Anda di halaman 1dari 8

Pengantar Ke-Sarinah-an

Oleh: Mastono
Sejarah sampai Orientasi “Sarinah”
Banyak orang di tahun 1946 tidak dapat memahami maksud Soekarno mengadakan
Kursus Wanita di Yogyakarta. Pasalnya, di tahun itu Indonesia sedang menghadapi persoalan
yang sangat genting: agresi militer Belanda. Alasan itu pula yang mengakibatkan Ibu Kota
negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Namun kenapa di tengah keadaan demikian
Soekarno justru menadakan Kursus Wanita? Barangkali, di masa sesulit itu menjadi hal yang
pelik guna menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimanapun, “aksi-aksi militer Belanda yang
terus dilancarkan sesudah proklamasi kemerdekaan menggerakan organisasi-organisasi
perempuan untuk mencari perlawanan bersama”.1 Inilah yang mencoba diorganisir oleh
Soekarno melalui Kursus Wanita dengan memberikan landasan secara teoritik untuk
perjuangan perempuan.
Setahun kemudian, di tahun 1947 kumpulan bahan Kursus Wanita tersebut dibukukan
dan diberi judul Sarinah.2 Kenapa ‘Sarinah’? Siapa ‘Sarinah’? dan Untuk apa ‘Sarinah’?
Pertanyaan-pertanyaan ini, semestinya diajukan dan dijawab diawal sebelum masuk terlebih
jauh ke dalam bangunan teoritik yang diajukan Soekarno dalam Sarinah itu sendiri. Sarinah
dipilih sebagai judul buku (kumpulan materi Kursus Wanita) dengan alasan nama itu adalah
nama Ibu Pengasuh Soekarno. Menurutnya, menggunakan nama Ibu Pengasuhnya sebagai
judul buku merupakan salah satu tanda terimakasih. “Ia ‘mBok’ saja. Ia membantu Ibu saja,
dn dari dia saja menerima banjak rasa tjinta dan rasa kasih. Dari dia saja mendapat banjak
peladjaran mentjintai ‘orang ketjil’. Dia sendiripun ‘orang ketjil’. Tetapi budinja selalu
besar”(Hlm. 5-6).3 Begitulah keterangan Soekarno yang dapat menjawab dua pertanyaan
diawal.
Satu lagi pertanyaan yang belum terjawab: untuk apa Sarinah? Bung Karno dalam
‘Kata Pendahuluan: pada cetakan pertama’ buku Sarinah memberikan jawaban pertanyaan
tersebut—terkait dengan pertanyaan mengapa diadakan Kursus Wanita?. “Siapa jang
membatja kitab jang saja sadjikan sekarang ini,—jang isinya telah saja uraikan didalam
kurus-kursus-wanita itu dalam pokok-pokoknja—, akan mengerti apa sebab saja anggap soal
wanita itu soal jang amat penting” (Hlm. 5). Bagi Soekarno, Sarinah sebagaimana Kursus
1
Karlina Supeli, 2013, Membaca Kembali Sarinah: Belajar Menjadi Wanita Indonesia, dalam Jurnal Prisma
edisi “Soekarno: Menelisik Masa Hidup Putra Sang Fajar” Vol. 13 tahun 2013. Hlm. 200
2
Sarinah pertamakali terbit di tahun 1947
3
Dalam tulisan ini, catatan yang dikutip dari buku Sarinah ditulis menggunakan catatan perut (Hlm..). Catatan
di luar buku tersebut akan ditulis dengan catatan kaki. Adapun buku Sarinah yang digunakan adalah cetakan
ketiga tahun 1963. Kutipan sengaja tidak mengubah ejaan.
Wanita sangat penting guna menghadirkan diskursus perempuan yang sangat jarang
disinggung di Indonesia—pada zamannya dan bahkan sekarang ini. Tentu saja, selain untuk
menghadirkan diskursus perempuan, Sarinah pun diproyeksikan untuk membangun landasan
bagi perempuan untuk bersama-sama mendirikan masyarakat Sosialisme Indonesia. Lebih
jauh, bagi Soekarno Sarinah lebih diproyeksikan kepada perempuan kecil (baca: perempuan
miskin) yang mengalami keterindasan dua kali lipat dari pada perempuan berada (kaya).
Sarinah lebih diutamakan untuk perempuan marhaen yang harus kerja di luar rumah dan
kerja di dalam rumah pula. Melalui Sarinah, Soekarno menjadi satu-satunya Presiden
Indonesia yang berbicara soal perempuan dengan tegas, sistematis, komperehensif dan
teoritik.

