Anda di halaman 1dari 3

Review Paper Week 14 “Feminisme dan Gerakan Perempuan di

Indonesia”

Membicarakan topik feminisme, mungkin beberapa kalangan akan tidak begitu cocok
dengan padanan feminis karena tidak semua orang dalam lingkup ilmu sosial yang
berkonsentrasi pada Kajian Wanita tidak nyaman akan julukan tersebut. Feminisme diyakini
sebagai sebuah gerakan untuk memperjungkan hak-hak atas kesetaraan gender yang lahir atas
permasalahan yang kompleks seperti ekonomi dan politik di sebuah negara maupun dalam
lingkup sistem internasional. Di setiap negara, gerakan akan kesetaraan memiliki tipe yang
berbeda dan tidak jarang banyak aktivis maupun peneliti tidak suka dengan istilah feminisme
karena istilah itu bukan berasal dari negara nya dan tidak cukup mencakup akar permasalahan
kesenjangan di sebuah negara. Di Indonesia sendiri, para peneliti serta aktivis tidak suka
dengan padanan feminis yang disematkan pada mereka meskipun secara pergerakan dan aksi
yang mereka lakukan cocok untuk disebut sebagai aktivitas gerakan feminisme. Dikutip dari
tulisan Susan Blackburn, orang Indonesia cenderung sedikit yang bangga akan status nya
sebagai feminisme namun gerakan mereka perduli pada masalah perempuan dan diskriminasi
atas perempuan, (Blackburn, 2004).

Kita mengenal begitu banyak kisah perjuangan kaum perempuan dimasa


kolonialisme, namun sebenarnya yang terjadi adalah banyaknya penghalang atas gerakan
perempuan dimasa tersebut yang disebabkan banyak faktor. Faktor utamanya adalah
ketidaksetaraan peran perempuan di masa itu yang hanya diberatkan pada tugas domestik
bahkan gerakan perempuan hampir tidak pernah terdengar. Baru sekitar akhir abad 19
menuju awal abad 20 gerakan perempuan mulai merekah, salah satunya adalah Putri Mardika
yang terbentuk pada tahun 1912 yang juga terintegrasi dengan gerakan Budi Utomo.
Kemudian pada tahun 1920, organisasi Aisyiyah lahir sebagai organisasi perempuan dalam
pergerakan Islam dibawah naungan Muhammadiyah. Namun, organisasi perempuan dimasa
ini cenderung masih dipenuhi oleh pengaruh dominan laki-laki dan dihalangi oleh
pengawasan pemerintah kolonial untuk menghindarkan gerakan nasionalisme dalam
memerdekakan Indonesia secepat sebelum rencana kolonial berhasil sepenuhnya di tanah
jajahan.
Berbagai tokoh pergerakan perempuan di Indonesia pun dalam melebarkan sayap
perjuangan mereka menimbulkan banyak pro-kontra. Seperti gerakan kesetaraan di dunia
yang patriarkis oleh RA Kartini, gerakan yang beliau lakukan memang menyebabkan banyak
perubahan pandangan terhadap kiprah perempuan namun diwaktu yang bersamaan juga
menimbulkan banyak pertanyaan ketika akhirnya beliau menikah dengan seorang Patih yang
sudah menikah dengan kata lain RA Kartini adalah permaisuri yang dimadu. Ini sebuah
paradox ketika seorang aktivis kesetaraan justru menikah dengan laki-laki bangsawan yang
bukan pilihannya sendiri padahal beliau sangat membenci pernikahan yang didasarkan
dengan paksaan hanya demi melanggengkan kekuasaan dan jabatan laki-laki. Dalam banyak
literatur, RA Kartini melakukan hal itu untuk membantu nya mendirikan sekolah untuk anak-
anak dan perempuan, terlihat sangat mulia namun apakah hanya itu cara paling pamungkas
untuk mewujudkan cita-cita beliau dan meninggalkan kesempatan belajar di Belanda? Ini
adalah sebuah anomali ketika seorang aktivis juga terhalag oleh hirarki yang melegenda di
jaman itu.

