Anda di halaman 1dari 4

SARINAH DALAM PERSPEKTIF GERAKAN

Gerakan perempuan di Indonesia tidak dapat dipungkiri tidak terlepas dari peran Bung karno.
Kongres Perempuan I yang diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928 dalam pidatony
a Sukarno membeberkan adanya situasi atau keadaan perempuan di Hindia Belanda yang terb
elakang dan belum terorganisir dengan baik. Sukarno menyadari bahwa untuk mewujudkan k
emerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa adanya keterlibatan perempuan di dalamnya,
dan untuk mengisi kemerdekaanpun tetap tak dapat diwujudkan tanpa perjuangan dan peran p
erempuan.

Dalam buku  Sarinah, yang diterbitkanpada 1947, problem perempuan yang dituliskan Sukar
no adalah bagaimana aktivitas perempuan seharusnya mengisi perjuangan mewujudkan Repu
blik yang merdeka dan adanya kondisi terjadinya eksploitasi dan penindasan terhadap peremp
uan baik oleh kapitalisme maupun oleh budaya patriarkhi. Walaupun dalam Buku Sarinah kit
a dapat melihat bahwa Sukarno tidak setuju gerakan perempuan yang dibangun di Indonesia
berkiblat kepada gerakan feminisme di Barat yang menurutnya radikal tentang tuntutan persa
maan hak laki lakidan perempuan.

Sukarno lebih setuju agar gerakan yang dibangun adalah gerakan penyadaran lewat pendidika
n atas hak hak perempuan, menentang eksploitasi kapitalisme dan perjuangan sosialisme untu
k mewujudkan kesejahteraan mamsyarakat yang didalamnya laki laki dan perempuan. Dalam
kaitan ini Soekarno lupa, bahwa jikapun sosialisme terwujud, ada budaya patriarkhi dan ideol
ogi gender yang menindas dan meminggirkan kaum perempuan.

Dalam pengantar bukunya Sukarno mengatakan : “Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai t
anda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak. Pengasuh say
a itu bernama Sarinah. Ia \'mbok\' saya... Dari dia, saya banyak mendapat pelajaran mencint
ai \'orang kecil\'. Dia sendiri pun \'orang kecil\', tetap ibu dinya selalu besar!\" \"Sayang sek
ali, bahwa soal perempuan itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan ki
ta. Sesudah kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat saya soal peremp
uan itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun n
egara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti
soal perempuan. Itulah sebabnya saya, setiba saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursu
s-kursus perempuan itu.\"
Sosok Sarinah yang digambarkan Sukarno serta peran peran yang dilakoninya jika kita kaji d
alam teori feminisme menggambarkan realitas domestikasi peran perempuan yang tugasnya h
anya sumur, kasur dan dapur. Sarinah juga menggambarkan bahwa pekerjaan perempuan dira
nah domestik yang bekerja tanpa batas waktu dianggap tidak punya nilai ekonomi dan tak ber
hak atas upah yang layak. Pekerjaan disektor domestik dianggap menjadi kodrat perempuan d
an tidak perlu dihargai secara ekonomi.

Banyak Sarinah lain diberbagai sektor yang mempunyai masalah yang sama, para perempuan
itu juga mengalami diskriminasi, eksploitasi bahkan kekerasan akibat sistem patriakhi yang m
enindas dan menghisap kaum perempuan. Realitas inilah yang dijadikan Sukarno untuk mend
orong agar kaum perempuan mau belajar dan membangun kesadaran dirinya agar sadar hakn
ya sebagai warga negara sehingga dapat berpartisipasi dalam membangun kemerdekaan.

Itulah sebabnya pasca kemerdekaanIndonesia di proklamasikan, Sukarno menyadari bahwa u


paya melibatkan perempuan dalam membangun bangsa dan mengisi kemerdekaan perlu seger
a dilakukan. Demi tujuan ini, Sukarno tak segan mengampanyekan perubahan perempuan kea
rah yang lebih baik saat ibukota negara berpindah ke Yogyakarta tahun 1946. Bertempat di b
elakang ruang Kepresidenan, Sukarno mengajari kaum perempuan berkenaan kewajiban-kew
ajiban perempuan dalam perjuangan rakyat Indonesia.

Buku Sarinah merupakan kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita yang
isinya mengkritisi kebanyakan laki-laki yang masih memandang perempuan sebagai \"suatu b
lasteran antara Dewi dan seorang tolol.\" Dipuji-puji bak Dewi, sekaligus dianggap tolol serta
tidak punya hak yang sama dengan laki laki dalam mengisi kemerdekaan.

Hal ini menjadi realitas yang dilihat Sukarno disekitarnya dimana dalam bukunya dia menceri
takan pengalamannya bertamu kerumah para priyayi dimana perempuan tidak dijinkan untuk
ikut duduk menerima tamu dan hanya mengintip dari balik tirai. Perempuan hanya dijadikan
pajangan dan teman konco wingking bukan mitra sejajar laki laki baik dalam rumah tangga m
aupun masyarakat.

Dalam buku Sarinah, Sukarno menjabarkan proses evolusi perubahan dari matriarki menuju


patriarki. Namun, tidak berarti Sukarno menyetujui kembalinya matriarki sebagai solusi peng
enyahan penindasan perempuan. Ia mengemukakan tesisnya tentang masyarakat yang merdek
a dan sejahtera yang ia sebut sosialis adalah masyarakat yang menganut sistem keluarga patri
arki.
Pemikiran soal patriarkhi ini kemudian mengundang perdebatan kaum feminis karena patriar
ki bukanlah kodrat alam, seperti yang diuraikan Engels bahwa lahirnya keluarga ayah berasal
dari adanya kepemilikan pribadi dan properti, yang kemudian menjadikan perempuan sebagai
properti hakmilik pribadi. Patriarkhilah yang menjadikan terjadinya penindasan atau subordin
asi perempuan karena konsep kepemilikan laki laki terhadap perempuan. Patriarkhi jugalah y
ang mempertentangkan produksi dan reproduksi, sektor domestik dan publik.

