Anda di halaman 1dari 12

BAB I Namun disamping itu Rabiah Al-Adawiyah sebagai sosok perempuan yang mengambil

PENDAHULUAN jalan didunia tasawuf yang memperkenalkan konsep berdasarkan cinta kepada Allah
SWT. Hal ini muncul karena generasi sebelumnya menganut aliran Asketisme.3
A. Latar Belakang
Ketika kita ingin memahami lebih dalam tentunya ada banyak macam corak berpikir
Sebagai makluk religius (beragama), manusia memiliki kecenderungan untuk dalam dunia tasawuf yang masing-masing memiliki pelopor,ketika kita membuka
mendekatkan diri kepada Tuhannya sedekat mungkin. Oleh karena itu, manusia selalu lembaran-lembaran sejarah atau pemikiran tasawuf tentunya kita akan diperhadapkan
mencari dan terus mencari jalan untuk mewujudkan kecenderungan itu. Dalam sejarah dengan Abu Yazid Al – Bustami dengan corak pemikiran Fana,baqa dan al-ittihad.4
Islam, mulai dikenal salah satu jalan mendekatkan diri kepada Tuhan yang disebut
dengan tasawuf. Pada kesempatan penulisan ini penulis mencoba menuangkan corak pemikiran tasawuf
tiga nama sufi yang legendaris karena sebuah konsep tasawufnya yang tentunya
Umat Islam mulai akrab dengan tasawuf setelah adanya upaya pembinaan aqidah, memiliki penekanan berbeda dari setiap konsepnya.
syari’ah dan akhlak, hingga pada akhirnya menjadi penyeimbang kehidupan manusia,
disamping harus memenuhi kebutuhan jasamani juga sekaligus kebutuhan
batin.1 Dalam tataran ini tasawuf tidak lagi dipahami sebagai ritualitas rutin yang
BAB II
bersifat lahiriah, akan tetapi lebih dari itu seorang penganut tasawuf (sufi) harus hidup
PEMBAHASAN
membaur dalam kehidupan interaksi social.
A. Al-Ghazali
Sejalan dengan pergeseran makna tasawuf di atas, para cendikiawan muslim banyak 1. Biografi
mencoba mengatualisasikan ajaran tasawuf dengan mengkonsiliasikan ajaran tasawuf Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia
dengan syari’at. Salah seorang tokoh cendikiawan muslim berhasil menyusun dan dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal,
mengkompromikan antara syari’at dengan tasawuf menjadi konstruksi baru yang Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran.1 Pada masa kecilnya al-
sangat memuaskan kalangan syar’i dan kalangan sufi adalah imam al- Ghazali. Beliau Ghazali belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu.
mampu meningkatkan tasawuf dengan dalil-dalil wahyu baik yang terdapat dalam al- Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad
Qur’an maupun hadis Nabi SAW.2 al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di
Jurdan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang
dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan

3
Drs.H.A.Mustofa,Akhlaq Tasawuf,Bandung,CV Pustaka Setia,2007 h. 246-250
1 4
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek.Jilid I,(Jakarta:UI Press,1985), Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf
h.46 singkel di Aceh Abad 17, (Mizan; Jakarta, 1999), h. 20
2 1
Simuh, Tasawuh dan perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004),
Persada, 1996), cet. ke -1, h. 159 h. 155
Madinah), dari beliaulah al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan
fiqh, ilmu kalam dan ilmu logika.2 ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf kepada olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka
Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula
demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya
dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah,
tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf
berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil 5 .
Saljuk.3 Secara umum ilmu tasawuf dibagi kepada dua jenis. Pertama tasawuf Sunni
Dalam hidupnya al-Ghazali pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. (akhlaki) yang mengarah kepada teori-teori bentuk prilaku dan yang kedua
Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari kebenaran. Al-Ghazali tasawuf falsafi yang mengarah kepada teori-teori yang lebih rumit dan
mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak terdapat membutuhkan pemahaman yang sangat mendalam.
