Tim Penyusun :
Moch Hilmi
Lutfi Nurhana
KATA PENGANTAR
MERDEKA!
GMNI JAYA!
MARHAEN MENANG!
Adapun tujuan penyusunan panduan PPAB ini secara umum yakni sebagai
pedoman dalam kegiatan PPAB dengan adanya paduan tersebut harapannya peserta lebih
mudah memahami dan megerti dan mampu melaksanakan kegiatan PPAB yang sesuai
dengan buku pedoman organisasi
GMNI lahir dengan identitasnya yang hakiki sebagai Organisasi Kader dan
Organisasi Perjuangan yang berlandaskan ajaran Bung Karno. Karena itu, dalam aktivitasnya
terdapat prinsip-prinsip perjuangan yang harus tetap melekat dalam tubuh GMNI dan menjadi
dasar perjuangan GMNI, yaitu;
GMNI berjuang untuk rakyat,
Kemudian kami akan membahas makna kata per huruf pada GMNI.
Pertama, makna “Gerakan” dalam nama GMNI, GMNI adalah organisasi gerakan yang
dilakukan oleh sekelompok manusia dengan status “Mahasiswa”, oleh karena itu GMNI disebut
juga sebagai “Student Movement”. Gerakan yang dimaksud adalah suatu upaya atau tindakan
yang dilakukan secara terencana dengan tujuan melakukan pembenahan/pembaharuan yang
meliputi semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, untuk
mencapai tujuan perjuangan.
Ketiga, makna “Nasional” dalam GMNI, GMNI adalah organisasi yang berlingkup
nasional. Artinya, bukan organisasi kedaerahan, keagamaan, kesukuan, atau golongan yang
bersifat terbatas dan sempit. Makna nasional juga mengandung pengertian bahwa
perjuanganGMNI bersifat Kebangsaan/Nasionalisme.
Setelah membahas makna kata per huruf pada GMNI, sekarang kami akan membahas,
makna “Huruf” pada penulisan GMNI. Huruf “G” dan “I” pada GMNI dengan huruf besar,
bahwa aspek Gerakan dan Indonesia menjadi bagian yang ditonjolkan oleh GMNI. Huruf “m”
dan “n” pada GMNI dengan huruf kecil, dalam posisi sejajar sama tinggi dengan huruf lainnya
adalah identitas/sifat GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang berfaham kebangsaan (Sosi-
Nasionalisme) seperti yang diajarkan oleh Bung Karno
Sebagai organisasi perjuangan, maka dalam setiap anggota GMNI melekat jiwa, roh dan
semangat sebagai pejuang GMNI mengutamakan perjuangan yang teroganisir, dan sebagai
mahasiswa Marhaenis yang progresif dan revolusioner, GMNI berjuang secara non kooperatif
dengan metode machsvorming dan machsweding.
Sedangkan sebagai organisasi kader, GMNI sekaligus sebagai organisasi massa, artinya
GMNI merupakan wadah pembinaan kader bangsa dan bertugas untuk mempersiapkan kader
yang berkualitas dan potensial untuk mengabdi pada bangsa dan Negara. Namun kualitas
tersebut berkorelasi secara positif dengan kuantitas kader
D. PANCALOGI GMNI
Kenapa Pancalogi disebut IROSI? Pancalogi diibaratkan sebuah pohon yang tumbang
ditengah jalan. I=ideologi kita gunakan sebagai acuan dasar pokok untuk berfikir bagaimana
kita memindahkan pohon tumbang tersebut dari tengah jalan. R=revolusi kita gunakan untuk
bergerak memindahakan pohon tersebut secara mendasar agar tidak menghalangi jalan lagi.
O=organisasi kita gunakan sebagai wadah untuk mengumpulkan orang yangmempunyai
tujuan yang sama dengan kita yang sama-sama dirugikan pohon tumbang tersebut. S=study
kita gunakan untuk mempelajari bagaimana cara memindahkan pohon tersebut secara
keseluruhan. Yang terakhir I=integrasi kita gunakan sebagai pengambilan posisi ditengah-
tengah kumpulan orang-orang untuk bersam-sama memindahakan pohon tersebut.
Sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader, GMNI mempunyai asas dan
doktrin Perjuangan yang menjadi landasan serta penuntun arah perjuangan GMNI. Adapun
asas dan doktrin perjuangan GMNI adalah
PANCASILA 1 JUNI
Kebangsaan atau Nasionalisme
Kemanusiaan atau Internasionalisme
Mufakat atau Demokrasi
Kesejahteraan Sosial
Ketuhanan Yang Maha Esa
a) Pendidikan
b) Penelitian
Asal mula pemikiran Bung Karno untuk membuat suatu ideology marhaenisme adalah
pada saat Bung Karno masih menjadi mahasiswa di ITB dia selalu memikirkan tentang rakyat
kecil di Indonesia, yang melarat dan papa sengsara karena sistem kolonialisme Belanda pada
saat itu. Kemudian untuk mencari nama bagi kaum melarat di Indonesia ia berjalan-jalan ke
Bandung Selatan dan disana Bung Karno bertemu dengan petani yang bekerja di sawah yang
bernama Pak Marhaen. Beliau melihat bahwa Pak Marhaen ini merupakan petani yang mandiri.
Dimana Pak Marhaen ini mempunyai tanah sendiri, alat produksi sendiri, rumah kecil, kerbau
sendiri akan tetapi kehidupan Pak Marhaen masih sangatlah melarat, kemudian dari sisni Bung
Karno memberikan nama Ideologinya “MARHAENISME”.
Tetapi ada juga yang menyatakan cerita diatas hanyalah fiksi belaka dan tidak nyata, ada
yang menyebutkan bahwa singkatan nama-nama tokoh sosialis dunia MAR=Marxis HA=Hagel
dan EN=Engel, tetapi tetap menjadi rahasia Bung Karno beliau menciptakan MARHAENISME
dari nama petani di Bandung atau dari nama-nama tokoh sosialis dunia
B. PENGERTIAN MARHEANISME
Marhaenisme adalah suatu ideology yang dibuat oleh Bung karno sebaga
ideology perjuangan bagi seluruh masyarakat yang tertindas oleh sistem kolonialisme
imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Marhaenisme sendiri menurut Bung Karno
harus melihat pada dua aspek, yaitu;
2. Filsafat matrealisme
Filsafat matrealisme yang atheis tidak seperti situasi dan kondisi di Indonesia. Akan
tetapi dalam penerapan Marxisme yang ada di dalam Marhaenisme Bung Karno mengambil
Historis Matrealisme yang itu sendiri digunakannya sebagai pisau analisa untuk membedah
keadaan bangsa Indonesia pada jaman sebelum kolonialisme. Bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang besar dan disegani di dunia. Akan tetapi pada jaman penjajahan (kolonial),
Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk sehingga Bung Karno mulai berpikir untuk mencari
sebab mengapa bisa menjadi seperti itu. Akhirnya Bung Karno memakai cara berpikir Dialektika
Matrealisme, yaitu gesekan antara teas dan antitesa yang menghasilkan sintesa. Kemudian
Bung Karno mempertemukan antara Declaration Of Independent dan Manifesto Komunis, dari
keduanya diambil intisari. Dari Declaration Of Independent beliau mendapatkan Persuit Of
Happiness, dan dari Manifesto Komunis didapatkan bahwa setiap manusia tidaklah harus
saling menindas untuk mendapatkan suatu kebahagiaan karena kebahagiaan, karena
kebahagiaan itu harusnya dirasakan bersama-sama. Akhirnya dari dua pemikiran itu Bung
Karno merumuskan Marhaenisme.
Marhaenisme adalah suatu azas yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang
didalam segala halnya mengentaskan berjuta-juta kaum marhaen. Marhaenisme adalah cara
perjuangan yang REVOLUSIONER sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya,
sekaligus sebagai cara untuk melakukan perlawanan terhadap sistem kapitalisme. Marhaenisme
memiliki aspek penting yang disebut Trisila sebagai asas GMNI, yaitu;
1. Sosio-Nasionalis
2. Sosio-Demokratis
Maksud dari Sosio-Nasionalis adalah suatu nasionalis yang terdiri dari kebangsaan dan
internasionalism (perdamaian dunia) yang artinya nasionalisme Indonesia bukan ala barat yang
serang menyerang demi kepentingan pribadi dan nasionalisme yang untung rugi. Nasionalisme
Indonesia adalah nasionalisme yang saling menghormati antara hak-hak manusia sebagai hak
dari Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati akan keberadaan bangsa lain sebagai sesama.
Inilah yang disebut nasionalisme Indonesia yang berperikemanusiaan(my nasionalism is
humanity). Nasionalisme tumbuh dalam dalam taman sarinya Internasionalism.
