Anda di halaman 1dari 3

Nama : Sri Suci Pratiwi

Nim : 210401023

Prodi : Pendidikan Sejarah

Unit : 02

BAB 7: SEJARAH WANITA

DARI SEJARAH ANDROCENTRIC KE SEJARAH ANDROGYNOUS

SEJARAH KONVENSIONAL, REKONSTRUKSI ANDROCENTRIS

Penulis sejarah indonesia ketinggalan dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi
dalam penelitian tentang wanita, sekalipun “women Studies” juga belum mempunyai
kedudukan tersendiri dalam ilmu-ilmu sosial di negeri ini. Kebanyakan tulisan sosiologi atau
demografi membicarakan peranan wanita dalam sektor-sektor sosial, seperti karangan
pudjiwati sajogyo, peran wanita dalam perkembangan masyarakat desa, dan banyak karangan
lain tentang ketenagakerjaan dan keluarga berencana. Kita pun ingin mengejar ketertinggalan
dari penelitian-penelitian sejarah di luar indonesia. Dalam kajian sejarah di Amerika,
misalnya, sejarah wanita menjadi spesialisasi tersendiri, disamping cabang-cabang sejarah
lainnya, tampak pada terbitan American Historical Assosiation (AHA). Ilmu-ilmu sosial di
indonesia maupun sejarah mempunyai kekurangan masing-masing. Sosiologi, demografi, dan
ekonomi paling-paling membecarakan tentang wanita hanya sebagai penyumbang seperti
yang tampak dalam judul karangan untuk seminar, penelitian. Karangan tersebut selalu
memakai kata “peranan” sebagai tema pokoknya, seolah –olah wanita hanya penyumbang
terhadap jalanya sektor-sektor sosial-ekonomi. Memang, kita tahu dunia ini terdiri dari
separuh laki-laki dan separuhwanita. Tetapi dengan kata “peranan” kita mengartikannya
secara konotatif bahwa wanita “hanyalah” penyumbang sedangkan dunia ini adalah dunia
laki-laki.

Sejarah sudah menganggap bahwa wanita dapat pribadi yang bisa berdiri sendiri,
sebagaimana yang dibuktikan oleh banyaknya buku yang ditulis tentang wanita. Sejarah kita
ternyata dipenuhi dengan tema-tema politik dan militer, jenis sejarah yang paling menarik
perhatian umum. Sejarah politik adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal
yang dimiliki laki-laki. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah bersifat androcentric, karena
sejarah berpusat pada kaum laki-laki saja. Gambaran masa lalu semacam itu tentu saja tidak
adil, karena melihat perempuan hanya sebagai second sex.

Sejarah wanita dapat dikatakan dalam sejarah sosial, sebuah contoh yang bagus iyalah
buku Leonard Blusse, Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanika Peranakan, Dan
Belanda Di Batavia VOC. Dalam bab VIII yang merupakan bab terpanjang dalam buku ini
diceritakan tentang para wanita peranakan, terutama Cornelia van Nijenroode menjadi kepala
dagang voc di Hirado, jepang, tahun-tahun 1623-1633, sebelum orang-orang belanda terpaksa
mengalihkan pusat dagangnya ke Deshima. Cornelia memelihara dua orang nyai jepang, dari
mereka lahir anak-anak perempuan. Ketika cornelia wafat dia mewasiatkan agar anak anak
nya di kirimkan ke Batavia agar memiliki kehidupan yang lebih beradab dari pada di
pemukiman belanda, maka terpisah anak-anak itu dari ibunya. Dari sumber yang luar biasa
lengkapnya, dari Dagh Register, catatan gereja, akta notaris, sanggup mengungkap cornelia
sebagai tokoh yang penuh kegemilangan dan duka sekaligus dalam dunia barunya di Batavia,
yang sesekali manis tetapi seringkali kejam terhadap wanita peranakan. Dalam sejarah
wanita, pendekatan politik artinya politik sex, dimana kaum wanita berhadapan dengan kaum
laki-laki memperebutkan hegemoni dan kekuasaan, pendekatan ini muncul dari kalangan
gerakan pembebasan wanita, yang mencoba untuk melepaskan diri dari ndunia laki-laki.
Mereka melawan gambaran dunia yang sexist, dalam hubungan sosial, ekonomi, politik,
bahkan keagamaan. Mereka menggambarkan kaum wanita sebagai kaum tertindas. Buku
Mary Daly, Beyone god the father memberikan gambaran tentang perkembangan sejarah
pemikiran kaum feminis yang mencoba menggugat penindasan kaum wanita dalam dunia
pikiran barat dan “Tuhan Sang Bapa”.

