen”
Dialog itu telah menghasilkan sebuah pemikiran
baru bagi Bung Karno karena telah memberikan fakta
sosial tentang petani Indonesia yang memiliki alat
produksi berupa sawah dan bajak, yang seluruh hasil
pertaniannya itu digunakan untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri, namun masih tetap saja melarat
akibat sistem kolonialisme yang terjadi di Indenesia.
Dan fakta sosial tentang petani tersebut ternyata
juga sama dengan fakta sosial yang terjadi pada rakyat
miskin Indonesia lainnya, baik nelayan, tukang besi,
penjual sate sampai pedagang kaki lima. Kesemuanya
juga memiliki alat-alat produksi namun ternyata
nasibnya juga sama melaratnya dengan petani akibat

15
Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung.
Jakarta. 1967
sistem yang menghisap (pauverishing). Berdasarkan fakta
sosial itu kemudian diputuskan oleh Bung Karno untuk
memberikan sebuah simbol pemersatu bagi rakyat
miskin Indonesia dengan nama kaum “marhaen”
Indonesia yang diambil dari nama seorang petani yang
ditemui Bung Karno.
Sejarah kemunculan nama “marhaen” tersebut
pada masa rejim Orde Baru sempat menjadi kontroversi
dikalangan masyarakat. Nama “marhaen” diragukan
keberadaannya. Bahkan beberapa kalangan masyarakat
berpendapat bahwa kata-kata “marhaen” tidak diambil
dari nama seorang petani karena itu hanya merupakan
cerita rekayasa Bung Karno. Nama “marhaen” dihasilkan
dari penggabungan 3 (tiga) nama yaitu Marx, Hegel dan
Engel yang jika disingkat menjadi MARHEN.
Namun tuduhan itu disangkal mati-matian oleh
kaum nasionalis. Sebab tuduhan itu akan
membahayakan keberadaan ideologi marhaenisme dari
pemberangusan dan stigmatisasi rejim Orde Baru yang
melarang setiap ajaran yang berbau marxis. Untuk
membuktikan kebenaran cerita Bung Karno tersebut
kemudian diadakan “penyelidikan” yang menyatakan
bahwa nama marhaen itu memang ada dengan
menunjukkan kuburannya di pinggiran kota Bandung.
Kontroversi tentang ada tidaknya nama petani
bernama Marhaen tersebut sebenarnya bukanlah
masalah prinsip karena tidak akan mempengaruhi
keberadaan kaum nasionalis Indonesia sebagai penerus
ajaran Bung Karno. Sebab substansi pokok dari
kemunculan nama “marhaen” tersebut adalah:
berhasilnya Bung Karno memberikan sebuah simbol
baru yang mampu menyatukan seluruh kekuatan kaum
miskin Indonesia, tidak peduli apakah nama itu hasil
rekayasa ataukah tidak.
Marhaenisme dalam Pemahaman GmnI
Dalam tulisannya Marhaen dan Proletar16 Bung
Karno mempertegas pengertiannya tentang marhaenisme
dengan mengutip hasil-hasil keputusan Konferensi
Partindo di Mataram tahun 1933 antara lain:
a. Marhaenisme yaitu, sosio nasionalisme dan sosio
demokrasi.
b. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani
yang melarat dan kaum melarat indonesia yang lain-
lain.
c. Partindo memakai parkataan marhaen, dan tidak
proletar karena perkataan proletar sudah termaktub
di dalam perkataan marhaen, dan oleh karena
perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa
kaum tani dan lain-lain kaum melarat tidak
termaktub di dalamnya.
d. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam
perjuangan kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang
harus menjadi elemen-elemennya, maka Partindo
memakai perkataan marhaen itu. mengambil bagian
yang besar sekali.
e. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki
susunan masyarakat dan susunan negeri yang di
dalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
f. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk
mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri
yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu
cara-cara perjuangan yang revolusioner.

16
Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
g. Jadi marhaenisme adalah cara-cara perjuangan yang
menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan
imperialisme.
h. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa indonesia
yang menjalankan marhaen-isme.
Berdasarkan tulisan Bung Karno tersebut dapat
ditegaskan bahwa marhaenisme adalah sosio
nasionalisme dan sosio demokrasi. Namun atas beberapa
pertimbangan dalam Kongres Luar Biasa (KLB), maka
marhaenisme yang dianut oleh GmnI ditambah dengan
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan
tersebut didasarkan pada perkembangan pemikiran
Bung Karno tentang sejarah Ketuhanan masyarakat
Indonesia yang tertuang dalam bukunya berjudul
“Sarinah” dan Pidatonya di depan sidang Dokuritsu
Zyunbi Tooyskai (lahirnya Pancasila).

Sosio Nasionalisme
Sosio nasionalisme dijelaskan oleh Bung Karno
dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Politik dan
Demokrasi Ekonomi”17 yang mengemukakan secara jelas
pokok-pokok pikirannya yaitu:
……nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang
mencari selamatnya perikemanusiaan.
……sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen,
dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi
sebabnya kepincangan masyarakat.
…..sosio nasionalisme, bukanlah nasionalisme
“ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”,
bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah
nasionalisme yang dengan dua kaiknya berdiri di dalam
masyarakat.

17
Bung Karno, ibid.
Kemudian Bung Karno menegaskan lagi dalam
tulisannya “Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi”18:
….sosio nasionalisme adalah “nasionalsme
masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya
seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-
wetnya masyarakat.
Berdasarkan pandangan Bung Karno tersebut di
atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio
nasionalisme pada dasarnya adalah satu asas kehidupan
rakyat Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai
nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia muncul
dan tumbuh atas kesadaran sejarah ketertindasan
bangsa oleh kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena
itu nilai-nilai yang dianut oleh nasionalisme Indonesia
adalah nilai-nilai kebangsaan yang menginginkan
penegakan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, zonder
exploitation de lhomme par lhomme dan zonder
exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi
serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat
Indonesia, dan bertindak berdasarkan hukum-hukum
yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.
Sosio-nasionalisme adalah idea yang dijadikan
sebagai asas pergaulan hidup rakyat dan bangsa
Indonesia, yang dilandasi oleh semangat cinta terhadap
manusia dan kemanusiaan. Sosio nasionalisme adalah
idea tentang sebuah susunan masyarakat Indonesia
yang tidak chauvist melainkan humanis, tegas dan
revolusioner terhadap segala bentuk penindasan yang
dilakukan oleh feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan
imperialisme sebagai sebuah kesadaran dan keharusan
sejarah (historische notwendeigheit).

18
Bung Karno, ibid.
Sosio Demokrasi
Dijelaskan oleh Bung Karno dalam tulisannya
“Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” 19 bahwa
sosio demokrasi memiliki artian:
…. timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio demokrasi
adalah demokrasi yang berdiri dengan dua kakinya di
dalam masyarakat. Sosio demokrasi tidak ingin
mengabdi kepentingan sesuai gundukan kecil saja,
tetapi kepentingan masyarakat.
Sosio demokrasi bukanlah demokrasi ala revolusi
Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala
Nederland, ala Jerman dan lain-lain, tetapi ia adalah
demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio
demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi.
Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat
dijelaskan lebih lanjut bahwa sosio demokrasi adalah
asas kehidupan rakyat Indonesia yang memiliki 2 (dua)
makna demokrasi yaitu: demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi. Demokrasi politik adalah sistem kehidupan
politik ketata-negaraan Indonesia yang memberikan
keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia, dan tidak
mengabdi pada segolongan masyarakat. Demokrasi
politik Indonesia adalah demokrasi yang memberikan
hak penuh kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai
entitas merdeka untuk mengartikulasikan seluruh
kemerdekaan politiknya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Demokrasi politik Indonesia mengedepankan
nilai-nilai solidaritas kebangsaan daripada kepentingan
individu, kelompok maupun golongan.

19
Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
Demokrasi ekonomi adalah bangunan sistem
perekonomian nasional yang berpijak pada pondasi nilai-
nilai ideologi, dimana manusia Indonesia menjadi sebuah
kedirian (entity) bebas yang hak dan kewajibannya
diletakkan di dalam suatu kepentingan bersama. Setiap
warga negara berhak memperoleh penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan bebas berusaha demi
perkembangan kemanusiaanya. Dasar penyusunan
perekonomian nasional juga harus didasarkan pada
upaya mewujudkan nilai-nilai (asas) kekeluargaan, yang
kemudian oleh Bung Karno dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum
(recht persoon) utama dalam perekonomian nasional.
Sebab koperasi adalah sebuah badan hukum yang
mampu mengintegrasikan sistem kepemilikan privat
dalam naungan kebersamaan.

Ketuhanan Yang Maha Esa


Dalam pidatonya di depan sidang Dokuritsu
Zyunbi Tooysakai, Bung Karno mengemukakan pokok-
pokok pikirannya tentang Ketuhanan masyarakat
Indonesia antara lain20:
……Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-
Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
„egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia
satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,
maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban.
Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat
menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w.
telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama
20
Bung Karno. 1949. Lahirnya Pancasila. Penerbit Guntur. Yogyakarta.
lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid.
Dari pandangan Bung Karno di atas dapat
ditegaskan kemudian bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah asas kehidupan rakyat Indonesia yang
Berketuhanan. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-
nilai yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara seluruh rakyat Indonesia karena setiap nilai-
nilai Ketuhanan (agama) akan mengajarkan kepada
rakyat tentang hakekat kemanusiaan dan budi nurani
manusia Indonesia. Nilai-nilai Ketuhanan tersebut
diletakkan dalam Ketuhanan yang berkebudayaan, yang
meletakkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan cara
saling hormat-menghormati sesama pemeluk agama.

Historis Materialisme
Historis materialisme adalah metode berpikir yang
berpijak pada hukum dialektika sejarah. Tokoh yang
terkenal sebagai pelopor dari hukum dialektika sejarah
tersebut adalah Heraclitus, seorang filusuf Yunani dari
abad 5 SM. Teorinya yang terkenal sampai saat ini
adalah pantharei oden menei (semua mengalir tidak ada
yang berhenti) dan sering dikutip Bung Karno dalam
beberapa tulisannya. Ajaran dialektika tersebut
diteruskan oleh G.F.W. Hegel, seorang filsuf Jerman dari
aliran idealis. Teori Hegel yang terkenal yaitu
pernyataannya yang memandang bahwa alam pikiran
manusia sebagai dasar dari kemunculan segala hal yang
bersifat materi di dunia. Pemikiran dialektika Hegel ini
kemudian di teruskan oleh Marx dan Engel yang
membalik teori Hegel dalam sebuah pernyataan bahwa
bukan alam pikiran manusia yang melahirkan hal-hal
yang bersifat materi, tetap sebaliknya, hal-hal yang
bersifat materilah yang menentukan segala perubahan
alam pikiran manusia.
Mengenai historis materialisme, Bung Karno
pernah menjelaskan dalam artikelnya berjudul
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” 21 bahwa:
… historis materialisme memberi jawaban atas soal:
sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu
atau begini…. historis materialisme mempelajari
tumbuhnya pikiran… historis materialisme adalah
historis.
Dari lontaran Bung Karno tersebut dapat
ditegaskan lebih lanjut bahwa historis materialisme
adalah metode berpikir (denk methode) yang digunakan
untuk mengetahui jalannya sejarah sekaligus mencari
cara untuk mengubahnya. Dengan historis materialisme
dapat diketahui bahwa segala kejadian, segala alam
pikiran manusia di dalam setiap masa, di semua
kehidupan bangsa, adalah pencerminan dari keadaan-
keadaan sosial ekonomi. Jika keadaan sosial ekonomis
materiilnya berubah, maka alam pikiran manusia pun
ikut berubah. Sehingga setiap perubahan dalam alam
pikiran manusia akan selalu mengikuti perubahan-
perubahan sosial ekonomi di dalam setiap komunitas
manusia (masyarakat).
Secara prinsip, historis materialisme yang digagas
terakhir oleh Marx tersebut telah membuka pikiran kita
tentang sejarah yang akan terus dan selalu mengalami
perubahan. Perubahan tersebut terjadi karena adanya
pertentangan (kontradiksi) nilai dalam setiap kehidupan
sejarah manusia. Setiap perubahan tersebut adalah
sebuah proses akumulasi kuantitatif yang kemudian
bergerak menuju kualitatif (the lawl of the quantitative
change into the qualitative change). Perubahan tersebut
akan menuju sebuah arah perubahan yang dipandang

21
Bung Karno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I Cetakan Kedua. Panitia
Penerbit DBR. 1969.
lebih baik dibandingkan dengan kondisi kehidupan
sebelumnya (the law of the negation of the negation).
Historis materialisme oleh GmnI digunakan
sebagai pisau analisa untuk mencari jawaban terhadap
segala perubahan-perubahan sejarah yang terjadi
sekaligus mencari cara untuk menyusun perubahan-
perubahan tersebut menuju perubahan yang lebih baik
sesuai dengan cita-cita ideologi. Historis materialisme
akan memberikan seluruh perangkat kepada nilai-nilai
marhaenisme agar dapat terbumikan dalam kehidupan
sejarah manusia. Sebab historis materialisme telah
memberikan metode untuk mengetahui segala jenis dan
bentuk perubahan sejarah yang sekaligus membeirkan
jawaban untuk merubahnya.

Dasar Perjuangan GmnI22


Dasar Perjuangan GmnI adalah terciptanya
keadilan sosial dalam kehidupan kebangsaan yang
bebas, merdeka dan berdaulat. Setiap individu
masyarakat Indonesia merupakan entitas merdeka yang
berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan bebas berusaha demi perkembangan
kemanusiaanya (Sosial Conscience of Man). Atas dasar
dan tujuan perjuangan tersebut maka kehidupan
kebangsaan Indonesia harus dibangun dalam konstruksi
kehidupan negara bangsa yang berdaulat di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian
di bidang kebudayaan.
Berdaulat di bidang politik diletakkan dalam
kerangka negara bangsa yang mengabdi kepada rakyat
dengan kewajiban melindungi segenap kehidupan rakyat
Indonesia dari segala bentuk penindasan dan

22
Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.
penghisapan. Oleh karena itu, negara tidak boleh terikat
maupun tergantung dengan kekuatan lain (negara asing,
modal, militer, dan lain-lain). Negara hanya tunduk
kepada kedaulatan rakyat dan mengabdi kepada rakyat.
Berdikari di bidang ekonomi diletakkan dalam
kerangka negara bangsa yang mendasarkan
perekonomiannya pada potensi bangsa (ilmu
pengetahuan, teknologi, sumber daya alam, dan lain-
lain) tanpa tergantung dengan kekuatan lain (modal dan
negara asing). Susunan perekonomian Indonesia juga
harus didasarkan pada nilai-nilai (asas) kekeluargaan
yang mengintegrasikan sistem kepemilikan privat dalam
naungan kebersamaan. (the variants of private ownership
include individual, partnership, cooperative and
enterpreise).
Berkepribadian di bidang kebudayaan diletakkan
dalam kerangka negara bangsa yang mendasarkan
pergaulan hidupnya pada budaya bangsa sendiri.
Budaya bangsa adalah bangunan karakter kebangsaan
rakyat Indonesia dalam semangat persatuan
(nasionalisme) yang berkesadaran sejarah, humanis dan
percaya kepada kekuatan sendiri (self reliance).