pertentangan-pertentangan. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata tidak Tasawuf merupakan pilihan al-Ghazali setelah mengalami kegoncangan jiwa
mempunyai argumen yang kuat bahkan ada hal-hal yang bertentangan dan mengakibatkan ketidakberdayaannya, bahkan sampai tidak ada yang bisa
dengan agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang dicarinya dalam mengobati, sehingga pada akhirnya penyakit tersebut diambil kembali oleh
tasawuf.4 Sirajudin Zar menukilkan setelah al-Ghazali mengalami keragu- Allah SWT. Kecendrungan Al-Ghazali untuk memasuki dunia tasawuf
raguan tersebut, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti berawal dari ketidak puasannya terhadap kemampuan yang dia miliki untuk
rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara ke Damaskus. mencari kebenaran. 6Ia melihat bahwa kecakapan indera dan rasio belumlah
Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk beribadah, mampu mengantarkannya kejenjang pengetahuan yang memuaskan.
kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.Disinilah ia Perasaan inilah yang membuntutinya dilingkupi rasa ragu, bimbang dan
menghabiskan waktu untuk merenung, membaca dan menulis dengan kegonjangan jiwa yang begitu hebat. Dengan hidayah Allah SWT akhirnya
memilih jalan tasawuf dalam penelusuran hidupnya. Al-Ghazali berpindah- Al-Ghazali dapat melepaskan dirinya dari keraguannya dalam mencari
pindah dari Baghdad, Thus, Hamdan, dan Syiria. Disaat inilah beberapa kebenaran yang selama ini selalu dia pertanyakan.
karyanya seperti Mi’yar al-‘ilmi dan Ihya ‘Ulumuddin.5 Sebagai contoh dalam bidang filsafat dia mengemukakan bahwa terdapat
2. Corak Tasawuf Al-Ghazali kegoncangan dalam berfilsafat yang diwarisi dari filsafat Yunani yang
Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya mendewakan akal sebagai dalil yang qat’i. Dalalahnya tidak sampai kepada
memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang

2
Ibid, h. 156
3
Ibid, h. 156 - 157
4
Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973)., cet. I., h., 35 - 37
5
Duski samad, Studi Tasawuf sejarah Tokoh dan Pemikirannya, (Padang: IAIN “IB”
6
Press, 1999), h.131 Ibid, hal. 131
tingkatan yang dapat meyakinkan dalam menjawab masalah ketuhanan Konsep tasawuf akhlaki (amali) yang dikemukan oleh Al-Ghazali ini
seperti Tuhan tidak dapat mengetahui sesuatu yang bersifat juz’i.7 cendrung memadukan aspek eksoterik (syari’ah) dengan esoterik (hakikat)
Ajaran-ajaran tasawuf Al-Ghazali cendrung lebih memberikan perhatian dan tidak sampai beralih pada paham-paham yang bertentangan dengan
pada jiwa manusia dan membinanya secara moral, sedangkan pencarian tauhid sekalipun hanya dalam bentuk ungkapan lahiriah secara praktis.
secara mistisme yang falsafi jauh ditinggalkanny. Menurutnya jalan menuju Tasawuf akhlaki amali bermula dari praktek zuhud amaliah dan berakhir
sufi adalah perpaduan antara ilmu dan amal yang nantinya akan pada praktek tasawuf sebagai ilmu dengan dasar-dasar praktisnya.
membuahkan moralitas. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa cirri khas Sungguhpun sejak abad ketiga dan keempat hijriah sudah bermunculan
tasauf Al-Ghazali cendrung bersifat ‘amali ketimbang falsafi. 8 banyak tokoh seperti al-Hasan al-Muhasibi, Sirri al-Saqathi, namun puncak
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa corak tasauf Al-Ghazali adalah kesempurnaannya baru dicapai pada abad kelima hijriyah ditangan al-
bersifat psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat Ghazali.11
dilihat dari karya-karyanya seperti Ihya ‘Ulumuddin, Minhaj al-‘Anidin, Sesuatu yang menarik dari al-Ghazali adalah usahanya dalam
Mizan al-‘Amal, Bidayat al-Hidayah, Mi’raj an Ayyuha al-Walad.9 Corak mengkompromikan perbedaan pandangan antara syari’at dan tasawuf. Ia
tasaufnya tersebut yang lebih menonjol adalah kesanggupannya dalam menganjurkan agar seseorang harus terlebih dahulu menguasai dan
menyusun konsep pengkompromian antara syari’at dan tasawuf sehingga mengamalkan syari’at sebelum memasuki tasawuf. Ia menegaskan bahwa
menjadi sebuah bangunan baru yang memuaskan bagi kelompok syari’at dan pengalaman tertinggi dari tasawuf adalah ma’rifat. Tanpa memahami syari’at
kelompok sufi dizamannya.10 seseorang tidak akan sampai pada ma’rifat tersebut. Al-Ghazali
Konsep yang dikembangkannya tidak terlepas dari perkembangan tasawuf menempatkan pemahaman syari’at pada tatanan yang paling mendasar yang
sebelumnya. Konflik antara tasawuf dan syari’at mencapai puncaknya harus dikuasai oleh seorang yang ingin memasuki dunia tasawuf.
ditandai dengan hukuman mati al-Hallaj ditiang gantungan. Sejarah mencatat Dalam kitabnya al-Munqiz min al-Dhalal al-Ghazali mengutarakan panjang
bahwa timbulnya ketegangan tersebut terjadi pada pertengahan abad ketiga lebar mengenai perkembangan kehidupan rohani bahwa bagi seorang yang
hijriyah, tepatnya ketika konsep Ma’rifat oleh Dzun Nun al- Mishry yang menempuh jalan menuju Allah dari fase awal hingga akhir harus menempuh
menjadi perbincangan diantara kalangan sufi daan konsep al-Ittihad oleh maqamat-maqamat, yaitu taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, hub, ma’rifat
Abu Yazid Al-Bustami dan konsep Al-Hulul oleh Al-Hallaj. Kalangan dan ridha. Disamping itu dia harus meninggalkan dan menjauhi penyakit-
syari’at memandang konsep-konsep ini sudah terlalu jauh menyimpang dari penyakit hati seperti sombong, hub al-dunya dan sifat-sifat mazmumah yang
aturan aqidah Islam. lainnya karena sifat-sifat itu akan menghalanginya untuk mencapai
pengetahuan.12
Untuk mencapai jenjang maqamat tidaklah mudah. Seorang sufi diharuskan
belajar dengan seorang syaikh yang berfungsi sebagai panutan dalam
7
Simuh, Tasauf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, menjalani kehidupan sufi. Seorang sufi memerlukan dan mujahadah untuk
1996) hal. 164
8
mencapai maqam tersebut. Riyadhah berarti latihan membebani diri dengan
Duski Samad, Op.Cit, hal. 135
9 perbuatan yang dirasakan sebagai badan yang berubah menjadi akhlak,
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasauf (Bandung, Pustaka Setia, 2000) hal.
114
10 11
M. Zarkani Yahya, Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta : Tim Penyusun, Eksiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoe Ven, 1994) h. 83-85
12
Pustaka Pelajar, 1996)hal. 80 Duski Samad, op.cit, h.136
sedangkan Mujahadah berarti perjuangan melawan tarikan nafsu sebagai 2. Lenyapnya kesadaran terhadap diri dan lingkungan serta lenyapnya
upaya pemebersihan diri dan hati sehingga membuatnya bercahaya. penghayatan terhadap sifat Allah karena telah menyaksikan keindahan
Al-Ghazali sangat menolak paham Hulul dan Ittihad. Untuk itu dia zat-Nya
menawarkan paham baru tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada 3. Lenyapnya kesadaran terhadap kefanaan sendiri karena telah menyatu
Allah tanpa diikuti penyatuan dengan-nya. Jalan menuju ma’rifat adalah ilmu dengan wujud Allah.
dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ma’rifat menurut Al-Ghazali Ghazali dalam konsep fana ini mempertahankan perbedaan antara hamba
diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase- dengan Allah. Menurut Simuh dalam penghayatan konsep fana seorang sufi
fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan masih sadar akan adanya perbedaan antara Allah dan hamba-Nya karena dia
(ahwal). Al-Ghazali berjasa besar dalam dunia Islam, dia mampu masih mempertahankan adanya jarak antara hamba dengan Allah.
memadukan antara tiga keilmuan Islam, yaitu tasawuf, fiqh dan ilmu kalam Ma’rifat yang dimaksud Al-Ghazali yaitu yang disebut dengan al-‘ilm al-
yang sebelumnya banyak menimbulkan ketegangan dikalangan ulama. 13 yakin dengan pengertian bahwa tersingkapnya sesuatu secara jelas sehingga
Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah ma’rifat disebut sebagai maqam dan tidak ada ruang untuk ragu-ragu. Ma’rifat seorang sufi adalah qalbunya,
terkadang sebagai hal. Bagi al-Junaid, ma’rifat sebagai hal. Al-Ghazali bukan perasaannya dan bukan pula akal budinya. Qalbu menurut al-Ghazali
memandang bahwa ma’rifat datang sebelum mahabbah, sedangkan al- diibaratkan seperti sebuah cermin, sedangkan ilmu adalah pantulan gambar
Kalabadzi menyebut ma’rifat setelah mahabbah. Ma’rifat menurut al-Ghazali secara realitas yang terdapat didalamnya. Jika cermin itu kotor maka
adalah mengetahui rahasia tuhan tentang segala yang ada. Secara umum pantulan yang akan diberikan tidak akan jelas dan tidak akan mampu
konsep ma’rifat yang dikemukan oleh para pendahulunya. Yaitu sebagai memantulkan cahaya-cahaya ilmu. Hawa nafsu membuat qalbu menjadi
usaha pengenalan langsung terhadap Tuhan melalui pandangan bathin yang kotor, dan hanya ketaatan serta kepatuhan kepada Allah yang membuat qalbu
didalamnya terdapat nilai tauhid.14 itu bersih dari segala kotoran hawa nafsu.
Maksud ma’rifat yang dikemukakan al-Ghazali cendrung lebih luas Disamping itu ma’rifat diartikan melihat wajah Allah dan tidak akan tercapai
dibandingkan dengan para sufi sebelumnya. Ia tidak hanya membicarakan dengan penglihatan inderawi, tetapi hanya dapat dicapai dengan amal bashar
tentang pengenalan langsung terhadap Allah, tetapi dia juga memasukkan (mata hati). Selanjutnya jika seorang sufi telah mencapai ma’rifat barulah
semua pengetahuan tentang hakikat alam semesta yang terpantul dari lauh timbul mahabbah seorang hamba terhadap tuhannya. Menurutnya, ma’rifat
mahfuzh melalui al-Qalb dan membatasi pengetahuan serta penghayatan dan mahabbah ini adalah tingkatan paling tinggi yang dicapai oleh seorang
ma’rifat pada penghayatan teramat dekat dengan Allah yang dikenal dengan sufi. Dan secara otomatis, pengetahuan yang dicapainya jauh lebih tingggi
istilah al-Qurb. mutunya dibandingkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal. 15
Konsep al-Qurb ini berbeda dengan konsep al-Qurb yang dikemukakan oleh Untuk sampai ketingkat ma’rifat ini ada tiga alat yang dipergunakan oleh
al-Qusyairi. Menurut al-Qusyairi bahwa kefanaan itu terdiri dari tiga kaum sufi. Al-Qalb untuk mengetahui sifat-sifat tuhan, al-Ruh untuk
angkatan, yaitu: mencintai tuhan dan al-Sir untuk melihat tuhan. Al-Sir lebih halus dari ar-
1. Lenyapnya kesadaran terhadap diri dan sifat-sifat pribadi ketika telah Ruh, dan al-Ruh bertempat pada al-Qalb. Al-Sir timbul dan dapat menerima
menghayati sifat-sifat Allah illuminasi (kasy) dari tuhan, kalau Al-Qalb dan Al-Ruh telah menjadi suci
sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya, dan tak berisi apapun,
13
Rohihan Anwar dan Mukhtar Solihin, op.cit, hal. 114-115
14 15
Harun Nasution, op.cit, h. 78 Ibid. hal.78
diwaktu itulah tuhan menurunkan cahayanya kepada sufi bersangkutan dan kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan dan langsung
ketika itu sampai ketingkat ma’rifat.16 keesokan harinya dibebaskan.