Soal Perempuan adalah Soal Masyarakat


Jika Sarinah dihadirkan oleh Soekarno sebagai upaya mengangkat diskursus soal
perempuan. Pertanyaannya, persoalan apa yang menimpa atau terjadi pada perempun?
Jawabannya tentu saja adalah persoala perempuan yang ‘dikesampingkan’ dari masyarakat.
Perempuan yang selalu dianggap inferior di bawah laki-laki. Singkat kata perempuan yang
tertindas dengan posisinya dalam jender. Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh akar
ketertindasan perempuan, lebih baik kiranya kita melihat duduk perempuan seharusnya dalam
masyarakat. Barulah kemudian dapat dilihat dan dipahami dimana seharusnya soal
perempuan ditempatkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Seokarno tidak pernah melihat perempuan dan laki-laki sebagai suatu entitas yang
yang terpisah sama sekali. Bagi Soekarno keduanya harus dipandang sebagai manusia.
Anggaplah manusia itu sebagai koin mata uang, maka perempuan dan laki-laki adalah kedua
sisinya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Apabila ada satu sisi yang terpisah, dianggap
sebagai ‘yang lain’, diistimewakan, di saat itu pula koin tersebut belum menjadi koin yang
utuh. Artinya ada persoalan yang menghawatirkan dalam kemanusiaan.
Mengutip ungkapan Baba O’Illah, bahwa “laki-laki dan perempuan adalah sebagai
sajapnja seekor burung”(Hlm. 17), Soekarno hendak membuktikan perempuan dan laki-laki
tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari masyarakat—bagian dari manusia. Bahkan tidak
hanya berhenti di situ, Soekarno pun membuktikan dari runtutan historis dan data di pelbagai
negara ununtuk mencapai kesimpulan perempuan dan laki-laki tidak bisa hisup satu dan yang
lain. Ia mengikuti pendapat Olive Schreiner: perempuan dan laki-laki diikat oleh tali hidup
kodrat alam, yakni seks. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan embutuhkan satu dan
yang lain, karena kodrat demikian. Dan tentu saja, seks itu hanya akan menjadi gelas kosong
tanpa cinta di dalamnya. Begitulah Soekrno melihat kodrat perempuan dan laki-laki.
Dari pandangan demikian, berkonsekuesi logis pada pandangan Soekarno terhadap
persoalan perempuan yang tidak bisa dilihat secara terpisah sebagai persoalan masyarakat.
Soal perempuan adalah soal masyarakat. Hal ini dapat diperkuat dari makna persoalan
jender. Sejauh persoalan perempuan dipandang sebagai persoalan jender, maka persoalan
perempuan berarti adaah persoalan sosio-kultural dan olehkarenanya pasti persoalan
masyarakat. Melihat persoaan perempuan terlepas dari persoalan masyarakat hanya akan
mempertajam keretakan dalam kemanusiaan itu sendiri. Sudah pasti pula, akan sulit
menemukan solusi yang ingin diajukan.
Dengan demikian, dapat dipahami kenapa kemudian Soekarno menolak gerakan
femenis (baca: feminis liberal). Bagi dia, gerakan feminis tidak dapat menyelesaikan
persoalan perempuan, karena masih memandang persoalan perempuan sebagai persoalan
yang terlepas dari persoalan masyakarat. Feminisme memandang persoalan perempuan
sebagai persoalan perempuan semata. Akibatnya, feminisme tidak dapat menemukan
kontradiksi dalam masyakarat yang membentuk ketertindasan kaum perempuan itu sendiri.

