Anda di halaman 1dari 5

Untung Tidak Ada Hari Sukarno

Oleh: Mastono

Hampir setiap hari di penanggalan masehi yang kita kenal sekarang ini diperingati dengan
peringatan tertentu. Ada Hari Bumi, Hari Buku,sampai Hari Tanpa Bra Seduia, Hari Buruh
Sedunia, Hari Ibu Internasional dan hari-hari lainnya. Di Indonesia, negeri kita ini, hari-hari
itu ditambah dengan adanya Hari Ibu Nasional, Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan Nasional,
Hari Kartini, Hari Pendidikan, Hari lahir Pancasila, Hari Kemerdekaan, Hari Kesaktian
Pancasila,dll. Untungnya, dari sekian hari-hari yang diperingati itu tidak ada yang namanya
Hari Sukarno.

Lho, kok ga ada peringatan Hari Sukarno malah dibilang untung? Bukannya Sukarno sebagai
proklamaator, pendiri bangsa, seharusnya wajar kalau dibikin peringatan? Mungkin anda
akan berpikir seperti ini. Dan, memang, lebih baik jika anda berpikir seperti ini. Pasalnya,
jika tidak ada pertanyaan seperti, maka tulisan ini tidak relevan untuk dibaca, karena hanya
menjadi kegelisahan saya saja.

Kenapa tidak adanya Hari Sukarno harus disyukuri? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
marilah kita tengok dulu pada hari-hari yang diperingati lainnya, terutama yang berhubungan
dengan tokoh.

Lihatlah Hari Kartini yang selalu diperingati setiap tanggal 21 April, justru lebih layak
disebut sebagai Hari Kebaya Nasional. Kita tentu tahu, perayaan umum di negeri ini untuk
memperingati salah satu pionir emansipasi perempuan Indonesia ini, dengan cara
mewajibkan suatu intasi baik pemerintah maupun swasta untuk pegawai perempuannya
memakai baju kebaya. Di sekolah-sekolah, malahan ada lomba baju kebaya bagi siswi-siswi.
Layaknya model professional mereka memperagakan kebaya yang mereka kenakan dengan
lenggak-lenggok di lapangan sekolah.

Pernahkah kita berpikir, kenapa kok Hari Kartini diperangi dengan acara begitu? Memangnya
torehan Kartini dalam sejarah negeri ini sebagai Duta Kebaya? Lha, wong Kartini itu hanya
karena dia lahir dan sebagai keturunan ningrat Jawa saja sehingga memekai kebaya, dan itu
era yang lalu. Belum tentu, kalau Kartini lahir sebagai rakyat jelata, dia menggunakan kebaya
sebagus itu dalam kesahriannya. Belum tentu juga, kalau Kartini adalah perempuan kekinian
dia akan selalu menggunakan kebaya.
Apa yang dibicarakan dan dicita-citakan Ibu Kita Kartini Puti Sejati Puti Indonesia Harum
Namanya, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kebaya. Dia membicarakan hak
perempuan dalam pendidikan yang pada masa itu dikebiri. Dia ingin saudara-saudara sesame
perempuan di negeri ini mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Setahu saya, setahu
saya, sekali lagi setahu saya lho, tidak ada Kartini membicarakan, apalagi mempromosikan
kebaya. Pada esensinya, perjuangan Kartini adalah perjuangan mendongkrak kungkungan
feodalisme dalam soal perempuan. Sekali lagi, bukan perkara kebaya!

Siapa yang membuat hari Kartini jadi segila ini diperingati sebagai Hari Kebaya? Tak lain
dan tak bukan, seorang perusak yang selalu dirindukan: SOEHARTO. Beliau ini juga yang
membuat Hari Ibu diperingati sebagai hari masak-masak dan melo dramatis antara anak dan
Ibunya. Beliau ini yang berhasil mencitrakan Hari Ibu jadi jauh dari sifat politisnya. Padahal,
kalau saja, kita mau baca sejarah, tidak sama sekali berhubungan Hari Ibu dengan mellow
dramatis anak dan ibunya sampai ngasih bunga, apalagi cuma masak-masak. Hari Ibu ada
karena adanya Kongres Kaum Ibu yang menginkan perempuan ikut serta dalam perjuangan
nasional. Piye sih lek, buruk banget kowe ngrusak sejarah, To, Harto!

Tapi berkat The Smiling Jenderal jugalah butik-butik penyewaan kebaya jadi laris manis
ketika Hari Kartini. Mereka, kaum perempuan, yang tak memiliki kebaya pada nyewa di
butik-butik dengan harga yang mahal. Dan itu, semoga saja berdampak pada bonus pegawai
butik. Amiin.

Ironi lain datang dari sekumpulan orang yang mendaku diri aktifis dalam memperingati Hari
Kartini. Mereka memperingati Hari Kartini dengan cara mengkritisi kaum hawa kekinian
yang bagi mereka hanya bisa bersolek dan belanja. Apa yang salah dari perempuan yang
bersolek dan apa yang salah dari perempuan yang suka belanja? Kalau ada duitnya untuk beli
makeup dan belanja mah baik saja. Lagipula, perempuan yang bersolek dan suka belanja itu
bukan salah mereka. Itu kan salah dari masyarakat yang sudah dikontruksi secara patriarkis
dan ekonomi politik yang memaksa orang untuk menjadi komsumtif.

Karena perempuan mengabaikan politik? Ini lagi, emang salah mereka kalau tidak paham
politik dan hak-hak mereka? Salahkan Suharto noh yang udah mencerabut perempuan dari
politik. Salahkan sistem politik kita yang meminggirkan perempuan. Jangan salahkan
perempuannya, mereka itu korban, hanya korban! Lagipula tidak semua orang bisa mengerti
politik begitu saja. Ente yang ngaku aktifis saja nayatanya tidak paham politik dengan
mengecam bersolek dan suka belanjanya perempuan.
Sekarang kita ambil contoh lain, Hari Pendidikan. Hari Pendidikan ini diperingati
berdasarkan kepada hari lahirnya Eyang Ki Hadjar Dewantoro. Di hari ulang tahun Ki Hadjar
Dewantoro, sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, biasanya diperingati dengan demo-demo
atau bikin panggung kebudayaan yang tujuannya adalah mengkritik sistem pendidikan di
Indonesia. Bukan demonya yang bermasalah, ingat bukan demonya, tapi kita lihat
tuntunannya.

Kalau yang tuntunan di sampaikan dalam demonya dibahas dengan serius, dengan data dan
pengetahuan baik teoritis dan historis yang mumpuni sah-sah saja. Malahan demo itu harus
dilaksanakan sebagai tugas sejarah. Bagaimanapun kebobrokan suatu sistem memang mesti
dikritisi dan didobrak. Masalahnya, kalau tuntutannya ngaco yang membikin peringatan Hari
Pendidikan menjadi sangat ironis.

Seperti peringatan Hari Pendidikan di tahun ini, salah satu aliansi gerakan mahasiswa di
Yogyakarta, malah nuntut dihapuskannya Home Schooling. Lha, ini tuntutan macam apa?
Alasannya seolah heorik—tapi, maaf, goblok—menolak privatisasi dalam dunia pendidikan?
Apanya yang bermasalah dari privatisasi homeschooling? Karena homeschooling hanya
untuk keluarga yang duitnya berlebih? Karena homeschooling tertutup hanya untuk satu
keluarga yang membayar? Ya, Allah ya Rabb, keleus. Mereka mungkin lupa dawuhnya Mbah
Pramoedya: pelajar harus adil sejak dalam pikiran!

Kita dianjarkan utuk dengan adil dalam melihat segala hal, tidak dengan sinisme yang main
hajar. Di balik ongkos yang mahal untuk homeshooling, masalahnya dia mampu menjadi
alternatif pendidikan yang apik. Di sana, murid dan guru bisa lebih intens dan dekat, sehingga
pelajaran yang disampaikan jauh lebih mengena dan efektif. Guru dan orangtua juga bisa
dengan intens melihat perkembangan si murid, serta minat dan bakatnya. Kalau hanya
masalah biaya mah, instuti pendidikan biasa juga mahal, cuk!

Lihat saja, UGM yang mengaku kampus kerakyatan dan jas almaternya hijau lumut—symbol
kerakyatan, katanya—juga mahal sekali. Apalagi di perguruan tinggi sekarang ini dikenalkan
dengan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Masih banyak yang harus diurusi dari
pendidikan kita, daripada nolak homeschooling. Jangan aneh-aneh lha. Kalau saya sih jujur
saja, kalau punya duit banyak, mending anak saya kelak tak sekolahkan di rumah, daripada
dia sekolah di sekolah umum dan jadi bodoh!
Masalah lain dari peringatan Hari Pendidikan di tahun ini, lagi-lagi di Jogja, saya melihat
jauh sekali bedanya dengan zaman saya masih suka demo. Demo-demo sekarang pada
terfokus di kampus masing-masing. Akhirnya tuntutannya ya hanya soal kampus masing-
masing saja. Banyak yang terlewat dari persoalan lain dalam sistem pendidikan Indonesia.
Dalam sector pendidikan dasar sedikit sekali yang mneyoroti. Parahnya, polarisasi aksi di
kampus masing-masing ini memecah gerakan itu sendiri, dan membikin mereka hanya
mementingkan kehidupannya sendiri. Kayak gitu ngomong Revolusi Pendidikan, yang
dihajar saja cuma yang menyangkut diri sendiri saja, kok. Tapi baiklah, daripada tidak sama
sekali menuntut apapun.

Yang terpenting dari peringatan Hari Kartini dan Hari Pendidikan (Hari lahir Ki Hadjar),
mungkin sedikit sekali saja yang mendoakan mendiang beliau-beliau ini. Di tengah
peringatan yang seperti ini kacaunya, perlukan Hari Sukarno diadakan? Lebih baik tidak.

Lagipula, apanya yang mau diperingati dengan adanya Hari Sukarno nanti? Tanpa ada Hari
Peringatan secara resmi saja, Sukarno hanya diseret-seret untuk kepentingan politik
pragmatis, sebagai alat untuk mendulang suara dalam pemilu. Lihat saja, setiap mau pemilu,
foto Sukarno di mana-mana, kemudian apakah agenda partai dan si calon ketika menang
mengimplemantisakan yang dipikirkan dan dicita-citakan oleh Bug Besar? Sama sekali tidak!
Buktinya, sampai saat ini, marhaenisme hanya menjadi teman ngopi saja

Ah, sudahlah, lagipula ini hanya kegelisahan saya yang entah datang dari mana. Nyatanya
tidak ada yang mengusulkan untuk ditetapkannya Hari Sukarno. Mudah-mudahan saja tidak
akan pernah, karena sama sekali tidak relevan, hanya akan menambah kemubaziran hari
peringatan saja. Pasalnya, peringatan tetap peringatan, setelah itu semua abai dan yang
disuarakan akan hilang kembali di bawah angin yang berhembus dengan syahdu.

Lebih baik, kita doakan saja Sukarno, dan yang lebih baik lagi, kita pelajar pemikirannya dan
secara serius berjuang untuk mengimplemantisakannya. Akhir kata, selamat ulang tahun,
Bung Besar!***
Lampiran Data Diri

Nama : Mastono
Akun Medsos :
Fb : Mastono ZM
No. Hp : 082137355943
Biografi Singkat : Pernah berkecimpung di salah satu organisasi gerakan
mahasiswa di Yogyakarta dan sekarang dalam pengembaraan.

Anda mungkin juga menyukai