Pemikiran Bung Karno soal gerakan perempuan dan perjuangannya tidak seluruhnya diadopsi
oleh organisasi perempuan yang tumbuh pada masa itu, bahkan mengalami pro dan kontra. H
al ini terlihat ketika Sukarno memutuskan untuk menikah dengan Hartini pada tahun 1954 di
mana sebahagian gerakan perempuan menggangap tindakan tersebut merupakan tamparan ke
ras bagi kelompok perempuan yang mengakibatkan hubungan Soekarno dengan gerakan pere
mpuan menjadi tegang dan bahkan mengurangi popularitasnya dikalangan organisasi peremp
uan.

Ide ide besar Sukarno soal gerakan perempuan dan peran perempuan dalam mengisi kemerde
kaan dalam bukunya Sarinah dipertanyakan banyak pihak. Bahkan sebahagian kelompok pere
mpuan mendukung Fatmawati untuk meninggalkan Istana dan menyesalkan tindakan sebagia
n organisasi perempuan yang tidak memprotes perkawinan Soekarno dengan Hartini.

Berkaca pada perjalanan gerakan perempuan di Indonesia sejak kebangkitannya hingga saat i
ni, kit adapat menganalisa berbagai kontradiksi tentang kekuatan dan kelemahan pemikiran S
ukarno mengenai gerakan perempuan. Akan tetapi dalam konteks awal revolusi, pemikiran S
ukarno ini dianggap cukup revolusioner dan mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah duni
a.

Memahami Sarinah-nya Sukarno ibarat kita diajak memahami konteks waktu dan darimana S
ukarno mendapatkan pengetahuan, melek politik serta pengaruh kultur atau budaya  dalam pa
ndangannya soal perempuan. Jika kita telisik lebih jauh dan mencoba bertanya, untuk apa Su
karno menulis Sarinah dan untuk kepentingan apa? Untukapa Sukarno bersusah payah memik
irkan pentingnya mengurai persoalan perempuan dan mendorong terbangun gerakan perempu
an aga ikut berkontribusi dalam mengisi kemerdekaan? Bukankah itu kontra produktif denga
n tindakannya melakukan praktik poligami yang dianggap sebagai tindakan yang melukai per
empuan dan tindakan tersebut mendapat perlawanan dari gerakan perempuan.

Dengan beragam pertanyaan tersebut,  layakkah Sukarno dinyatakan sebagai feminis laki-laki?
Gadis Arivia dalam tulisannya di Jurnal Perempuan mengatakan bahwa telah ada feminis laki
laki sejak zaman dahulu baik di Barat maupun di Timur. Mereka turut berperan dalam memp
erjuangkan hak hak perempuan dan mendukung gerakan perempuan untuk memperjuangkan
hak asasinya.

Walaupun banyak juga yang kemudian mempertanyakan apakah mungkin laki laki dapat men
jadi feminis karena laki laki tidak pernah merasakan pengalaman perempuan dan merasakan s
truktur dan kultur yang mendiskrimasi dan menindas perempuan. Apakah laki laki hanya seb
agai insider atau outsider dalam gerakan feminisme itu dengan alasan tak punya pengalaman
perempuan dan itu hanya bisa dirasakan perempuan.

Sukarno menjadi salah satu feminis laki laki di Indonesia karena dianggap pemikiran dan keb
ijakannya banyak mempengaruhi gerakan perempuan di Indonesia. Walaupun kemudian pada
akhirnya slogan bung Karno antara satunya kata dan perbuatan diuji juga dalam konteks tinda
kannya terhadap perempuan. Pemikiran Sukarno soal perempuan dianggap revolusioner wala
u dalam tataran praksis lewat tindakannya berpoligami dianggap melecehkan perempuan. Ak
an tetap dengan segala yang telah dilakukan Sukarno pada masanya, dia layak disebut feminis
laki laki karena ikut memikirkan dan berjuang untuk kemajuan kaum perempuan di Indonesia.

Berjuang bersama dan menjadi bagian dari gerakan perempuan lewat berbagai pemikiran dan
kebijakannya tentang perempuan. Sarinah telah memberikan dia sisi humanisme dan dalam g
erakan perempuan memanusiakan manusia yg didalamnya perempuan adalah hal yang mutlak
diperjuangkan. Cita cita Sukarno adalah agar kaum perempuan punya hak dan memiliki keme
rdekaaan berpikir, bertindak dan menentukan hidupnya sendiri.

Pesan bung Karno dalam penutup bukunya “Jangan tertinggal dalam Revolusi Nasional ini,
jangan pula tertinggal dalam upaya menyusun masyarakat adil dan sejahtera. Dalam masya
rakat inilah engkau akan menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!”. Merdekaaa
aa.....[R]

Oleh : Sarma Hutajulu (Aktifis Perempuan yang merupakan Wakil Ketua Bidang Buruh DPD
PDI Perjuangan Sumut yang berprofesi sebagai Konsultan Hukum. dan pernah duduk sebag
ai Anggota DPRD Sumut Periode 2014-2019).

"/>

Anda mungkin juga menyukai