Yang terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa ialah bahwa Indonesia berdasarkan atas
ketuhanan, yang menghormati satu sama lain. Setiap warga Indonesia berhak untuk menyembah
Tuhan-nya masing-masing dengan leluasa secara kebudayaan dan kepercayaan masing-masing
yakni dengan meniadakan egoism agama dan ketuhanan yang benar tanpa ada paksaan. Oleh
Bung Karno diposisikan pada poin terakhir karena beliau menganggap bahwa pondasi yang kuat
akan mendirikan bangunan diatasnya menjadi kuat dan kokoh. Karena disini Bung Karno
seorang Insinyur maka beliau menganggap bahwa konsep tuhan ialah yang melandasi yang
menjadi dasar manusia dalam bergerak
C. ASAS PERJUANGAN MARHEANISME
Dalam ideology marhaenisme terdapat pula asas perjuangan yang menentukan
sifat dan watak perjuangan itu, garis-garis daripada itu bagaimana perjuangan itu. Asas
perjuangan daripada ideology marhaenisme adalah;
3. Radikal Revolusioner
Yaitu cara perjuangan untuk melakukan suatu perubahan secara mendasar dan cepat,
radikal revolusioner tidak ada hubungannya dengan kekerasan, akan tetapi cara
perjuangan yang skematik.
4. Non-Kooperatif
Yitu perjuangan dengan tidak melalui jalan kopromi dan meminta-minta dan Non-
Kooperatif ditunjukan pada sistem penindasan, dimana sistem itu menistakan
kemerdekaan individual dan keadilan sosial.
5. Machtvorming dan Machtanwending
Yaitu dalam melakukan sesuatu penyelesaian masalah dalam Negara, kita harus
mampu untuk menyelesaikan masalah itu dengan seluruh kemampuan kita.
7. Self Reliance
Yaitu dalam melakukan tindakan yang revolusioner, harus terdapat rasa percaya diri
yang kuat dalam diri bangsa Indonesia, karena hanya dengan rasa percaya diri yang
kuat dalam diri bangsa Indonesia, karena dengan rasa percaya diri yang kuat, maka
kita semua mampu bersaing dengan Negara-negara sehingga kita tidak merasa rendah
diri dengan apa yang kita capai sebagai bangsa Indonesia.
PENGANTAR KESARINAHAN
Peran perempuan untuk secara bahu-membahu bersama kaum laki-laki untuk menuju
dunia baru. Dunia baru, merupakan masyarakat yang adil dan sejahtera, tidak ada eksploitasi
antar manusia, maupun antar Negara, tidak ada kemiskinan dan kapitalisme, tidak ada
perbudakan, serta tidak ada lagi perempuan yang sengsara. Suatu tatanan masyarakat yang
penuh keadilan dan kesejahteraan, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka dan
sejahtera
Sarinah-Soekarno
Sarinah bukan siapa-siapa. Dia hanya wanita desa yang ikut menumpang pada pasangan
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Sarinah tidak digaji, atau dibayar. Dia
tinggal dan ikut makan di rumah keluarga itu dan membantu mengasuh Soekarno kecil. Soekarno
kecil sangat dekat dengan Sarinah. Mungkin Soekarno lebih dekat dengan Sarinah daripada
dengan Ibunya sendiri. Sarinah menemani Soekarno kecil bermain, makan, dan tidur. Soekarno
menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno.
Tetapi kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama seperti pengertian orang
di barat. Menurut Soekarno, Sarinah adalah dibu susunya dan punya jasa dalam
membesarkannya.
Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Soekarno mengenal cinta-kasih. Sarinah
mengajari Soekarno untuk mencintai Rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu
bergulir setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur di
dekat rumah. Soekarno selalu duduk di samping sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah
berpidato, “Karno, Pertama engkau harus mencintai manusia pada umumnya.” Pidato itu yang
dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi hati dan otak Soekarno,
sebelum sesuap makanan pun mengisi perutnya. Bung Karno hanya menyebutkan saat masih
kecil ia sering tidur seranjang dengan Sarinah. Namun, “ketika mulai besar, Sarinah sudah tidak
ada lagi.
Setelah kemerdekaan, Soekarno memberikan kursus pada wanita. Soekarno mengajarkan
peran wanita dalam berjuang dan berpolitik. Soekarno mengajarkan wanita bukan berarti harus
selalu ada di belakang.
Di masa kemerdekaan dan Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis
dan memiliki bargaining yang cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde
Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rezim
Orde Baru? Bila menggunakan definisi tradisional dimana gerakan perempuan diharuskan
berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan perempuan pada kala itu. Apalagi bila definisi
tradisional ini dikaitkan dengan batasan ala Alvarez yang memandang gerakan perempuan
sebagai sebuah gerakan social dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang
memperjuangkan keadilan Gender. Dan LAvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik
pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisiasi perempuan diabawah
payung organisasi lain dalam definisinya ini.
Namun definisi baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga dapat disimpulkan
di masa Orba puntelah muncul gerakan perempuan. Salah satu buktinya dalah munculnya
diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk menggantikan isitilah wanita.
Gerakan perempuan di masa rezim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi
antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro berhubungan dengan
politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin menguat di akhir tahun 80-an.
Sedangkan faktor politik mikro berkaitan tentang wacana perempuan yang mengkerangkakan
perspektif gerakan perempuan masa pemerintahan orba. Wacana-wacana ini termasuk
pendekatan Women in Development (WID) yebg telah mendominasi politik gender orba sejak
tahun 70-an, juga wacana feminism yang dikenal oleh kalangan terbatas (Kampus/akademis) dan
ornop.
2. Politik Gender dari Rezim Orba
Untuk memahami politik gender ini sangat penting. Menganalisis bagaimana rezim
Orba ini berhubungan dengan hubungan-hubungan gender sejak ia berkuasa setelah peritiwa
1965. Rezim orba dibangun atas kemampuannya untuk memulihkan keteraturan. Pembunuhan
berskala besar yang meluas yang muncul digunakan untuk memperkuat kesan di masyarakat
Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan. Rezim orba secara terus menerus
secara sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan anti agama serta penyebab
kekacauan.
Seterusnya Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan
pondasi politik genderyang secara mendasar mendelagitimasi partisipasi perempuan dalam
kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga
menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, Khususnya dalam
mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang mendasarkan
diri pada ibuisme, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari
peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender
ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen Negara, seperti GBHN, UU perkawinan Ni. 1
tahun 1974 dan Panca Dharma Wanita.
Dibawah rezim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh dan tidak
sekedar mendomertikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah
menggunakan tubuh perempuan sebagai insturmen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini
Nampak pada program KB yang dipaksakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos yang
tinggi, yang khususnya dirasakn oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan. Ringkasnya
politik gender orba telah berhasil membawa perempuan indoensia sebagai kelompok homogeny
yang apolitis dan mendukung peraturan otoritarian.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan disektor
strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di tanah air. Bukti
nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan yang masih sangat tinggi. Bila pada jaman
lampau kekerasan masih berbasis pada kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa
dalam struktur Negara dan budaya, maka kini diperlengkan dengan basis industrialisasi yang
mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.
1. Tingkat pertama,
perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Bung Karno menggunakan
tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai
cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat
perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi
mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun
patriarkisme dan ekses-eksesnya. Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan,
lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga.
“Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman
sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan
hartawan,” ungkap Bung Karno. Pelopor gerakan ini, tulis Bung Karno, adalah Madame de
Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Bung Karno,
tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum
patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.
2. Tingkatan kedua,
pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya
dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label
“emansipasi perempuan”. Bagi Bung Karno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak
terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam
hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di
dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik
perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis. Pelopor gerakan
tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat;
Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di
Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada
tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di
dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.
Bung Karno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die
Gleichheit. Bung Karno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan
perempuan dan perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja,
seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah
yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme
dan mendatangkan sosialisme.
Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Bung Karno berusaha menarik perbedaan antara
feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu
menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis
menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan
hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).” Dalam konteks Indonesia, Bung
Karno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi
menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita),
kemenangan tidak mungkin kita capai.”
Bung Karno mengajak kaum perempuan untuk menyadari keberadaannya, dan tidak ada yang
dapat membantu perempuan jika bukan datang dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran
harus muncul dari dalam diri kaum perempuan sehingga mereka sadar akan kewajiban dan
hak untuk bebas. Dan dengan munculnya kesadaran akan eksistensi perempuan dalam
pembangunan dan perjuangan maka secara bahu membahu bersama laki-laki bekerja sama
dalam emwujudkan suatu persatuan nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis yang
utuh.
Ucapan Bung Karno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini
adalah :” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta
mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat,
ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan
didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula
nanti didalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti
menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”
Dalam hal ini perempuan memiliki pengaruh besar terhadap cita-cita revolusi,
sehingga dibutuhkan perempuan yang progresif revolusioner, yang artinya perempuan yang
memiliki tekad, kecepatan serat ketepatan berfikir dalam mencari solusi atas permasalahan
berbangsa dsan bernegara.
Sehingga perempuan dan laki-laki diibaratkan sepasang sayap seekor burung. Jika
salah satu sayap tersebut patah maka burung tersebut tidak akan bisa terbang, namun jika sayap
tersebut dapat berjalan secara beriringan maka burung tersebut akan dapat terbang untuk
menggapai tujuannya. Dikembalikan pada perempuan dan laki-laki, jika dalam perannya
keduanya tidak bisa berjalan beriringan maka tujuan tidak akan tercapai, namun jika keduanya
dapat berjalan secara beriringan maka dunia baru yang telah dicita-citakanoleh kaum marhaenis
akan segera tercapai.