Sejak masuknya pemikiran feminisme kontmporer pada masa orde baru, terlihat
banyak organisasi pergerakan perempuan untuk memberantas permasalahan ketidaksetaraan
baik pada peran gender, ketimpangan kekuasaan, dan kebebasan dalam bersuara seperti yang
dilakukan oleh Gerwani pada masa G30SPKI. Sayangnya, gerakan perempuan juga masih
sangat sulit berkembang di masa orde baru ketika setiap gerakan perempuan dibawah
naungan kepentingan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang sangat didominasi
oleh kehadiran laki-laki di dalamnya. Contohnya adalah gerakan PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga) yang lahir hanya untuk menjadi alat kesuksesan dalam program
keluarga berencana. Organisasi lain bahkan yang berkerja dibidang advokasi permasalahan
perempuan dimasa orde baru sangat dibatasi untuk menghindarkan Indonesia dari kudeta dan
banyaknya demo kesetaraan, salah satunya adalah organisasi Rifka Annisa yang bergerak
pada kasus kekerasan terhadap perempuan baik itu dalam lingkup rumah tangga maupun
diluar rumah tangga.

Pada tanggal 13 Desember, salah satu jajaran direktur Rifka Annisa memberikan
materi mengenai Feminisme & Akitivisme Perempuan di Indonesia yang hasilnya cukup
mencenggangkan. Rifka Annisa bergerak sangat bergerlya diawal karir nya karena takut
untuk diberhentikan izin operasionalnya lantaran membela sesuatu yang cukup tabu pada
masa itu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang masih sangat dianggap aib bagi seluruh
masyarakat Indonesia saat itu. Namun, berkat kegigihan para pendirinya, Rifka Annisa
berhasil bertahan hingga sekarang dengan banyaknya kasus yang telah diadvokasi pada
proses hukum dan tidak lupa juga selalu menuntut akan kepastian hukum atas kekerasan
perempuan di lingkup domestik maupun eksternal. Saya, Kanedi Noris sempat menanyakan
pertanyaan “Bagaimana keadilan bagi perempuan dalam kasus perselingkuhan pada pasal
zina UUD 1945?” dan beliau menjawab bahwa pasal zina akan terpanah pada pelaku
seutuhnya dan mendapatkan hukuman yang sangat tepat sesuai UU yang ada dan hal ini
sudah diakui sepenuhnya oleh negara, jadi perempuan di Indonesia sekarang akan merasa
aman dalam lindungan hukum konstitusi yang tegas.

Jawaban beliau sungguh membuka mata saya pada penyelesaian kasus diskriminasi
dalam lingkup feminisme yang sudah sangat massif dan tidak lagi dikendarai oleh
kepentingan negara di dalamnya meskipun masih banyak tumpang tindih bahkan kesenjangan
kekuasaan. Dalam jurnal yang berjudul “Seratus Tahun Feminisme di Indonesia, Analisis
terhadap Para Aktor, Debat, dan Strategi” yang ditulis oleh Gadis Arivia dan Nur Iman
Subono yang dielaborasikan dengan materi dari Rifka Annisa membuktikan bahwa
perjuangan aktivis perempuan dalam Kajian Perempuan tidak mudah ketika di Indonesia
budaya patriarki masih sangat kuat dan dari Kajian Wanita, saya mengerti bahwa
permasalahan ketimpangan gender bukan hanya pada posisi perempuan di politik yang masih
di tangguhkan kepada laki-laki tetapi juga pada kesenjangan sosial, kesenjangan infrastruktur,
dan tindak kriminalitas yang masih cukup tinggi. Dan perjuangan mereka masih ters
berkiprah hingga saat ini membuktikan bahwa perjuangan perempuan adalah sebuah gerakan
yang sangat konsisten demi terwujudnya perdamaian dan kesetaraan atas hak dan kewajiban
bersama.

Bibliography
Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Subono, G. A. (2018). Seratus Tahun Feminisme di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai