Anda di halaman 1dari 26

MODUL PEKAN PENERIMAAN ANGOTA BARU (PPAB ) DEWAN PENGURUS

KOMISARIAT GMNI INSTITUT KH ABDUL CHALIM (IKHAC)

(Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)

Tim Penyusun :

Moch Hilmi
Lutfi Nurhana
KATA PENGANTAR
MERDEKA!

GMNI JAYA!

MARHAEN MENANG!

Assalamualaikum, warohmatullahi wabarokatuh


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang dengan
nikmatnya seluruh kebajikan menjadi sempurna .yang dengan karunianya seluruh apa yang
terpetik dalam hati sanubari menjadi paripurna .dia lah pemilik cinta dan kasih yang tak
terhingga pemberi itegritas,dan inteleqtualitas . shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada pencetus cahaya ilahi Nabi Muhammad SAW

Adapun tujuan penyusunan panduan PPAB ini secara umum yakni sebagai
pedoman dalam kegiatan PPAB dengan adanya paduan tersebut harapannya peserta lebih
mudah memahami dan megerti dan mampu melaksanakan kegiatan PPAB yang sesuai
dengan buku pedoman organisasi

Terakhir semoga gerakan mahasiswa nasional Indonesia ( GMNI) khusus dewan


pengurus komisariat institut kh abdul chalim tetap eksis dan konsisten dalam marheanisme
ajaran bung karno di tengah tantangan yang sangat compleks tetaplah berjuang
mewujudkan sosialisme Indonesia dalam jalan marheanisme dengan semangat dan
optismisme kami menyusun panduan PPAB agar terciptanya kader - kader GMNI yang
militan dan memiliki jiwa kesadaran dalam mengimplementasikan azaz - azaz
marheanisme
PENGERTIAN DAN MAKNA LAMBANG GMNI

A. PENGERTIAN DASAR GMNI

GMNI lahir dengan identitasnya yang hakiki sebagai Organisasi Kader dan
Organisasi Perjuangan yang berlandaskan ajaran Bung Karno. Karena itu, dalam aktivitasnya
terdapat prinsip-prinsip perjuangan yang harus tetap melekat dalam tubuh GMNI dan menjadi
dasar perjuangan GMNI, yaitu;
 GMNI berjuang untuk rakyat,

 GMNI berjuang bersama-sama rakyat.

Kemudian kami akan membahas makna kata per huruf pada GMNI.

Pertama, makna “Gerakan” dalam nama GMNI, GMNI adalah organisasi gerakan yang
dilakukan oleh sekelompok manusia dengan status “Mahasiswa”, oleh karena itu GMNI disebut
juga sebagai “Student Movement”. Gerakan yang dimaksud adalah suatu upaya atau tindakan
yang dilakukan secara terencana dengan tujuan melakukan pembenahan/pembaharuan yang
meliputi semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, untuk
mencapai tujuan perjuangan.

Kedua, makna “Mahasiswa” dalam GMNI, GMNI sebagai organisasi mahasiswa


sehingga yang dapat menjadi anggota GMNI adalah mereka yang berstatus mahasiswa.
Namun demikian, bahwa mahasiswa yang menjadi anggota GMNI adalah mereka yang
menyetujui tujuan dan cara perjuangan GMNI.

Ketiga, makna “Nasional” dalam GMNI, GMNI adalah organisasi yang berlingkup
nasional. Artinya, bukan organisasi kedaerahan, keagamaan, kesukuan, atau golongan yang
bersifat terbatas dan sempit. Makna nasional juga mengandung pengertian bahwa
perjuanganGMNI bersifat Kebangsaan/Nasionalisme.

Keempat, makna “Indonesia” dalam GMNI, GMNI adalah organisasi yang


berkedudukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan oleh karenanya, GMNI bertugas dan
bertanggung
jawab serta mengutamakan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan seluruh
elemen pembentuknya terutama kaum MARHAEN. “Indonesia” dalam GMNI juga bermakna
sebagai symbol identitas GMNI yang berangkat dari proses kebangsaan Indonesia.

Setelah membahas makna kata per huruf pada GMNI, sekarang kami akan membahas,
makna “Huruf” pada penulisan GMNI. Huruf “G” dan “I” pada GMNI dengan huruf besar,
bahwa aspek Gerakan dan Indonesia menjadi bagian yang ditonjolkan oleh GMNI. Huruf “m”
dan “n” pada GMNI dengan huruf kecil, dalam posisi sejajar sama tinggi dengan huruf lainnya
adalah identitas/sifat GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang berfaham kebangsaan (Sosi-
Nasionalisme) seperti yang diajarkan oleh Bung Karno

B. GMNI SEBAGAI PERJUANGAN DAN ORGANISASI KADER

Sebagai organisasi perjuangan, maka dalam setiap anggota GMNI melekat jiwa, roh dan
semangat sebagai pejuang GMNI mengutamakan perjuangan yang teroganisir, dan sebagai
mahasiswa Marhaenis yang progresif dan revolusioner, GMNI berjuang secara non kooperatif
dengan metode machsvorming dan machsweding.

Sedangkan sebagai organisasi kader, GMNI sekaligus sebagai organisasi massa, artinya
GMNI merupakan wadah pembinaan kader bangsa dan bertugas untuk mempersiapkan kader
yang berkualitas dan potensial untuk mengabdi pada bangsa dan Negara. Namun kualitas
tersebut berkorelasi secara positif dengan kuantitas kader

C . SIFAT DAN TUJUAN GMNI


GMNI adalah organisasi yang bersifat independen dan berwatak kerakyatan.
Artinya, GMNI tidak berafiliasi pada kekuatan politik manapun, dan berdaulat penuh dengan
prinsip percaya pada kekuatan diri sendiri. Independensi GMNI tidak berarti netral, sebab
GMNI senantiasa pro-aktif dalam perjuangannya sesuai dengan asas dan doktrin perjuangan
yang dimiliki. Namun demikian, GMNI tidak independen dari kaum marhaen dan kepentingan
kaum marhaen.

Sebagai organisasi perjuangan maka tujuan perjuangan GMNI adalah mewujudkan


Indonesia yang berdaulat dibidang Politik, berdikari dibidang Ekonomi, dan berkepribadian
sesuai Budaya bangsa. Dan hal-hal itu bisa dicapai apabila Sosio-Nasionalis, Sosio-
Demokrasi, dan Ketuhanan Yang berkebudayaan

D. PANCALOGI GMNI

1. Ideologi : artinya perjuangan setiap anggota GMNI harus berlandaskan pada


ideology yang dianutnya, yakni Marhaenisme. Ideologi merupakan acuan dasar
pokok dalam perumusan format dan pola operasional pergerakan.
2. Revolusi : artinya perjuangan setiap anggota GMNI harus berorentasi pada perubahan
nilai-nilai kemasyarakatan dan susunan masyarakat secara revolusioner. Untuk
mencapai tujuan perjuangan. Revolusi bukan berarti pertumpahan darah, dengan cara
kekerasan tetapi jauh lebih substansi, perubahan cara pandang, revolusi pikiran
perubahan secara mendasar.
3. Organisasi : artinya perjuangan GMNI adalah perjuangan yang teroganisir yang
dilakukan secara sadar, sesuai dengan ideology GMNI.
4. Study : artinya sebagai organisasi mahasiswa maka titik berat perjuangan GMNI
terletak pada aspek study dalam rangka meningkatkan bobot intelektualitas. Amanat
Penderitaan Rakyat harus menjadi fokus pelaksaan study.
5. Integrasi : artinya perjuangan GMNI senantiasa tidak terlepas dari perjuangan
rakyat semesta. Setiap anggota GMNI harus selalu mengambil posisi ditengah-
tengah rakyat yang berjuang dan berjuang bersama-sama mereka.

Kenapa Pancalogi disebut IROSI? Pancalogi diibaratkan sebuah pohon yang tumbang
ditengah jalan. I=ideologi kita gunakan sebagai acuan dasar pokok untuk berfikir bagaimana
kita memindahkan pohon tumbang tersebut dari tengah jalan. R=revolusi kita gunakan untuk
bergerak memindahakan pohon tersebut secara mendasar agar tidak menghalangi jalan lagi.
O=organisasi kita gunakan sebagai wadah untuk mengumpulkan orang yangmempunyai
tujuan yang sama dengan kita yang sama-sama dirugikan pohon tumbang tersebut. S=study
kita gunakan untuk mempelajari bagaimana cara memindahkan pohon tersebut secara
keseluruhan. Yang terakhir I=integrasi kita gunakan sebagai pengambilan posisi ditengah-
tengah kumpulan orang-orang untuk bersam-sama memindahakan pohon tersebut.

E. ASAS DAN DOGTRIN PERJUANGAN GMNI

Sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader, GMNI mempunyai asas dan
doktrin Perjuangan yang menjadi landasan serta penuntun arah perjuangan GMNI. Adapun
asas dan doktrin perjuangan GMNI adalah

PANCASILA 1 JUNI
 Kebangsaan atau Nasionalisme
 Kemanusiaan atau Internasionalisme
 Mufakat atau Demokrasi
 Kesejahteraan Sosial
 Ketuhanan Yang Maha Esa

F. MAKNA LAMBANG GMNI

1. Perisai Segitiga Prisma atas adalah Trisakti, yang artinya :

a) Berdaulat dibidang politik

b) Berdikari dibidang ekonomi

c) Berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa


2. Perisai Segitiga Prisma bawah adalah Tridharma Perguruan Tinggi, yang artinya :

a) Pendidikan

b) Penelitian

c) Pengabdian terhadap masyarakat

3. Warna Lambang GMNI adalah Merah-Putih-Merah yang artinya adalah merah


itu diartikan berani, sedangkan putih diartikan suci. Maka arti warna dalam
lambing GMNI adalah KEBERANIAN YANG MENGAPIT KESUCIAN.
4. Lambang Bintang dalam Lambang GMNI adalah diartikan sebagai Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang dimana seluruh kader GMNI ini bertuhan dan beragama.
5. Lambang Banteng yang menghadap kiri diartikan sebagai perlawanan.
Perlawanan disini adalah perlawanan atas apa yang diperjuangkan, bukan
semata- mata kepentingan pribadi tapi kepentingan rakyat/masyarakat yang
dapat dikatakan adalah golongan mayoritas. Dan kenapa memakai hewan
banteng, karena banteng merupakan hewan yang soliter, hewan yang
independent, jika sendiri sudah mempunyai kekuatan yang besar apalagi
berkumpul.
PENGANTAR MARHENISME

A. CIKAL - BAKAL LAHIR NYA MARHENISME


Kata marhaenisme berasal dari kata marhaen dan isme. Marhaen yang katanya
berasal dari nama seorang petani yang bernama Pak Marhaen di jawa barat dari desa
cigalireng, Bandung Selatan pada tahun 1920-an.

Asal mula pemikiran Bung Karno untuk membuat suatu ideology marhaenisme adalah
pada saat Bung Karno masih menjadi mahasiswa di ITB dia selalu memikirkan tentang rakyat
kecil di Indonesia, yang melarat dan papa sengsara karena sistem kolonialisme Belanda pada
saat itu. Kemudian untuk mencari nama bagi kaum melarat di Indonesia ia berjalan-jalan ke
Bandung Selatan dan disana Bung Karno bertemu dengan petani yang bekerja di sawah yang
bernama Pak Marhaen. Beliau melihat bahwa Pak Marhaen ini merupakan petani yang mandiri.
Dimana Pak Marhaen ini mempunyai tanah sendiri, alat produksi sendiri, rumah kecil, kerbau
sendiri akan tetapi kehidupan Pak Marhaen masih sangatlah melarat, kemudian dari sisni Bung
Karno memberikan nama Ideologinya “MARHAENISME”.