Kewajiban Perjuangan GmnI23


- menciptakan masyarakat yang memiliki
kesadaran akan sebuah revolusi dalam upaya
mencapai sebuah tujuan perubahan yang lebih baik;
- melakukan penyadaran kelas kepada seluruh
rakyat tentang sejarah ketertindasan bangsa sampai
saat ini;
- membangkitkan perlawanan rakyat terhadap
segala bentuk-bentuk penindasan dan penghisapan;
23
ibid
- membangun nilai-nilai kegotong-royongan sebagai
manifestasi cita-cita kehidupan negara bangsa;
- membangun progressifitas revolusioner gerakan
sebagai alat percepatan menuju cita-cita sosialisme
Indonesia;

Kekuatan Perjuangan GmnI24


Kaum Marhaen Indonesia
Kaum marhaen Indonesia adalah potensi
kekuatan sosial bagi perjuangan GmnI yang akan
menjadi barisan pelopor perwujudan cita-cita sosialisme
Indonesia. Sebab kaum marhaen adalah kaum yang
mengerti, memahami dan mengalami secara langsung
tentang ketertindasan dan penghisapan;

Kaum Marhaenis Indonesia


Kaum marhaenis Indonesia adalah kekuatan yang
akan mengawal kaum marhaen Indonesia dalam sebuah
gerakan perlawanan bersama-sama menuju cita-cita
sosialisme Indonesia. Kaum marhaenis akan bersatu
bahu membahu bersama kaum marhaen membuka jalan
perubahan dalam setiap kerangka revolusi;

Pembukaan UUD 1945 dan Revolusi 1945


Pembukaan UUD 1945 adalah declaration of
independence bangsa yang menjadi phillosophisce
grondslag rakyat Indonesia yang didalamnya
mengandung nilai-nilai luhur tentang dasar
kemerdekaan dan cita-cita kehidupan rakyat Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 akan menjadi landasan pijak
perjuangan rakyat Indonesia menuju cita-cita sosialisme
Indonesia. Revolusi 1945 adalah potensi pendukung
24
ibid
yang akan membantu terwujudnya sosialisme Indonesia.
Sebab revolusi 1945 telah menyelesaikan kerangka
revolusi pertama yaitu terwujudnya negara bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Jika dalam perkembangan
kehidupan kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan
kedaulatan negara kembali terjajah oleh kekekuatan neo
liberalisme maka sudah menjadi kewajiban bagi GmnI
untuk mengembalikan kedaulatan dan kemerdekaan
tersebut atas nama jiwa revolusi rakyat Indonesia;

Konsentrasi kekuatan nasional Indonesia


Konsentrasi (persatuan) kekuatan nasional
Indonesia diperlukan sebagai alat untuk melakukan
perlawanan secara bersama-sama terhadap kapitalisme
global (neo kolonialisme dan imperialisme). Jika
perlawanan dilakukan dalam kondisi parsialitas
kekuatan nasional, maka akan menyulitkan jalannya
revolusi Indonesia. Oleh karena itu maka perlawanan
terhadap kekuatan kapitalisme global harus tetap
dilakukan secara serentak oleh seluruh rakyat Indonesia,
oleh seluruh elemen-elemen bangsa. Sehingga segala
bentuk perbedaan antar elemen bangsa harus
dikesampingkan atas nama persatuan dan kesatuan
perlawanan bangsa terhadap kekuatan kapitalisme
global tersebut;

Letak geografis Indonesia yang strategis


Sebagaimana diakui oleh sejarah bangsa-bangsa
di dunia, Indonesia memiliki potensi letak geografis yang
strategis baik dalam percaturan politik internasional
maupun perekonomian dunia. Dan potensi itulah yang
mengakibatkan sejarah ketertindasan yang cukup
panjang yang dialami oleh rakyat Indonesia sampai detik
ini. Mengingat potensi strategis dimana bangsa-bangsa
dunia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap
keberadaan Indonesia, maka potensi tersebut harus
diproteksi guna melindungi rakyat dari segala bentuk
ancaman penindasan dan penghisapan. Sebaliknya,
potensi tersebut harus digunakan sebagai bargaining
terhadap dunia internasional untuk membangun
hubungan internasional yang lebih baik dalam kerangka
perdamaian abadi, bukan penindasan sesama bangsa.

Percaya pada kekuatan bangsa sendiri


Kepercayaan pada kemampuan dan keuletan
bangsa sendiri (self reliance) penting untuk membangun
semangat kejuangan rakyat Indonesia yang sedang
menjalankan revolusinya. Sejarah telah membuktikan
tentang kejayaan tersebut khususnya pada masa-masa
kerajaan Hindustan beberapa abad yang lalu dimana
bangsa ini telah menunjukkan kekuatannya kepada
dunia.

Syarat Perjuangan GmnI25


Progressif Revolusioner
Progressif dimaknai sebagai sebuah perubahan
yang berlangsung terus menerus, sebuah perubahan dari
kuantitatif menuju kualitatif (dialektika perubahan).
Revolusioner dimaknai sama dengan makna “radikal”
yaitu mencapai perubahan secara cepat” (omvormend in
snel tempo). Sehingga dapat diartikan bahwa revolusi
Indonesia harus dilakukan secara cepat dan dipercepat
serta terus menerus (permanen), sebagaimana sejarah
yang terus merevolusi dirinya.

Radikal

25
ibid
Radikal adalah semangat perubahan yang harus
dilakukan secara cepat dengan mendobrak segala bentuk
penindasan demi percepatan revolusi Indonesia;

Dialektis
Dialektis adalah syarat yang mewajibkan revolusi
Indonesia atas dasar hukum dialektika sejarah. Sebuah
hukum yang mempelajari sebab akibat terjadinya
perubahan sejarah yang akan memberikan arah
perubahan pasti bagi cita-cita revolusi Indonesia;

Kritis
Kritis adalah sikap dan cara berpikir rakyat
Indonesia dalam menjalankan revolusi Indonesia. Sikap
dan cara berpikir kritis tersebut adalah sikap dan cara
berpikir yang tidak puas dan tidak percaya terhadap
segala bentuk kebijakan dan sistem yang ada. Sebuah
sikap dan cara berpikir yang terus mengkaji dan menilai
setiap kebijakan dan sistem yang timbul dalam sejarah
perkembangan masyarakat sehingga mampu menilai
tentang keadilan dan kebenaran dari setiap perubahan
yang terjadi, dan mampu memperbaikinya dalam sebuah
perubahan untuk menuju sebuah tatanan kehidupan
yang lebih baik;

Mandiri
Mandiri adalah sikap revolusi Indonesia yang
tidak tergantung oleh kekuatan lain selain kekuatan
nasional, kekuatan seluruh rakyat Indonesia. Mandiri
adalah sikap revolusi yang tidak tunduk pada kemauan
siapapun kecuali kemauan seluruh rakyat Indonesia
yang didasarkan pada tuntutan budi nurani;

Gotong Royong
Gotong royong adalah kehidupan revolusi
Indonesia yang meletakkan entitas manusia Indonesia
yang bebas merdeka di atas kepentingan bersama yang
berdasarkan pada nilai-nilai solidaritas kebangsaan
(kekeluargaan);

Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah jiwa dan roh revolusi
Indonesia yang menginginkan sebuah perubahan
menuju kehidupan yang berdasar atas dasar-dasar
perikemanusiaan zonder exploitation de l’homme par
l’homme.

Religius
Religiusitas masyarakat Indonesia adalah alat
untuk membangun kesadaran revolusi yang didasarkan
atas tuntutan budi nurani manusia, yang mana tuntutan
budi nurani tersebut merupakan inti dari nilai-nilai
ajaran agama yang dianut dan diyakini oleh seluruh
rakyat Indonesia.

Musuh-Musuh Perjuangan GmnI


Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme
Neo kolonialisme sebagai nomena paska perang
dunia kedua berkembang dalam kedok pemberian
kemerdekaan bagi negara-negara jajahan, namun
kedaulatannya tetap di bawah kekuatan politik negara
penjajah. Bahkan dalam perkembangan terakhir, selain
dengan menggunakan kekuatan modal dan jebakan
hutang, negara-negara maju dalam upaya menjajah
negara-negara dunia ketiga adalah dengan menggunakan
kekuatan militer terselubung dengan kedok penegakan
hak asasi manusia dan penjaga perdamaian dunia.
Namun dibalik semua kedok tersebut, kepentingan yang
diharapkan dari pengerahan kekuatan militer tersebut
adalah penguasaan sumber daya alam milik negara-
negara dunia ketiga khususnya sumber daya alam yang
menyangkut energi. Sebab energi (minyak) saat ini
menjadi pemegang kekuatan utama negara-negara maju
untuk menggerakkan mesin-mesin industri yang
memproduksi barang.

Feodalisme Bangsa
Dalam kesejarahan bangsa di seluruh wilayah
nusantara, kaum marhaen Indonesia telah diperintah
oleh raja-raja kerajaan Hindustan dalam tatanan
kehidupan feodal. Kaum marhaen hanya menjadi alat
kepuasan para raja dengan segala bala keningratannya.
Kaum marhaen tidak memiliki hak menentukan
nasibnya sendiri (self determination). Akibat sistem
feodalisme yang berlangsung selama berpuluh-puluh
abad tersebut telah membentuk mental masyarakat
Indonesia yang lemah, tidak percaya diri (minder),
sungkan dan ewuh pakewuh terhadap kelas yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi.
Mental-mental warisan feodalisme tersebut adalah faktor
penghambat terwujudnya revolusi Indonesia karena
kontradiktif dengan syarat-syarat revolusi yang
menginginkan kejuangan bersifat progressif,
revolusioner, radikal dan kritis.

Kekuatan Kontra Revolusi


Kekuatan kontra revolusi yang menjadi musuh
utama GmnI adalah: kaum kapitalis, tuan-tuan tanah
(landlords), para komprador, kaum federalis yang
menginginkan perpecahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kaum ortodoks, konservatif dan kaum
doktriner formalistik (otoriter), kaum oportunis dan
politisi-politisi korup serta spekulan-spekulan ekonomi
yang selama ini telah menjadi para pelaku yang
membawa bangsa ini dalam kungkungan kekuatan
kapitalisme global.

Taktik dan Strategi GmnI


Strategi: Machtvorming, Massa Aksi dan Non Kooperatif
Dalam perspektif ideologi, neoliberalisme diakui
telah memaksa negara Indonesia menjadi subordinat
(antek) kekuatan kapitalis global. Padahal dalam asas
perjuangan, negara diberikan peran dan kepercayaan
yang sangat besar sebagai alat pemersatu, pelopor
revolusi sosial, dan panglima penegak keadilan dalam
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berjalan.
Distorsifitas peran negara sebagai subordinat kekuatan
kapitalis global, yang melanda seluruh negara-negara
dunia, memaksa GmnI untuk merumuskan kembali
tentang peran negara dalam keikutsertaannya
mewujudkan revolusi sosial di Indonesia. Namun yang
pasti, bahwa terlalu sulit bagi GmnI untuk
mengandalkan “negara” sebagai alat perlawanan
terhadap kapitalisme global dalam kondisi
ketergantungan seperti saat ini.
Oleh karena itu, GmnI kemudian secara
institusional mengambil strategi sebagai “oposisi
permanen” (deklarasi Lembang 2001) terhadap negara.
Strategi tersebut diambil sebagai upaya melakukan
kontrol terhadap kekuasaan negara yang berada dalam
kendali kekuatan kapitalis global. Hal ini penting
dilakukan, sebab negara sampai saat ini dipandang
sebagai representasi rakyat dalam konstitusi kita,
dimana keselamatan dan nasib rakyat Indonesia berada
di tangan negara. Namun di satu sisi, justru negara
acapkali mengkhianati “amanat penderitaan rakyat”.
Unsur-unsur yang mempengaruhi negara antara lain:
eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai politik.
Untuk itu maka dalam kerangka non-kooperatif
GmnI dituntut melakukan upaya penetrasi kebijakan
melalui agitas dan propaganda terhadap kekuasaan dari
tingkat pusat sampai daerah demi terwujudnya sistem
yang mendukung nilai-nilai ideologi. Dalam upaya non-
kooperatif pula, Gmni harus mampu mengontrol
jalannya kebijakan kekuasaan secara langsung dengan
cara massa aksi, melalui aksi penolakan bersama-sama
kekuatan rakyat. Dalam kerangka massa aksi tersebut,
Gmni dituntut untuk terus melakukan penyusunan
kekuatan (machtvorming) dengan cara pengorganisiran
rakyat yang dilakukan secara holistik dan integratif. Dan
berdasarkan silabus kaderisasi, setiap kader GmnI
memiliki tanggung jawab pengorganisiran rakyat
tersebut dengan cara memasuki sentra-sentra komunitas
untuk membangun simpul-simpul komunitas.

Taktik26
Taktik yang dilakukan dalam perjuangan oleh
GmnI adalah: isu kontra isu, propaganda ideologis,
penguasaan media, statement, intelejen kontra intelejen,
kaderisasi, diplomasi, tanpa kekerasan (non violence),
kontra hegemoni, aliansi taktis dan strategis,
pendampingan

26
Manifesto Politik GmnI. Hasil Rakornas GmnI di Ragunan Jakarta. 2002.
Bab Enam

Marhaenisme bukan
Jalan Ketiga

Beberapa kurun waktu terakhir, keberadaan


marhaenisme oleh beberapa kalangan sempat dikait-
kaitkan dengan sebuah wacana ideologi baru yang
dilontarkan Anthony Giddens dalam bukunya The Third
Way: The Renewal of Society Democracy. Beberapa
pandangan menyatakan bahwa sebenarnya terdapat
beberapa kesamaan yang cukup kuat antara
marhaenisme dengan politik jalan ketiga Giddens. Jika
ditinjau dari motivasi kemunculannya, politik jalan
ketiga Giddens memang memiliki beberapa kesamaan
dengan gagasan Bung Karno yang juga ingin menjadikan
marhaenisme sebagai politik “jalan tengah” (istilah Bung
Karno).
Gagasan Giddens bertujuan pokok untuk
menggantikan demokrasi sosial klasik partai-partai
Sosdem Uni Eropa yang dipandang sudah tidak mampu
lagi menjawab perkembangan dunia yang telah
memasuki era kapitalisme global. Giddens kemudian
menggagas jalan baru yang dipandang bisa mengatasi
masalah besar masyarakat dunia kontemporer tentang
globalisasi, individualisme, kerusakan lingkungan hidup
dan kosmopolitisme.
Tujuan pokok jalan ketiga Giddens adalah untuk
mendamaikan 2 (dua) perbedaan ideologi di eropa yang
berkembang saat itu yaitu antara kekuatan demokrasi
sosial yang dianggap masih terlalu memberikan
kekuasaan besar kepada negara untuk mengatur
jalannya perekonomian masyarakat dan neoliberalisme
yang dianggap terlalu liberal dengan politik ekonomi
pasar bebasnya.
Motivasi Giddens tersebut hampir sama dengan
apa yang dilakukan oleh Bung Karno pada era 1950-
1960-an yang menggagas marhaenisme sebagai upaya
jalan tengah untuk mengganti 2 (dua) kekuatan ideologi
besar dunia pada saat itu. Sebab komunisme (marxisme-
leninisme) dipandang oleh Bung Karno terlalu diktator
sehingga mengingkari sifat manusia sebagai entitas
merdeka, dan liberalisme terlalu mengagung-agungkan
nilai-nilai kebebasan dan individualisme yang justru
mengingkari nilai-nilai solidaritas sosial dalam
kehidupan masyarakat.
Atas perkembangan 2 (dua) kekuatan ideologi
dunia tersebut, Bung Karno kemudian memunculkan
marhaenisme sebagai nilai-nilai baru yang dipandang
akan mampu menggantikan dua kekuatan ideologi
tersebut. Sebab marhaenisme menganut nilai-nilai yang
memadukan antara kebebasan manusia dengan
solidaritas sosial yang didasarkan pada nilai-nilai
manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Gagasan tersebut
oleh Bung Karno kemudian diperkenalkan melalui
pidatonya berjudul To Build A World A New di depan
Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana
gagasan baru tersebut diidentifikasi dengan nama new
emerging force yang akan menggantikan dua kekuatan
ideologi dunia yang kemudian diidentifikasi dengan
nama old established force. Gagasan tersebut terus
digalang oleh Bung Karno dengan penyatuan kekuatan
Asia Afrika dan memberikan sumbangan ide dibentuknya
Gerakan Non Blok sebagai new emerging force.
Lepas dari motivasi jalan tengah Bung Karno
ataupun jalan ketiga Giddens di atas, jika dicermati dari
nilai-nilai yang ditawarkan Giddens dengan pemikiran
Bung Karno jelas memiliki perbedaan yang sangat jauh.
Marhaenisme dilahirkan sebagai sebuah sintesa atas
penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme dan
imperialisme negara maju terhadap negara dunia ketiga.
Berbeda dengan jalan ketiga Giddens yang dilahirkan
hanya sebatas untuk mencari titik temu antara sistem
ekonomi demokrasi sosial dengan sistem ekonomi
neoliberal yang berkembang di eropa dengan cara
merevisi sosial demokrasi klasik yang dianut partai-
partai sosdem eropa.
Gidden mencoba menggagas kembali pola relasi
baru antara pemerintah dan masyarakat yang
diharapkan akan lebih mendukung percepatan
perekonomian masyarakat terutama kelas pekerja
menuju kelas menengah. Oleh karena itu, maka Giddens
tidak menolak kapitalisme global, tetapi kompromi
dengan cara merevisi ulang peran negara dalam
perkembangan pasar bebas. Revisi peran negara itu
didasarkan pada pandangan barunya terhadap welfare,
seperti yang dikemukakannya:
When Beveridge wrote his Report on Social Insurance
and Allied Services, in 1942, he famously declared war
on Want, Disease, Ignorance, Squalor, and Idleness. In
other words, his focus was almost entirely negative. We
should speak today of positive welfare, to which
individuals themselves and other agencies besides
government contribute - and which is functional for
wealth creation. Welfare is not in essence an economic
concept, but a psychic one27.
Revisi peran welfare negara itu kemudian
diarahkan pada sebuah pendekatan baru tentang negara
yang diarahkan untuk mengatur perekonomian yang
difokuskan pada pendidikan untuk meningkatkan skill
kelas pekerja; membangun budaya mandiri di
masyarakat dengan melatih masyarakat berwiraswasta,
seperti yang dikemukakannya:
Government policy can provide direct support for for
entrepreneurship, through helping create venture capital,
but also through restructuring welfare systems to give
security when entrepreneurial ventures go wrong - for
example, by giving people the option to be taxed on a
two- or three-year cycle rather than only annually28.
Modernisasi demokrasi sosial yang digagas
Giddens di atas sebenarnya tidak lebih daripada sebuah
bentuk kompromi dan penundukan negara terhadap
kekuatan kapitalisme global. Sebab dalam konsepsi itu
secara tidak langsung Giddens telah menerima
neoliberalisme dan mengesahkan kapitalisme pasar
bebas dengan cara membiarkan negara memberikan
kebebasan yang lebih kepada pasar untuk menentukan
keadilan ekonomi. Dan negara disuruh untuk ikut
membantu menyiapkan kelas pekerja agar ikut bersaing
dalam “hukum rimba” pasar itu.
Berbeda dengan ide Giddens di atas, marhaenisme
sebagai sintesa dari kapitalisme, sistem
perekonomiannya lebih diarahkan pada stimulasi
solidaritas sosial yang dapat menyatukan masyarakat
Indonesia dalam kebersamaan ekonomis. Oleh karena

27
Giddens, Anthony. The Third Way:The Renewal of Social Democracy.
Polity Press. UK. 1998.
28
ibid
itu, maka dasar penyusunan perekonomian nasional
diarahkan pada upaya mewujudkan nilai-nilai
kekeluargaan (cooperative), yang dijabarkan lebih lanjut
dalam bentuk ekonomi koperasi sebagai badan hukum
(recht persoon) utama perekonomian nasional. Dengan
media koperasi maka penguasaan modal (kapital) tidak
dimiliki dan diusahakan secara perorangan melainkan
kolektif sebagai syarat cooperation dan partnership.
Dengan demikian, maka pasar yang ada di Indonesia
adalah sebuah transaksi ekonomi antara sesama badan
koperasi (transaksi modal kolektif), bukan modal
perorangan seperti pasar negara liberal.
Intervensi negara terhadap pasar dalam konsepsi
marhaenisme tetap dipandang perlu oleh Bung Karno
untuk menghindari terjadinya ketidak-adilan (monopoli,
pengekangan buruh, permainan harga dll). Mengenai
investasi sumber daya alam yang menyangkut
kebutuhan hidup masyarakat, Bung Karno tetap
mempercayakannya kepada negara untuk berinvestasi,
yang keuntungannya akan digunakan untuk
kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Konsepsi Bung Karno di atas, jelas sangat jauh
berbeda dengan konsepsi Giddens. Jika Giddens memilih
kompromi dengan kekuatan kapitalisme global, bagi
Bung Karno tidak, karena bagaimanapun kapitalisme
global adalah antitesa marhaenisme, sehingga tidak ada
jalan untuk kompromi, kecuali mengganti sama sekali
sistem kapitalisme dengan marhaenisme sebagai satu-
satunya jalan.
Oleh karena itu, marhaenisme tidak dapat
dikategorikan sebagai jalan ketiga jika diartikan sebagai
upaya mengkompromikan sosialisme dan kapitalisme.
Namun marhaenisme bisa diartikan sebagai jalan tengah
yang akan mengganti sosialisme dan kapitalisme dengan
nilai-nilai marhaenisme yang sama sekali baru, bukan
revisi seperti Giddens. Sehingga jelas bahwa baik dari
latar belakang kemunculan gagasan dan nilai-nilainya,
antara marhaenisme dan jalan ketiga Giddens adalah
berbeda.
Perbedaan paling pokok dalam konsepsi ekonomi
antara jalan ketiga Giddens dengan Marhaenisme adalah
terletak pada peran negara dalam mengatur jalannya
perekonomian pasar. Jalan ketiga Giddens yang memilih
kompromi terhadap sistem ekonomi liberal telah
membagi peran antara negara dan kekuatan modal
dalam masalah pembagian usaha dan rejeki. Kompromi
itu diwujudkan dengan spesialisasi usaha antara negara
dan kekuatan modal, dimana negara hanya diberikan
ruang usaha dibidang investasi-investasi yang bersifat
sosial saja. Sementara usaha-usaha perekonomian yang
bersifat profit sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan
modal tanpa ada celah bagi negara untuk melakukan
intervensi lagi.
Sebagai kompensasinya, negara diberikan
keleluasan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang
bersifat mendukung peningkatan kesejahteraan kelas
pekerja dengan cara memberikan fasilitas pendidikan
dan pelatihan untuk meningkatkan skill para pekerja
dalam jangka panjang sebagai wujud revisi terhadap
fungsi welfare negara yang lama, seperti yang ditulis
Giddens:
….Governments need to emphasize life-long education,
developing education programmes that start from an
individual’s early years and continue on even late in
life29.

29
Giddens. ibid.
Konsepsi Giddens tentang pembagian peran
negara dan kapital di atas adalah berbeda dengan
marhaenisme. Secara prinsip, perekonomian
marhaenisme tetap tidak mengijinkan pasar
dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan kapital. Namun
demikian, marhaenisme masih tetap menganut teori
persaingan pasar. Tetapi persaingan itu harus dilakukan
oleh badan-badan usaha koperasi yang kepemilikan
modalnya bersifat kolektif, tidak perorangan.
Kepemilikan modal kolektif berarti dalam sebuah badan
usaha (recht persoon), semua elemen yang ada
didalamnya mulai dari pekerja, tukang sapu, mandor
sampai pimpinan perusahaan adalah pemilik modal.
Kepemilikan modal kolektif itu tidak sama rata
sebagaimana yang menjadi konsepsi Marxian dalam teori
“pasar negara”. Kepemilikan modal kolektif dalam
kosepsi marhaenisme tetap menganut diferensiasi saham
dan keuntungan yang disesuaikan dengan tingkat resiko,
porsi tanggung jawab dan nilai kerja masing-masing
elemen dalam perusahaan tersebut. Persaingan antar
badan koperasi dalam mekanisme pasar tersebut tetap
berada dalam pantauan dan kendali negara sebagai
penegak keadilan pasar. Negara diberikan kewenangan
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
mendukung terciptanya keadilan pasar.
Mengenai peran negara di bidang investasi,
konsepsi marhaenisme berbeda dengan Giddens yang
mengarahkan negara pada investasi bersifat sosial saja.
Konsepsi marhaenisme tetap menganut teori sosialisme
klasik, yaitu cabang-cabang produksi dan sumber daya
alam yang menyangkut kepentingan umum tetap dikelola
oleh negara. Posisi ini penting untuk diambil mengingat
masa depan kehidupan rakyat saat ini dan akan datang
(generasi masa depan). Dengan pengambil-alihan negara
tersebut, dapat dimungkinkan semua keuntungannya
dimanfaatkan untuk kepentingan sosial masyarakat
daripada dikelola oleh perorangan yang keuntungannya
hanya akan dinikmati oleh segelintir pemilik modal saja.
Sedangkan tentang ide Giddens mengenai peran
negara yang akan diarahkan pada peningkatan skill
pekerja dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan,
secara substantif hampir sama dengan konsepsi
marhaenisme. Perbedaannya, jika Giddens hanya
memprioritaskan pendidikan kepada kelas pekerja,
marhaenisme menuntut negara untuk mencerdaskan
seluruh elemen masyarakat agar mendapatkan
penghidupan yang lebih layak karena masyarakat miskin
Indonesia tidak hanya masyarakat pekerja (proletar) saja.
Perbedaan kedua, jika tujuan pendidikan dan pelatihan
Giddens untuk menyiapkan kelas pekerja menghadapi
persaingan pasar, tujuan Bung karno untuk membawa
masyarakat pada kesejahteraan dan keadilan sosial
bersama.
Ide Bung Karno ini mungkin hampir sama dengan
apa yang pernah dilontarkan oleh Saint Simon pada
abad delapan belas silam yang menggagas perlunya ilmu
pengetahuan dan teknologi dimanajemeni agar bisa
bermanfaat bagi kepentingan seluruh masyarakat. Bung
Karno menyadari bahwa bangsa Indonesia memang
mengalami ketertinggalan di bidang IPTEK sebagai
implikasi dari kolonialisme imperium barat. Oleh karena
itu maka transfer ilmu pengetahuan dan teknologi tetap
dibutuhkan bagi percepatan pertumbuhan perekonomian
di Indonesia.
Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan
sekali lagi bahwa bagaimanapun marhaenisme tidak
dapat dikategorikan sebagai ideologi jalan ketiga seperti
konsepsi yang digagas Giddens. Marhaenisme adalah
ideologi kiri yang menjadikan kapitalisme berikut
metamorfosanya sebagai antitesa. Marhaenisme bukan
ideologi kanan, tengah ataupun jalan ketiga yang bersifat
kompromi terhadap kapitalisme. Marhaenisme adalah
ideologi yang berdiri sendiri karena berpijak pada nilai-
nilainya sendiri, bukan hasil revisi dari ideologi apapun
seperti ide Giddens.
Bab Tujuh

Marhaenisme Tidak
Lagi Relevan?

Konsepsi marhaenisma oleh beberapa kalangan


saat ini sudah dianggap usang atau tidak relevan lagi
dengan perkembangan kapitalisme global, sebagaimana
Giddens yang juga menggangap sosial demokrasi klasik
juga tidak relevan di era globalisasi. Pandangan tentang
tidak relevannya marhaenisme itu didasarkan pada
sistem perekonomian marhaenisme yang dinilai terlalu
memposisikan negara sebagai “panglima keadilan” yang
dapat mengintervensi pasar dan memaksa investor
mengkolektifkan modalnya dalam sistem koperasi.
Bahkan marhaenisme juga tidak mengijinkan adanya
modal-modal privat memasuki ruang-ruang usaha yang
menyangkut khalayak hidup orang banyak.
Konsepsi seperti itu dinilai tidak relevan lagi jika
dikaitkan dengan perkembangan globalisasi dan
kosmopolitisme saat ini yang menuntut kebebasan
berekonomi (pasar bebas) tanpa ada intervensi apapun
dan dari siapapun termasuk negara di dalamnya. Semua
keadilan yang menentukan adalah pasar bukan negara
ataupun hukum karena hukum harus ikut membela
kepentingan pasar. Sehingga apapun yang dihasilkan
oleh pasar adalah keadilan bagi semuanya lengkap
dengan legitimasi hukum positifnya.
Dalam perspektif kapitalisme global, intervensi
negara dipandang sebagai bentuk pengekangan terhadap
hak-hak kebebasan manusia dalam berekonomi. Oleh
karena itu, fungsi-fungsi territorial negara yang
membatasi relasi-relasi ekonomi dunia dipandang sudah
tidak relevan lagi bagi perkembangan kosmopolitisme
saat ini.
Berdasarkan pandangan-pandangan neoliberal di
atas, lalu apakah kita akan meninggalkan marhaenisme
karena dipandang telah usang karena tidak bisa
mengikuti fakta sejarah kontemporer? Apakah kita perlu
untuk merevisi kembali konsepsi marhaenisme itu agar
bisa mencapai titik temu dengan neoliberalisme agar bisa
dikatakan relevan lagi bagi perkembangan sejarah
jaman?
Bagi saya tidak, sebab justru itulah inti dari
gagasan Bung Karno, yaitu “mengganti” kapitalisme
berikut metamorfosanya (kapitalisme global maupun neo
liberalisme), bukan mencari “kompromi” ataupun titik
temu. Lebih salah lagi jika kita meninggalkan nilai-nilai
ideal yang terdapat dalam marhaenisme dan mencari
nilai-nilai baru karena marhaenisme telah dianggap
usang.
Dalam konteks ini, maka yang perlu
diperdebatkan adalah bukan mengenai relevan tidaknya
marhaenisme bagi perkembangan jaman, karena
marhaenisme tetaplah sintesa nilai atas antitesa
kapitalisme yang telah bermetamorfosa dalam wujud
kapitalisme global sebagaimana yang telah diterangkan
di atas. Sehingga jika mengacu pada hukum dialektika
perubahan, sampai kapanpun nilai-nilai marhaenisme
akan tetap relevan bagi perkembangan jaman sampai
ada sintesa baru yang akan mengganti nilai-nilai
marhaenisme tersebut.
Namun yang menjadi persoalannya saat ini adalah
marhaenisme belum bisa menjadi sintesa (tesa baru),
sebab nilai-nilai lama kapitalisme belum tergantikan
dengan nilai-nilai baru marhaenisme. Jika demikian,
maka bukan nilainya yang salah ataupun usang, tetapi
taktik dan strateginya yang perlu dikaji ulang, kenapa
marhaenisme belum mampu termanifestasikan dalam
kehidupan kebangsaan Indonesia.
Beberapa kelompok nasionalis muda di GmnI juga
pernah memiliki pandangan bahwa kapitalisme saat ini
telah bermetamorfosa ke dalam bentuk neo liberalisme
dan kapitalisme global. Oleh karena itu marhaenisme
pun harus melakukan metamorfosa jika ingin dikatakan
relevan30. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
metamorfosa kapitalisme itu dapat dikatakan sebagai
sebuah tesa baru yang telah menggantikan tesa lama
kapitalisme klasik?
Dalam konteks nilainya, jelas tidak ada sebuah
tesa baru dalam kapitalisme, karena essensi nilainya
tetap sama dengan nilai lama yaitu eksploitatif dan
menindas. Perubahan kapitalisme hanya sebatas pada
strategi-strategi baru yang dipakai kapitalisme untuk
menguasi pasar dan sumber daya alam (bahan baku
produksi) serta pengembangan modal.
Pada abad pertengahan (masa imperialisme
klasik), strategi kapitalisme imperialisme adalah mencari
wilayah-wilayah baru yang akan dijadikan wilayah
jajahan. Ekspedisi dan pengerahan armada perang
adalah taktik yang digunakan untuk menundukkan
wilayah-wilayah jajahan tersebut. Peperangan di abad
30
Pandangan ini sempat mencuat dalam pertemuan antar Cabang GmnI se-
Indonesia di Surabaya 1 Juli 1999 dengan tema “Quo Vadis Marhaenisme”.
pertengahan berslogan gold, glory and gospel adalah
bagian dari implikasi politik kepentingan imperialisme
dunia masa itu.
Pencarian wilayah baru bagi negara-negara maju
itu terus meningkat seiring dengan munculnya revolusi
industri. Sebab revolusi industri telah mengakibatkan
terjadinya perubahan secara mendasar dalam sistem
produksi ekonomi di eropa. Barang-barang produksi
yang pada awalnya hanya bisa diproduksi secara
terbatas karena masih diproduksi secara manual (tenaga
kerja manusia) kemudian menjadi over produksi karena
diproduksi secara massal oleh mesin-mesin industri
sebagai pengganti tenaga manual. Over produksi
tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terjadinya
akumulasi barang akibat terbatasnya pasar, dan
akumulasi modal akibat terbatasnya lahan usaha31.
Meminjam teori Hilferding, Kautsky dan
Luxemburg yang dikutip oleh Bung Karno32, untuk
menghindari kebangkrutan akibat akumulasi barang dan
modal itu, maka jalan imperialisme pada akhirnya
menjadi sebuah keharusan bagi bangsa-bangsa yang
telah mengalami kematangan kapitalisme. Kondisi itulah
yang kemudian menjadi penyebab utama perang
lanjutan dari abad pertengahan yang terus berkembang
sampai menjadi perang dunia I dan perang dunia II
akibat perebutan wilayah jajahan negara-negara
imperialis.
Paska perang dunia II, seiring dengan munculnya
declaration of human right (1948), strategi imperialisme
negara maju kemudian berubah (yang kemudian
dipandang sebagai metamorfosa kapitalisme). Strategi itu