Sejarah Ketertindasan Perempuan: Motif Ekonomi


Jika perempuan dan laki-laki terikat secara kodrati, lantas mengapa terjadi
ketertindasan terhadap perempuan? Mengapa pula, harus melihat persoalan perempuan
sebagai persoalan masyarakat, bukankah masyarakat pula yang mengakibatkannya?
Bukankah dalam hal ini yang tertindas adalah perempuan? Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, diperlukan mengikuti analisis yang juga digunakan oleh Soekarno dalam
Sarinah. Dalam Sarinah, Soekarno menggunakan analisa materialisme historis. Ia mengikuti
pemikiri-pemikir besar Marxisme dalam melihat persoalan perempuan, seperti August Babel,
Henriette Roland Holst dan tentu saja Friedrich Engels.
Materialisme historis memiliki premis dasar bahwa sejarah manusia dibentuk oleh
sejarah material dengan dikutum basis (ekonomi) yang mengkondisikan suprasrtuktur
(kesadaran, politik, budaya, dll).4 Dari kerangka ini kemudian Soekarno menganalisis dan
menemukan akar sebab ketertindasan perempuan. Perempuan dan laki-laki pada mulanya
hanya dibedakan oleh bentuk fisik. Akan tetapi kemudian menjelma menjadi persoalan
jender, dimana perempuan ‘disingkirkan’, akibat pembagian kerja. Berbeda dengan Engles 5
yang mengemukakan tesis bahwa keterindasan perempuan diawali dari munculnya konsep
4
Lihat Mrx-Engles, 201..(thun terbit lupa), Jerman Ideologi, Yogyakarta: Pustaka Nusantara (alih bahasa oleh
Nasikhun)
kepemilikan pribadi. Soekarno dalam hal ini mengikuti August Babel yang berpendapat
bahwa ketertindasan perempuan sudah dimulai semenjak pembagian kerja paling awal, yakni
pembagian kerja berdasarkan pada jenis kelamin. Dari pendapat tersebut, Soekarno
menyepakati ngkapan Babel: “perempuan adalah budak, sebelum ada budak” (Hlm. 46).
Akan tetapi, keduanya baik Engles maupu Babel (begitupun Soekarno) berangkat dari tesis
yang sama: persoalan perempuan dibentuk oleh motif ekonomi.
Manusia pada taraf sejarah pertama hidup dengan berburu, dan karenanya menjadi
berpindah-pindah (nomaden). Di sini perempuan sudah ditindas, dengan diarkan berdiam di
gua (tempat persinggahan sementara), karena perempuan dipandang lemah sehingga hanya
layak untuk berdiam ‘di rumah’ tanpa harus ikut mencari nafkah untuk
penghiudpan.perempuan hanya dilihat dari fungsi seksualnya saja, yanki sebagai pelayan
birahi laki-laki, hamil, melahirkan, menyusui. Tugas untuk berburu dan bertarung dengan
hewan buas hanya menjadi tugas yang tersematkan di laki-laki. Di sinilah awal mula
ketertindasan perempuan telah dimulai. Yang melatar belakanginya, tentu saja motif
ekonomi.
Masa perburuan yang mengharuskan nomaden lambat laun diganti oleh corak yang
lain, yakni pertanian. Pergantian perburuhan oleh pertanian, Soekarno mengikuti pendapat
dari Dr. Fleure yang menyatakan pertanian lebih dahulu dari perternakan (Hlm. 48). Di masa
pertanian inilah, kedudukan perempuan sempat terangkat. Sebabnya, perempuanah yang
memulai pertanian itu sendiri. Perempuan yang selalu ditinggal ‘di rumah’ di masa
perburuhan, mengakibatkan perempuan memiliki banyak waktu luang untuk melakukan
‘eksperimen’. Di sinilah, kemudian perempuan menemukan cara bercocok tanam, memintal
serat pohon menjadi pakaian, membuat rumah, dan tentu saja berkesenian. Soekarno menybut
perempuan sebagai induk kebudayaan (Hlm. 49). Inilah masa yang kemudian disebut dengan
matriarki.
Di masyarakat matriarki, perempuan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Dari
yang awalnya—pada masa perburuhan—dia inferior di bawah laki-laki menjadi superior di
atas laki-laki. Hal ini dikarenakan, perempuan yang menguasi produksi ekonomi. Perempuan
yang memahami dan melakukan cocok tanam. Dari hal ini pula, anak ditentukan garis
keturunannya dari garis Ibu. Yang semula, perkawinan menjadi hal beba yang tanpa humum
pengikat untuk memelihara anak menjadi diciptakan hukum tersebut. Konsep keluarga pun
untuk pertama kalinya dikenal dalam sejarah kemanusiaan. “Di dalam ges jang demikian itu

