Anda di halaman 1dari 20

Analisis Peran HMI dalam Pergulatan

Politik Indonesia (1947 1999)*

Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak
memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI
adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah
dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI, Lafran Pane, bahwa
bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu sudah merupakan
watak asli HMI semenjak lahir[1]. Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi
organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan
kepemudaan (ormas), yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan
teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai
anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor
penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang
dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya
dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi lain dikemukakan oleh Rusli
karim[2] dalam tulisannya; Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka
dengan permasalahan politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang
sangat tinggi dalam aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure
group).

Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini
menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas
organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam
aktivitas politik HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari
kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai
kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta
kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi
disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan sikap
moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya kecenderungan sikap
akomodatif[3] dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini
penguasa.
Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika
yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik
HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada
dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal,
faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan
kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal. HMI
yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam
sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari
komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam
yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat
dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah
SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI
akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena
sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka
pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-
aspiratif umat Islam.

I. Partisipasi Politik HMI periode 1947 1960

Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak kelahiran
HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan awal
berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan; pertama,
mempertahankan kemerdekaan negara Republlik Indonesia dan mempertinggi
derajat rakyat Indonesia; kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama
Islam[4]. Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua
fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang
dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran Islam
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI tidak
berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan oleh
Eggi Sudjana[5] dalam tulisannya;
Kedua anak kalimat tersebut mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak
kehadirannya di Indonesia. Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama
dakwah yang harus disampaikan pada seluruh umat manusia. Merujuk pada makna
ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa adanya stabilitas politik serta
keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat strategis bagi realisasi dakwah
islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan Indonesia sebagai tanah air yang
merdeka dan bebas dari penjajahan.sedangkan makna sosiologis adalah bahwa
mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan memihak serta memaknai
keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan spirit atau ruhul Islam, pada
gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat muslim yang tipikal
keIndonesiaan.[6]

Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan berarti
HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi dengan partai
politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada masa ini (Orla),
dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai Masyumi, padahal HMI
dengan independensinya tidak terikat secara formal (organisatoris) dengan partai
politik manapun. Kedekatan dengan partai politik atau ormas hanyalah karena HMI
memiliki persamaan aspirasi keIslaman dan semangat modernis dengan
organisasi tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI sebagai independensi etis[7].
Pada periode ini, pucuk kepemimpinan di PB HMI akan sangat menentukan
arah dari gerakan politik HMI, sebab periode ini adalah masa konsolidasi internal
HMI. Periode ini memunculkan tiga karakter pemimpin HMI yang agak berbeda
dalam memahami dan memanifestasikan rumusan pemikiran keIslaman-
keIndonesiaan HMI, menyebabkan arah gerakan HMI lebih dinamis. Tiga ketua
umum HMI yang memberikan warna khas pada gerakan politik kurun waktu ini
antara lain; Dahlan Ranuwihardjo (periode 19511953), Deliar Noer (periode 1953
1955), dan Ismail Hasan Metareum (periode 19571960).
Masa kepemimpinan Dahlan[8] merupakan masa terjalinnya hubungan
harmonis antara HMI dengan kekuasaan (Sukarno). Dia yang berasal dari
lingkungan keluarga yang nasionalis, menyebabkan semangat nasionalismenya
sangat kental baik dalam kepribadiannya maupun pengaruhnya terhadap gerakan
HMI. Hal inilah yang menyebabkan HMI cenderung bisa berjalan beriringan dengan
pemerintah Orla yang nota bene didominasi kelompok nasionalis. Namun dilain
pihak, kedekatan HMIMasyumi tetap dijaga karena secara sosio-aspiratif memiliki
kesamaan kepentingan. Sejak masa inilah, sikap moderat HMI mulai kelihatan
bentuknya, karena secara teologis / ideologis gerakan HMI lebih dekat dengan
Masyumi tapi disisi lain semangat kebangsaan HMI menjadikannya harmonis
dengan penguasa yang nasionalis. Pada masa kepemimpinannya, dia berhasil
membentuk citra dan karakteristik kepribadian kader HMI; pertama berintegrasi
dengan dan dalam kehidupan kebangsaan; kedua, berpikir, bersikap, dan
melangkah secara mandiri (independen); ketiga, ikut memelihara ukhuwah
Islamiyah[9].
Berbeda dengan masa Dahlan, masa Deliar Noer justru semangat keIslaman
yang lebih menonjol dan kental dalam gerakan organisasi HMI. Selain karena faktor
background keluarganya yang berasal dari keluarga santri, juga pada masa
kepemimpinannya dihadapkan pada persoalan keumatan yang mengharuskan HMI
terlibat secara aktif di dalamnya. Aspek sosio-aspiratif umat menuntut gerakan HMI
lebih tegas dalam bersikap, terutama kaitannya dengan peran dan kedudukan umat
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan HMI yang paling
menonjol pada masa Deliar Noer ini adalah kentalnya ghirah Islamiyah dalam
seluruh dimensi aktivitas HMI. Dalam aktivitas internal HMI, Nilai-nilai keIslaman
mulai tertanam kuat dan menemukan formatnya. Sedangkan aktivitas eksternal
memperlihatkan posisi HMI yang mesra dengan partai-partai Islam. Kemesraan ini
bisa dilihat dari kebijakan PB HMI dalam merespon kondisi sosio-politik Indonesia
yang akan menghadapi pemilu pertamanya. Menjelang pemilu 1955, PB HMI
mengeluarkan pernyataan agar kader HMI dan umat Islam menjatuhkan pilihannya
pada partai-partai berbasis Islam[10]. Kebijakan politik yang diambil HMI pada
peristiwa ini memperlihatkan pola gerakan HMI masa itu yang cenderung lebih
menonjolkan sifat independensi etisnya.
Pola gerakan politik HMI pada masa kepemimpinan Ismail Hasan Metareum (1957
1960) pun ternyata mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Dua faktor
penyebab hal itu terjadi adalah; secara internal, nilai-nilai keIslaman yang sudah
ditanamkan sangat kuat sejak masa Deliar Noer banyak mempengaruhi pola
gerakan HMI pada masa ini. Nilai-nilai Islam dalam kehidupan berorganisasi dan
individu kader HMI sudah semakin terimplementasi dengan baik. Sedangkan faktor
eksternal adalah kondisi sosi-politik Indonesia yang menuntut HMI untuk melakukan
gerakan yang agak berbeda dengan kultur gerakan politik sebelumnya, bahkan
dianggap cukup ekstrim.
Gerakan politik yang paling menonjol pada masa ini adalah dukungan HMI kepada
partai-partai dalam memperjuangkan dasar negara yang berdasarkan pada ajaran
Islam. Menurut Agussalim Sitompul[11], hal ini adalah merupakan bentuk respon
HMI terhadap kondisi sosio-politik dan sosio-aspiratif yang ada, dimana masa itu
kekuatan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sangat kuat sehingga
dikhawatirkan oleh HMI akan mampu merubah haluan negara ini jadi komunis.
Untuk itu dalam kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1957 mengeluarkan rekomendasi
yang berisi tuntutan agar Islam dijadikan dasar negara republik Indonesia. Dasar
argumentasi dari kebijakan yang diambil HMI dalam kongresnya itu, dijelaskan
Agussalim Sitompul ;
Gagasan yang menuntut agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Republik
Indonesia perlu ditafsirkan lebih jauh. Agama Islam adalah agama universal, agama
yang mempunyai ajaran atau tuntunan tentang masalah-masalah keduniaan
maupun keakhiratan.Islam menjamin bahwa kehidupan bangsa akan lebih baik
bagi seluruh rakyat tanpa membedakan agama, suku dan derajat. Islam itu adalah
rahmatan lil alamin, tanpa orang terlebih dahulu untuk masuk Islam.[12]

Selain itu, dalam kongresnya itu HMI pun mengeluarkan keputusan bahwa
komunisme bertentangan dengan Islam. Dilihat dari perspektif politik, kondisi saat itu
memungkinkan bagi HMI mengeluarkan statement yang konfrontatif dengan PKI,
karena dua alasan; pertama, dalam sidang-sidang konstituante sejak tahun 1956,
PKI sangat menentang upaya umat Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara RI, disamping itu pengaruh PKI yang sangat kuat dan dekat dengan Sukarno
dikhawatirkan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah khususnya dalam
masalah keagamaan di Indonesia yang dinilai HMI bisa merugikan umat beragama
yang di Indonesia, karena paham komunisme tidak mengenal yang namanya
agama; kedua, sikap HMI yang berani berkonfrontasi dengan PKI, selain masalah
teologis / ideologis, juga masih eksisnya partai-partai Islam yang bisa melindungi
eksistensi HMI saat itu.
Secara umum kurun waktu 19471960 ini, menggambarkan posisi HMI dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang dijelaskan Deliar Noer ;
Pertama HMI sebagai organisasi pemuda Islam, memiliki tanggung jawab sebagai
agent of change bangsa dan negara; kedua, sebagai organisasi mahasiswa,
memiliki tanggung jawab dalam problema dunia kemahasiswaan khususnya dan
perguruan tinggi umumny; dan ketiga, sebagai pendukung dasar Islam, bertanggung
jawab terhadap operasionalisasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan.[13]

II. Partisipasi Politik HMI periode 1961 1966

Periode ini adalah masa yang sangat menentukan bagi umat Islam termasuk
HMI di dalamnya dalam menentukan arah perjuangannya di masa depan, sebab
pada periode ini dinamika kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sangat
kental dengan konflik dan friksi-friksi. Hal ini muncul sebagai akibat dari kebijakan
yang diambil penguasa (Sukarno) yang kurang aspiratif dan tidak memahami realitas
sosio-politik maupun sosio-kultural masyarakat Indonesia. Periode ini ditandai
dengan diterapkannya sistem demokrasi terpimpin yang cenderung meligitimasi
Sukarno untuk menjadi presiden seumur hidup, dan diterapkannya konsep
NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) sebagai sebuah formulasi politik yang
dibuat Sukarno. Dua hal tersebut pada penerapannya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melahirkan implikasi politik yang sangat besar dan menyeret
masyarakat ke dalam konflik horizontal. Kasus PRRI dan Permesta adalah bukti dari
implikasi negatif atas kebijakan Sukarno yang bersifat otoriter. Ekses turunan dari
peristiwa itu adalah dipaksanya Masyumi dan PSI untuk membubarkan dirinya
sebagai partai politik. Bahkan ormas seperti Gerakan Pemuda Islam (GPI) pun
terpaksa harus bubar akibat ketidaksepakatannya terhadap kebijakan Sukarno.[14]
Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi organisasi berbasis Islam,
karena pengaruh dan kekuatan PKI ternyata mampu mempengaruhi arah kebijakan
Sukarno. HMI yang pada masa sebelumnya ikut terlibat dalam perjuangan ideologis
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara RI, gerakan politiknya pada periode
ini mengalami hambatan politis yang sangat besar. Oleh karenanya, gerakan politik
HMI periode ini cenderung lebih akomodatif terhadap kebijakan penguasa. Sikap
HMI ini bisa dilihat dari penerimaan konsep Nasakom oleh HMI.[15]
Gerakan HMI yang sudah terhegemoni oleh kekuasaan terlihat dari beberapa
aktivitasnya yang tidak lagi mampu memperlihatkan kritisismenya terhadap
persoalan kebangsaan yang ada, tidak seperti pada masa sebelumnya. Ketika
peristiwa PRRI terjadi dan banyak tokoh Masyumi yang ditangkap dan dipenjara
tanpa melewati proses peradilan, HMI malah mendukung upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dan ikut mengecam kasus PRRI. Gerakan lain yang
memperlihatkan sikap akomodatif HMI antara lain, ikut mendukung gerakan
konfrontasi IndonesiaMalaysia (dwikora) yang dikobarkan Sukarno dan HMI pun
ikut serta dalam menyuarakan slogan-slogan revolusioner Sukarno.[16]
Pola gerakan HMI yang dijalankan pada masa demokrasi terpimpin ini, memang
sangat berbeda dengan corak gerakan periode sebelumnya. Pola gerakan ini
dilakukan HMI berdasarkan pada beberapa alasan ;[17]
1. Arus perubahan yang sedang menggelora tidak mungkin dihadapi secara forrmal,
apalagi oleh sebuah organisasi seperti HMI.
2. HMI meskipun bukan menjadi tujuan, dan hanya sekedar alat, eksistensinya tetap
harus dipertahankan sebagai sarana mencapai tujuan.
3. Situasi yang terjadi saat ini berlandaskan pada sendi-sendi yang rapuh dan tidak
wajar.
Merespon kondisi dan situasi bangsa Indonesia dan umat Islam yang sedang terjadi,
dalam keputusan kongresnya ke6 di Makasar pada Juli 1960, HMI menetapkan
garis kebijakan keluar yang antara lain ;
1. HMI tetap mengambil bagian dalam perjuangan untuk kepentingan agama dan
bangsa dalam bidang-bidang yang dimungkinkan oleh azas dan tujuan HMI.
2. HMI sebagai milik seluruh umat Islam tetap mengusahakan kerjasama serta
persatuan dan kesatuan antara segenap organ Islam dalam masyarakat Indonesia.
3. Mengusahakan hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan lembaga lain
yang tidak bertentangan dengan azas dan tujuannya, serta tidak merugikkan HMI.
4. Mengusahakan agar HMI turut dalam segala bidang kehidupan dengan nafas
Islam dalam masyarakat Indonesia.[18]

Sikap akomodatif dan kompromis HMI periode awal demokrasi terpimpin


ternyata tetap tidak menguntungkan HMI. Sebab ternyata PKI dengan kekuatan
CGMI-nya[19] terus berupaya memperlemah gerakan HMI, bahkan tujuan akhirnya
adalah pembubaran HMI oleh pemerintah, seperti yang dilakukan terhadap GPII.
Akibat dari gesekan yang sangat keras antara HMI dengan CGMI / PKI
menimbulkan simpati dikalangan organisasi Islam[20] lainnya, sehingga mereka
tampil ke depan membela HMI agar tidak dibubarkan pemerintah. HMI dan ormas
Islam lainnya bergerak bersama melakukan perlawanan terhadap dominasi PKI,
yang pada prosesnya melahirkan satu ikatan ukhuwah Islamiyah yang sangat erat
antar elemen gerakan Islam. Adanya musuh bersama (PKI) menyebabkan tidak
hanya golongan Islam yang bersatu padu melawan PKI, tetapi juga memunculkan
semangat gerakan baru yang lebih luas yang melewati sekat-sekat primordialisme.
Gerakan ini pada akhirnya nanti berubah jadi kekuatan besar yang berhasil
menumbangkan Orla.
Pada akhir periode ini, sikap kritisisme HMI kembali tampil dalam merespon
kondisi sosio-politik Indonesia yang dinilai HMI sudah mengarah pada proses
kehancuran nation state. Kasus G 30/S PKI merupakan awal dari perlawanan nyata
rakyat terhadap kekuasaan, sekaligus akhir dari kejayaan Orla. Kasus ini menjadi
triger dalam melakukan gerakan perlawanan terhadap Orla yang dinilai telah gagal
membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Gerakan HMI pada tahun 1965-an
menjadi pelopor perlawanan terhadap rezim Orla sekaligus tuntutan pembubabaran
PKI. Gerakan HMI yang vis a vis dengan pemerintah merupakan akumulasi
kekecewaan HMI terhadap pemerintah yang dianggap terlalu memihak pada satu
kelompok kepentingan. Tampilnya HMI sebagai pressure group pada tahun 1966
lewat organ KAMI-nya, memperlihatkan bahwa peranan HMI dalam aspek
kebangsaannya senantiasa mewarnai setiap langkah aktivitasnya.

III. Partisipasi Politik HMI periode 1967 1986

Fenomena yang cukup menarik mengenai gerakan politik HMI pada periode
ini adalah sikap dan pandangan politiknya mengenai pelaksanaan pemilu dan
pemilihan presiden yang terjadi pada masa orde baru, yaitu pada tahun 1971, 1977,
dan 1982. Pemilu tahun 1971 merupakan pemilu pertama yang dilangsungkan pada
masa orde baru, karenanya HMI memandang bahwa pemilu bagaimanapun
kondisinya harus tetap dilaksanakan, karena selama hampir 16 tahun Indonesia
tidak pernah melaksanakan pemilu. Dipandang dari segi pembangunan demokrasi di
Indonesia, pelaksanaan pemilu merupakan usaha positif bagi pendidikan politik
kepada rakyat yang diharapkan memunculkan sikap dan semangat untuk ikut
memikul tanggung jawab kenegaraan secara bersama antara pemerintah dan
rakyat.[21]
Sejalan dengan pandangan politiknya itu, HMI dengan penuh kesadaran dan
pertimbangan mendukung usaha pemerintah orde baru untuk melaksanakan pemilu
tahun 1971, meskipun HMI menilai bahwa RUU pemilu yang sedang digodok oleh
DPR GR cenderung tidak demokratis. Menyikapi pro kontra terhadap pelaksanaan
pemilu, HMI memandang;
Ditinjau dari segi pembinaan demokrasi di Indonesia, pelaksanaan pemilu merupakan
usaha positif bagi pendidikan politik kepada rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab
kenegaraan. Pemilu merupakan salah satu cara terbaik untuk mewujudkan dan
melaksanakan kedaulatan rakyat.Menunda pemilu sampai pada waktu tertentu bukan
merupakan solusi yang tepat. Tidak ada garansi yang dapat dipercaya bahwa dengan
menunda pemilu, stabilitas politik akan tercapai dan terjamin dengan sendirinya. Selain
itu, pemilu adalah sarana pembangunan bangsa (nation state) yaitu pembangunan jiwa
demokratis.[22]

Sebagai realisasi dari pandangannya itu, HMI menganjurkan segenap warga


HMI untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu 1971, betapapun tidak
demokratisnya UU pemilu. Bahkan dalam Sidang Pleno IV HMI, 22-24 Mei 1970 di
Jakarta, dibahas secara khusus sikap HMI menghadapi pemilu 1971. Keputusan
yang dihasilkan dalam sidang itu antara lain, pertama, memutuskan bahwa HMI
sebagai organisasi independen tidak terikat dan tidak berafiliasi pada satu partai
politik manapun; kedua, HMI menganjurkan kepada anggotanya untuk
menggunakan hak pilihnya sesuai dengan aspirasi sendiri.[23] Ada dua aspek
penting pada peristiwa pemilu 1971 ini; pertama adanya sikap kompromis HMI
terhadap kondisi yang ada. HMI sudah mengetahui bahwa UU pemilu kemungkinan
besar tidak demokratis, tetapi tetap menginstruksikan agar anggotanya
menggunakan hak pilihnya; kedua, adanya sikap moderat. Berbeda dengan pemilu
tahun 1955 dimana HMI menginstruksikan untuk memilih partai-partai Islam[24],
pada pemilu 1971 kader HMI diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan
aspirasinya masing-masing.
Dalam kongres HMI keX tahun 1971 di Palembang, HMI mengeluarkan
beberapa rekomendasi bidang politik sebagai bentuk respon HMI terhadap kondisi
sosi-politik yang sedang berlangsung ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rekomendasi itu memiliki dua substansi pemikiran; Pertama, menurut pandangan
HMI, pada pemilu 1971 political enthusiasm pemerintah dan rakyat Indonesia
mengalami kecenderungan menurun, sehingga menimbulkan kesan sementara
pihak bahwa politik, no pembangunan, yes. HMI memandang bahwa antara
aspek pembangunan politik dan pembangunan ekonomi di Indonesia haruslah
balance, sebab keberhasilan pembangunan baru bisa terwujud dan dinikmati
bersama bila terciptanya pemerintahan yang jujur dan bersih; kedua, HMI
mendesak dilakukannya pembaharuan sistem dan struktur politik di Indonesia.
Point-point penting yang disoroti dalam pembaharuan struktur politik yang dimaksud
HMI antara lain;
1. Menyederhanakan struktur parpol, dengan tujuan memfungsikan kembali parpol
secara wajar. Menurut HMI hal itu harus dilakukan dengan dua tahap yaitu
penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR terlebih dahulu, kemudian penyederhanaan
parpol itu sendiri.
2. Meletakkan kembali fungsi dan status golongan karya (golkar) pada proporsinya.
Fungsi dan status golkar harus diperjelas. Golkar disatu pihak berfungsi sebagai
parpol, dilain pihak tidak menyatakan dirinya sebagai golongan karya. HMI
memandang, golkar bertindak sebagai partai pemerintah sehingga golkar akan
mudah menjadi sumber permainan politik dalam kancah berbagai macam intrik
politik yang bisa saling berebut pengaruh di dalamnya. Oleh karena itu, HMI
mengingatkan ;
a. Agar golkar diproporsionalkan kembali menjadi golongan karya murni.
b. Golkar harus bisa melepaskan kaitannya dengan pemerintah dan ABRI.
c. Golkar diposisikan sama sebagai suatu parpol yang punya fungsi dan peran
setaraf dengan partai-partai politik lainnya.
3. Pemerintah harus bisa melakukan pembinaan terhadap floating mass. Hal ini bisa
dengan jelas dan tegas dilakukan apabila fungsi dan status golkar jelas dan
proporsional.[25]
Menghadapi pemilu kedua tahun 1977, pola gerakan politik HMI kembali
menunjukan sikap moderatnya yang cenderung akomodatif dan kompromis terhadap
realitas sosi-politik yang terjadi. Partisipasi politik HMI tidak jauh berbeda dengan
tahun 1971 dalam menyikapi pemilu 1977. Mengambil pelajaran dari pesta
demokrasi 1971, dan memperhatikan perkembangan realitas sosial politik
masyarakat Indonesia dalam kehidupan kebangsaan, serta jalannya roda
pemerintahan selama kurun waktu 1971-1977, maka HMI menelorkan beberapa
pemikirannya sebagai bentuk partisipasi politik HMI dalam merespon dan
menghadapi pemilu 1977, yang dibahas secara khusus dalam Sidang Pleno I HMI di
Ciloto, 27-29 Mei 1977. Bentuk-bentuk pemikiran politik HMI ini antara lain
1. HMI mengharapkan agar kemenangan pemilu 1977 merupakan kemenangan
kualitatif, yakni tegaknya iklim demokrasi yang sehat disertai perbaikan kehidupan
rakyat secara berkesinambungan, sesuai dengan semangat UUD45 dan Pancasila.
Oleh karenanya, HMI berharap agar pemilu dilaksanakan dan berjalan secara jujur,
bersih, bebas dan rahasia, dan menjauhkan rakyat dari perasaan ragu dan takut.
2. Mengenai kampannye pemilu, HMI memandang bahwa kampanye seharusnya
bermakna agar masyarakat dengan kesadaran masing-masing dapat menentukan
hak azasi politiknya, dalam bentuk pilihan bebas dan rahasia.
3. HMI menyerukan kepada seluruh aparatur pemerintah agar bersikap netral,
objektif dan adil, dalam menangani jalannya kampanye dan pemilu. Rakyat akan
merasa cemas dan merasa tidak mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari
aparatur pemerintah, bila tidak berikap netral. Objektif, dan adil.
4. HMI meminta kepada pemerintah untuk memberikan jaminan kebebasan dalam
memilih sesuai dengan hak asasi politiknya dan memberikan perlindungan hukum
kepada rakyat.[26]

Sikap HMI dalam partisipasi politiknya memperlihatkan kecenderungan


melemahnya posisi HMI sebagai pressure group. Kemenangan golkar dalam dua
kali pemilu adalah kemenangan orde baru, dimana kekuatan dan kekuasaan orde
baru semakin kuat karena seluruh posisi strategis dalam ketatanegaraan dipegang
oleh orang-orang golkar / orde baru. Posisi HMI dalam realitas politik seperti itu,
memaksa HMI untuk bersikap lebih hati-hati, dimana kehati-hatian ini menimbulkan
sikap moderat dalam gerakan politiknya. Kenyataan pola gerakan HMI seperti ini
bisa dilihat dari berbagai kasus yang terjadi selama periode 19731982.
Dalam wilayah gerakan mahasiswa, periode 19671986 tidak memperlihatkan
gerakan yang significant yang mampu mempengaruhi arah dan kebijakan
pemerintah orde baru. Satu-satunya gerakan mahasiswa yang fenomenal dan
menjadi opini publik adalah gerakan mahasiswa yang melahirkan peristiwa Malari
tahun 1974. Kasus malari memperlihatkan semakin lemahnya kekuatan organisasi
kemahasiswaan ekstra universiter. Gerakan mahasiswa pada tahun 1974, murni
lahir dari gerakan internal kampus. Disini dapat kita lihat bahwa keterlibatan
organisasi ekstra universitas sangat kecil dalam kasus tersebut, organisasi seperti
HMI, PMII, IMM, GMNNI, GMKI, dan PMKRI, tidak memperlihatkan secara jelas
posisinya dalam kasus tersebut. Semua organisasi itu terkesan mau cari selamat
dengan cara memberikan dukungan kepada pemerintah agar menyelesaikan
persoalan Malari dengan sampai tuntas. Penangkapan terhadap sejumlah aktivis
mahasiswa baik di Bandung maupun di Jakarta direspon dengan dingin oleh
organisasi ekstra universiter ini. Keterlibatan ABRI dalam menyelesaikan kasus ini
dengan cara refresifnya membuat organisasi ekstra ini mengambil jalan selamat,
agar tidak dituduh sebagai anti pembangunan dan melakukan tindakan subversif,
yang bisa berujung pada pelarangan dan pembubaran organisasi. Sikap ambivalen
terhadap kasus ini diperlihatkan oleh HMI, dimana disatu sisi HMI turut mengecam
dan mengutuk gerakan ini yang dianggap tidak muni gerakan mahasiswa tetapi
ditunggangi kelompok kepentingan tertentu dan bertindak anarkhis dalam aksi
demonstrasinnya, disisi yang lain HMI pun mengkritik pemerintah yang dianggap
kurang bijak dalam menangani gerakan mahasiswa, sehingga dinilai anti kritik dan
tidak mau di koreksi.[27]
Menyadari semakin lemahnya fungsi kontrol organisasi kemahasiswaan ekstra
universitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka beberapa organisasi
mahasiswa ekstra universitas ini semakin rutin melakukan kajian-kajian mengenai
kondisi kekinian dari realitas sosial politik Indonesia. Kajian-kajian ini dilakukan baik
internal maupun lintas organisasi. HMI sebagai bagian dari organisasi ekstra
universitas terlibat secara aktif dalam aktivitas ini. Kerjasama HMI dengan organisasi
kemahasiswaan yang lain secara intensif dalam berbagai kajian dan diskusi akhirnya
melahirkan suatu kesepakatan untuk membentuk suatu forum komunikasi yang lebih
jelas bentuknya. Maka pada tanggal 22 Januari 1972 berdirilah kelompok Cipayung
yang berisikan HMI, GMNI, PMKRI, GMNI, dan PMII.
Kelompok Cipayung berdiri dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu; pertama,
kesadaran akan lemahnya posisi mereka dihadapan kekuasaan sehingga mereka
sulit untuk melakukan fungsi kontrol sebagai bentuk partisipasi politik mereka
sebagai bagian dari warga negara. Kesadaran ini membuat mereka berupaya
membentuk aliansi strategis untuk bisa menaikkan bergaining dihadapan
kekuasaan; kedua, dalam memberikan respon terhadap isu-isu kebangsaan dan
kemasyarakatan tentunya tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang emosional
dan reaktif, melainkan harus dihadapi dengan cara yang lebih rasional, konseptual,
dan solutif. Oleh karena itu, format gerakan kelompok Cipayung lebih ditekankan
pada kajian dan diskusi. Hal ini sesuai dengan basis gerakannya yaitu lingkungan
(kampus); ketiga, adanya usaha sistematis dari pemerintah untuk melemahkan
gerakan mahasiswa sebagai kelompok penekan. Strategi korporatisme negara
adalah salah satu bentuk nyata dari pemerintah dalam melemahkan gerakan
mahasiswa, selain juga dibuatnya lembaga yang menaungi kepemudaan dan
kemahasiswaan secara nasional dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
[28]
Peranan HMI dalam pembentukan kelompok Cipayung sangatlah besar, sebab HMI
merupakan bidan dari kelahiran kelompok Cipayung ini. Kerjasama organisasi yang
diharapkan HMI dalam kelompok Cipayung bisa dijadikan wahana bagi HMI dalam
melakukan partisipasi politiknya dan juga sebagai alat yang bisa memberikan
kontribusi positif bagi gerakan mahasiswa selanjutnya. Peran aktif HMI dalam
pembentukan dan aktivitas kelompok Cipayung merupakan salah satu strategi
perjuangan HMI dalam partisipasi politik periode ini. HMI dan kelompok Cipayung
seringkali melakukan gerakan yang berhadap-hadapan dengan pemerintah, salah
satunya adalah melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah membuat TMII.
Akibat dari sikap kritis kelompok Cipayung ini, maka pergerakan mahasiswa
semakin diawasi secara lebih ketat oleh pemerintah. Kebijakan yang diambil untuk
itu adalah diterapkannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan
Koordinasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) di perguruan tinggi, dimana kebijakan ini
sangat merugikan gerakan mahasiswa karena tidak bebas lagi untuk menyalurkan
kreativitasnya.dan aspirasinya.[29]
Corak pemikiran HMI yang pluralis dan rasional, sebagai turunan dari pemikiran
pembaharuan keagamaan, membawa dampak pada perubahan pola gerakan HMI
yang semakin jelas dalam memandang hubungan antara keIslaman dan
keIndonesiaan. Gerakan HMI tidak lagi terpaku pada hal-hal yang bersifat simbolistik
dan formal dalam memandang strategi perjuangan keIslaman, tetapi HMI lebih
mengutamakan nilai-nilai substantif dalam pola gerakannya pada periode ini. Tetapi
dikalangan umat sendiri HMI cenderung dianggap tidak mampu bersikap kritis
terhadap kebiijakan orde baru yang nota bene dianggap banyak merugikan
kepentingan umat Islam. Bahkan Hasanudin Saleh[30] dalam tulisannya
mendeskripsikan pola gerakan HMI periode ini;
Dalam perjalanan sejarahnya sampai tahun 1970-an HMI selalu mengambil
sikap moderat, bahkan cenderung akomodasionis, ketika berhadapan dengan
kebijaksanaan pemerintah, terutama yang tampak represif.
Namun sejak terlibatnya HMI dalam melahirkan kelompok Cipayung serta
berperan aktif di dalamnya untuk melakukan kritik dan korektif terhadap arah dan
kebijakan orde baru, HMI mulai memperlihatkan kritisismenya kembali. Gerakan HMI
yang kritis menyebabkan HMI kelihatan vis a vis dengan pemerintah dalam masalah-
masalah tertentu. Sikap moderat dan akomodatif HMI justru lebih menonjol pada
periode ini, dimana realitas sosio-politik yang kurang menguntungkan bagi gerakan
HMI, membuat HMI melakukan pola gerakan yang seperti itu.

IV. Partisipasi Politik HMI periode 1986 1999


Periode ini ditandai dengan terjadinya perubahan azas dalam tubuh HMI sebagai
akibat dari dikeluarkannya UU Keormasan No.8 tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan.[31] Peristiwa ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi masa
depan HMI, karena perubahan azas tidak hanya secara simbolik dalam konstitusi
HMI saja, melainkan berpengaruh dalam berbagai pedoman dan tentunya aktivitas
HMI selanjutnya. Pembahasan pada sub-bab ini lebih menitikberatkan pada
pengaruh pemberlakuan azas Pancasila dalam tubuh HMI terhadap pola gerakan
dan partisipasi politik HMI, baik secara internal maupun eksternal organisasi.
Banyaknya anggapan dari pihak luar bahwa kultur organisasi dan gerakan HMI
berubah sejak diterimanya Pancasila sebagai azas organisasinya, terutama dalam
partisipasi politik HMI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan
sesuatu yang wajar. Anggapan ini bisa diterima karena memang sekecil apapun
perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi akan menimbulkan dampak pada
organisasi, namun apakah perubahan itu significant atau tidak tergantung ukuran-
ukuran yang digunakan dan indikator dari perubahan itu sendiri. Dalam pembahasan
mengenai partisipasi politik HMI periode ini, parameter yang digunakan untuk
melihat apakah perubahan itu ada atau tidak, dan seberapa besar pengaruhnya,
dilihat dari pola pikir dan pola sikap HMI dalam partisipasi politiknya, dengan
menggunakan studi komparatif dengan periode sebelum penggunaan azas tunggal
Pancasila oleh HMI.
Periode awal penerapan Pancasila sebagai azas HMI (1986 1990) merupakan
masa konsolidasi internal organisasi HMI sebagai ekses dari terjadinya konflik
internal dalam tubuh HMI yang disebabkan atas perbedaan pandangan dan sikap
terhadap kebijakan pemerintah orde baru. Kondisi HMI yang disibukkan dengan
urusan domestiknya membuat seluruh konsentrasi dan tenaganya dicurahkan untuk
melakukan konsolidasi internal organisasi. Munculnya dualisme HMI[32] pada tahun
1986 merupakan kondisi objektif yang harus dihadapi HMI secara rasional dan
proporsional. Namun bagaimanapun juga pada kurun waktu ini kondisi HMI yang
sedang rapuh akibat konflik internal ini, membuat responsibilitas HMI pada masalah-
masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan terabaikan. Oleh
karenanya, HMI pada kurun waktu ini, praktis tidak melakukan perannya secara
eksternal.
Pada akhir tahun 80-an, HMI secara internal sudah sedikit mapan dan konsentrasi
kader HMI tidak terfokus lagi pada konflik internal. Selama empat tahun melakukan
konsolidasi internal dan berupaya mencari solusi atas konflik yang terjadi, akhirnya
dengan kesadaran dan kebesaran jiwa, perpecahan dalam tubuh HMI dianggap
sebagai realitas sejarah yang harus dimaknai dengan penuh kesadaran dan
kebesaran jiwa. Ketika muncul sikap semacam itu disebagian besar kader HMI,
membuat HMI bisa menerima kenyataan itu, walaupun bagi HMI itu pil pahit yang
nilai pengorbanannya sulit diukur. HMI memandang bahwa realitas sejarah itu tidak
boleh membuat HMI jadi kehilangan peran dan fungsinya ditengah kehidupan umat
dan bangsa. Maka sejak tahun 1990, pada kongresnya yang ke 18 di Jakarta, HMI
mengajak seluruh kadernya untuk melakukan kiprahnya / perannya kembali
ditengah-tengah masyarakat. Hal ini ditegaskan pula oleh Fery Mursyidan Baldan
(ketua umum PB HMI periode 1990-1992) dalam dies ride-nya[33] ;
.Dengan berasumsi bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, maka
tantangan pada kita adalah bagaimana menghadirkan HMI dalam kehidupan saat
dalam kerangka manfaatnya. Sehingga untuk melakukan suatu karya, prestasi, dan
pengembangan yang dihasilkan, bukan berangkat dari adanya beban sejarah.
Karena karya, prestasi dan pengembangan adalah suatu yang jadi obsesi kaum
muda baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap pekerjaan yang jadi tanggung
jawabnya.sebagai titik berangkat (depature point) maka tiada gerak dan kerja
yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah, karena tanpa itu hanyalah merupakan sesuatu
perjalanan tanpa tujuan. Sehingga bagi HMI, kerja-kerja dimuka bumi merupakan
suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT. Sekaligus suatu simbol dari
penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke-Maha Kuasa-an Allah SWT.
Karenanya kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah yang diridhai Allah
SWT.[34]

Sejak tahun 1990, peran eksternal organisasi kembali menguat. Hal ini bisa dilihat
dari kongres ke 18 di Jakarta, yang memperlihatkan responsibiltas HMI mengenai
berbagai kondisi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia. Salah satu respon HMI
bidang politik adalah penyikapan HMI terhadap fungsi DPR/MPR yang dianggap
HMI mandul dan hanya jadi stempelnya eksekutif. Menurut HMI, Kekuatan yudikatif
dan legislatif yang semestinya sejajar dengan eksekutif dalam sistem pemerintah
demokrasi, di Indonesia penerapannya malah timpang. Eksekutif menjadi struktur
yang paling menentukan dalam proses perjalanan bangsa ini. Dalam rekomendasi
bidang politik pada kongres ke 18 disebutkan ;
Dalam realitas kehidupan bidang politik, lembaga-lembaga perwakilan tersebut
belum berfungsi belum optimal. Hal ini disebabkan karena terdapat kendala
struktural dan kultural. Secara struktur, sistem politik kita memberikan peluang yang
besar terhadap dominannya peran eksekutif (pemerintah). Dan kultur politik yang
berkembang kondusif terhadap hal di atas. Dominannya budaya paternalisme yang
berkembang dalam masyarakat, mengakibatkan terbentuknya sistem politik yang
patrimonial, sehingga hal ini semakin memperrkuat posisi eksekutif (pemerintah).[35]

Kritik HMI terhadap kondisi di atas menyiratkan bahwa realitas politik Indonesia era
90-an memperlihatkan semakin kuatnya hegemoni kekuasaan terhadap seluruh
elemen bangsa, termasuk lembaga yudikatif dan legislatif. Ironis memang, anggota
dewan yang pada hakikatnya dipilih rakyat dan harus membawa aspirasi rakyat,
ternyata tunduk dan patuh terhadap kebijakan penguasa (eksekutif), mereka hanya
menjadi stempel kekuasaan. Untuk mengantisipasi kultur politik semacam itu, maka
HMI menyarankan agar dilakukan penataan ulang terhadap sistem politik yang ada.
Rekomendasi Kongres HMI ke 18 memberikan solusi alternatifnya ;
Untuk itu, maka perlu dilakukan penataan sistem politik yang memberikan peluang
terhadap berperannya lembaga-lembaga perwakilan. Kemudian diikuti dengan
peningkatan kualitas anggota perwakilan tersebut. Hal ini bidang dilakukan melalui
perumusan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi pengawasan DPR dan
DPRD, dan berfungsinya hak-hak DPR dan DPRD lainnya. Sehingga dengan
demikian terdapat imbangan (balance) terhadap peran-peran pemerintah (eksekutif).
[36]

Mengenai sistem pemerintah yang menerapkan kebijakan sentralisasi, HMI


memandang bahwa sentralisasi seringkali menyebabkan pemerintah kurang peka
terhadap persoalan daerah, yang nantinya bisa mengakibatkan terjadinya
ketimpangan dan mismanagement dalam mengelola SDA dan SDM di daerah. Kritik
HMI itu didasarkan atas realitas yang terjadi, dimana hubungan pusat-daerah bukan
bersifat partnership. Mengenai hal ini HMI berpendapat ;
Untuk mempercepat proses demokratisasi, satu hal yang penting untuk diperhatikan
adalah desentralisasi. Adanya desentralisasi akan mendekatkan pengambilan
keputusan dengan masyarakat, sehingga masyarakat lebih banyak terlibat dan
mengetahui persoalan-persoalan pembangunan. Disamping itu, desentralisasi akan
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daaerah untuk mengelola dan
mengembankan daerah sendiri (otonomi daerah) sesuai dengan kemampuan dan
potensi yang dimiliki.[37]

Pada tahun 90-an bagi umat Islam Indonesia merupakan masa terjalinnya
kemesraan[38] antara Islam dengan negara, antara umat Islam dengan penguasa.
Hal ini ditandai dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada
bulan Desember 1990, sebagai organisasi yang dianggap mampu menjadi
kendaraan umat Islam untuk bisa berperan secara lebih aktif dalam kehidupan
kebangsaan, selain itu ICMI dianggap bisa jadi corong umat Islam untuk
mengartikulasikan harapan dan aspirasi umat Islam, kaitannya dengan kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan. ICMI bagi HMI dianggap partner yang seimbang untuk
memanifestasikan tujuannya, karena ICMI pada hakikatnya merupakan organisasi
yang punya background sama dengan HMI yaitu dari kelompok Islam modernis,
secara pemikiran pun HMI ICMI memiliki kesamaan terutama mengenai pemikiran
keIslaman-keIndonesiaannya. Hal ini tidaklah aneh sebab mayoritas anggota /
pengurus ICMI ini adalah alumnus HMI.
ICMI yang diarsiteki oleh BJ. Habibie, dianggap sebagai organisasi bentukan
Suharto untuk memperpanjang tangan kekuasaanya pada komunitas muslim
Indonesia, yang mana pada periode sebelumnya hubungan umat Islam dengan
kekuasaan tidak begitu mesra malah cenderung saling curiga. Menurut HMI,
anggapan-anggapan tersebut tidak mendasar dan cenderung emosional. Bagi HMI,
kehadiran ICMI ditengah-tengah umat Islam Indonesia merupakan suatu kebutuhan,
karena sudah saatnyalah umat Islam Indonesia mulai mengartikulasikan cita-cita
perjuangannya ke dalam aktivitas-aktivitas yang lebih konstruktif dan proaktif,
terutama hubungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[39]
Menyikapi pemilu tahun 1992, sikap politik HMI tidak jauh berbeda dengan
sikap politiknya dalam menghadapi pemilu 1971 dan 1977. yang menarik adalah
penyikapan HMI atas jalannya sidang umum MPR 1993, dimana HMI memandang
bahwa SU MPR kali ini dianggap lebih demokratis dibanding sebelumnya. Dalam
Laporan pertanggungjawaban ketua umum HMI pada kongres HMI ke 20, Januari
1995 di Surabaya disebutkan ;
Yang menarik pada sidang umum tersebut adalah berkenaan dengan proses
penyusunan dan pembahasan GBHN yang berjalan lebih demokratis dan melibatkan
semua fraksi. Sehingga hasilnya pun banyak mengalami kemajuan dan hal-hal baru,
seperti dicantumkannya asas keimanan dan ketakwaan, komitmen terhadap rakyat
kecil yang semakin jelas.[40]

Sikap politik yang cukup melawan arus pada periode ini adalah keputusan kongres
HMI ke 20 di Surabaya, dimana dalam kongres tersebut HMI meminta kepada
pemerintah dan DPR agar kembali meninjau ulang lima (5) paket undang-undang
politik karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman, sehingga
harus direvisi agar adaptif dengan perkembangan jaman. Dalam kongres tersebut
HMI merekomendasikan;
1. Dalam rangka pembaharuan politik di tanah air, sekaligus sebagai upaya kembali
lagi kepada semangat Pancasila dan UUD45, maka sudah saatnya pemerintah
bersama-sama DPR meninjau kembali secara mendasar terhadap lima (5) paket
undang-undang politik, yaitu ;
a. UU No.1 / 1985 tentang Pemilu, Anggota-Anggota Badan Perwakilan rakyat.
b. UU No.2 / 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
c. UU No.3 / 1985 tentang Parpol dan Golkar
d. UU No.5 / 1985 tentang Referendum.
e. UU No.8 / 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
2. Kebijaksanaan masa mengambang yang telah lama diterapkan pemerintah orde
baru, dan telah menghasilkan apa yang disebut depolitisasi rakyat, harus segera
dihentikan. Karena kebijakan tersebut disamping tidak sejalan dengan nilai-nilai
demokrasi Pancasila, juga tidak relevan dengan semakin meningkatnya daya kritis
masyarakat.
3. Terjaminnya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berserikat, berkumpul, dan beragama. Kebebasan berbicara atau
kebebasan mengeluarkan pendapat harus ada dalam suatu sistem politik
demokratis.
4. dikembangkannya tatakrama politik yang mendukung bagi terciptanya pemerintah
yang bersih dan berwibawa, yaitu ;
a. Bila seorang pejabat dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dan bertentangan
dengan amanat rakyat, sehingga mengotori jabatannya itu, hendaknya pejabat
tersebut meletakkan jabatannya, tanpa harus diminta.
b. Dilakukan inventarisasi harta kekayaan seorang pejabat dalam mekanisme
konstitusional, baik sebelum maupun sesudah orang tersebut memeggang jabatan.
[41]

Pada kongresnya ke 21, 20-26 Agustus 1997 di Yogyakarta, kembali HMI


mengeluarkan sikap politiknya yang cenderung melawan arus. Sikap politik HMI ini
lahir sebagai respon HMI terhadap kondisi sosio-politik yang dinilai HMI mengalami
perubahan, dimana masyarakat sudah mulai jenuh dengan kondisi yang ada.
Adapun sikap politik HMI itu diantaranya;
1. Perlunya dirumuskan kembali konsep ideologi Pancasila dalam implementasinya
di segala bidang kehidupan baik secara teoritis maupun praktis.
2. Berkaitan dengan aktualisasi dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila, maka
interpretasi terhadap Pancasila tidak dimonopoli oleh golongan dan kepentingan
tertentu.
3. Dalam rangka menegakkan Strong and Clean Goverment, maka pemerintah
harus konsekuen dengan berbagai peraturan perundangan yang terkait, dalam arti
tidak segan-segan menjatuhkan sangsi kepada aparatnya yang melakukan
pelanggaran dan penyimpangan dalam tugasnya.
4. Perlunya dibuat Tap MPR tentang pembatasan masa jabatan presiden.
5. Perlunya Komnas HAM dimasukkan dalam komisi khusus di DPR.
6. Perlunya dibentuk lembaga independen yang bertugas mengawasi terjadinya
korupsi dan kolusi di pemerintah.
7. Mendesak kepada pemerintah untuk mengeluarkan Keppres tentang
pembangunan kawasan timur Indonesia (KTI).
8. Pemerintah dan DPR harus mereformasi 5 paket UU politik.
9. Revitalisasi dan Reformulasi Dwi Fungsi ABRI.[42]
Sikap politik HMI akhir tahun 90-an ternyata punya kecenderungan melakukan
gerakan kritisismenya kembali. Ketika pada pertengahan tahun 80-an HMI
cenderung hati-hati dan lebih akomoodatif terhadap kekuasaan, ternyata pada akhir
tahun 90-an sudah berani melakukan kritiknya terhadap realitas yang terjadi
ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap HMI yang cenderung kritis
pada akhir 90-an, bukan berarti HMI melakukan gerakan yang berhadap-hadapan
dengan pemerintah, karena trenyata sikap politik HMI itu tidak dimanifestasikan HMI
dalam gerakan praksis.
Pada dasarnya pola gerakan HMI yang dibangun sejak kelahirannnya bersifat adaftif
dengan perubahan jaman. Gerakan HMI yang senantiasa adaftif dengan kondisi
sosio-politik yang hidup pada masanya, ini membuat HMI tidak memiliki pola
gerakan yang jelas. Namun secara umum pada periode 1986 1999 ini
memperlihatkan adanya kecenderungan pola gerakan HMI lebih banyak bersikap
kompromis dan moderat. Apalagi sejak terbukanya akses HMI ke kekuasaan
sebagai konsekuensi logis dari keberadaan alumninya di jajaran birokrasi
pemerintah. Halhal seperti inilah sebetulnya penyebab perubahan pada pola
gerakan HMI. sedangkan kaitan perubahan dengan azas itu sangatlah sedikit sekali,
sebab baik pola pemikiran maupun pola gerakan (sikap) HMI sudah terbentuk sejak
lama sebelum perubahan azas, dan ini tersosialisasikan secara kontinyu kepada
generasi berikutnya lewat proses interaksi di dalam dinamika organisasi.
SEDETIK SAJA KITA DIAM
SEDETIK ITU PULA KITA
MEMPERKUAT MUSUH-MUSUH ALLAH

BIBLIOGRAFI

Amir. 1997. Kelompok Cipayung (HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI) ; Peranannya sebagai
Gerakan Kebersamaandn Pemikiran Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Universitas
dalam Pembentukan KNPI 1973-1978. Skripsi Unpad.
Djaelani, A. Qodir. 1999. Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia.
Jakarta : Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawaroh.
HMI MPO. 1986. Berkas Putih ; Sebuah Telaah Ringkas Tentang HMI Sebelum, Selama dan
Setelah Kongres ke-16 di Padang 24 31 Maret 1986.
Indonesia, Presiden Republik. 1975. Undang Undang Nomor 3 tahun 1975 Tentang Partai
Politik dan Golongan Karya.
Indonesia, Presiden Republik. 1985. Undang Undang Nomor 3 tahun 1985
Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 3 tahun 1975 Tentang Partai
Politik dan Golongan Karya.
Indonesia, Presiden Republik. 1985. Undang Undang Nomor 8 tahun 1985 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia. Bandung :
Mizan.
PB HMI. 1986. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 16 di Padang, 2431 Maret 1986.
Dokumentasi HMI..
_______. 1970. Hasil Hasil Keputusan Sidang Pleno IV PB HMI di Jakarta, 22-24 Mei 1970.
Dok. HMI.
_______. 1971. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 10 di Palembang, 3 10 Oktober
1971. Dok. HMI.
_______. 1977. Hasil Hasil Keputusan Sidang Pleno I PB HMI di Ciloto, 27-29 Mei 1977.
Dokumentasi HMI.
_______. 1990. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 18 di Jakarta, 17 25 September
1990. Dok. HMI.
_______. 1995. Laporan Pertanggungjawaban PB HMI Periode 1992 1995. Dokumentasi
HMI.
_______. 1995. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 20 di Surabaya, 21 31 Januari
1995. Dok. HMI.
_______. 1997. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 21 di Yogyakarta, 20 26 Agustus
1997. Dokumentasi HMI.
Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila.
Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran.
Sitompul, A. Salim. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih Offset.
________. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa
Indonesia.
Jakarta : Integrita Press.
________. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik. Yogyakarta : Aditya Media.
________. 2002. Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran
Keislaman Keindonesiaan HMI 1947 1997. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

* Makalah ini pernah disampaikan pada kegiatan Intermediate Training (LK II) HMI
Cabang Garut tanggal 07 Juni 2004 di Gedung PSPA Cisurupan Garut.
# Fuadz adalah Alumni HMI Cabang Jatinangor dan Garut, Mantan Direktur LPL
HMI Jatinangor periode 2000 2002.
[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila.
Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran
[2] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia.
Bandung : Mizan.
[3] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah
Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini
sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya. (Ibid.)
[4] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
[5] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah
founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode
1986-1998.
[6] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di
Indonesia. Bandung : Mizan
[7] Sifat independen HMI sudah ditegaskan sejak HMI berdiri dan itu dilegalisasi
dalam konstitusinya. Independensi oleh HMI punya dua pemaknaan; pertama
independensi organisatoris, HMI tidak berafiliasi (bukan bagian) dengan parpol atau
ormas manapun tapi berdiri sendiri; kedua independensi etis, HMI akan bekerja
sama dengan pihak manapun dalam memperjuangkan kebenaran (hanief) karena
HMI meyakini kebenaran itu hak mutlak dan bersumber dari Allah yang dijabarkan
dalam ajaran Islam. (PB HMI, 1986).
[8] Dahlan R. sangat intens melakukan interaksi dengan HMI meskipun dia sudah
menjadi alumni HMI. Interaksinya dengan HMI terutama dalam aktivitas perkaderan
HMI dimana ia sering menjadi pemateri/instruktur masalah politik (materi idepol-
stratak) di HMI. Oleh karena itu, ia sering kali dianggap sebagai guru poltiknya HMI.
Sampai akhir hayatnya (2002) ia masih sering menjadi referensi kader HMI dalam
melakukan aktivitas politiknya.
[9] Karim.Ibid.
[10] Partai-partai Islam kontestan pemilu 1955 antara lain; Masyumi, NU, PSII, dan
PERTI. Berdasarkan kesepakan organisasi-organisasi Islam tahun 1949, bahwa
satu-satunya wadah aspirasi umat Islam dalam politik adalah Masyumi. Namun
seiring dengan perkembangan sosio-politik yang ada, dimana munculnya 4 partai
Islam menjelang pemilu 1955, maka HMI mengambil kebijakan untuk memberikan
kebebasan bagi anggotanya untuk memilih partai sesuai dengan aspirasinya, tetapi
tetap hanya pada partai Islam. Kebijakan ini diambil untuk menghindari konflik
innternal organisasi yang mungkin terjadi bila kesepakatan 1949 tetap
dipertahankan, belum lagi sikap independensi HMI dipertaruhkan bila tetap pada
kesepakatan tersebut. (Saleh, Ibid.)
[11] Sitompul, A. 2002. Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa; Pemikiran
Keislaman Keindonesiaan HMI 1947 1997. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
[12] Ibid.
[13] Sitompul, A. 1986. Citra HMI. Yogyakarta : Sumbangsih Offset.
[14] GPPI dibubarkan Sukarno berdasarkan surat keputusannya no.139/1963, disertai
penangkapan tokoh-tokohnya, antara; Hamka, KH. Ghazali Sahlan dan KH. Dalari
Umar (Djaelani. A. Qodir. 1999. Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia. Jakarta :
Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawaroh)
[15] Saleh. Ibid.
[16] Saleh. Ibid.
[17] Sitompul. Ibid.
[18] Sitompul. Ibid.
[19] Pada tahun 1956 PKI menggabungkan organisasi mahasiswa lokal yang
berafiliasi ke PKI karena ada ikatan secara ideologis, yaitu Consentrasi Mahasiswa
Bogor, Consentrasi Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Mahasiswa Bogor dalam
satu wadah yang diberi nama Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
CGMI ini merupakan organisasi kemahasiswaan yang berupaya menyebarkan
ideologi PKI serta memperkuat barisan PKI di kampus, sehingga dalam aktivitasnya
seringkali harus berhadapan dengan organisasi kemahasiswaan lain terutama
dengan HMI. CGMI merupakan organ PKI yang paling gigih melakukan upaya
pembubaran HMI, oleh karenanya dalam setiap kesempatan CGMI selalu Vis a Vis
dengan HMI
[20] Diantaranya yang paling gigih membela HMI adalah Pelajar Islam Indonesia
(PII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI)
[21] Sitompul. Ibid.
[22] PB HMI. 1970. Rekomendasi Hasil Hasil Keputusan Sidang Pleno IV HMI di
Jakarta, 2224 Mei 1970. Dok. HMI
[23] Sitompul. Ibid.
[24] Pada pemilu 1955, partai Islam itu antara lain; Masyumi, NU, Perti dan PSII. Pada
pemilu 1971 muncul partai Islam baru yaitu Parmusi (Partai Muslimin Indonesia),
yang pada hakikatnya merupakan wadah baru drr orang lama, yaitu orang-orang
Masyumi. Sedangkan partai Islam lainnya masih tetap sama, yaitu; NU, Perti dan
PSII. (Djaelani. Ibid.)
[25] PB HMI. 1971. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 10 di Palembang, 3
10 Oktober 1971. Dok. HMI
[26] PB HMI. 1977. Hasil Hasil Keputusan Sidang Pleno I PB HMI di Ciloto, 27-29
Mei 1977. Dokumentasi HMI
[27] Sitompul. Ibid.
[28] Amir. 1997. Kelompok Cipayung (HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI); Peranannya
sebagai Gerakan Kebersamaan dan Pemikiran Organisasi Kemahasiswaan Ekstra
Universitas dalam Pembentukan KNPI 1973-1978. Skripsi Unpad
[29] Saleh Ibid.
[30] Saleh Ibid.
[31] UU ini diantaranya berisikan tentang kewajiban seluruh Ormas menggunakan dan
mencantumkan Pancasila sebagai azas / dasar organisasinya. Bila Ormas tidak
mencantumkan dan menggunakan Pancasila sebagai azasnya hingga dua tahun
sejak UU ditetapkan, maka pemerintah punya wewenang untuk membubarkan
ormas tersebut.
[32] Sebagai reaksi atas ketidaksepakatan merubah azas HMI, sekitar 8 cabang HMI
membuat PB HMI tandingan (HMI MPO) dan pada proses selanjutnya menjelma
menjadi organisasi baru yang berbeda karakteristiknya dengan HMI (dipo).
[33] Dies Ride merupakan naskah orasi ilmiah yang beisi tentang pandangan-
pandangan HMI serta respon HMI mengenai berbagai masalah dan kondisi yang
dihadapi masyarakat dan bangsa, biasanya lebih banyak memuat permaslahan
politik sehingga sering juga dianggap sebagai pidato politik Ketua Umum HMI. Dies
ride ini dilakukan setahun sekali pada acara milad HMI, dan pada waktu itu
dibawakan oleh Fery MB. sebagai Ketum HMI Periode 1990 1992.
[34] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : Integrita Press.
[35] PB HMI. 1990. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 18 di Jakarta, 17 25
September 1990. Dokumentasi HMI.
[36] Idem.
[37] Idem.
[38] Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jalinan hubungann umat Islam dengan
penguasa yang semakin baik, dimana pada masa sebelumnya penguasaa
cenderung memandang sebelah mata dan bahkan dianggap diskriminatif terhadap
umat Islam. Tahun 1990-an merupakan awal dari perubahan arah dnn kebijakan
politik orde baru, khusunya dalam masalah hubungan Islam negara.
[39] Sitompul, Agussalim. 1997. HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik. Yogyakarta
: Aditya Media.
[40] PB HMI. 1995. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar HMI Periode
1992 1995. Dokumentasi HMI
[41] PB HMI. 1995. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 20 di Surabaya, 21 31
Januari 1995. Dokumentasi HMI.
[42] PB HMI. 1997. Hasil Hasil Ketetapan Kongres HMI ke 21 di Yogyakarta, 20
26 Agustus 1997. Dokumentasi HMI

Anda mungkin juga menyukai