31
Bung Karno, “Swadesi dan Massa Aksi Indonesia”, Dibawah Bendera
Revolusi, Jilid I Cetakan Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969.
32
Ibid.
diubah dari pendekatan bersenjata (perang) menjadi
pendekatan lunak dengan iming-iming pemberian modal
dan transfer IPTEK yang dijustifikasi melalui “teori
modernisme”33. Secara garis besar teori itu menegaskan
tentang perlunya transfer modal dan IPTEK untuk
membantu negara dunia ketiga (bekas jajahan) mengejar
ketertinggalannya terhadap negara maju. Teori itu pula
yang kemudian melahirkan lembaga-lembaga donatur
internasional terutama IMF dan World Bank. Namun
dalam realitasnya kemudian, teori itu dipatahkan oleh
“teori dependensia”34 yang berhasil membuktikan bahwa
transfer modal dan IPTEK tersebut justru
menjerumuskan negara dunia ketiga dalam jebakan
hutang (dept trap). Sebab transfer modal itu ternyata
digunakan sebagai bargain negara maju untuk
menguasai pasar dan sumber daya alam negara dunia
ketiga. Transfer IPTEK pun ternyata tidak pernah
dilakukan secara sungguh-sungguh oleh negara maju,
bahkan sebaliknya yang terjadi adalah transfer tenaga-
tenaga ahli ke negara dunia ketiga.
Bargain negara maju itu dilakukan dengan cara
menggunakan lembaga donatur internasional (IMF dan
World Bank) sebagai kendaraan politik untuk memaksa
negara penghutang mengikuti kemauan negara maju.
Wajar jika aturan-aturan yang dibuat IMF dan World
Bank kemudian tidak pernah jauh dari deregulasi,
liberalisasi, privatisasi dan pencabutan subsidi 35.
Melihat perubahan strategi kapitalisme itu, maka
jelas akan memunculkan pertanyaan bagi kita mengenai
masih relevan tidaknya strategi yang kita terapkan dalam
33
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Negara Dunia Ketiga
34
ibid.
35
World Bank. Entering the 21st Century, World Development Report 1999/
2000. Oxford University Press. New York.
menghadapi perubahan kapitalisme ini. Inilah
pertanyaan yang benar dan perlu untuk ditanggapi oleh
GmnI. Jadi –sekali lagi– bukan pertanyaan yang
menyangkut relevan tidaknya nilai-nilai marhaenisme,
tetapi lebih menyangkut pada relevan tidaknya strategi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab Tiga
“KLB dan Strategi Baru Kejuangan GmnI”, GmnI telah
mencoba menyusun ulang tentang strategi-strategi baru
yang coba diterapkan menghadapi kapitalisme global
tersebut. Strategi dasar yang dilakukan GmnI saat ini
adalah pembangunan kekuatan masyarakat
(machtvorming) melalui strategi pengorganisasian rakyat.
Tujuan pengorganisasian tersebut dalam jangka
pendek adalah upaya pembangunan simpul-simpul
kekuatan di dalam masyarakat yang nantinya
diharapkan akan menjadi sebuah kekuatan baru yang
mandiri dan tidak tunduk pada kekuasaan, melainkan
kritis dan radikal. Dengan terbentuknya lembaga-
lembaga kontrol di tengah kehidupan masyarakat
tersebut, perubahan diharapkan akan berjalan lebih
cepat dan meningkat karena kekuasaan mulai dari RT,
RW, Desa, Kecamatan, Distrik sampai pusat dapat
dikontrol secara bertingkat karena lembaga-lembaga
kontrol masyarakat itu dengan sendirinya akan
membentuk jaring kerjasama antar masyarakat melalui
pemanfaatan media komunikasi global sebagai alat
transformasi dan komunikasi.
Dalam jangka menengah, tujuan pengorganisasian
adalah terciptanya sebuah kesadaran baru bagi
masyarakat tentang sistem nilai (ekonomi, politik dan
budaya) yang ditanamkan oleh kekuasaan, yang
dipandang tidak mendukung terwujudnya sebuah
perubahan yang lebih baik, sehingga perlu untuk
dilakukan pendekonstruksian nilai dengan cara
perlawanan terhadap kekuasaan. Cara penyadaran itu
dilakukan melalui pola-pola agitasi dan propaganda
melalui media-media informasi dan komunikasi yang
terdapat dalam sentra-sentra komunitas masyarakat
(tempat ibadah, karang taruna, warung kopi, pasar, dll).
Cara itulah yang dulu pernah dilakukan oleh Bung
Karno dan founding father lainnya dalam upaya
membangkitkan perlawanan nasional pada masa
kekuasaan imperium barat di Indonesia.
Tujuan jangka panjangnya adalah merekonstruksi
ulang tatanan nilai kehidupan masyarakat yang
kapitalistik untuk diarahkan pada bangunan sintesa
ideologi (marhaenisme). Untuk bisa merekonstruksi
bangunan nilai di masyarakat tersebut kader-kader
GmnI dituntut untuk memiliki kemampuan yang benar-
benar kuat dalam memahami nilai-nilai yang
berpengaruh dan berkembang di masyarakat. Sebab
tanpa memahami basic materiil masyarakat maka terlalu
mustahil bagi seorang kader untuk bisa melakukan
rekonstruksi karena tidak tahu dimana dan bagaimana
rekonstruksi nilai itu akan dilakukan.
Oleh karena itu, maka pemetaan dan analisa
sosial dengan cara integral di tengah-tengah kehidupan
masyarakat adalah satu-satunya cara strategis bagi
GmnI jika benar-benar menginginkan terjadinya sebuah
rekonstruksi nilai dalam kehidupan masyarakat. Dengan
cara integral maka GmnI akan mengetahui secara detail
tentang perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, mulai dari cara pandang
masyarakat, cita-cita hidup masyarakat, harapan-
harapan yang ada dalam kehidupan masyarakat,
budaya-budaya yang hidup di tengah masyarakat sampai
pada keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh
masyarakat. Variabel-variabel sosial itu adalah alat yang
akan membawa GmnI pada satu analisa dan pemikiran
yang tidak akan bersifat kuldesak sehingga benar-benar
bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat sebagai
sebuah sintesa ideologi.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pengorganisiran
itu, langkah pertama yang harus dilakukan GmnI adalah
menyusun format pengkaderan baru yang bisa
memadukan antara indoktrinasi ideologis dengan
kemampuan berpikir kader. Sehingga GmnI akan
memiliki kader-kader yang memiliki kemampuan dan
kemauan atas kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai kader untuk melakukan perjuangan melalui
strategi pengorganisasian rakyat tersebut. Dan cukup
menggembirakan karena Kongres Luar Biasa GmnI pada
akhirnya berhasil menyusun Silabus Kaderisasi yang
dipandang bisa mendukung strategi baru
pengorganisasian rakyat yang telah digagasnya.
Apakah strategi pengorganisasian rakyat ini
nantinya akan mampu menjadikan marhaenisme sebagai
tesa? Dan apakah strategi ini cukup relevan menghadapi
kapitalisme global? Hanya dialektika sejarahlah yang
bisa menjawabnya. Seorang kader GmnI pun hanya bisa
menjawab kapan strategi ini akan dijalankan, yang
tentunya akan dijawab: detik inipun akan kita jalankan.
Sampai kapan? Sampai sejarah meminta kita untuk
merubahnya kembali. Amien.
Daftar Bacaan

Adam, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.


Gunung Agung. Jakarta. 1967.
Adian, Donny Gahral. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer.
Jalatrustra. Jakarta. 2002.
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Negara Dunia
Ketiga.
Dokumen CIA. Melacak Penggulingan Bung Karno dan
Konspirasi Gerakan 30 September 1965. Hasta
Mitra. Jakarta. 2002.
Doug Lorimer. Globalisation, Neoliberalism, and The
Capitalist Austerity Drive. International Report to
DSP Conference. 1999
Engels, Freidrich. Das Kapital Karl Marx, Hasta Mitra,
Jakarta, 2002.
Foucault, Michele. Pengetahuan dan Metode. Karya-
Karya Penting Foucault. Jalatustra. Jakarta. 2002.
Fukuyama, Francis. The End of History?. In The
National Interest. Summer. 1989
Gani, Roeslan Abdul. Sosialisme Indonesia. Cetakan
Ketujuh. Yayasan Prapanca. Jakarta. 1965.
Giddens, Anthony. The Third Way:The Renewal of
Social Democracy. Polity Press. UK. 1998.
Giddens, Anthony. The Third Way and its Critic, Polity
Press. UK. 2000.
Hafid, JOS. Perlawanan Petani. Kasus Tanah
Jenggawah. Pustaka Latin. Bogor. 2001.
Hardoyo. The Future of The Left in Indonesia.
Hertz, Noreena. The Silent Takeover: Global Capitalism
and the Death of Democracy. Publisher: Free Press.
2002.
Kahin. Nationalism and Revolution in Indonesia.
Ithaca: Cornell University Press. 1952.
Liddle, Williem R.(ed). Political Participation in Modern
Indonesia. Monograph Series No.19/ Yale University
Southeast Asia Studies. 1973.
Marx, Karl. Engels, Friedrich. Manifesto Komunis. 1848.
Marx, Karl. Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan
Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik. 1859.
Siahaan, Pataniari. Api Perjuangan Rakyat. Kumpulan
Tulisan Terpilih Bung Karno. LKEP. Kekal
Indonesia. Jakarta. 2001.
Siahaan, Pataniari. Marhaenisme. Makalah Rakornas
GmnI. Presidium GmnI. Jakarta. 2002.
Suhelmi, A. Pemikiran Politik Barat. Grasindo. 2001.
Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Cetakan
Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969.
Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid II. Cetakan
Kedua, Panitia Penerbit DBR, 1969.
Sukarno. Indonesia Menggugat. Penerbit SK “SENO”.
Jakarta. 1956.
Sukarno. Kuliah tentang Marhaenisme. Bandung.
Sukarno. Lahirnya Pancasila. Penerbit Guntur.
Yogyakarta. 1949.
Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka. 1936.
Sukarno. Pidato pada peringatan Konperensi Asia
Afrika. 1960.
Sukarno. Pidato pada Konferensi Besar GMNI di
Kaliurang Yogyakarta. 1959.
Sukarno. Pidato pada Konferensi Besar GMNI di
Jakarta. 1963.
Sukarno. Sarinah. Perjuangan Wanita Indonesia.
Jakarta. 1949.
Toto, Imam. Bung Karno Bapakku, Guruku,
Pemimpinku.. Grasindo, 2001
Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Panitia
Pembina Jiwa Revolusi, Jakarta, 1961.
Yusuf, Shahid. Globalization and the Challenge for
Developing Countries. Policy Research Working
Paper. The World Bank Development Research Group.
2001.
Winoto, Joyo. Sistem Ekonomi Dunia. Makalah
Kaderisasi Tingkat Menengah. Presidium GmnI.
Jakarta. 2002.
World Bank. Entering the 21st Century. World
Development Report 1999/2000. Oxford University
Press, New York.
_______, From Socrates to Sarte: The Philosophic
Quest. Bantam Books. Inc. New York. 1984.
STRUKTUR PRESIDIUM
HASIL KONGRES LUAR BIASA
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
PERIODE 2001 – 2003

Sekretaris Jenderal : Sonny Tri Danaparamitha

Komite Kaderisasi : Hatmadi*


Sidiq Dwi Nugroho

Komite Organisasi : Sholi Saputra*


Endras Puji Juwono*

Komite Politik & : Purwanto


Propaganda (Polprop) Susilo Eko Prayitno
Tonison Ginting*

Komite Jaringan & : Donny Tri Istiqomah


Advokasi (Jarvok) Andre W. P.
Abdullah Sani

Komite Pendanaan & : Bambang Nugroho


Logistik (Danlog) I Gde Budiatmika

(* non aktif
SILABUS KADERISASI
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Landasan Pemikiran
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
adalah sebuah organisasi gerakan yang berbasiskan
intelektual muda (mahasiswa) yang memiliki cita-cita
terwujudnya sosialisme Indonesia sebagai satu sinthesa
yang berdasarkan atas asas marhaenisme yaitu : sosio-
nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang
Maha Esa di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Namun di lain pihak, ternyata sejarah
perkembangan kapitalisme telah berimplikasi
terjerumusnya kehidupan rakyat Indonesia dalam
sebuah penderitaan panjang berupa penindasan dan
penghisapan kapitalisme dan imperialisme negara-
negara maju. Ketidakberdaulatan politik, ketergantungan
ekonomi, serta kehancuran mental dan moral budaya
bangsa, adalah sebuah realitas sejarah dimana rakyat
Indonesia menjadi tumbalnya. Dan realitas sejarah
tersebut telah menjauhkan cita-cita bangsa yang
menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur zonder exploitation de l’homme par l’homme dan
zonder exploitation de nation par nation. Padahal cita-cita
bangsa tersebut merupakan cita-cita ideologi yang
diemban oleh GMNI yaitu terwujudnya sosialisme
Indonesia.
Oleh karena itu, dengan mencermati realitas di
atas, telah menjadi tanggung jawab seluruh kader GMNI
untuk menegakkan kembali cita-cita sosialisme
Indonesia tersebut demi amanat penderitaan rakyat
(AMPERA). Revolusi adalah pilihan perjuangan yang
akan dilakukan GMNI. Revolusi yang berarti perubahan
secara cepat dan radikal; revolusi yang tidak mengenal
titik, melainkan terus mengalir sampai akhir jaman
(panta rhei); revolusi yang bersifat merombak mental dan
moral bangsa untuk dikembalikan kepada jati diri
masyarakat marhaenis yaitu humanis, gotong royong
dan anti penindasan.
Dengan tugas dan tanggung jawab tersebut, maka
GMNI sebagai alat pendidikan kader harus mampu
membentuk, menggembleng dan mencetak generasi
muda sebagai kader pelopor yang progressif, revolusioer
dan radikal, untuk memimpin jalannya revolusi dalam
upaya mewujudkan sosialisme Indonesia yaitu berdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang kebudayaan.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas,
maka GMNI merasa perlu untuk menyusun Silabus
Kaderisasi yang akan menjadi acuan resmi organisasi
sebagai upaya mencetak kader-kader yang diharapkan
mampu menjadi pelopor dan pemimpin revolusi
Indonesia. Dengan terbentuknya silabus kaderisasi,
diharapkan sistem pengkaderan GMNI akan lebih
sistematis, terarah sehingga mendukung terbentuknya
kader-kader yang ideologis, progresif, revolusioner dan
berkepribadian. Untuk itu maka di dalam silabus
kaderisiasi GMNI, sistem pengkaderan diputuskan untuk
dibagi dalam 4 tahapan kaderisasi yaitu :
1. Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB);
2. Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD);
3. Kaderisasi Tingkat Menengah (KTM);
4. Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP).
Pekan Penerimaan Anggota Baru
(PPAB)

Maksud
PPAB adalah masa penerimaan anggota baru
GMNI yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa
Indonesia. PPAB berfungsi sebagai alat pengenalan
organisasi kepada seluruh para calon anggota agar dapat
memahami peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab
GMNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan pelaksanaan PPAB tersebut diharapkan para
calon anggota akan terbangun kesadarannya khususnya
tentang kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai generasi muda terhadap masa depan dan cita-
cita bangsa.

Tujuan
Tujuan PPAB adalah membangun instuisi
kesadaran para calon anggota. Kesadaran yang
dimaksud adalah kesadaran akan ruang dan waktu
dimana calon anggota telah memahami dan meyakini
bahwa membangun kehidupan bangsa adalah benar-
benar menjadi tugas dan tanggung jawabnya yang harus
diimplementasikan, dan GMNI adalah wadah dalam
upaya mengimplementasikan tugas dan tanggung
jawabnya tersebut.
Materi
Selama pelaksanaan PPAB, para calon anggota
diberikan masukan-masukan materi yang diharapkan
akan membantu para calon anggota dalam membangun
kesadaran dan visi akan peran dan tanggung jawabnya
sebagai generasi muda bangsa. Materi-materi tersebut
antara lain : Ke-GMNI-an; Nasionalisme dan Patriotisme
Indonesia; serta Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.

Format Pengkaderan
Materi disampaikan dengan cara kuliah umum
(ceramah). Ceramah berfungsi sebagai alat pendorong
dan stimulus pemikiran bagi para calon anggota dalam
upaya memahami materi dan persoalan yang
diketengahkan. Materi ceramah harus tetap berpijak
pada teori dan realitas yang relevan agar mampu dicerna
secara baik oleh para calon anggota.
Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan
pada sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan
calon anggota, tetapi dialog diartikan sebagai proses
tukar pikiran antara pemateri dan para calon anggota.
Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian
para kader dalam mengemukakan pemikiran-
pemikirannya. Di samping itu, dengan dialog tersebut
panitia dapat melihat dan menilai tentang metode
berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon
anggota dalam menangkap dan menganalisa persoalan-
persoalan yang didasarkan pada materi yang mereka
serap.
Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan
dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para
calon anggota untuk dianalisa dalam sebuah diskusi
terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para
calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus
diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan erat
dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan
diskusi tersebut diharapkan para calon anggota akan
lebih mudah memahami dan menganalisa materi-materi
yang telah diberikan selama PPAB. Masa waktu
pelaksanaan PPAB paling lama 2 (dua) hari.