Tetapi ada juga yang menyatakan cerita diatas hanyalah fiksi belaka dan tidak nyata, ada
yang menyebutkan bahwa singkatan nama-nama tokoh sosialis dunia MAR=Marxis HA=Hagel
dan EN=Engel, tetapi tetap menjadi rahasia Bung Karno beliau menciptakan MARHAENISME
dari nama petani di Bandung atau dari nama-nama tokoh sosialis dunia

B. PENGERTIAN MARHEANISME
Marhaenisme adalah suatu ideology yang dibuat oleh Bung karno sebaga
ideology perjuangan bagi seluruh masyarakat yang tertindas oleh sistem kolonialisme
imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Marhaenisme sendiri menurut Bung Karno
harus melihat pada dua aspek, yaitu;

1. Situasi dan kondisi di Indonesia

2. Pemahaman tentang ilmu marxisme

Di dalam marhaensime terdapat penerapan marxisme yang disesuaikan dengan kondisi di


Indonesia dimana hal tersebut dibedakan atas dua, yaitu;
1. Historis matrealisme

2. Filsafat matrealisme

Filsafat matrealisme yang atheis tidak seperti situasi dan kondisi di Indonesia. Akan
tetapi dalam penerapan Marxisme yang ada di dalam Marhaenisme Bung Karno mengambil
Historis Matrealisme yang itu sendiri digunakannya sebagai pisau analisa untuk membedah
keadaan bangsa Indonesia pada jaman sebelum kolonialisme. Bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang besar dan disegani di dunia. Akan tetapi pada jaman penjajahan (kolonial),
Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk sehingga Bung Karno mulai berpikir untuk mencari
sebab mengapa bisa menjadi seperti itu. Akhirnya Bung Karno memakai cara berpikir Dialektika
Matrealisme, yaitu gesekan antara teas dan antitesa yang menghasilkan sintesa. Kemudian
Bung Karno mempertemukan antara Declaration Of Independent dan Manifesto Komunis, dari
keduanya diambil intisari. Dari Declaration Of Independent beliau mendapatkan Persuit Of
Happiness, dan dari Manifesto Komunis didapatkan bahwa setiap manusia tidaklah harus
saling menindas untuk mendapatkan suatu kebahagiaan karena kebahagiaan, karena
kebahagiaan itu harusnya dirasakan bersama-sama. Akhirnya dari dua pemikiran itu Bung
Karno merumuskan Marhaenisme.

Kolonialisme, imperialisme, feodalisme bangsa asing merupakan anak cucu dari


kapitalisme. Akibat dari sistem ini rakyat Indonesia tidak mampu mewujudkan budi nuraninya.
Dalam marhaenisme terdapat pemikiran yang konsisten suatu ideology yang membela rakyat
dari penindasan dan pemerasan oleh suatu sistem. Marhaenisme adalah suatu pemikiran yang
berangkat dari kehidupan manusia yang substansial yang bersifat universal yaitu tuntutan budi
nurani manusia yang menghendaki kesejahteraan hidup manusia, dapat terpenuhi apabila sudah
tercipta harmonisasi antara kemerdekaan individu dengan keadilan sosial.

Marhaenisme adalah suatu azas yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang
didalam segala halnya mengentaskan berjuta-juta kaum marhaen. Marhaenisme adalah cara
perjuangan yang REVOLUSIONER sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya,
sekaligus sebagai cara untuk melakukan perlawanan terhadap sistem kapitalisme. Marhaenisme
memiliki aspek penting yang disebut Trisila sebagai asas GMNI, yaitu;

1. Sosio-Nasionalis
2. Sosio-Demokratis

3. Ketuhanan Yang Maha Esa

Maksud dari Sosio-Nasionalis adalah suatu nasionalis yang terdiri dari kebangsaan dan
internasionalism (perdamaian dunia) yang artinya nasionalisme Indonesia bukan ala barat yang
serang menyerang demi kepentingan pribadi dan nasionalisme yang untung rugi. Nasionalisme
Indonesia adalah nasionalisme yang saling menghormati antara hak-hak manusia sebagai hak
dari Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati akan keberadaan bangsa lain sebagai sesama.
Inilah yang disebut nasionalisme Indonesia yang berperikemanusiaan(my nasionalism is
humanity). Nasionalisme tumbuh dalam dalam taman sarinya Internasionalism.

Sedangkan maksud dari Sosio-Demokratis ialah suatu demokrasi yang benar-benar


digunakan untuk keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menggunakan kekuatan diri
sendiri. Dalam pidato Bung Karno di siding BPUPKI pernah berkata “Bahwa yang dapat
mempersatukan bangsa Indonesia adalah permusyawaratan”, dari sin I bisa digaris bawahi bahwa
setidaknya demokrasi yang benar dalam bangsa Indonesia melalui pragmentasi dan pisau analisa
kader GMNI adalah demokrasi terpimpin bukan demokrasi ala barat yang praksis. Demokrasi itu
mencari mufakat dari masing-masing individu. Dari sinilah muncul konsep Trisakti Bung Karno,
yaitu;

1. Berdaulat dibidang politik

2. Berdikari dibidang ekonomi

3. Berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa

Yang terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa ialah bahwa Indonesia berdasarkan atas
ketuhanan, yang menghormati satu sama lain. Setiap warga Indonesia berhak untuk menyembah
Tuhan-nya masing-masing dengan leluasa secara kebudayaan dan kepercayaan masing-masing
yakni dengan meniadakan egoism agama dan ketuhanan yang benar tanpa ada paksaan. Oleh
Bung Karno diposisikan pada poin terakhir karena beliau menganggap bahwa pondasi yang kuat
akan mendirikan bangunan diatasnya menjadi kuat dan kokoh. Karena disini Bung Karno
seorang Insinyur maka beliau menganggap bahwa konsep tuhan ialah yang melandasi yang
menjadi dasar manusia dalam bergerak
C. ASAS PERJUANGAN MARHEANISME
Dalam ideology marhaenisme terdapat pula asas perjuangan yang menentukan
sifat dan watak perjuangan itu, garis-garis daripada itu bagaimana perjuangan itu. Asas
perjuangan daripada ideology marhaenisme adalah;

3. Radikal Revolusioner

Yaitu cara perjuangan untuk melakukan suatu perubahan secara mendasar dan cepat,
radikal revolusioner tidak ada hubungannya dengan kekerasan, akan tetapi cara
perjuangan yang skematik.
4. Non-Kooperatif

Yitu perjuangan dengan tidak melalui jalan kopromi dan meminta-minta dan Non-
Kooperatif ditunjukan pada sistem penindasan, dimana sistem itu menistakan
kemerdekaan individual dan keadilan sosial.
5. Machtvorming dan Machtanwending

Machtvorming adalah penhimpunan kekuatan yang dilandasi suatu kesatuan


semangat dan, cita-cita, suatu penyusunan kekuatan berdasarkan mental ideolgi, dan
merupakan sumber untuk dalam menggunakan kekuatan. Sedangkan
Machtanwending adalah suatu penggerakan suatu kekuatan revolusioner dalam
mendobrak penindasan oleh sistem. Sehingga masa aksi kita, bukanlah masa aksi
yang sembarangan, akan tetapi masa aksi kita adalah masa aksi yang berideologi.
Sehingga revolusi yang kita lakukan memiliki tujuan yang jelas. Begitupula dengan
aksi masa yang kita lakukan, karena segala tindakan revolusioner kita dilakukan
dengan penuh tanggung jawab dan semata-mata untuk mencapai revolusi bersama.
6. Self Help

Yaitu dalam melakukan sesuatu penyelesaian masalah dalam Negara, kita harus
mampu untuk menyelesaikan masalah itu dengan seluruh kemampuan kita.
7. Self Reliance

Yaitu dalam melakukan tindakan yang revolusioner, harus terdapat rasa percaya diri
yang kuat dalam diri bangsa Indonesia, karena hanya dengan rasa percaya diri yang
kuat dalam diri bangsa Indonesia, karena dengan rasa percaya diri yang kuat, maka
kita semua mampu bersaing dengan Negara-negara sehingga kita tidak merasa rendah
diri dengan apa yang kita capai sebagai bangsa Indonesia.

PENGANTAR KESARINAHAN

Peran perempuan untuk secara bahu-membahu bersama kaum laki-laki untuk menuju
dunia baru. Dunia baru, merupakan masyarakat yang adil dan sejahtera, tidak ada eksploitasi
antar manusia, maupun antar Negara, tidak ada kemiskinan dan kapitalisme, tidak ada
perbudakan, serta tidak ada lagi perempuan yang sengsara. Suatu tatanan masyarakat yang
penuh keadilan dan kesejahteraan, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka dan
sejahtera
Sarinah-Soekarno

“Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah Revolusioner, tiada kemenangan


revolusioner, jika tiada perempuan yang revolusioner, dan tiada perempuan yang
revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”.

Sarinah bukan siapa-siapa. Dia hanya wanita desa yang ikut menumpang pada pasangan
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Sarinah tidak digaji, atau dibayar. Dia
tinggal dan ikut makan di rumah keluarga itu dan membantu mengasuh Soekarno kecil. Soekarno
kecil sangat dekat dengan Sarinah. Mungkin Soekarno lebih dekat dengan Sarinah daripada
dengan Ibunya sendiri. Sarinah menemani Soekarno kecil bermain, makan, dan tidur. Soekarno
menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno.
Tetapi kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama seperti pengertian orang
di barat. Menurut Soekarno, Sarinah adalah dibu susunya dan punya jasa dalam
membesarkannya.

Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Soekarno mengenal cinta-kasih. Sarinah
mengajari Soekarno untuk mencintai Rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu
bergulir setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur di
dekat rumah. Soekarno selalu duduk di samping sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah
berpidato, “Karno, Pertama engkau harus mencintai manusia pada umumnya.” Pidato itu yang
dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi hati dan otak Soekarno,
sebelum sesuap makanan pun mengisi perutnya. Bung Karno hanya menyebutkan saat masih
kecil ia sering tidur seranjang dengan Sarinah. Namun, “ketika mulai besar, Sarinah sudah tidak
ada lagi.
Setelah kemerdekaan, Soekarno memberikan kursus pada wanita. Soekarno mengajarkan
peran wanita dalam berjuang dan berpolitik. Soekarno mengajarkan wanita bukan berarti harus
selalu ada di belakang.

1. Gerakan Perempuan di Indonesia


Ketika masa prakemeredekaan, gerakan perempuan Indoensia ditandai dengan
munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini,
Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien, dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi di lingkungannya.
Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itupun baru
ke upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena
hanya sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan pada saat itu. Sementara Cut Nya’
Dienyang hidup dilingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukan kesetaraan dalam
perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah peletak dasar perjuangan
perempuan kini.

Di masa kemerdekaan dan Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis
dan memiliki bargaining yang cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde
Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rezim
Orde Baru? Bila menggunakan definisi tradisional dimana gerakan perempuan diharuskan
berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan perempuan pada kala itu. Apalagi bila definisi
tradisional ini dikaitkan dengan batasan ala Alvarez yang memandang gerakan perempuan
sebagai sebuah gerakan social dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang
memperjuangkan keadilan Gender. Dan LAvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik
pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisiasi perempuan diabawah
payung organisasi lain dalam definisinya ini.

Namun definisi baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga dapat disimpulkan
di masa Orba puntelah muncul gerakan perempuan. Salah satu buktinya dalah munculnya
diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk menggantikan isitilah wanita.

