Indonesia”
Membicarakan topik feminisme, mungkin beberapa kalangan akan tidak begitu cocok
dengan padanan feminis karena tidak semua orang dalam lingkup ilmu sosial yang
berkonsentrasi pada Kajian Wanita tidak nyaman akan julukan tersebut. Feminisme diyakini
sebagai sebuah gerakan untuk memperjungkan hak-hak atas kesetaraan gender yang lahir atas
permasalahan yang kompleks seperti ekonomi dan politik di sebuah negara maupun dalam
lingkup sistem internasional. Di setiap negara, gerakan akan kesetaraan memiliki tipe yang
berbeda dan tidak jarang banyak aktivis maupun peneliti tidak suka dengan istilah feminisme
karena istilah itu bukan berasal dari negara nya dan tidak cukup mencakup akar permasalahan
kesenjangan di sebuah negara. Di Indonesia sendiri, para peneliti serta aktivis tidak suka
dengan padanan feminis yang disematkan pada mereka meskipun secara pergerakan dan aksi
yang mereka lakukan cocok untuk disebut sebagai aktivitas gerakan feminisme. Dikutip dari
tulisan Susan Blackburn, orang Indonesia cenderung sedikit yang bangga akan status nya
sebagai feminisme namun gerakan mereka perduli pada masalah perempuan dan diskriminasi
atas perempuan, (Blackburn, 2004).
Sejak masuknya pemikiran feminisme kontmporer pada masa orde baru, terlihat
banyak organisasi pergerakan perempuan untuk memberantas permasalahan ketidaksetaraan
baik pada peran gender, ketimpangan kekuasaan, dan kebebasan dalam bersuara seperti yang
dilakukan oleh Gerwani pada masa G30SPKI. Sayangnya, gerakan perempuan juga masih
sangat sulit berkembang di masa orde baru ketika setiap gerakan perempuan dibawah
naungan kepentingan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang sangat didominasi
oleh kehadiran laki-laki di dalamnya. Contohnya adalah gerakan PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga) yang lahir hanya untuk menjadi alat kesuksesan dalam program
keluarga berencana. Organisasi lain bahkan yang berkerja dibidang advokasi permasalahan
perempuan dimasa orde baru sangat dibatasi untuk menghindarkan Indonesia dari kudeta dan
banyaknya demo kesetaraan, salah satunya adalah organisasi Rifka Annisa yang bergerak
pada kasus kekerasan terhadap perempuan baik itu dalam lingkup rumah tangga maupun
diluar rumah tangga.
Pada tanggal 13 Desember, salah satu jajaran direktur Rifka Annisa memberikan
materi mengenai Feminisme & Akitivisme Perempuan di Indonesia yang hasilnya cukup
mencenggangkan. Rifka Annisa bergerak sangat bergerlya diawal karir nya karena takut
untuk diberhentikan izin operasionalnya lantaran membela sesuatu yang cukup tabu pada
masa itu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang masih sangat dianggap aib bagi seluruh
masyarakat Indonesia saat itu. Namun, berkat kegigihan para pendirinya, Rifka Annisa
berhasil bertahan hingga sekarang dengan banyaknya kasus yang telah diadvokasi pada
proses hukum dan tidak lupa juga selalu menuntut akan kepastian hukum atas kekerasan
perempuan di lingkup domestik maupun eksternal. Saya, Kanedi Noris sempat menanyakan
pertanyaan “Bagaimana keadilan bagi perempuan dalam kasus perselingkuhan pada pasal
zina UUD 1945?” dan beliau menjawab bahwa pasal zina akan terpanah pada pelaku
seutuhnya dan mendapatkan hukuman yang sangat tepat sesuai UU yang ada dan hal ini
sudah diakui sepenuhnya oleh negara, jadi perempuan di Indonesia sekarang akan merasa
aman dalam lindungan hukum konstitusi yang tegas.
Jawaban beliau sungguh membuka mata saya pada penyelesaian kasus diskriminasi
dalam lingkup feminisme yang sudah sangat massif dan tidak lagi dikendarai oleh
kepentingan negara di dalamnya meskipun masih banyak tumpang tindih bahkan kesenjangan
kekuasaan. Dalam jurnal yang berjudul “Seratus Tahun Feminisme di Indonesia, Analisis
terhadap Para Aktor, Debat, dan Strategi” yang ditulis oleh Gadis Arivia dan Nur Iman
Subono yang dielaborasikan dengan materi dari Rifka Annisa membuktikan bahwa
perjuangan aktivis perempuan dalam Kajian Perempuan tidak mudah ketika di Indonesia
budaya patriarki masih sangat kuat dan dari Kajian Wanita, saya mengerti bahwa
permasalahan ketimpangan gender bukan hanya pada posisi perempuan di politik yang masih
di tangguhkan kepada laki-laki tetapi juga pada kesenjangan sosial, kesenjangan infrastruktur,
dan tindak kriminalitas yang masih cukup tinggi. Dan perjuangan mereka masih ters
berkiprah hingga saat ini membuktikan bahwa perjuangan perempuan adalah sebuah gerakan
yang sangat konsisten demi terwujudnya perdamaian dan kesetaraan atas hak dan kewajiban
bersama.
Bibliography
Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.