Pelaksana
PPAB dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yang
dibentuk dan disahkan oleh Pengurus Komisariat GMNI.
PPAB dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode
kepengurusan komisariat. Kepanitiaan PPAB dapat
dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas
komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan peserta
PPAB menjadi anggota GMNI dilakukan oleh Dewan
Pimpinan Cabang bersangkutan.

Kerangka Acuan
Materi Ke-GMNI-an
Materi ke-GMNI-an ditujukan untuk mengenalkan
GMNI sebagai organisasi kepada para calon anggota.
Pengenalan organisasi GMNI tersebut meliputi sejarah
GMNI, AD/ART GMNI dan peran GMNI dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah pertarungan
ide dan pemikiran yang bersifat ideologis. Dan GMNI
adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi
pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan
pertarungan ide dan pemikiran itu dapat dianalisa dari
runtutan kongres ke kongres dimana di dalamnya terjadi
dinamika gerakan dan perjuangan GMNI dalam upaya
mewujudkan cita-cita marhaenisme.
Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk
mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI,
khususnya tentang aturan hukum (rule of law) dan
aturan main (rule of game) yang berlaku di GMNI.
Dengan pengenalan AD/ART tersebut maka para calon
anggota diharapkan akan mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sesuai dengan mekanisme
keorganisasian yang berlaku di tubuh GMNI. Pokok-
pokok yang menjadi prioritas materi dalam pengenalan
AD/ART tersebut antara lain : pembukaan Anggaran
Dasar yang menerangkan tentang sifat dan watak
perjuangan GMNI; asas organisasi yang menerangkan
tentang ideologi dan cita-cita GMNI, struktur
keorganisasian yang bersangkut paut pada pembagian
tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ
kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis
keorganisasian, serta hak dan kewajiban para anggota.
Peran GMNI dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara disampaikan dengan cara pengemukaan
realitas perjuangan yang dilakukan GMNI agar dapat
lebih menggugah kesadaran dan semangat para calon
anggota. Pengemukaan realitas perjuangan dapat
dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh
gerakan yang dilakukan GMNI baik skala nasional,
regional maupun lokal. Namun dari pengemukaan
contoh tersebut, tetap lebih diprioritaskan pada kasus-
kasus lokal yang diperjuangkan oleh komisariat maupun
DPC bersangkutan. Sebab dengan pengemukaan kasus
lokal tersebut propaganda dan indoktrinasi akan lebih
mudah ditangkap dan diterjemahkan oleh para calon
anggota.
Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis
besar, kerangka acuan materi ke-GMNI-an dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Sejarah lahirnya GMNI
2. Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI
3. Watak dan cita-cita perjuangan GMNI
4. Asas dan asas perjuangan GMNI
5. Keorganisasian di tubuh GMNI
6. Peran dan tantangan yang dihadapi oleh GMNI

Materi Nasionalisme dan Patriotisme Indonesia


Nasionalisme Indonesia merupakan materi yang
ditujukan untuk memberikan pemahaman secara benar
bagi para calon anggota tentang roh dan jiwa
nasionalisme Indonesia. Materi nasionalisme dimulai
dari tahapan sejarah munculnya nasionalisme dengan
merujuk pada beberapa tokoh seperti Ernest Renan, Otto
Bauer, dan lain-lain.
Tahapan kedua pemberian materi nasionalisme
adalah tentang dinamika sejarah nasionalisme negara-
negara di dunia dengan mengemukakan minimal 4
(empat) kejadian sejarah penting yaitu : perang di awal
abad XI (perang antar agama), perang di abad
pertengahan, perang dunia I dan perang dunia II:
- Perang antar agama di abad XI ditujukan untuk
memberikan pemahaman kepada para calon anggota
seobyektif-obyektifnya tentang motif-motif yang
melandasi peperangan tersebut, apakah benar atas
dasar nasionalisme-agama, ataukah hanya
kepentingan perluasan ekspansi kekuasaan masing-
masing pihak;
- Peperangan yang terjadi di abad pertengahan
ditujukan untuk mengetahui karakteristik
nasionalisme yang mewarnai pada masa itu, dengan
merujuk pada penganalisaan slogan gold, glory and
gospel;
- Perang dunia I juga ditujukan untuk mengetahui
motif dan karakteristik nasionalisme yang melandasi
semangat masing-masing negara pada masa itu;
- Perang dunia II ditujukan untuk mengetahui
tentang karakteristik nasionalisme chauvinistik
khususnya di Jerman, Italia, dan Jepang.
Tahapan ketiga adalah pengetengahan sejarah
munculnya nasionalisme di Indonesia beserta ciri dan
karakterinya. Pemberian materi nasionalisme Indonesia
lebih di titik beratkan pada pembahasan mengenai ide
dan pemikiran Bung Karno tentang nasionalisme
Indonesia, dimulai dari tokoh yang mengilhami Bung
Karno, teori yang dipakai oleh Bung Karno dan realitas
politik yang mendukung pemikiran Bung Karno pada
saat itu.
Tahapan keempat adalah studi komparasi antara
nasionalisme barat khususnya di eropa pada masa abad
pertengahan dengan nasionalisme Indonesia, agar para
calon anggota dapat mengetahui letak perbedaan dan
kesamaannya.
Materi patriotisme adalah materi yang
mempelajari pemikiran-pemikiran founding fathers di
Indonesia. Tokoh-tokoh yang dibahas nantinya adalah
pemikiran Cokroaminoto, Bung Karno, Sema’un, Tan
Malaka, Syahrir dan Hatta. Pemikiran para tokoh yang
diambil dan dibahas tersebut menyangkut visi
kebangsaan beserta cara, sikap dan cita-cita
perjuangannya menghadapi kolonialisme dan
imperialisme di Indonesia.
Pemikiran dari Cokroaminoto ditekankan pada
konsep-konsep pemikiran dan perjuangannya tentang
Islam dalam menghadapi kolonialisme imperialisme
Belanda. Disamping itu perlu pula mengangkat
perbedaan pemikiran antara Cokroaminoto dengan
Sema’un dan Haji Misbach sehingga berakibat pecahnya
SI menjadi SI merah dan SI putih.
Pemikiran dari Bung Karno ditekankan pada
konsep persatuan Bung Karno dengan merujuk pada
tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme” (DBR I). Disamping itu perlu pula untuk
sedikit memberikan gambaran perbedaan pemikiran
antara Bung Karno dan Hatta tentang taktik dan strategi
perjuangan meraih Indonesia merdeka.
Pemikiran dari Moh. Hatta ditekankan pada
konsep-konsepnya tentang membangun bangsa
Indonesia baik dari sistem politik dan sistem ekonomi
kerakyatan yang digagas dan dikembangkannya lewat
sistem koperasi. Pemikiran Hatta lainnya adalah
menganalisa pandangan-pandangan Hatta tentang
marxisme.
Pemikiran dari Sema’un ditekankan pada
pandangan dan cita-citanya dalam upaya membangun
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat komunis.
Selain itu, perlu juga diketengahkan perbedaan prinsip
antara pemikiran Sema’un cs dan Tan Malaka sehingga
berakibat keluarnya Tan Malaka dari Partai Komunis
Indonesia dan mendirikan partai baru (PARI dan
MURBA).
Pemikiran Tan Malaka yang perlu diketengahkan
adalah pengantar dasar dari teori Madilog (materialisme,
dialektika dan logika) yang dikembangkan oleh Tan
Malaka, dan pandangan-pandangannya tentang Republik
(Res Publika) dan ketidaksepakatannya terhadap PKI
yang mencoba menganut pola pemerintahan Uni Sovyet
(lihat : tulisan Tan berjudul Uni Sovyet atau
Parlementer).
Pemikiran dari Sahrir yang perlu diangkat adalah
pokok-pokok pikirannya tentang sosialisme, serta sifat
dan pola gerakan yang digunakannya dalam menghadapi
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Hal lain
yang perlu untuk ikut dibahas adalah tentang
pandangan Sahrir terhadap Bung Karno dan Hatta.
Setelah pembahasan pemikiran para tokoh
tersebut, kemudian dilanjutkan pada analisa komparatif
pemikiran para tokoh untuk mengetahui secara jelas
letak perbedaan dan kesamaannya.

Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis


besar kerangka acuan materi “Nasionalisme dan
Patriotisme Indonesia” dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sejarah lahirnya nasionalisme di dunia
2. Teori dan tokoh nasionalisme
- Ernest Renan
- Otto Bauer
- Gandhi (jika dipandang perlu, teori dan tokoh
dapat ditambah oleh pemateri)
3. Sejarah peperangan dunia dan nasionalisme
4. Sejarah nasionalisme Indonesia
5. Karakteristik nasionalisme Indonesia
6. Studi komparasi nasionalisme barat (eropa) dan
nasionalisme Indonesia
7. Ide dan pemikiran founding fathers
- Cokroaminoto (pandangannya tentang Islam
sebagai alat perjuangan)
- Bung Karno (nasionalisme dan marhaenisme)
- Tan Malaka (madilog dan res publica)
- Sema’un (marxisme/komunisme)
- Syahrir (sosialisme kerakyatan)
- Hatta (ekonomi kerakyatan dan sosialisme) (jika
dipandang perlu, teori dan tokoh dapat ditambah
oleh pemateri)
8. Analisa komparatif pemikiran antara founding
father
- Bung Karno dan Hatta
- Sema’un dan Tan Malaka
- Bung Karno dan Sahrir
- Bung Karno dan Tan Malaka
- Bung Karno dan Sema’un – Alimin – Muso
Materi Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Materi “Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara”
dimulai dari sejarah kebangkitan pemuda pada masa pra
kemerdekaan sampai saat ini. Penyampaian sejarah
gerakan pemuda pra kemerdekaan dimulai dari Budi
Utomo, Sumpah Pemuda sampai Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Penyampaian sejarah
gerakan pemuda tersebut dititik beratkan pada sejarah
ide, pemikiran, platform dan paradigma yang
berkembang di kalangan pemuda saat itu.
Penyampaian sejarah gerakan pemuda pasca
kemerdekaan dimulai dari gerakan mahasiswa angkatan
66, gerakan mahasiswa tahun 70-an, gerakan mahasiwa
tahun 80-an sampai pada masa gerakan reformasi 1998.
Pola penyampaian dilakukan dengan cara menggunakan
metode analisa komparatif masing-masing gerakan,
meliputi : karakter gerakan, paradigma gerakan, dan
strategi gerakan di masing-masing elemen. Dengan
analisa komparatif di atas diharapkan para calon
anggota akan mampu melihat dan menilai letak
kegagalan dan keberhasilan peran pemuda di masing-
masing angkatan, baik pada masa pra kemerdekaan
sampai masa paska kemerdekaan.
Tahapan pemberian materi selanjutnya adalah
mengajak calon anggota untuk menelusuri dasar-dasar
ideologi yang mewarnai platform dan paradigma gerakan
di tiap-tiap angkatan. Penelusuran ideologi tersebut
dapat dilakukan dengan merujuk pada cita-cita,
paradigma dan metode yang dipakai oleh tiap-tiap
angkatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar, kerangka acuan materi “Peran Pemuda dan
Mahasiswa dalam Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa
dan Bernegara” dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Peran Pemuda dan Mahasiswa dalam perspektif
sejarah
- Budi Utomo
- Konggres Pemuda II (Sumpah Pemuda)
- Lahirnya Pancasila
- Proklamasi Kemerdekaan
2. Paradigma gerakan pemuda dan mahasiswa
- pandangan dan cita-cita
- ideologi yang berkembang
3. Analisa komparatif gerakan mahasiswa 66, 70, 80
dan 98 meliputi :
- sikap terhadap kekuasaan
- cita-cita dan paradigma tiap-tiap
gerakan/angkatan
- metode dan pola gerakan ditiap-tiap angkatan
4. Keberhasilan dan kegagalan gerakan pemuda dan
mahasiswa
Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD)

Maksud
Kaderisasi Tingkat Dasar adalah proses
pengkaderan tingkat pertama yang ditujukan bagi
mahasiswa yang telah disahkan sebagai anggota GMNI
melalui PPAB. KTD mengutamakan proses pengenalan
ideologi kepada para calon kader sehingga dapat
memahami marhaenisme secara menyeluruh, tidak
tekstual dan parsial. Dengan pemahaman ideologi yang
baik, maka para kader diharapkan akan mampu
melaksanakan perjuangan secara konsisten mulai dari
metode berpikir yang dipakai, pola gerakan yang
digunakan serta disiplin gerakan yang dianut,
kesemuanya akan selalu bersumber pada satu roh
ideologi yaitu marhaenisme.

Tujuan
Tujuan pokok dari KTD adalah menyiapkan para
anggota GMNI menjadi kader yang memahami, meyakini
dan mampu memanifestasikan marhaenisme dalam
kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya. Oleh karena
itu, maka KTD akan berfungsi sebagai proses
indoktrinasi kader untuk merubah sikap, mental,
kepribadian dan cara berpikir para calon kader agar
menjadi kader yang ideologis, progressif, revolusioner
dan berkepribadian.
Materi
Selama proses KTD, para calon kader akan
mendapatkan materi yang akan menunjang
penggemblengan diri anggota menjadi kader. Materi-
materi tersebut antara lain meliputi : Marhaenisme;
Metode Berpikir Marhaenisme; Nasionalisme Indonesia;
Sosiologi dan Analisa Sosial; Keorganisasian; Konstalasi
Politik Nasional; dan Ke-GMNI-an.
Disamping materi pokok di atas, di dalam KTD
juga akan diberikan materi pendukung, antara lain :
materi-materi lokal yang disesuaikan dengan geografis
dan geopolitik di tiap-tiap daerah bersangkutan. Materi
pendukung lainnya adalah materi tentang dinamika
kelompok dan dinamika pergerakan.

Format Pengkaderan
Kaderisasi Tingkat Dasar diharapkan dapat
dilaksanakan di tempat-tempat terbuka yang bernuansa
alam namun jauh dari keramaian (pantai, hutan,
pegunungan, dan lain-lain). Pemilihan tempat tersebut
bertujuan untuk memudahkan proses indoktrinasi
kepada para calon kader, dengan asumsi bahwa para
calon kader akan dapat lebih mengkonsentrasikan
pikirannya tanpa harus terganggu oleh pikiran-pikiran
lain yang justru semakin melemahkan mental dan
pikiran calon kader. Indoktrinasi yang ditekankan adalah
indoktrinasi tentang penindasan dan kesengsaraan yang
dihadapi oleh rakyat melalui simbolisasi dan simulasi
(modellings) kepada para calon kader. Simbolisasi dan
simulasi tersebut harus diimbangi pendekatan emosional
dan psikologis kepada seluruh calon kader dengan cara-
cara kontemplatif.
Penyampaian materi dilakukan dengan cara
pemberian ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah
berfungsi sebagai alat pendorong dan stimulus pemikiran
bagi para calon kader dalam upaya memahami materi
dan persoalan yang diketengahkan. Materi ceramah
harus tetap berpijak pada teori dan realitas yang relevan
agar mampu dicerna secara baik oleh para calon
anggota.
Metode kedua adalah dialog. Dialog tidak diartikan
hanya sebatas proses tanya jawab antara pemateri dan
calon kader, tetapi lebih diartikan sebagai proses tukar
pikiran (sharing) antara pemateri dan para calon kader.
Proses dialog bertujuan untuk membangun keberanian
para kader dalam mengemukakan pemikiran-
pemikirannya. Disamping itu, dengan dialog tersebut
panitia dapat melihat dan menilai tentang metode
berpikir dan cara pandang yang dipakai oleh calon kader
dalam menangkap dan menganalisa persoalan-persoalan
yang didasarkan pada materi yang mereka serap.
Metode ketiga adalah diskusi. Diskusi dilakukan
dengan cara memberikan sebuah persoalan kepada para
calon kader untuk dianalisa dalam sebuah diskusi
terbuka yang melibatkan pemateri, panitia dan para
calon anggota. Persoalan yang diberikan tetap harus
diarahkan pada persoalan yang masih berkaitan secara
erat dengan materi-materi yang telah diberikan. Dengan
diskusi tersebut diharapkan para calon kader akan lebih
mudah memahami dan menganalisa materi-materi yang
telah diberikan selama KTD. Masa waktu pelaksanaan
KTD minimal 3 (tiga) hari. Jika pemberian materi dinilai
tidak memiliki cukup waktu, maka KTD dapat
diperpanjang menjadi 5 (lima) hari.
Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Dasar dilaksanakan oleh
sebuah kepanitiaan yang dibentuk dan disahkan oleh
Pengurus Komisariat atau Dewan Pimpinan Cabang. KTD
dilaksanakan minimal satu kali dalam satu periode
kepengurusan komisariat. Kepanitiaan KTD dapat
dibentuk dalam satu komisariat maupun lintas
komisariat (kepanitiaan bersama). Pelantikan anggota
menjadi kader GMNI dilakukan oleh Dewan Pimpinan
Cabang bersangkutan disaksikan oleh Koordinator
Daerah.

Kerangka Acuan
Materi Marhaenisme
Pemberian materi marhaenisme dimulai dari
sejarah munculnya marhaenisme di Indonesia. Proses
sejarah tersebut dikaitkan dengan pandangan-
pandangan Bung Karno tentang realitas sejarah
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pada masa
pra kemerdekaan yang berakibat pada penindasan dan
penghisapan kehidupan rakyat. Sejarah munculnya
marhaenisme juga ditinjau dari ide-ide yang mengilhami
pemikiran Bung Karno sehingga menemukan
marhaenisme tersebut.
Pengenalan materi marhaenisme dimulai dengan
menerangkan 3 (tiga) pokok intisari marhaenisme yaitu :
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sosio nasionalisme adalah pandangan
hidup yang menjelaskan tentang watak nasionalisme
Indonesia. Sosio demokrasi adalah sistem sosial politik
dan sosial ekonomi yang berdasarkan pada sendi-sendi
kehidupan masyarakat Indonesia. Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Ketuhanan masyarakat Indonesia yang
berkebudayaan (DBR I dan Lahirnya Pancasila).
Setelah calon anggota memahami isi daripada
marhaenisme, materi selanjutnya adalah pengenalan
tentang marhaenisme sebagai asas (ideologi) dan asas
perjuangan. Marhaenisme sebagai asas adalah
pandangan dan cita-cita hidup yang harus dipegang
teguh oleh seluruh kader GMNI. Marhaenisme sebagai
asas perjuangan adalah cara dan upaya dalam
mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang
bersumber pada marhaenisme.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar, kerangka acuan materi “Marhenisme” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Sejarah lahirnya marhaenisme
- Realitas sejarah kapitalisme dan imperialisme di
Indonesia
- Marhaenisme sebagai satu keharusan sejarah
(historische notwendeig)
- Marhaenisme dan jiwa kehidupan rakyat
Indonesia
- Marhaenisme dan feodalisme di Indonesia
b. Marhaenisme sebagai antitesa kapitalisme
a. Marhaenisme sebagai asas (ideologi)
- sosio nasionalisme
- sosio demokrasi
- Ketuhanan Yang Maha Esa
c. Marhaenisme sebagai asas perjuangan
- Machtvorming dan machtanwending
- Non Kooperasi dan gerakan revolusioner
- Massa Aksi dan Masalle Actie
- Self reliance dan self help
Materi Metode Berpikir Marhaenisme
Materi metode berpikir marhaenisme diawali dari
sejarah perkembangan pemikiran manusia sebagai kata
pengantar, yang dimulai dari kehidupan filsafat masa
Yunani kuno (Heraclitus, Parmanides, Socrates,
Aristoteles dan Plato). Ruang lingkup materi filsafat
Yunani kuno tersebut lebih ditekanan pada pokok-pokok
pikiran tentang kosmologi dan epistemologi demi
memudahkan para calon kader untuk meruntut sejarah
perkembangan pemikiran manusia.
Setelah kata pengantar, materi dilanjutkan
dengan dasar-dasar filsafat Hegel terutama tentang
historische materialisme untuk memberikan pemahaman
dasar tentang cara berpikir dialektis dalam menangkap
fenomena dan realitas sejarah. Pemikiran Hegel lainnya
yang perlu diketengahkan dalam materi KTD adalah teori
“idealisme absolute” Hegel tentang alam dan Tuhan.
Pemikiran idealisme absolute Hegel tersebut
kemudian dikomparasikan dengan pemikiran Feurbach
tentang manusia dan Tuhan. Materi Feurbach tersebut
dianggap sebagai satu sejarah penting yang perlu
disampaikan karena memang pada masa Ferubach-lah
filsafat materialisme mulai berkembang sebagai wujud
kritik dan ketidak puasan terhadap filsafat idealisme
yang dikembangkan Hegel.
Setelah pemberian materi tentang Feurbach,
barulah diberikan pemikiran- pemikiran Karl Marx yang
menyempurnakan pemikiran Feurbach dan Hegel dengan
teori yang disusunnya yaitu materialisme sejarah dan
materialisme dialektika. Historis materialisme dan
materialisme dialektika yang dikembangkan oleh Marx
dan Engel tersebut kemudian dikomparasikan dengan
filsafat idealisme Hegel untuk dianalisa guna melihat
letak perbedaan-perbedaan prinsipnya.
Materi berikutnya adalah tentang materialisme
sejarah dan materialisme dialektika yang diterapkan dan
disempurnakan oleh Bung Karno ke dalam tubuh
marhaenisme sebagai pisau analisa untuk membedah
persoalan-persoalan dalam sejarah kehidupan
masyarakat Indonesia. Setelah pemberian materi
tersebut, pemateri harus mengkomparasikan antara
pemikiran materialisme dialektika Bung Karno dengan
Marx untuk mengetahui letak perbedaan dan kesamaan
prinsipnya. Pola komparasi dilakukan dengan
mengaitkan secara langsung dengan latar belakang
sejarah yang terjadi pada masa Marx dan masa Bung
Karno.
Setelah uji komparatif tersebut, materi
selanjutnya adalah pengenalan kepada para calon kader
tentang cara-cara menggunakan materialisme dialektika
sebagai pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara
garis besar kerangka acuan materi “metode berpikir
marhaenisme” dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Pengantar : Perkembangan sejarah pemikiran
manusia
- Heraclitus dan Parmanides
- Socrates, Plato dan Aristoteles
b. Kerangka pemikiran George Frederich Hegel
- Idealisme absolut
- Materialisme sejarah
a. Kerangka pemikiran Ludwig Feurbach
- Kritik Feurbach tentang idealisme absolut Hegel
c. Analisa komparatif filsafat idealisme Hegel dan
materialisme Feurbach
- Pandangan Hegel dan Feurbach tentang manusia
dan Tuhan
d. Kerangka pemikiran Karl Marx
- Pandangan Marx terhadap materialisme sejarah
Hegel
- Pandangan Marx terhadap Feurbach
- Materialisme dialektika dan hukum kontradiksi
Karl Marx
e. Metode berpikir marhaenisme
- Marhaenisme dan filsafat idealisme
- Marhaenisme dan filsafat materialisme
- Filsafat marhaenisme
- Materialisme sejarah dan materialisme dialektika
dalam roh marhaenisme
Cara menggunakan materialisme dialektika sebagai
pisau analisa dengan mendasarkan pada realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi di Indonesia.

Materi Nasionalisme Indonesia


Materi nasionalisme Indonesia merupakan
pendalaman atas materi nasionalisme yang diberikan
selama masa PPAB. Materi nasionalisme tetap mencakup
materi yang dimulai dari tahapan sejarah munculnya
nasionalisme di dunia yang dimulai dari awal abad XI
(perang antar agama), kemudian perang di abad
pertengahan, sampai perang dunia I dan perang dunia II.
Perang antar agama di abad IX ditujukan untuk
mengetahui tentang motif-motif yang melandasi
peperangan tersebut, apakah benar atas dasar
kepentingan agama, ataukah hanya sebatas kepentingan
perluasan/ekspansi kekuasaan masing-masing pihak.
Peperangan yang terjadi di abad pertengahan ditujukan
untuk mengetahui karakteristik nasionalisme yang
mewarnai pada masa itu dengan cara mengkritisi tujuan-
tujuan dari peperangan itu sendiri. Begitu pula dengan
Perang dunia I dan Perang dunia II yang juga ditujukan
untuk mengetahui kadar karakteristik nasionalisme yang
melandasi semangat masing-masing negara sehingga
memunculkan peperangan antar negara tersebut.
Tambahan materi nasionalisme dalam KTD adalah
analisa komparatif antara nasionalisme yang
berkembang di negara-negara kapitalis (liberal), negara-
negara penganut faham teologis (keagamaan), negara-
negara komunis, negara-negara monarki, dan negara-
negara facis. Dari analisa komparatif tersebut kemudian
direlevansikan dengan nasionalisme yang berkembang di
Indonesia terutama mengenai karakter dan cita-cita
masing-masing nasionalisme.
Materi tambahan lainnya tentang nasionalisme
adalah penjelasan tentang tantangan-tantangan
nasionalisme Indonesia menghadapi neo liberalisme,
kosmopolitisme dan etnonasionalisme.
Berdasarkan uraian di atas maka Kerangka Acuan
materi “Nasionalisme Indonesia” secara garis besar dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Sejarah lahirnya nasionalisme di dunia
2. Teori dan tokoh nasionalisme
- Ernest Renan
- Otto Bauer
- Mahatma Gandhi (jika dipandang perlu, teori dan
tokoh dapat ditambah oleh pemateri)
3. Sejarah peperangan dunia dan nasionalisme
4. Karakteristik nasionalisme negara-negara dunia
- Nasionalisme di negara kapitalis (liberalis)
- Nasionalisme di negara komunis
- Nasionalisme di negara facis
- Nasionalisme di negara monarki
- Nasionalisme di negara keagamaan
5. Karakteristik nasionalisme Indonesia
6. Studi komparasi nasionalisme Indonesia dan
nasionalisme negara-negara lain
7. Tantangan nasionalisme Indonesia
- Nasionalisme Indonesia dan neo liberalisme
- Nasionalisme Indonesia dan kosmopolitisme
- Nasionalisme Indonesia dan etnonasionalisme

Materi Sosiologi dan Analisa Sosial


Materi sosiologi dimulai dengan pemberian teori-
teori sosial terutama tentang (3) mazhab teori sosial
modern yang berkembang saat ini, yaitu : mazhab
positivisme dengan tokohnya Emille Durkheim, mazhab
konvensionalisme (Max Weber), dan mazhab realisme
(Karl Marx).
Mazhab positivisme diarahkan pada pandangan
Durkheim dalam melihat realitas sosial masyarakat
terutama tentang persoalan-persoalan yang ada di dalam
masyarakat tersebut (pranata sosial, perilaku ekonomi,
solidaritas sosial, dan lain-lain). Mazhab
konvensionalisme diarahkan pada pandangan Weber
tentang spirit protestan (peran agama dalam perilaku
ekonomi masyarakat) dan birokrasi. Mazhab realisme
diarahkan pada pandangan-pandangan Marx tentang
kontradiksi kelas akibat sistem ekonomi kapitalisme.
Dari ketiga mazhab tersebut kemudian
dikomparasikan untuk dilihat letak perbedaan-
perbedaan prinsipnya sekaligus melihat kelemahan dan
keunggulan masing-masing mazhab. Setelah ketiga
mazhab tersebut dikomparasikan satu sama lain, maka
kemudian dikomparasikan ulang dengan marhaenisme
untuk melihat mazhab mana yang cocok dan sesuai
dengan ideologi marhaenisme.
Materi analisa sosial adalah follow up dari materi
sosiologi. Pemberian materi analisa sosial disampaikan
dengan cara mengungkapkan realitas sosial, minimal
mencakup 4 (empat) sektor komunitas antara lain :
petani, buruh, nelayan dan komunitas miskin kota. Dari
tiap-tiap sektor tersebut, para peserta diajak melakukan
pemetaan (maping) untuk mengidentifikasi variabel-
variabel pokok dan tidak pokok tentang persoalan-
persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Pemetaan tersebut bertujuan untuk membantu
para peserta dalam upaya pengorganisiran massa
(machtvorming) nantinya. Dengan pemetaan, maka para
peserta akan dapat memahami akar persoalan yang
sebenarnya dihadapi oleh masyarakat. Dengan
pemetaan, peserta juga akan dapat membedakan
variabel-variabel pendukung dan variabel-variabel
penghambat yang nantinya akan dihadapi dalam proses
pengorganisiran nanti. Cara pemetaan tetap
menggunakan pisau analisa dari mazhab realisme
sebagai satu mazhab yang relevan dengan ideologi
marhaenisme.
Di dalam materi analisa sosial, juga dipandang
perlu untuk memberikan materi tentang cara-cara
pengorganisiran secara mendasar terutama tentang pola
integrasi, agitasi dan propaganda untuk tujuan “massa
aksi” yang radikal dan revolusioner. Pola integrasi
bersangkut paut dengan cara kader dalam memasuki
sebuah komunitas sektoral. Pola integrasi ditekankan
pada pentingnya “bunuh diri kelas” agar tidak menjadi
hambatan ketika leave in di masyarakat. Bunuh diri
kelas yang dimaksud adalah beradaptasi secara total
dengan segala pola perilaku komunitas (adat istiadat)
dan tidak menunjukkan identitas kader yang
sebenarnya. Sebab bagaimanapun, identitas sosial yang
dimiliki seorang kader adalah identitas sosial yang
diidentifikasi sebagai kelas menengah dalam kehidupan
sosial masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara
garis besar Kerangka Acuan materi “sosiologi dan analisa
sosial” dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Teori sosial modern
- Positivisme Emille Durkheim
- Konvensionalisme Max Weber
- Realisme Karl Marx
2. Komparasi tiga (3) mazhab teori sosial
1. Analisa komparatif tiga (3) mazhab dengan
marhaenisme
3. Pemetaan organ sektoral
- Kehidupan petani, buruh tani dan buruh
perkebunan
- Kehidupan Buruh manufaktur/industri
- Nelayan dan buruh nelayan
- Komunitas miskin kota
4. Cara-cara pengorganisiran

Materi Keorganisasian
Materi keorganisasian adalah materi yang
mengenalkan kepada calon kader tentang arti sebuah
organisasi yang mencakup bentuk-bentuk organisasi,
jenis-jenis organisasi dan fungsi organisasi. Bentuk-
bentuk organisasi disampaikan dengan cara menjelaskan
bentuk perbedaan antara organisasi dengan non
organisasi. Jenis-jenis organisasi disampaikan dengan
cara membedakan pola dan sistematika hirarkis
keorganisasian di tiap-tiap organisasi yang ada.
Setelah penyampaian materi tersebut, calon kader
diwajibkan melakukan identifikasi pada masing-masing
organisasi yang ada untuk membedakan organisasi
mana yang evolutif, tidak memiliki paradigma dan cita-
cita, dengan organisasi mana yang revolusioner,
berparadigma dan memiliki landasan ideologi yang kuat.
Setelah pengenalan dan identifikasi tiap-tiap organisasi,
calon kader kemudian diajak untuk mengidentifikasi
GMNI sebagai organisasi yang ditinjau dari ideologi dan
sistematika keorganisasian yang berlaku di AD/ART.
Dengan identifikasi tersebut diharapkan para calon
kader akan dapat memahami lebih baik lagi tentang
bentuk, jenis dan fungsi keorganisasian di tubuh GMNI.
Materi keorganisasian tersebut kemudian
direlevansikan dengan peran dan posisi GMNI sebagai
alat perjuangan dan sentral gerakan. GMNI sebagai alat
perjuangan berarti GMNI adalah alat untuk mewujudkan
cita-cita bersama yaitu terwujudnya masyarakat sosialis
Indonesia. GMNI sebagai sentral gerakan berarti GMNI
adalah titik pusat dari segala gerakan untuk
mewujudkan cita-cita tersebut.
Tambahan materi keorganisasian lainnya adalah
materi manajemen organisasi dan teori kepemimpinan.
Materi manajemen organisasi bersangkut paut pada rule
of law dan rule of game di tubuh GMNI sebagai sebuah
organisasi. Materi teori kepemimpinan bersangkut paut
pada tipe-tipe kepemimpinan dengan cara mencontohkan
pola-pola kepemimpinan yang ada dalam perkembangan
sejarah yang kemudian dikaitkan dengan budaya-budaya
kekuasaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
bersar Kerangka Acuan materi “Keorganisasian” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Pengenalan organisasi
- Bentuk organisasi
- Jenis organisasi
- Fungsi organisasi
2. Identifikasi organisasi
2. GMNI sebagai organisasi
- GMNI sebagai alat perjuangan
- GMNI sebagai sentral gerakan
3. Manajemen organisasi
4. Teori kepemimpinan
- Pola-pola kepemimpinan dalam perkembangan
sejarah
- Pola kepemimpinan dan budaya kekuasaan