5
Lihat Friedrich Engles, 2011, Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, Jakarta: Kalyanamitra
(penerjemah Joesoef Isak)
tjara-hidup adalah tjara-hidup sama rata. Boleh dikatakan tjara-hidup mereka adalah tjara-
hidup komunistis!” (Hlm. 53). Akan tetapi, masa ini tidak berlangsung lama.
Masa bercocok tanam kemudian diikuti oleh pengembangan perternakan oleh laki-
laki. Karena sudah menemukan cara hidup yang menetap, laki-laki yang awalnya berburu
pun membawa hean buruannya tersebut untuk diternak. Perternakan pun kemduian duduk
diamping pertanian. Bahkan kemudian laki-laki memborong pertanian dan pertenakan itu.
Sehingga, laki-laki pun memiliki kontrol dan peranan kembali terhadap produksi. Di sinilah,
kemudian masa matriarki dihentikan dengan ditandai oleh ketidakpuasan laki-laki atas garis
keturunan dari Ibu. Garis keturunan kemudian ditentukan dari garis Bapak. Dengan demikian,
hak waris anak ditentukan dari garis Bapak pula dan perkawinan kelompok diubah menjadi
perkawaninan tunggal, agar memudahkan penentuan garis keturuanan. Seorang perempuan
hanya bisa bersuami seorang laik-laki. Mulai saat ini, matriarki diganti oleh patriaki.

Menyoal Matriarki dan Patriarki


Dari pembahasan di muka, jelas kiranya bahwa ktertindasan perempuan muncul
akibat dari kepentingan ekonomi. Persoalan perempuan muncul sebagai akibat dari persoalan
pemenuhan terhadap kebutuhan hidup—kebutuhan untuk makan. Sudah tentu pula, bahkan
matriarki muncul pun karena persoalan demikian: persoalan produksi untuk pemenuhan
kebutuha (persoalan ekonomi). Matriarki timbul, karena perempuan yang menguasi corak
produksi. Di sinilah letak matriarki yang harus dipersoalkan dari pandangan sebagian orang
dan sebagian pergerakan perempuan itu sendiri.
Sampai saat ini, masih saja yang banyak mengalami kesalah-pahaman terkait
matriarki. Dalam memandang kebudayaan masyarakat Minang (Padang) misalnya, di sana
masih disebut memiliki sistem matriarki. Benarkah demikian? Seoakrno sudah
mengungkapkan bahwa di Minang sudah tidak lagi bisa disebut masyarakat matriarki (Hlm.
93 dan 95). Sekali agi, masyarakat matriarki ditentukan oleh corak produksi yang
membentuknya, yakni bercocok taman: dimana perempuan memiliki kendali atas produksi
dan pemenuhan kebutuhan. Sementara di Minang dapatkah dikatakan demikian? “Saja kira,
semua orang jang telah berdiam di Minangkabau, atau membatja buku-buku atau uraian-
uraian tentang Minangkabau, mengetahui, bahwa di sana perempuan belum boleh dikatakan
hdiup di dalam sorga” (Hlm. 95). Demikian Soekarno menjawabnya.
Kemudian, bisakah Matriarki ditegakan kembali untuk mengangkat harkat dan
martabat perempuan? Soekarno menyatakan bahwa sejarah tidak bisa ditarik mundur
kembali. Sejarah akan terus bergerak kedepan. Matriarki tumbuh di kala manusia
menyandarkan pemenuhan kebutuhannya dari pertanian, dan sekarang ini sudah menjadi
zaman industri. Sekarang ini, zaman telah dihuni oleh corak produksi kapitalisme. Maka,
matriarki sangat sulit untuk ditegakan kembali. Bukankah, justru sekarang ini perempuan
semakin tertindas menjadi buruh dan sekaligus Ibu Rumah Tangga, karena ia tidak menguasi
corak produksi? Pergerakan perempuan yang menghadirkan matriarki sebagai solusi ats
persoalan perempuan sekarang ini, sama saja dengan bermimpi belaka. Soekarno berpesan
dalam Sarinah: “[...]boleh mengharapkn segala hal, boleh memasang tjita-tjita jang setinggi
langit, tetapi djangan mengharapkan arah evolusi masjarakat berbalik kembali” (Hlm. 92).
Lagipula, pikiran yang ingin mengekan matriarki kembali hanyalah pikiran yang
melihat persoalan perempuan sebagai yang terpisah dari persoalan masyarakat. Artinya,
hanya memandang persoalan perempuan sebagai persoalan perempuan saja, olehkarenanya
solusinya pun hanya ingin menyelamatkan perempuan saja. Padahal, bukankah sudah jelas
bahwa persoalan perempuan adalah persoalan masyakarat yang harus pula diselesaikan oleh
solusi yang menyelesaikan persoalan dalam masyarakat tersebut?
Pertanyaannya kemudian: jika matriarki tidak mungkin ditegakan kembali, dan bukan
solusi terhadap persoalan perempuan, lantas apakah patriakri adalah solusi yang layak
diajukan? Bukankah persoalan perempuan selama ini kita pahami karena adanya patriarki
yang berdiri kokoh? Soekarno mengakui dia adalah pembela dari patriarki. Akan tetapi,
patriarki seperti apa yang dibela oleh Bung Karno? Patriarki yang dibela oleh Soekarno
bukanlah patriaki yang disebutnya dengan ‘ekses-esksesnya’, melainkan patriarki murni
yakni sebagai penentuan garis keturunan dari garis kebapaan. Di sini, kita mesti arti harfiah
dari patriarki itu sendiri. Patriarki berasal dari bahasa Yunani, yakni peter (bapak) dan arkhe
(asal-mula), jadi Patriarki berarti asal-mula keturuanan ditentukan dari garis kebapaan.
Soekarno hanya membela patriarki sebagai hal yang menjadi penerang terhadap garis
keturunan. Dalam biologi pun dibuktikan, bahwa gens terbesar seorang anak bersal dari gens
bapaknya. Olehkarenanya, jelas penentuan keturunan harus ditarik dari garis kebapaan.
Hanya saja, persoalannya patriarki muncul diringi dengan munculnya konsep kepemilikan
pribadi yang kemudian membentuk partiarki yang kelewat batas. Patriarki yang kelewat batas
tersebut yang kemudian menjadikan perempuan kembali sebagai manusia kedua yang
ditindas. Di titi ini, mesti dipahami dari uraian kita di muka, bahwa persoalan ketertindasan
perempuan disebabkan oleh motif ekonomi yang meatar belakanginya. Ketika perempan
telah kembali kehilangan peranannya sebagai penentu produksi dan pemenuhan kebutuhan, di
saat itulah perempuan kembali mengalami keterindasan hingga saat ini. Jadi jelas, sejauh
partiarki yang dipahami sebagai ptariarki yang kelewat batas—yang terbntuk karena
kepemilikan pribadi—bukanlah solusi yang dapat diajukan dalam penyelesaian persoalan
perempuan. Patriarki hanya dapat digunakan sesuai fungsinya, yanki penentu garis keturunan.

Jalan Pembabasan Perempuan


Jika bukan matriarki dan bukan patriarki yang dapat menyelesaikan persoalan
perempuan, lantas pa solusi yang dapat diajukan untuk menyelesaikannya? Untuk menjawab
persoalan ini, kiranya kita harus kemabli sejak awal mula pembahasan terkait persoalan
perempuan. Pertama, persoalan perempuan harus dilihat sebagai persoalan masyarakat.
Kedua, persoalan perempuan karena menjadi bagian dari persoalan masyarakat maka
memiliki akar sebab yang sama, yakni persoalan ekonomi. Dari kedua kerangka ini, kita
dapat menemukan solusi logis dari persoalan perempuan selama ini.
Di uraian sebelumnya, sudah diketahui bahwa persoalan perempuan yang merupakan
bagian dari persoalan masyarakat disebabkan persoalan ekonomi. Sejarah menunjukan
pertama kali perempuan ditindas disebabkan oleh pembagian kerja awal yang ditentukan oleh
jenis kelamin. Begitupun ketika perempuan menjadi berkedudukan utama dalam masyakarat
diakibatkan oleh perempuan menguasi produksi, sebagai produsen yang menghasilkan brang
pemenuhan kebutuhan melalui pertanian. Selanjutnya, ketika perempuan kembali berada
dalam posisi kedua pun diakibatkan oleh penguasaan produksi kembali oleh laki-laki.
Kesemuanya, membuktikan bahwa persoalan ekonomi yang menyebabkan terekontruksinya
posisi perempuan dalam masyarakat: ditindas maupun diagungkan.
Sekarang ini—dengan melewati pelbagai corak produski dalam sejarah kemanusiaan
—kita telah masuk dalam zaman kapitalisme. Zaman dimana jelas bukan hanya perempuan
yang ditindas melainkan laki-laki pun ditindas. Zaman dimana penindasan telah mengalami
evolusi yang sangat mutakhir dan mengerikan demi kepentingan logika akumulasi modal.
Perempuan di zaman ini semakin jelas dieksploitasi dengan pelbagai macam bentuk. Dari
tubuh, pikiran, tenaga, dan sebagainya, perempuan dihabisi oleh eksploitasi kapitalisme.
Tentu saja, karena ini pula solusi yang dapat diajukan untuk menghentikan ketertindasan
perempuan adalah dengan membereskan sistem hubungan produksi. Dalam kata lain,
sekarang ini tidak ada jalan lain untuk menghilangkan penindasan terhadap perempuan ialah
dengan memibnasakan sama sekali sistem kapitalisme dari muka bumi ini. Untuk itu pulalah,
perempuan memiliki tanggung-jawab bersama laik-laki guna menumbangkan kapitalisme
dalam perjuangan menegakan Sosialisme Indonesia.
Demikian yang dapat disampaikan dalam tulisan ini terkait pembahasan Sarinah.
Dengan segala ketajaman analisa yang dibangun dalam Sarinah mesti diakui di dalamnya
masih banyak kekurangan di sana-sini. Sarinah, seperti yang diungkapkan oleh Karlina
Supeli, bukanlah proyeksi karya ilmiah melainkan sebuah himbaun dan landasan akan
kewajiban wanita dalam membangun Indonesia yang adil dan makmur. Seperti yang
diungkapkan Karlina Supeli pula, setidaknya Sarinah dapat menuntun kaum perempuan
untuk menjadi wanita Indonesia dengan segala beban tanggung-jawabnya untuk negeri ini.
Tentu saja untuk menjadi perempuan yang seutuhanya dalam kemerdekaan bangsa yang
seutuhnya.

Daftar Pustaka Pokok


Soekarno. 1963. Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoeangan Republik Indonesia.
Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Seokarno (cetakan ketiga)
Daftar Pustaka Sekunder
Engles, Friedrich. 2011. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta:
Kalyanamitra. Diterjemahkan oleh Joesoef Isak
Karlina Supeli. 2013. Membaca Kembali Sarinah: Belajar Menjadi Wanita Indonesia. Jurnal
Prisma edisi 2013. Vol. (lupa)
Marx-Engles. 201 (tahun terbit lupa). Jerman Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Nusantara. Alih
bahasa oleh Nasikhun
Rekomendasi Bacaan
Soekarno. 1963. Dibawah Bendera Revolusi [Jiid 1 dan 2]. Jakarta: panitya Penerbit

Anda mungkin juga menyukai