Banyak tema dapat dikerjakan yang berhubungan dengan penulisan sejarah wanita,
yaitu:

1. Peranan wanita dalam berbagai sektor sosial-ekonomi.


2. Biografi atau prosopografi wanita
3. Gerakan wanita
4. Gambaran wanita
5. Sejarah keluarga
6. Budaya wanita
7. Hubungan laki-laki dan wanita
8. Kelompok-kelompok wanita
9. Etnisitas
10. Ekonomi
11. Penerbitan sumber

Tesis S-2 Soedarmono, Munculnya kelompok pengusaha batik dilaweyan pada awal
abad ke xx, tentang peran wanita dalam dunia usaha, dalam puncak hirarki ternyata wanita
memiliki kedudukan tertinggi sebagai pengusaha, sedangan pria hanya membantu istri
apabila dibutuhkan. Pengusaha batik pada waktu itu memiliki suatu kehormatan tersendiri
yang disebut mbok mase. Dengan demikian sektor ekonomi bukan saja milik kaum laki-laki
tetapi dalam banyak kasus perempuan lah yang memegang peran lebih. Munculnya sekolah-
sekolah khusus untuk wanita, pers wanita, mode pakaian, semuanya dapat menjadi topik bagi
budaya wanita. Dari pembahasan diatas kita mendapat gambaran bahwa perempuan
merupakan kaum yang “lemah”. Tujuan kita bukan sejarah yang gynocentric, sejarah dengan
wanita sebagai pusat, tetapi sejarah yang lebih adil, mengambil bagian yang didalamnya ialah
sejarah yang androgynous.

Perkembangan mutakhir sejak 1985, dengan adanya konferensi PBB ke tiga di Nirobi
(comission on the status of women),dan diperkuat dengan konferensi PBB keempat pada
1995, ialah masuk nya istilah “Gender”. Gender berbeda dengan istilah perempuan dan laki-
laki yang sifatnya biologis, sebagai kodrat yang dibawa sejak lahir. Gender merujuk pada
adat, istiadat, aturan dan hubungan sosial-budaya “feminim” dan “maskulin”. Femininitas
dan maskulinitas itu bentuk sosial-budaya, dan sama sekali bukan bawaan yang tak dapat
berubah dari waktu kewaktu dan dari sebuah tempat ke tempat lain sebagaimana laki-laki dan
perempuan yang sudah pasti secara biologis. Tekanan utama wanita sebagai gejala biologis,
maka dalam sejarah gender tekanan utama ialah pada hubungan soisal-budaya, konsep
femininitas, dan konsep maskulinitas dalam masyarakat dan budaya tertentu. Syarat
terpenting dalam studi sejarah gender adalah kemampuan mengidentifikasi kelompok sosial
penggunaan konsep gender yang aktual dan spesifik. Kemampuan mengidentifikasi itu lah
yang menyebabkan studi sejarah berharga untuk disebut sejarah.

Tulisan – tulisan sejarah, seperti disertasi Darsiti Soeratman, “Kehidupan Dunia


Kraton Surakarta 1830-1939” (UGM, 1989) dapat dipercaya sebagai sumber subordinasi
perempuan atas dasar budaya, demikian sebaliknya, tesis Soedarmono, “ Munculnya
Kelompok pengusaha batik di Laweyan pada Awal Abad ke xx” (UGM, 1978) dapat menjadi
contoh tentang supremasi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai