Oleh: Mastono
Pengantar
terlalu suka membicarakan teori. Kader-kader ‘progresif’ kita ini akan berkata:
‘yaelah teori lagi – teori lagi, kapan praktek!’. Membicarakan teori seolah
menjadi pembicaraan yang angker menakutkan dan hampir haram. Bagi kader-
kader yang seperti ini teori tidak lebih dari omongan kosong yang membikin sakit
kepala, alih-alih akan mengubah dunia. Yang dibutuhkan untuk mengubah dunia
Akan tetapi, sayangnya, ada yang luput dalam anggapan ‘yang penting praktek’
demikian. Dalam pandangan ini, teori dan praktek dipandang sebagai suatu hal
yang terpisah. Artinya, nalar dari pandangan ini adalah logika biner, yakni logika
yang memisahkan suatu hal dengan hal lainnya tanpa melihat adanya hubungan
antara satu dan lain. Persoalan teori dan praktek tidak dapat dilihat dalam nalar
demikian.
olehkarenanya, lebih mendasar dari teori. Namun bukan berarti keberadaan suatu
membuat sebuah kursi, seseorang harus tahu dulu kursi itu apa, untuk apa itu
kursi, bahannya dari apa, apakah bahan yang diinginkan bisa dibikin kursi, dan
bagaimana cara membuat kursi. Pertanyaan-pertanyaan tadi hanya dijawab dengan
atas realitas. Dalam bahasa filsafat, teori berada dalam domain epistemologi.
Adanya stuatu teori, karena adanya realitas tertentu yang mendahuluinya. Semisal,
ada teori tentang gravitasi itu berarti adanya gravitasi mendahului adanya teori itu.
Oleh karenanya, teori berada dalam domain epistemologi dan bukan ontologi.
Secara lain kata, teori dapat dikatakan sebuah hasil ‘tafsiran’ manusia atas dunia.
Kita tentu tahu perkataan Marx yang Agung dalam Theses on Feurbach ke 11.
yang seringkali dijadikan dalih oleh para pejuang ‘revolusioner’ masa kini guna
Perkataan tadi harus dilihat dalam konteksnya, yakni sebagai kritik atas
materialisme sebelum dan di jaman Marx, terutama Feurbach. Bagi Marx ada
manusia hanya semerta sebagai suatu yang terindra bukan sebagai aktifitas,
melihat dunia seolah sudah diatur dalam suatu hukum yang mengulang-ngulang.
Singkatnya: para materialis itu tidak melihat adanya kemungkinan untuk manusia
melakukan pengubahan. Dari itu, para materialis tersebut tidak pernah berbicara
masalah pengubahan realitas yang dapat dilakukan oleh manusia. Sehingga, bagi
Namun, apakah Marx sendiri hanya berbicara praktek? Sama sekali tidak. Marx,
bahkan pernah menggebrak meja saat berdebat dengan seorang pejuang buruh,
hanya karena pembahasan masalah teori dan praktek pengubahan ini. Bagi si
konkrit perlawanan semacam boikot, dsb. Marx marah, baginya, buruh harus tahu
kekuasaan apa yang menindas mereka. Semua itu diketahui hanya dengan
pembedahan yang serius dan bergelut dengan ilmu pengetahuan. Apalagi itu jika
Sehingga, dalam memahami ungkapan Marx yang Agung tadi (Tesis ke 11), kita
mengubahnya, tapi pengubahan itu harus dilakukan dengan tafsir yang benar dan
akurat.
Bagaimana kita bisa mengubah dunia, jika bahkan struktur dunia dan persoalan
dunia ini saja kita tidak tahu? Bagaimana seorang dokter bisa menyembuhkan
pasiennya jika dia hanya tahu praktek buta tanpa mengerti teori-teori yang
tatanan Marhaenisme, jika siapa Marhaen saja tidak tahu, jika seperti apa tatanan
yang ingin diwujudkan Marhaenisme saja tidak tahu, jika apa itu Marhaenisme
Dalam bergerak kita butuh sabar, tidak terburu-buru membinerkan segala hal.
Dalam praktek pasti ada teori, begitupun sebaliknya, dalam teori pasti ada
praktek. Teori hanya bisa lahir, jika dan hanya jika ada kerja-kerja pemahaman
tehadap realitas, entah itu melalui penelitian, pengamatan atau apapun itu. Kerja-
kerja teori yang dimaksud itu bukanlah kerja sepele, justru kerja yang sangat
berat.
Masalah teori dan praktek ini, GMNI punya slogan yang sangat mulia dan benar:
pejuang pemikir – pemikir pejuang. Dalam epistemologi slogan ini, teori tidak
dipisahkan dari praktek. Slogan ini mengajarkan agar setiap kader GMNI selalu
pembacaan atas realitas sosial. Oleh karena itu, dalam upaya ini setidaknya
ini memang tidak dibuat dengan penulisan yang formal dan ketat. Perkaranya
empat hal.
Ketiga, ‘Metode Analisa’, jika bagian pertama dan kedua membahas perkara
mesti ada agar suatu gagasan itu dimungkinkan lahir. Lantas, apa realitas yang
mungkin lahir? Jawaban atas pertanyaan tersebut, tidak lain dan tidak bukan ialah
tetang marhaen. Menjawab ‘siapa marhaen’ menjadi sangat penting, karena tanpa
dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Pak Marhaen ini diceritakan
memiliki alat-lat produksi dalam menggarap pertaniannya, hanya saja hasil dari
pertanian itu tidak mencukupi hidupnya dan keluarga. Dari kisah itu, kemudian
muncul definisi: marhaen adalah orang yang memiliki alat produksi tapi tetap
miskin, karena sistem. Hanya saja, definisi yang diabstraksi dari kisah dalam
karena dalam cerita tersebut Pak Marhaen adalah petani, pemahaman terhadap
marhaen kemudian menjadi sekedar petani. Suatu ketika, ada seorang kader
argumen: ‘kan marhaen yang dimaksud Soekarno itu petani, ya kita harus ke
bermasalah, tapi argumen yang menganggap bahwa marhaen itu petani yang
Pertanyaan ini tentu saja muncul, karena ada konsep yang mendikotomikan antara
proletar tidak.
Yang salah dalam pemahaman marhaen di atas, karena kegagalan dalam membaca
teks Soekarno. Ada dua kesalahan setidaknya yang umum terjadi ketika membaca
selama hidupnya, Soekarno memiliki banyak sekali teks baik yang memang
teks tertulis. Kedua, pembacaan teks Soekarno seringkali terlepas dari konteks
Apabila marhaen hanya dipahami sebagai petani, maka bagimana dengan sektor-
nelayan kecil, buruh tani, buruh indusri, dan yang serba kecil lainnya’? Soekarno
sendiri memasukan itu semua sebagai golongan-golongan yang masuk dalam
kategori marhaen. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam pidato Lenyapkan
hanya petani saja. Petani hanya salah-satu saja yang tergolong sebagai marhaen.
Bersamaan dengan itu pula, pendikotomian antara marhaen dan proletar jelas
akhir tulisan, Soekarno bahkan menyatakan bahwa proletar harus menjadi garda
yang menekankan alat produksi tidak lagi lengkap dan harus diganti. Definsi
marhaen yang paling lengkap untuk mewakili semua golongan hanya bisa dibikin
Teks Penyambung Lidah harus dibaca dengan melihat juga teks-teks Soekarno
lainnya. Hanya dengan begitu, pengertian utuh tentang ‘siapa itu marhaen’ dapat
yang terjadi di Indonesia kala itu. Dengan bertemu dengan Pak Marhaen,
Seiring dengan itu pula, Marhaen yang awalnya nama seseorang digunakan
Pertanyaan selanjutnya: sistem apa yang memiskinkan marhaen itu? Ini sangat
penting dijawab, karena inilah realitas yang mesti dipahami untuk terus
pernah menunjuk secara jelas dan konrit sistem yang dimaksud. Akan tetapi,
sebelum masuk dalam pembasan tentang hal ini, masih ada satu persoalan terkait
Persoalan itu adalah terkait pengertian bahwa marhaen adalah orang yang hidup
sampai jadi sibuk mengartikulasi ‘berapa senggol sehari yang dimaksud jika
dikonversi dalam nilai saat ini?’. Pandangan ini muncul karena kegagalan
Sebenggol Sehari?
Soekarno, dalam tulisan tersebut, sama sekali tidak hendak merumuskan angka
sebagai ‘zaman sebelum mleset’. Di zaman ini, dia menyebutkan bahwa marhaen
hidup 8 sen sehari. Kedua, Soekarno menyebut ‘zaman mleset’. ‘Zaman mleset’
yang dimaksud adalah ‘zaman mleset’ pertama, dengan itungan Marhaen hidup 4
sampai 4, 5 sen sehari. Barulah kemudian dia menyebut ‘zaman mleset’ yang
kedua: di era ini marhaen hidup hanya senggol sehari. Artinya, di sini jelas,
Soekarno tidak menyebut yang disebut marhaen adalah apabila seseorang hidup
sebenggol sehari. Akan tetapi, yang dimaksud Soekarno tidak lain adalah kondisi
krisis pada waktu yang menyebabkan marhaen harus hidup sebenggol sehari.
hanya dengan sebenggol sehari. Hal ini, sama saja ketika di era sekarang ada
Di muka sudah coba ditanyakan, namun belum dijawab: sistem yang memiskan
marhaen? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk dianalisa dan
Artinya, jika marhaenisme tidak akan ada tanpa realitas marhaen, sementara
realitas marhaen ini takkan ada tanpa sistem yang menindas itu, sehingga
negara lain guna mengalirkan kelebihan kapital itu sendiri. Apabila itu tidak
dilakukan, krisis akan melanda negera itu sendiri dan kapitalisme akan mengalami
Akan tetapi, lambat laun, perdagangan itu menjelma menjadi pemaksaan. Para
yang bahkan ditentukan oleh imperialis itu. Selain itu, imperialis pun tidak hanya
kolonialisme, perlakuan yang dialami oleh pribumi pun semakin menjadi. Sumber
tanpa bayaran, hingga sedemikian rupa dipaksa untuk hidup dengan standar
dari bahan-bahan mentah yang dapat dijualnya di pasar Eropa. Dampaknya, rakyat
Belanda meraup keuntungan yang sangat tinggi, bahkan kerugian karena perang
Jawa langsung bisa diselesaikan hanya dalam waktu singkat pelaksanaan Culture
Stelsel.
kapitalisme, akan tetapi sama sekali tidak memiliki orientasi untuk pengembangan
perbudakan. Dari situasi seperi ini, proletarisasi tidak terjadi begitu besar,
perkembangan borjuasi nasional pun tak terjadi. Berbeda dengan di India, karakter
Akibat tidak adanya proletarisasi yang besar terjadi di Indonesia ditambah tidak
masih banyak juga petani yang memiliki lahan (kendati produksi tanamannya di
sebagai negeri jajahan tidak sama dengan yang terjadi di Eropa saat penetrasi
Akan tetapi, Soekarno tahu betul, bagaimanapun proletar tetap merupakan bagian
utama yang harus berada dalam garis depan perjuangan. Hal ini karena
industrialisasi mau tak mau akan membawa pada peningkatan pekerjaan yang
membutuhkan ilmu pengetahuan. Proletar akan berkerja dalam sistem yang dalam
kesadaran proletar sebagai kelas tertindas jauh lebih dapat terbangun. Soekarno
Metode Analisa
terhadap teks-teks Soekarno. Dalam kata lain, pola Soekarno dalam membangun
kesimpulan-kesimpulan mesti dibaca dengan jernih, agar dapat diikuti alur logika.
Hanya saja, karena keterbatan waktu dan ruang, dalam tulisan ini tidak akan
dijelaskan dengan mendetail. Hanya sebagian hal-hal umum saja yang dapat
disampaikan di sini. Tentu saja, semoga di lain kesempatan, upaya perincian dan
Sebelum membahas metode analisa yang digunakan Soekarno, ada baiknya latar-
dalam pengakuan-pengakuan Soekarno tentu ada tiga nama utama dari banyaknya
tokoh itu: Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen dan Karl Marx. Dalam pidato 1 Juni,
Soekarno menyebut bahwa Sun Yat Sen yang telah mempengaruhinya untuk
Porsi yang sering disebut dan bahkan, diakui Soekarno berpengaruh sejak ia
masih di HBS dan membuat corak nasionalisme dan Islamnya berbeda dengan
Pengaruh Karl Marx, selain diakui oleh Soekarno sendiri, juga dapat dilihay dari
realitas material (sosial) yang sedang terjadi dengan membasiskan pada persoalan
seperti ini bisa dilihat dari Swadessi dan Massa Aksi, Mencapai Indonesia
Pertanyaannya: metode analisa apa yang dibangun dengan cara seperti itu? Tidak
lain dan tidak bukan adalah materialisme dialektika dan materialisme historis
(MDH). MDH memungkinkan untuk dilakukannya analisa persoalan masyarakat
samping itu, variabel MDH dalam melihat realitas sosial, pasti dengan
kesimpulan dan langkah yang mesti dilakukan. Kendati memang, mesti diakui
langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan upaya pengubahan. Hal ini dapat
dilihat, ketika Soekarno menyadari bahwa tidak adanya proletarisasi yang besar
perjuangan kelas bukan berarti ia tidak memakai analisa kelas. Mau tidak mau,
sehingga analisa kelas menjadi hal yang inheren dalam MDH. Untuk mengetahui
kontradiksi itu, ‘siapa yang menindas’ dan ‘siapa yang tertindas’ mesti
kelas, tak mungkin ia mengetahui mana yang ditindas dan yang tertindas, dengan
kelas. Lagi pula, terpengaruh Marx terlebih dalam MDHnya tidak harus
itu, dapat ditemukan situasi yang berbeda hingga cara perjuangan pun menjadi
berlainan dengan yang dibangun oleh Marx. Soekarno menyadari bahwa kelas
yang menindas rakyat Indonesia kala itu adalah imperialis-kolonialis dan tidak
ada kelas kapitalis nasional, maka menjadi rasional ketika perjuangan yang
struggle.
realitas sosialnya.
Soekarno memilih menggunakan persatuan dan revolusi nasional, karena
menyadari bahwa musuh (penindas) yang dihadapi adalah bangsa asing yang
memahami bahwa di Indonesia tidak ada kelas borjuasi nasional apalagi produksi-
produksi yang memang dikuasi oleh pribumi. Soekarno sangat jelih dalam
Akan tetapi, apakah situasi yang terjadi saat ini sama saja dengan yang terjadi di
era Soekarno hidup? Pertanyaan ini sangat penting dijawab, karena hanya dengan
Dengan menjawab pertanyaan ini, upaya analisa terkait persoalan dan musuh yang
dihadapi dapat dilakukan, sehingga penyusunan langkah gerak pun lebih rasional.
indah.
Hanya saja tulisan ini lagi-lagi tak kuasa menjawab semuanya. Persoalan kondisi
dan situasi saat ini mesti lakukan bersama dengan serius. Pembacaan terhadap
serius dan jelih dibaca. Tulisan ini belum mampu memaparkan itu secara rijit.
Tulisan ini hanya berhak untuk memberikan sedikit saja refleksi sebagai
melihat wacana ‘marxisme ala Indonesia’ hanya upaya politik, tanpa penjelasan
sendiri sudah memiliki nama besar dan dikung massa-rakyat Indonesia? Diskurus
orientasi politik yang cenderung ngelit. Untuk pengamanan diri dan barisan,
Marhaenisme semestinya sudah mulai dikaji dan dikembangkan dengan jujur dan
berubah total. Di masa Soekarno memang terjadi banyak perdebatan dan saling
tikam, akan tetapi sikap pemerintah tetap tegas dengan menolak imperialisme.
Namun di masa Orde Baru, pintu modal dibuka lebar. Penandatanganan perjanjian
dan hutang dilakukan, dengan alasan menyelamatkan ekonomi negara. Negara
memang krisis tapi pemerintah Orba tambah menjebloskan bangsa ini pada
cengkraman kapitalisme.
penajaga pintu dan pemberi izin masuknya kapitalisme global melalui permainan
konstitusi.
Indonesia pun lambat laun tumbuh menjadi negara industri dengan modal di
bisa dihindari. Pengusaha Indonesia banyak yang tumbuh menjadi kekuatan besar
global. Hanya saja, kapitalis dalam negeri pun tak mau hanya berdiam diri.
melindungi kepentingannya.
ulah imperialisme? Atau imperialisme masuk justru karena izin kekuasaan dalam
negeri? Ataukah negara ini memang sudah tumbuh menjadi negara kapitalisme?
Jawaban atas pertanyaan di muka akan mengantarkan pada pertanyaan yang
dalam negeri dengan revolusi sosial, yang mau tidak mau akan membawa
gesekan kelas?
Semua tahu, Indonesia satu bangsa, namun apakah bangsa harus dipahami secara
kapitalis nasional dan oligarki mau bersatu dengan marhaen untuk kepentingan