Materi Konstalasi Politik Nasional


Materi konstalasi politik nasional adalah materi
yang mencakup perkembangan politik ketatanegaraan di
Indonesia selama sejarah Indonesia berdiri. Politik
ketatanegaraan minimal mencakup hal-hal mengenai :
dinamika demokrasi Indonesia dan dinamika politik
pemerintahan di Indonesia.
Dinamika demokrasi di Indonesia ditekankan
pada analisa komparatif antara sistem demokrasi
(demokrasi politik dan demokrasi ekonomi) yang
diterapkan oleh setiap rejim pemerintahan di Indonesia,
mulai dari masa Bung Karno sampai pada
kepemimpinan nasional terakhir. Analisa komparatif
tersebut merupakan derivasi dari teori-teori demokrasi
yang minimal mencakup 5 (lima) contoh pola demokrasi
yang ada di dunia antara lain : demokrasi terpimpin
negara komunis, demokrasi terpimpin negara monarki
konstitusional, demokrasi terpimpin negara-negara
keagamaan, demokrasi liberal negara kapitalis dan
demokrasi Pancasila sendiri. Dengan analisa komparatif
tersebut, nantinya akan dapat diketahui sistem
demokrasi apa yang dipakai dan dikembangkan oleh
setiap rejim pemerintahan di Indonesia, sekaligus untuk
memahami letak keburukan dan kebaikan dari sistem
demokrasi yang diterapkan tersebut.
Materi dinamika politik pemerintahan di Indonesia
mencakup materi tentang analisa kekuasaan dengan
cara menganalisa kebijakan-kebijakan pemerintah
(kekuasaan) sebagai stakeholder untuk dianalisa motif
dan tujuannya besarta pengaruh dan implikasinya
terhadap kehidupan rakyat. Kebijakan-kebijakan
tersebut kemudian diidentifikasi ke dalam turunan-
turunan ideologi agar diketahui dasar-dasar dan muatan
kepentingan yang mewarnai kebijakan tersebut. Dengan
proses identifikasi itu diharapkan nantinya para kader
akan mampu menjawab pertanyaan: apakah kebijakan
itu benar-benar untuk kepentingan hidup rakyat
ataukah hanya sebatas kepentingan kapitalisme dan
kekuasaan.
Materi konstelasi politik nasional juga dapat
ditambahkan dengan pemetaan (maping) potensi-potensi
kekuatan yang berkembang dan memiliki pengaruh
besar dalam kehidupan rakyat, baik partai politik, LSM,
organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan,
organisasi kepemudaan, maupun organ-organ kekuatan
lainnya. Tujuan pemetaan tersebut adalah untuk
mengetahui mana kawan taktis dan mana kawan
strategis serta mana lawan taktis dan mana lawan
strategis sehingga memudahkan kader dalam proses
membangun machtvorming.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis besar
Kerangka Acuan dari materi “Konstelasi Politik Nasional”
dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Sistem demokrasi negara-negara dunia
- demokrasi terpimpin di negara komunis
- demokrasi terpimpin di negara monarki
- demokrasi terpimpin di negara keagamaan
- demokrasi liberal di negara kapitalis
2. Demokrasi Pancasila
1. Dinamika demokrasi di Indonesia
- Analisa komparatif demokrasi dalam setiap
kepemimpinan nasional (masa Bung Karno sampai
masa kepemimpinan nasional terakhir)
- Analisa komparatif dinamika perkembangan
sistem demokrasi Indonesia dengan sistem
demokrasi negara-negara di dunia
3. Dinamika politik pemerintahan di Indonesia
- Identifikasi dan analisa atas kebijakan-kebijakan
publik
4. Pemetaan kekuatan organ
- Kawan taktis dan kawan strategis
- Lawan taktis dan lawan strategis

Materi Ke-GMNI-an
Materi ke-GMNI-an merupakan pendalaman dari
materi ke-GMNI-an yang sebelumnya telah diberikan
selama masa PPAB. Materi ke-GMNI-an di dalam KTD
meliputi sejarah GMNI, AD/ART GMNI, serta peran dan
tanggung jawab GMNI dalam mengemban cita-cita
marhaenisme.
Kesejarahan GMNI ditinjau dari sejarah
pertarungan ide dan pemikiran yang bersifat ideologis.
Dan GMNI adalah sebuah pilihan final untuk mewadahi
pertarungan ide dan pemikiran tersebut. Kesejarahan
pertarungan ide dan pemikiran itu ditinjau dari runtutan
kongres ke kongres dimana di dalamnya dipenuhi oleh
dinamika gerakan dalam upaya mewujudkan cita-cita
marhaenisme.
Pemberian materi AD/ART GMNI ditujukan untuk
mengenalkan sistem keorganisasian di tubuh GMNI
secara lebih mendalam, khususnya tentang aturan
hukum (rule of law) dan aturan main (rule of game) yang
berlaku di GMNI. Dengan pengenalan AD/ART tersebut
maka para calon kader akan dapat menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan
mekanisme keorganisasian yang berlaku di GMNI,
khususnya mengenai hak dan kewajiban sebagai anggota
GMNI. Item-item yang menjadi prioritas materi dalam
pengenalan AD/ART tersebut antara lain : pembukaan
Anggaran Dasar yang menerangkan tentang sifat dan
watak perjuangan GMNI; asas organisasi yang
menerangkan tentang ideologi dan cita-cita GMNI,
struktur keorganisasian yang bersangkut paut pada
pembagian tugas, kerja dan tanggung jawab tiap organ
kepengurusan di GMNI berdasarkan hirarkis
keorganisasian yang berlaku, serta hak dan kewajiban
para anggota.
Materi tentang Pembukaan Anggaran Dasar
disampaikan untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam kepada kader tentang cita-cita, watak dan
sifat gerakan di dalam tubuh GMNI. Materi tentang asas
ditekankan pada alasan-alasan ideologis penggunaan
marhaenisme sebagai asas dan asas perjuangan. Materi
tentang struktur keorganisasian menjelaskan tentang
sistematika keorganisasian di tubuh GMNI mulai dari
tingkat teratas yaitu lembaga kepresidiuman sampai
tingkat terendah yaitu komisariat. Penjelasan tentang
struktur keorganisasian tersebut bertujuan agar kader
dapat memahami tentang maksud dan tujuan
dibentuknya struktur keorganisasian yaitu untuk
memudahkan langkah-langkah gerakan dengan cara
pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab sebagai
sebuah organisasi formal.
Dari uraian tersebut di atas, maka secara garis
besar, Kerangka Acuan materi ke-GMNI-an dapat
dijelaskkan sebagai berikut :
1. Sejarah lahirnya GMNI
2. Sejarah pertarungan ide dan pemikiran GMNI
3. Watak perjuangan GMNI
4. Asas dan asas perjuangan GMNI
5. Sejarah perjuangan GMNI
6. Tantangan yang dihadapi oleh GMNI
7. Keorganisasian GMNI (AD/ART)

Kaderisasi Tingkat Menengah


(KTM)

Maksud
Kaderisasi Tingkat Menengah adalah proses
pengkaderan tingkat kedua bagi kader GMNI yang telah
lulus dari Kaderisasi Tingkat Dasar. KTM memiliki
maksud untuk menguji tingkat wacana dan cara berpikir
kader yang dikaitkan langsung dengan ideologi
marhaenisme. Pelaksanaan KTM juga sekaligus
mengolah seluruh wacana (teori) yang dikuasai para
kader untuk disinergikan sesuai dengan roh dan jiwa
marhaenisme, sehingga tidak paradoks jika
diimplementasikan dalam langkah-langkah perjuangan.

Tujuan
Tujuan Kaderisasi Tingkat Menengah adalah
menyiapkan para kader menjadi kader pelopor yang siap
menjadi motor penggerak perjuangan untuk memimpin
rakyat menuju revolusi demi terwujudnya cita-cita
sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, maka para tiap-
tiap kader yang telah lulus dari KTM diharapkan telah
mampu memegang kantung-kantung massa dan
melakukan pengorganisiran di tiap kantung-kantung
massa tersebut.

Format Pengkaderan
Pengkaderan diharapkan dapat dilakukan di
tengah-tengah komunitas masyarakat marjinal dan
tertindas, misalnya perkampungan masyarakat miskin
pedesaan, perkampungan kumuh masyarakat miskin
perkotaan, perkampungan buruh perkebunan, dan lain-
lain. Dengan latar belakang komunitas tersebut,
diharapkan akan lebih membantu para kader dalam
upaya menerapkan wacana dan teori-teori yang dikuasai
sesuai dengan metode berpikir marhaenisme dengan
cara menatap dan menganalisa realitas sosial yang ada
di sekitar.
Format KTM dibagi dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah “KTM dalam ruang” yang berisi
pembekalan dan pematangan materi bagi seluruh kader.
Proses penyampaian materi dilakukan dengan cara
ceramah, dialog dan diskusi. Ceramah, dialog dan
diskusi bertujuan untuk mensinergikan teori dan
kerangka berpikir kader dengan metode berpikir dan
ideologi marhaenisme. Masa waktu KTM dalam ruang
paling lama adalah 7 (tujuh) hari.
Tahap kedua adalah “KTM luar lapang” yang
merupakan praktek langsung di lapangan. Setiap kader
diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakat
untuk mempraktekkan secara langsung materi-materi
yang telah diberikan selama KTM dalam ruang. Tiap
kader memegang satu kantung massa dengan pilihan :
komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas
nelayan, komunitas buruh, dan komunitas miskin kota.
Setiap kader harus berprofesi dan berpola perilaku sama
dengan komunitas tempat tinggal. Masa waktu KTM luar
lapang paling cepat 1 (satu) bulan dan paling lama 2
(dua) bulan. Hasil selama penerjunan tersebut kemudian
didokumentasikan dalam bentuk laporan tertulis yang
mengacu pada format baku (standarisasi) pembuatan
tesis.

Materi
Materi yang akan disampaikan dalam Kaderisasi
Tingkat Menengah adalah materi tentang: ideologi
kapitalisme, marxisme, dan marhaenisme;
keorganisasian mengenai teknik pengorganisiran,
pemetaan, negosiasi, agitasi propaganda, teknik
diplomasi (networking), manajemen aksi dan analisa
sosial. Materi pendukung lain yang akan dipergunakan
dalam KTM luar lapang adalah : studi kasus.

Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan oleh
sebuah kepanitiaan yang dibentuk oleh Dewan Pimpinan
Cabang. Kaderisasi Tingkat Menengah dilaksanakan
minimal 1 (satu) kali selama periode kepengurusan
Dewan Pimpinan Cabang. Pelantikan bagi kader-kader
yang dinyatakan lulus dilakukan oleh Presidium atau
dapat diwakilkan kepada Koordinator Daerah atas surat
mandat dari Presidium.
Kerangka Acuan
Materi Ideologi
Materi ideologi merupakan tindak lanjut dari
materi ideologi yang diberikan pada saat Kaderisasi
Tingkat Dasar untuk menguji kemampuan kader dalam
melakukan penganalisaan terhadap perkembangan
ideologi di dunia. Materi ideologi yang diberikan di
Kaderisasi Tingkat Menengah adalah pembelajaran
secara khusus tentang 3 (tiga) ideologi di dunia yaitu :
kapitalisme, marxisme, dan sosialisme (sosialis non
marxis). Materi tentang kapitalisme mencakup pada
penganalisaan perkembangan kapitalisme dimulai dari
tinjauan filsafat, sejarah permulaan kapitalisme, sampai
pada bentuk-bentuk perubahan (metamorfosa)
kapitalisme dalam kesejarahan. Di dalam penyampaian
materi kapitalisme juga dipandang perlu untuk ikut
mengupas tentang konsep negara kemakmuran (welfare
state) yang mulai dikembangkan pada masa paska
perang dunia II di beberapa negara eropa dan Amerika
Serikat sebagai salah satu wujud metamarfosa
kapitalisme.
Materi tentang marxisme mencakup
perkembangan marxisme dimulai dari tinjauan filsafat
yaitu Hegel, Feurbach sampai Marx, dilanjutkan pada
perpecahan kelompok marxisme dengan
mengetengahkan pokok-pokok pikiran kaum
revisionisnya mulai dari Vladimir Ilyitz Lenin, Rosa
Luxemburg, Antonio Gramsci, Eduard Bernstein, Karl
Kautsky, Leon Trotsky, Mao Tse Tung, Otto Bauer
(Austromarxis) sampai pada masa Frankfurt School.
Materi tentang sosialisme di luar marxisme minimal
mencakup 4 (empat) pemikiran yaitu : anarkisme/anarko
sindikalisme, postmodernisme, sosialisme agama dan
teologi pembebasan.
Setelah dilakukan penjabaran dari tiap-tiap
ideologi tersebut, materi selanjutnya adalah analisa
komparatif antara marhaenisme dengan marxisme, dan
marhaenisme dengan sosialisme di luar marxisme
dengan kapitalisme sebagai antitesa masing-masing
ideologi, untuk mengetahui letak kesamaan dan
perbedaan-perbedaan prinsip antara ideologi-ideologi
tersebut dengan marhaenisme sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis


besar Kerangka Acuan dari materi “ideologi” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Sejarah perkembangan kapitalisme
- Pokok-pokok pikiran Adam Smith (Wealth of
Nation)
- Merkantilisme
- Kolonialisme dan Imperialisme
- Neo liberalisme
- Negara Kemakmuran (Welfare State)
- Teori modernisme, dependensia dan sistem dunia
di negara dunia ketiga
2. Perpecahan marxisme
- Pokok-pokok pikiran V.I. Ulliavov/Lenin
- Pokok-pokok pikiran Leon Bornstein/Trotsky
- Pokok-pokok pikiran Antonio Gramsci
- Pokok-pokok pikiran Rosa Luxemburg
- Pokok-pokok pikiran Karl Kautsky
- Pokok-pokok pikiran Eduard Bernstein
- Pokok-pokok pikiran Mao Tze Tung
- Pokok-pokok pikiran Otto Bauer (Austro Marxis)
- Pokok-pokok pikiran Neo Marxis (Mazhab
Frankfurt)
(jika dipandang perlu, pemateri dapat menambahkan
beberapa tokoh)
3. Sosialisme di luar Marxis
- Anarkisme/Anarko Sindikalisme
- Postmodernisme
- Sosialisme Islam
- Teologi Pembebasan (jika dipandang perlu,
pemateri dapat menambahkan beberapa ideologi
lain)
4. Analisa Komparatif antar ideologi dengan memakai
kapitalisme sebagai antitesa
5. Marhaenisme dan marxisme
6. Marhaenisme dan Islam
7. Marhaenisme dan teologi pembebasan

Materi Keorganisasian
Materi keorganisasian meliputi teknik negosiasi,
agitasi-propaganda, teknik diplomasi (networking), dan
manajemen aksi. Teknik negosiasi adalah materi yang
membahas tentang cara-cara melakukan negosiasi
terutama dengan kekuatan-kekuatan kontra
revolusioner, baik lawan taktis maupun lawan strategis.
Teknik negosiasi lebih ditekankan pada metode
pendekatan dalam upaya mencegah dan mengarahkan
konflik agar berbalik menjadi satu kekuatan yang
mendukung kita untuk menghantam kekuatan lawan.
Teknik agitasi dan propaganda ditekankan pada upaya
mempengaruhi massa dengan cara membangun isu dan
opini yang mampu menyatukan massa dalam satu
kekuatan “massa aksi” yang mampu digerakkan sebagai
satu kekuatan revolusioner. Manajemen aksi ditekankan
pada cara dan teknik dalam melaksanakan aksi-aksi
baik yang bersifat taktis maupun strategis.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan dari materi “keorganisasian dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Teknik diplomasi
2. Manajemen issu
3. Aliansi taktis dan aliansi strategis
4. Penggalangan massa
5. Manajemen Aksi

Materi Analisa Sosial dan Studi Kasus


Materi analisa sosial adalah pendalaman dari
materi yang telah diberikan pada saat Kaderisasi Tingkat
Dasar. Materi analisa sosial di Kaderisasi Tingkat
Menengah lebih banyak ditekankan pada praktek di
lapangan secara langsung, dimana tiap kader diberikan
tugas dan tanggung jawab untuk melakukan analisa
sosial terhadap organ-organ sektoral yang antara lain :
petani, buruh, nelayan dan komunitas miskin kota.
Analisa sosial tersebut dilakukan dengan cara integrasi
langsung dalam kehidupan masyarakat (leave in) dengan
cara berprofesi dan berpola perilaku sesuai dengan
wilayah komunitas yang didiami. Selama proses
integrasi, setiap kader memiliki tugas untuk melakukan
pemetaan (maping) untuk mengidentifikasi variabel-
variabel pokok dan tidak pokok yang dihadapi oleh
masyarakat yang ia diami.
Setelah variabel-variabel pokok dan tidak pokok
telah diketahui secara jelas dan telah dianalisa secara
matang sampai ke sumber akarnya, maka setiap kader
dapat memulai pengorganisiran yang diawali dengan
cara membangun opini dan isu di komunitas yang ia
diami melalui agitasi dan propaganda. Selama proses
pengorganisiran tersebut, setiap kader akan dievaluasi
setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan untuk dilihat
dan diuji tingkat keberhasilannya dalam pengorganisiran
yang ia lakukan. Selama proses pengorganisiran, peserta
kader juga diwajibkan untuk membuat laporan tertulis
dalam format baku yang mengacu pada standarisasi
pembuatan tesis. Laporan tertulis tersebut akan
digunakan sebagai bahan evaluasi akhir peserta kader
untuk persiapan uji materi pendadaran dihadapan “tim
khusus” yang dibentuk oleh Dewan Pimpinan Cabang
dan atau Koordinator Daerah agar dapat dinilai dan
ditentukan lulus tidaknya kader. Tim khusus yang
dibentuk tersebut miminal meliputi unsur : filusuf,
ideolog antropolog/sosiolog, dan sejarawan.

Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP)

Maksud
Kaderisasi Tingkat Pelopor (KTP) adalah proses
pengkaderan formal tingkat akhir di dalam silabus
kaderisasi GMNI. KTP ditujukan bagi kader-kader yang
telah lulus dari Kaderisasi Tingkat Menengah. KTP
memiliki maksud untuk uji materiil setiap kader dalam
proses membangun sintesa sistem-sistem sosial di setiap
elemen masyarakat. Pembangunan sintesa sistem sosial
bersangkut paut pada pola dan tata cara yang dilakukan
kader dalam mengkonstruksi ulang bangunan sistem
sosial menuju pada cita-cita masyarakat sosialis
Indonesia.

Tujuan
Kaderisasi Tingkat Pelopor memiliki tujuan pokok
terbentuknya kader-kader pelopor yang siap dan
sanggup menjadi top leaders dengan bekal teori, mental
dan watak progressif revolusioner sehingga benar-benar
menjadi kader yang berkualitas. Dengan Kaderisasi
Tingkat Pelopor diharapkan setiap kader akan mampu
memanifestasikan ideologi marhaenisme dalam setiap
kehidupan pribadinya dan dalam langkah perjuangannya
sebagai leader rakyat.

Materi Pokok
Materi-materi yang disampaikan dalam Kaderisasi
Tingkat Pelopor adalah materi ideologi, organisasi dan uji
materi kemampuan kader dalam menyusun sintesa.
Materi ideologi melingkupi : kapitalisme, ideologi-ideologi
negara dunia ketiga, dan marhaenisme.
Materi Organisasi ditekankan pada materi net
working dan community organizing. Materi pendukung
lainnya adalah materi : sejarah dunia, perbandingan
sistem sosial politik dan sosial ekonomi negara-negara
dunia; dan strategi diplomasi untuk kepentingan
pengorganisiran massa.
Selain materi-materi tersebut di atas, di dalam
Kaderisasi Tingkat Pelopor masih akan diberikan materi
kemampuan khusus yaitu uji materi terhadap efektifitas
perjuangan kader dalam meng-construct ulang sistem
sosial masyarakat dalam sebuah komunitas sebagai uji
sintesa marhaenisme.

Format Pengkaderan
Format Kaderisasi Tingkat Pelopor dibagi dalam
dua tahap. Tahap pertama adalah “KTP dalam ruang”
yang berisi uji teori dan dialektika berpikir seluruh
kader. Proses penyampaian materi dilakukan dengan
cara mengeksplorasi pemikiran peserta, proses dialog
dan diskusi serta penyusunan karya tulis dengan
standarisasi disertasi, yang berisi sintesa kebangunan
sistem masyarakat berdasarkan sosialisme Indonesia.
Masa waktu “KTP dalam ruang” paling lama adalah 7
(tujuh) hari. Khusus untuk penyusunan karya tulis,
batas waktu yang diberikan adalah 6 (enam) bulan.
Tahap kedua adalah “KTP luar lapang” yang
merupakan uji materi kemampuan kader, dalam
menganalisa, mengorganisir, dan meng-construct sistem
kehidupan masyarakat berdasarkan asas-asas
marhaenisme. Tiap kader memilih satu komunitas antar
lain : komunitas petani/buruh perkebunan, komunitas
nelayan, komunitas buruh manufaktur, komunitas
miskin kota, atau komunitas lain atas pilihan kader
sendiri dengan syarat diusulkan untuk mendapatkan
persetujuan dari panitia KTP. Tugas kader di dalam
komunitas tersebut adalah melakukan analisa sosial,
melakukan pengorganisiran dan melakukan
perekonstruksian sistem kehidupan komunitas atas
dasar marhaenisme sebagai sintesa. Hasil-hasil
penganalisaan, pengorganisiran dan perekonstruksian
sistem didokumentasikan dalam bentuk karya tulis
ilmiah yang mengacu pada format baku penulisan
disertasi. Karya tulis ilmiah tersebut akan diuji melalui
pendadaran oleh “tim khusus” yang dibentuk oleh
Presidium. Tim khusus yang dibentuk tersebut miminal
meliputi unsur : filusuf, ideolog/antropolog, sosiolog, dan
sejarawan.

Pelaksana
Kaderisasi Tingkat Pelopor dilaksanakan oleh
sebuah kepanitian yang dibentuk dan disahkan oleh
Presidium GMNI. Kaderisasi Tingkat Pelopor
dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali selama satu
periode kepengurusan Presidium. Para kader yang lulus
dari Kaderisasi Tingkat Pelopor akan dilantik secara
langsung dan terbuka oleh Presidium di hadapan
pertemuan dalam “waktu yang diberikan secara khusus”
di sela-sela acara nasional GMNI (Kongres, Rakornas,
Seminar Nasional, atau agenda nasional lainnya).

Kerangka Acuan
Ideologi
Materi ideologi yang pertama adalah materi tentang
kapitalisme. Dalam materi tersebut yang ditekankan
adalah eksplorasi pemikiran kader tentang kapitalisme
yang diruntut dari sejarah perkembangan kapitalisme;
anatomi (ciri-ciri) kapitalisme; hubungan kapitalisme
dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dari eksplorasi tersebut diharapkan para
kader akan mampu menangkap dan menganalisa
perkembangan kapitalisme dalam putaran roda waktu.
Eksplorasi pemikiran kedua adalah tentang
perkembangan kapitalisme di Indonesia antara lain :
kekuatan-kekuatan kapitalisme di Indonesia, pengaruh
kapitalisme terhadap susunan politik, ekonomi dan
budaya masyarakat Indonesia; serta pemetaan
kapitalisme di dalam struktur politik pemerintahan
Indonesia. Dengan eksplorasi pemikiran tersebut
diharapkan para kader akan mampu memahami seluk
beluk perkembangan kapitalisme di Indonesia baik
dalam kehidupan masyarakat maupun dalam struktur
politik pemerintahan.
Materi ideologi yang kedua adalah pengeksplorasian
ideologi di negara-negara dunia ketiga dan negara maju
berikut tentang potensi, tantangan, peluang, dan
hambatan marhaenisme dalam upaya mengkonsolidasi
kekuatan negara-negara dunia ketiga. Dengan eksplorasi
pemikiran tersebut diharapkan para kader akan mampu
melihat marhaenisme sebagai ideologi alternatif yang
dapat menyatukan seluruh ideologi-ideologi dunia
khususnya negara dunia ketiga.
Materi ideologi ketiga adalah eksplorasi pemikiran
kader dari upaya-upaya yang telah, sedang dan akan
dilakukan kader untuk memanifestasikan marhaenisme.
Materi ini merupakan pembekalan materi guna
menghadapi uji materi “KTP luar lapang” dimana setiap
kader diuji untuk melakukan analisa, pengorganisiran
dan perekonstruksian sistem kehidupan masyarakat
menjadi susunan masyarakat sosialis Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan dari materi “ideologi” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Kapitalisme
- Sejarah perkembangan kapitalisme dunia
- Anatomi kapitalisme
- Metamorfosa kapitalisme saat ini
- Kapitalisme di negara dunia ketiga (beserta teori
yang membedahnya)
- Kapitalisme di Indonesia
- Kapitalisme di struktur politik pemerintahan
Indonesia
- Implikasi kapitalisme terhadap kehidupan politik,
ekonomi, budaya masyarakat Indonesia
2. Perbandingan sistem sosial politik dan sosial
ekonomi antar negara dunia ketiga.
1. Marhaenisme
- Marhaenisme sebagai ideologi dunia
- Marhaenisme sebagai alat pengkonsolidir negara
dunia ketiga
- Tantangan, peluang, dan hambatan marhaenisme
dalam roda perkembangan sejarah dunia
- Marhaenisme dalam kehidupan masyarakat
Indonesia
- Marhaenisme dalam manifestasinya

Materi Organisasi
Materi organisasi yang pertama adalah mengenai
net working yang menyangkut taktik dan strategi yang
digunakan oleh para kader dalam setiap gerakannya.
Taktik strategi yang dimaksud adalah taktik dan strategi
perlawanan terhadap “lawan taktis” dan “lawan
strategis”, serta taktik dan strategi aliansi dan
penggunaan kekuatan “kawan taktis” dan “kawan
strategis”. Dalam materi tersebut para kader diminta
untuk melakukan eksplorasi pemikirannya tentang cara-
cara memainkan peran dan pengelolaan issu yang baik
dalam upaya memetakan dan mematahkan kekuatan
lawan.
Materi organisasi kedua mengenai organizing yang
menyangkut tentang cara-cara machtvorming yang
dilakukan kader untuk tujuan massa aksi. Dalam materi
tersebut setiap kader diminta untuk melakukan
eksplorasi pemikiran tentang pemetaan struktur-
struktur sosial kemasyarakatan disertai dengan pola-
pola yang merujuk pada geografis, geo-politik dan
demografi komunitas bersangkutan. Materi organisasi
ketiga adalah eksplorasi pemikiran kader tentang metode
analisa yang dipakai terhadap segala persoalan di
masyarakat untuk menguji konsistensi pisau analisanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan materi “organisasi” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Kerja jaringan
- taktik strategi perlawanan terhadap kawan dan
lawan
- taktik strategi aliansi dan penggunaan kekuatan
kawan taktis dan strategis
- manajemen issu melalui agitasi dan propaganda
2. Pemetaan struktur sosial politik dan sosial
ekonomi masyarakat
1. Bangun kebudayaan
3. Taktik strategi pengorganisiran
4. Metode berpikir yang digunakan para kader
ditinjau dari pisau analisa materialisme dialektika

Materi studi kasus


Materi studi kasus merupakan uji materi
kemampuan kader dalam melakukan penganalisaan,
pengorganisiran, dan perekonstruksian sistem
masyarakat yang didasarkan pada asas-asas
marhaenisme. Dalam menguji kemampuan kader
tersebut, para kader diterjunkan langsung ke dalam
komunitas masyarakat khususnya : komunitas
petani/buruh perkebunan, komunitas nelayan,
komunitas buruh manufaktur, komunitas miskin kota,
atau komunitas lain atas pilihan kader sendiri dengan
syarat diusulkan untuk mendapat persetujuan dari
panitia KTP.
Selama proses penerjunan tesebut, setiap kader
memiliki tugas untuk melakukan pemetaan, analisa
sosial, pengorganisiran dan perekonstruksian sistem
kehidupan komunitas. Setiap proses harus
didokumentasikan dalam bentuk catatan tertulis dimana
catatan-catatan tersebut nantinya akan disusun dalam
sebuah bentuk karya tulis ilmiah yang mengacu pada
format pembuatan disertasi. Karya tulis ilmiah tersebut
akan diuji melalui pendadaran oleh “tim khusus” yang
dibentuk oleh Presidium. Tim khusus yang dibentuk
tersebut miminal meliputi unsur : filusuf,
ideolog/antropolog, sosiolog, dan sejarawan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara garis
besar Kerangka Acuan materi “studi kasus” dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Pemetaan sosial politik, sosial ekonomi dan sosial
budaya masyarakat
2. Analisa sosial dalam sebuah komunitas
3. Pengorganisiran massa menuju satu massa aksi
4. Perekonstruksian sistem kemasyarakatan ke dalam
susunan masyarakat atas dasar marhaenisme.
5. Pendokumentasian studi kasus dalam bentuk karya
tulis ilmiah yang mengacu pada format penulisan
standarisasi disertasi
6. Mekanisme pertanggung-jawaban kader selama studi
kasus melalui uji pendadaran di hadapan tim khusus
yang dibentuk oleh Presidium.
“Lenyapkan Sterilitiet
Dalam Gerakan
Mahasiswa”
Pidato Tertulis PYM Presiden Bung Karno Pada
Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Yogyakarta, 17
Februari 1959

Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan


Konferensi Besar GMNI ini.
Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan
GMNI adalah Marhaenisme.
Apa sebab saya gembira?
Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun
yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan
rakyat –suatu partai politik– yang asasnya pun adalah
Marhaenisme.
Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang
paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia.
Rumusannya adalah sebagai berikut:
Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan
masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya
menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner
sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.
Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan
“tegelijk”, menuju kepada hilangnya kapitalisme,
imprealisme dan kolonialisme.
Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena
nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme
yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum
Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.
Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu?
Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat
Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah
dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan
kolonialisme.
Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:
Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh)
Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan
Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum
Marhaenis?
Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap
patriot Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum
Marhaen itu, dan Yang bersama-sama dengan tenaga
massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem
kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan Yang
bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting
tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang
kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.
Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang
yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya
jelaskan di atas tadi.Camkan benar-benar!: setiap kaum
Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen
dan bersama-sama kaum Marhaen!
Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen
dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi
Besar GMNI dewasa ini?
Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak
kesimpang-siuran tentang tafsir pengertian kata-kata
Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.
Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini
saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara
praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam
lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia
besar daripada massa Marhaen.
Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan
menjadi steril!
Karena itu:
Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa!
Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum
Marhaen!
Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni!
Dan agar yang tidak murni terbakar mati!
Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat
kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan
berhasilLah Konferensi Besar ini.

Jakarta, 17 Februari 1959


PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
ttd

BUNG KARNO
BAPAK MARHAENISME
“Memikul Tanggung Jawab
Dalam Memenangkan
Pancasila”
Amanat PYM Presiden Bung Karno pada Konferensi
Besar GMNI di Jakarta, tanggal 20 Juli 1963

Terlebih dahulu saya menyatakan kegembiraan saya


dengan Konferensi Besar dari GMNI, dengan harapan
semoga GMNI terus maju dalam perjuangannya untuk
memenangkan seluruh cita-cita Revolusi nasional kita.
GMNI memikul suatu tanggung jawab yang besar sekali
dalam memenangkan Pancasila dan Manipol/USDEK.
Seperti sudah berkali-kali saya tegaskan, maka dalam
alam Manipol/Usdek ini, dasar-dasar pokok ideologi kita
harus teguh kita pegang teguh. Dan tidak hanya kita
pegang teguh, tetapi harus kita perluas, perdalam dan
perkembangkan di dalam praktik medan perjuangan.
Medan Perjuangan kita dewasa ini adalah terus
menyempurnakan Negara Kesatuan kita, terus
membanting tulang unutk membangun Sosialisme
Indonesia dan terus memupuk solidaritas dengan ”the
new emerging forces”.
Karena itu GMNI harus mempelopori pembinaan
Kesatuan Negara dan Bangsa dan mengkikis habis neo-
provinsialisme. Selain itu GMNI harus terus
berkonfrontasi dengan sisa-sisa kolonialisme dan neo-
kolonialisme, terutama yang sedang mengepung kita
seperti Malaysia sekarang ini.
Percayalah bahwa kepungan ini akan patah dan
berantakan karena zaman sekarang adalah zaman
kemenangannya pergerakan kemerdekaan nasional dan
zaman runtuhnya kolonialisme dalam bentuk apapun
juga.
Kesemua ini masuk dalam medan perjuangannya GMNI,
dan ideologi kita akan terus bersinar di tengah-tengah
medan perjuangan kita itu.
Saudara-saudara sekalian, selaku mahasiswa harus
menyadari hal ini dengan sungguh-sungguh, dan saya
percaya bahwa selaku mahasiswa, saudara-saudara di
samping menuntut berbagai ilmu pengetahuan akan
terus mengorganisasi rakyat agar supaya benar-benar
segala cita-cita untuk kemerdekaan, kemakmuran dan
keadilan dapat terlaksana.
Tetapi saudara-saudara selaku mahasiswa tidak boleh
berjuang secara “ngawur”. Kita harus berjuang dengan
teratur. Teratur dalam ideologinya dan teratur dalam
organisasinya! Barisan kita harus kokoh dan kuat.
Bukan hanya ideologinya, yang kokoh kuat, tetapi juga
keorganisasinya.
Saya minta supaya GMNI yang ideologinya adalah sudah
tegas, sekarang ini mempertegas kedudukan
organisasinya agar supaya dengan demikian perjuangan
kita dapat berhasil.
Sekali lagi “Selamat Berkonferensi”

Jakarta, 20 Juli 1963


PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
ttd
BUNG KARNO
BAPAK MARHAENISME

Anda mungkin juga menyukai