Ma’rifat merupakan konsep utama dan juga merupakan tujuan akhir kesufian Setelah bebas, Rabi’ah pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk menjalani
Al-Ghazali. Ma’rifat menurut Al-Ghazali diawali dengan bentuk latihan hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase dalam tingkatan-tingkatan Basrah. Di sini ia hidup seperti pertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari
(maqamat) dan keadaan (ahwal). Al-Ghazali menjalankan tasawuf sebagai tanah, sebuah batu bata dan semua itulah merupakan keseluruhan harta yang ia
sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai kepada ma’rifat punyai.Ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk berdo’a, dan tidur sekejap saja
yang mampu menciptakan kebahagiaan (sa’adah). sebelum dini hari meskipun hal ini sangat iya sayangkan.
18
Rabiah meninggal dunia di Bashra pada tahun sekitar 801 M, Ia di
makamkan di rumah dimana ia tinggal. Ketika jenazahnya di usung di
perkuburan orang orang suci, para sufi, dan dan orang islam yang saleh dalam
B. RABI’AH AL – ADAWIYAH jumlah yang luar biasa bnyaknya datang ikut mengiringinya.dikatakan bahwa
1. Biografi waktu Rabi’ah menghadapi maut, ia meminta teman teman nya untuk
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al Adawiyah Al Bisriah Al meninggalkanya, dan ia menyilakan pada para utusan tuhan lewat waktu teman
Qoisiyah. Ia di perkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M atau 99 H atau 717 teman nya itu berjalan keluar, mereka mendengar Rabiah mengucapkan
M di suatu perkampungan dekat kota bashroh (irak) dan wafat dikota itu pada syahadah, dan ada suara yang menjawab “sukma, tenanglah kembalilah kepada
tahun 185 H / 801 M. Ia di lahirkan sebagai putri ke empat dari keluarga yang tuhanmu, legakan hatimu padanya, ini akan memberikan kepuasan kepadanya"
sangat miskin. Karena ia putri ke empat orang tuanya menamakan rabi’ah. 17
Rabiah kehilangan orang tuanya waktu ia masih kecil ketiga kakaknya 2. Corak Tasawuf Rabi’ah Al Adawiyah
meninggal ketika wabah kelaparan melanda Bashra. Ia sendiri jatuh ketangan
orang lain yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak berlian Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam
dengan harga yang tidak seberapa majikanya yang baru juga tidak kurang sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara
bengisnya si kecil rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan generasi sebelumnya meintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa
segala perintah majikannya. Malah hari di laluinya dengan berdoa. Pada suatu takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah yang pertama-tama mengajukan
malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabi’ah, ketika Rabi’ah pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti
berdoa kepada Allah “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi budak dari Allah.19
belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya, Kata Muhabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, muhabatan, yang secara
Seandainya aku bebas, pasti akan persembahkan seluruh waktu dalam hidupku harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
ini untuk selalu berdoa kepadamu”. Tiba-tiba 8tampak cahaya di dekat
18
Drs. H.M. Laily Mansur, L.PH., Ajaran dan Teladan Para Sufi ( Jakarta: PT.Raja
Grafindo, 1996), h.46.
16 19
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Pres,2002)hal. 81 Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya ( Jakarta: PT
17
Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Pustaka Panjimas, 1984), h.79
1997), h.148.
mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan muhabbah b. Mahabah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Muhabbah dapat kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya dan lain-lain.cinta
pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al- yang dapat menilangkan tabir yang dapat memisahkan diri seorsng dari
Muhabbah dapat pula berarti kecenderungan ke ada sesuatu yang sedang tuhan dan demkian dapat melihat rahasia rahasia yang ada pada tuhan.
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material Cinta yang kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan
maupun spiritual, seperti cinta sesorang yang sedang kasmaran pada sesuatu kehendak dan sifat sifat nya sendiri, sedang hatinys penuh dengan
yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau perasaan cinta pada tuhan dan selalu rindu padanya.
seorang pekerja kepada pekerjaannya. c. Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Menurut al-Qusyairi al-Muhabbah adalah merupakann hal (keadaan) jiwa yang Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
mulia yang bentuknya, adalah disaksikannya (kemuttlakannya) Allah SWT,
oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Dengan
yang dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT. uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-
cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution sifat yang dicintai Tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang dicintai.