Gerakan perempuan di masa rezim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi
antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro berhubungan dengan
politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin menguat di akhir tahun 80-an.
Sedangkan faktor politik mikro berkaitan tentang wacana perempuan yang mengkerangkakan
perspektif gerakan perempuan masa pemerintahan orba. Wacana-wacana ini termasuk
pendekatan Women in Development (WID) yebg telah mendominasi politik gender orba sejak
tahun 70-an, juga wacana feminism yang dikenal oleh kalangan terbatas (Kampus/akademis) dan
ornop.
2. Politik Gender dari Rezim Orba

Sebagaimana Negara-negara berkambang lainnya, pemerintahan orba diidentikan


dengan peraturan yang otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak diikutsertakannya
partisipasi efektif partai partai politik dalam proses pembuatan keputusan. Anders Uhlin
berpendapat bahwa selain dominasi Negara atas masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik
global, struktur kelas, pembelahan atas dasar etnis dan agama, maka hubungan gender juga
mendukung kelanggengan kekuasaan rezim orba.

Untuk memahami politik gender ini sangat penting. Menganalisis bagaimana rezim
Orba ini berhubungan dengan hubungan-hubungan gender sejak ia berkuasa setelah peritiwa
1965. Rezim orba dibangun atas kemampuannya untuk memulihkan keteraturan. Pembunuhan
berskala besar yang meluas yang muncul digunakan untuk memperkuat kesan di masyarakat
Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan. Rezim orba secara terus menerus
secara sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan anti agama serta penyebab
kekacauan.

Seterusnya Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan
pondasi politik genderyang secara mendasar mendelagitimasi partisipasi perempuan dalam
kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga
menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, Khususnya dalam
mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang mendasarkan
diri pada ibuisme, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari
peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender
ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen Negara, seperti GBHN, UU perkawinan Ni. 1
tahun 1974 dan Panca Dharma Wanita.

Salam usaha memperkuat polutik gender tersebut, pemerintahan orba merevitalisasi


dan mengelompokknay organisasi-organisasi perempuan yang berafiliasi dengan deprtemen
pemerintahan pada tahun 1974. Organisasi-organisasi ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan
PKK) membantu pemerintah menyebarluaskan ideology gender ala orba. Gender politik ini telah
diwarnai pendekatan WID sejak tahun 70-an. Ini dapat dilihat dari repelita kedua yang
menkankan pada “partisipasi pouler” dalam pembangunan, dan mengkonsentrasikan pada
membawa perempuan supaya lebih terlibat pad aproses pembangunan.

Dibawah rezim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh dan tidak
sekedar mendomertikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah
menggunakan tubuh perempuan sebagai insturmen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini
Nampak pada program KB yang dipaksakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos yang
tinggi, yang khususnya dirasakn oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan. Ringkasnya
politik gender orba telah berhasil membawa perempuan indoensia sebagai kelompok homogeny
yang apolitis dan mendukung peraturan otoritarian.

3. Gerakan perempuan Pada Masa Reformasi

Bila sistem pemerintahan yang demokratis dianggap paling kondusif bagi


pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di
Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di
Indonesia dilihat dari segi kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif,
legislative maupun yudisill, justru ada penurunan disbanding masa-masa akhir rezim orba.
Namun secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan di pos-pos srategis,
seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan di Indonesia semakin terperbaiki.

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan disektor
strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di tanah air. Bukti
nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan yang masih sangat tinggi. Bila pada jaman
lampau kekerasan masih berbasis pada kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa
dalam struktur Negara dan budaya, maka kini diperlengkan dengan basis industrialisasi yang
mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.

Sosok perempuan pejuang Indonesia

Ucapan “Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah Revolusioner, tiada


kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan yang revolusioner, dan tiada perempuan yang
revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”. Merupakan suatu varian dari ajaran yang
mengatakan bahwa ; “ Tiadaaksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner”. “ Teori tak disertai
perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan”. Dari ungkapan ini
teringat kita akan doktrin yang diungkapkan oleh Kierkegaard yang mengatakan bahwa manusia
harus selalu mewujudkan angan-angan atau cita-citanya atau ada proses menjadi, dengan kata
lain jangan kita melulu membicarakan teori tanpa mempraktekannya tanpa berani
membuktikannya.
Revolusi merupakan suatu gerakan yang bertingkat yang masing-masing tingkatan
harus dilalui satu persatu, tidak bias satu tingkatan tidak dilalui atau satu tingkatan dijalankan
bersamaan dengan tingkatan yang didepannya. Masing-masing tingkatan yang hadir terlebih
dahulu merupakan dasar atau fondasi bagi tingkatan revolusi di depannya. Adapun elaborasi
tingkatan itu dijelaskan orleh Soekarno:

1. Tingkat pertama,
perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Bung Karno menggunakan
tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai
cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat
perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi
mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun
patriarkisme dan ekses-eksesnya. Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan,
lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga.
“Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman
sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan
hartawan,” ungkap Bung Karno. Pelopor gerakan ini, tulis Bung Karno, adalah Madame de
Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Bung Karno,
tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum
patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.

2. Tingkatan kedua,

pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya
dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label
“emansipasi perempuan”. Bagi Bung Karno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak
terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam
hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di
dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik
perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis. Pelopor gerakan
tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat;
Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di
Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada
tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di
dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.

Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis


mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan
kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia
menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas. Kemudian ada Olympe de Gouges,
mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Bung Karno memuji Olympe de Gouges
sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan
teror Robespiere. Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam
segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Bung Karno,
lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.
Namun, Bung Karno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab,
bagi Bung Karno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik,
tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan
kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi. Bagi Bagi Karno, selama
relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi
penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di
dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga:gerakan
perempuan sosialis.

3. Tingkatan ketiga ini,

yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Bung Karno, merupakan penyempurnaan


terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan
hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang
menindas rakyat—laki-laki dan perempuan. Bung Karno banyak merujuk pada ahli teori
Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi
dan Negara”. Karena itu, Bung Karno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas
dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin
penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.

Bung Karno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die
Gleichheit. Bung Karno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan
perempuan dan perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja,
seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah
yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme
dan mendatangkan sosialisme.

Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Bung Karno berusaha menarik perbedaan antara
feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu
menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis
menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan
hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).” Dalam konteks Indonesia, Bung
Karno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi
menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita),
kemenangan tidak mungkin kita capai.”
Bung Karno mengajak kaum perempuan untuk menyadari keberadaannya, dan tidak ada yang
dapat membantu perempuan jika bukan datang dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran
harus muncul dari dalam diri kaum perempuan sehingga mereka sadar akan kewajiban dan
hak untuk bebas. Dan dengan munculnya kesadaran akan eksistensi perempuan dalam
pembangunan dan perjuangan maka secara bahu membahu bersama laki-laki bekerja sama
dalam emwujudkan suatu persatuan nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis yang
utuh.

Ucapan Bung Karno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini
adalah :” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta
mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat,
ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan
didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula
nanti didalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti
menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”

Sarinah Dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Dalam hal ini perempuan memiliki pengaruh besar terhadap cita-cita revolusi,
sehingga dibutuhkan perempuan yang progresif revolusioner, yang artinya perempuan yang
memiliki tekad, kecepatan serat ketepatan berfikir dalam mencari solusi atas permasalahan
berbangsa dsan bernegara.

Sehingga perempuan dan laki-laki diibaratkan sepasang sayap seekor burung. Jika
salah satu sayap tersebut patah maka burung tersebut tidak akan bisa terbang, namun jika sayap
tersebut dapat berjalan secara beriringan maka burung tersebut akan dapat terbang untuk
menggapai tujuannya. Dikembalikan pada perempuan dan laki-laki, jika dalam perannya
keduanya tidak bisa berjalan beriringan maka tujuan tidak akan tercapai, namun jika keduanya
dapat berjalan secara beriringan maka dunia baru yang telah dicita-citakanoleh kaum marhaenis
akan segera tercapai.

Anda mungkin juga menyukai