mengatakan. Pengertian yang diberikan kepada muhabbah antara lain sebagia Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
berikut:20 dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan kepadaNya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. Sementara itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah
3. Mengosongkan hati dan segalan-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
Tuhan. kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka
Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh)
dikutip Harun r, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan
dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Dalam perkembangan Tasawufnya, Rabi’ah Al-‘Adawiyah mempunyai corak
lain, dimana sebelumnya asketisme Islam ditandai dengan rasa takut
pengharapan yang dilontarkan oleh Hasan Al-Bisri, maka dia meningkatkan
menjadi asketisme rasa cinta (Al-Hubb) cinta yang murni lebih tinggi dari
a. Mahabbah orang biasa, yaitu selalu mengingat tuhan dengan berdzikir, pada takut dan pengharapan, sebab yang suci murni tidak mengharapkan apa-
suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog apa. Pengertian cinta yang dipahami oleh Rabi’ah Al’Adawiyah lebih
dengan tuhan senantiasa memuji. mendalam dibandingkan dengan cinta menurut para sufi lainya. Misalnya Al-
Junaid, memahaminya sebagai kecondongan hati. Sedangkan yang lainnya
memahami sebagai ketaatan melakukan apa yang telah diperintahkan dan
20
menjauhi apa yang dilarang. Setelah Rabi’ah Al-‘Adawiyah melewati
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya (Jil. II; Jakarta: UI-
tingkatan memohon kepada Allah dan mengingatnya, tanpa mengharapkan
Press,1979), h.76.
apapun dari padanya, diapun lalu mapan dalam cintanya. Dia telah merintis nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri. Tetapi
aliran Asketisme dalam Islam berdasarkan cinta kepada Allah. Kepada-Nya memandangnya sesuatu yang dibalik nikmat, adapun al hubb anta ahl lahu
lah ia dirujukkan pemakaian kata cinta dikalangan para sufi. Dia tidak hanya adalah cinta yang tidak di dorong kesenangan indrawi, tetapi di dorong dzat
membuat terkenal kata cinta, tapi dia pula yang pertama-tama memahami yang di cintai cinta yang kediua ini tidak mengharapkan balasan apa apa.
pengertian cinta antara yang berdasarkan rasa ikhlas maupun tulus cinta yang Kewajiban kewajiban yang di jalankan Rabi’ah timbul karna perasaan cinta
berdasarkan permintaan ganti rugi dari Allah. Pemahaman ini cukup kepada dzat yang di cintai.
mendalam karna hakikatnya berdasarkan rasa maupun cerita secara langsung.
21
C. ABU YAZID AL-BUSTAMI
1. Biografi Abu Yazid Al-Bustami
Rabi’ah Al Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam islam Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H –
sebagai peletak dasar Tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin
Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama
berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan
yang pertama-tama mengajukan pengartian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam. 22
berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia
Al Adawiyah tentang cinta di pahami dari kata kata nya, baik yang langsung lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon
maupun tidak langsung yang disandarkan kepadanya, Al Qusyairi kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika
meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, rabiah menyatakan doanya, “ dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau
Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai mu dengan/ oleh api menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
neraka?” tiba tiba terdengar suara “ kami tidak akan melakukan itu. Janganlah Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
berburuk sangaka kepada kami.” pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Untuk memperjelas pengertian al hubb yang di ajukan Rabi’ah yaitu hubb al Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua
hawa dan hub anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut Abu orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian
Thalib Al Makky dalam al qulub sebagaimana yang di jelaskan Badawi berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini
memeberikan penafsiran bahwa makna hubb al hawa adalah rasa cinta yang menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.
timbul dari nikmat nikmat dan kebaikan yang di berikan oleh Allah SWT. Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan
Adapun yang dimaksud dengan nikmat nikmat adalah nikmat materil, tidak tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu
spiritual karenanya hubb karenanya hubb disini bersifat hubb indrawi. telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
Walaupun demikian, hubb al hawa yang diajukan Rabiah ini tidak berubah terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat
ubah, tidak bertambah dan berkurang nya karena bertambah dan berkurangnya dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak
ditemukan dalam bentuk buku
21
Prof. Dr. H. Mahmuf Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung,
22
1990), h. 96 DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, h. 130
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara 2. Corak Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
di gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang a. Al-Fana Dan Al-Baqa
sedikit sekali. Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan
taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong
terkenal sebagaimana Abu Yazid. dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.25
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni
kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah
masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam
pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi. hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari
kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf. segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kepantingan ketika berbuat sesuatu”.26
kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear.
sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain
ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa. Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi
pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.
maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-
suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.23 sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah
garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada
pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah
berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan. 24 Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya
dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-
sampai sekarang.

23 25
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994) h. 51 Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy;
24
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, Surabaya, 1997), h. 362
26
(PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997 h. 47 DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa`
ta`ala berada pada segala sesuatu.27 dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-Qusyairi menulis, “Fananya Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`)
kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.” “Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku
maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar
hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta. daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus Mu…”
menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap
bersatu dengan tuhan. tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan
Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mud an kemarilah.” Abu Yazid pernah
live and survive (hidup dan terus hidup), mengungkap “Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap,
aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.”
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya
kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya
merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami
digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup
fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.
atau bersama sesuatu.28
Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi menyatakan,
“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana`
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal. 29 Bisa juga berarti
dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan
memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan
keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia
kepadanya.
sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam ketulusan
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan
inabahnya…”
oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme
sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif.
Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti
27
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah
singkel di Aceh Abad 17, (Mizan; Jakarta, 1999), h. 74-75 (wafat 1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu
28
Wardana, Abu Yazid Al-Bustami, (Makalah PPS Alauddin; Makassar; 2001) h. 7 Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip
29
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994)
yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-
yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.30 kata, “Hai aku…”.
Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad
mempunyai iman yang bear, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang
besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.31
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam iterature tasawuf bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa(tinggal) ilmu dengan nama tuhan.
dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan;
dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu
Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah
gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah
sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa. kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran
akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya
b. Al-Ittihad sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua bersatunya kebersatuan).33
benda) menjadi satu32, yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam
tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.Yang mana Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan
tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi
perbuatannya. yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara
menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali
selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu
yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn
30 fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”,
31
Badawi, Abdurrahman, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut. Hal. 25
32 33
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973,
1993, hlm. 94 – 95. hlm. 79.
sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai “Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu
(fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia
Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”,
menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya
Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha
(fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau
kuasa dan Mahatinggi.
kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai
menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad)
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat
tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-
sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid
haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).34
ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan
Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.”
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan
Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid, semuanya
kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau,
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat
yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas
dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya: 35“Aku tidak heran terhadap cintaku memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah
pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan
cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa” golongan awam.
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata: “Tuhan berkata,
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan
”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau
berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara
adalah aku dan aku adalah Engkau.” Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi
tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. fana`an nafs.
Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab,
“Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad
di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan
melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya
yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia
34
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia
1973, hlm. 57 yang dilihat.
35
Qasim Muhammad Abbas , Abu Yasid al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-
Kamilah (Damaskus: Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr) 2004 hal. 50
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf merupakan salah satu jalan menuju sang pencipta,metode
perenungan dan perbaikan moral baik secara fisik maupun secara batinia,
hal ini ditunjukan oleh tiga tokoh besar tasawuf dalam dunia islam yaitu
Imam Al-Ghazali, Rabiah Al-Adawiyah dan Abu Yazid al-Bustami,
ketiga tokoh ini bukan saja membawa pengaruh dalam dunia islam tapi
banyak memberkan konstribusi yang nyata dalam pemikiran.
Ketiga tokoh diatas memberikan kontribusi pemikiran yang masih banyak
orang mampu lakukan dan gunakan, kita bisa memetik pendidikan
misalkan saja dari Imam Al-Ghazli dengan konsep Ajaran-ajaran tasawuf
Al-Ghazali cendrung lebih memberikan perhatian pada jiwa manusia dan
membinanya secara moral, dan disisi lain ada Rabiah Al-Adawiyah
dengan konsep mahabbanya memberikan penekanan pada rasa cinta
kepada Allah SWT, dan ada juga Abu Yazid Al-Bustami yang
memperkenalkan konsep al-Fana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah
syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di
kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia
menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan
pada agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai