Anda di halaman 1dari 21

Membaca Kembali Marhaenisme

Oleh: Mastono

Pengantar

Beberapa kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mungkin tidak

terlalu suka membicarakan teori. Kader-kader ‘progresif’ kita ini akan berkata:

‘yaelah teori lagi – teori lagi, kapan praktek!’. Membicarakan teori seolah

menjadi pembicaraan yang angker menakutkan dan hampir haram. Bagi kader-

kader yang seperti ini teori tidak lebih dari omongan kosong yang membikin sakit

kepala, alih-alih akan mengubah dunia. Yang dibutuhkan untuk mengubah dunia

bukanlah teori, melainkan praktek.

Akan tetapi, sayangnya, ada yang luput dalam anggapan ‘yang penting praktek’

demikian. Dalam pandangan ini, teori dan praktek dipandang sebagai suatu hal

yang terpisah. Artinya, nalar dari pandangan ini adalah logika biner, yakni logika

yang memisahkan suatu hal dengan hal lainnya tanpa melihat adanya hubungan

antara satu dan lain. Persoalan teori dan praktek tidak dapat dilihat dalam nalar

demikian.

Kendati praktek merupakan langkah material yang memulai dan menenutkan,

olehkarenanya, lebih mendasar dari teori. Namun bukan berarti keberadaan suatu

praketk tertentu tidak mengandung keberadaan teoritik tertentu pula. Untuk

membuat sebuah kursi, seseorang harus tahu dulu kursi itu apa, untuk apa itu

kursi, bahannya dari apa, apakah bahan yang diinginkan bisa dibikin kursi, dan
bagaimana cara membuat kursi. Pertanyaan-pertanyaan tadi hanya dijawab dengan

suatu kerangka konseptual, dan itulah teori.

Teori adalah suatu rumusan, abstraksi, pemahaman, pengetahuan dari seseorang

atas realitas. Dalam bahasa filsafat, teori berada dalam domain epistemologi.

Adanya stuatu teori, karena adanya realitas tertentu yang mendahuluinya. Semisal,

ada teori tentang gravitasi itu berarti adanya gravitasi mendahului adanya teori itu.

Oleh karenanya, teori berada dalam domain epistemologi dan bukan ontologi.

Secara lain kata, teori dapat dikatakan sebuah hasil ‘tafsiran’ manusia atas dunia.

Kita tentu tahu perkataan Marx yang Agung dalam Theses on Feurbach ke 11.

Begini kurang-lebih bunyinya: “Filsafat hanya menafsirkan dunia dengan caranya

masing-masing; padahal yang terpenting ialah mengubahnya”. Perkataan ini pula

yang seringkali dijadikan dalih oleh para pejuang ‘revolusioner’ masa kini guna

berprakterk dan berpraktek. Namun, sebelumnya, bertanyalah terlebih dahulu: apa

maksud dari perkataan tadi?

Perkataan tadi harus dilihat dalam konteksnya, yakni sebagai kritik atas

materialisme sebelum dan di jaman Marx, terutama Feurbach. Bagi Marx ada

pembacaan yang salah dilakukan oleh materialis. Apa kesalahannya: menganggap

manusia hanya semerta sebagai suatu yang terindra bukan sebagai aktifitas,

melihat dunia seolah sudah diatur dalam suatu hukum yang mengulang-ngulang.

Singkatnya: para materialis itu tidak melihat adanya kemungkinan untuk manusia

melakukan pengubahan. Dari itu, para materialis tersebut tidak pernah berbicara
masalah pengubahan realitas yang dapat dilakukan oleh manusia. Sehingga, bagi

Marx mereka hanya menafsirkan saja dunia ini.

Namun, apakah Marx sendiri hanya berbicara praktek? Sama sekali tidak. Marx,

bahkan pernah menggebrak meja saat berdebat dengan seorang pejuang buruh,

hanya karena pembahasan masalah teori dan praktek pengubahan ini. Bagi si

pejuang buruh tersebut, Marx hanya menghabiskan waktu dengan teori-teorinya,

sementara yang dibutuhkan buruh bukanlah teori melainkan suatu tindakan

konkrit perlawanan semacam boikot, dsb. Marx marah, baginya, buruh harus tahu

persoalan yang dihadapinya, penindasan yang dihadapi mereka, dan struktur

kekuasaan apa yang menindas mereka. Semua itu diketahui hanya dengan

pembedahan yang serius dan bergelut dengan ilmu pengetahuan. Apalagi itu jika

bukan kerja-kerja teori.

Sehingga, dalam memahami ungkapan Marx yang Agung tadi (Tesis ke 11), kita

harus memparafrasekan demikian: filsafat hanya menafsirkan dunia tak pernah

mengubahnya, tapi pengubahan itu harus dilakukan dengan tafsir yang benar dan

akurat.

Bagaimana kita bisa mengubah dunia, jika bahkan struktur dunia dan persoalan

dunia ini saja kita tidak tahu? Bagaimana seorang dokter bisa menyembuhkan

pasiennya jika dia hanya tahu praktek buta tanpa mengerti teori-teori yang

diajarkan di universitasnya? Bagaimana seorang Marhaenis hendak mewujudkan

tatanan Marhaenisme, jika siapa Marhaen saja tidak tahu, jika seperti apa tatanan
yang ingin diwujudkan Marhaenisme saja tidak tahu, jika apa itu Marhaenisme

saja tidak tahu?

Dalam bergerak kita butuh sabar, tidak terburu-buru membinerkan segala hal.

Dalam praktek pasti ada teori, begitupun sebaliknya, dalam teori pasti ada

praktek. Teori hanya bisa lahir, jika dan hanya jika ada kerja-kerja pemahaman

tehadap realitas, entah itu melalui penelitian, pengamatan atau apapun itu. Kerja-

kerja teori yang dimaksud itu bukanlah kerja sepele, justru kerja yang sangat

berat.

Masalah teori dan praktek ini, GMNI punya slogan yang sangat mulia dan benar:

pejuang pemikir – pemikir pejuang. Dalam epistemologi slogan ini, teori tidak

dipisahkan dari praktek. Slogan ini mengajarkan agar setiap kader GMNI selalu

memahami realitas untuk mengubah realitas itu.

Untuk itu, semangat untuk kembali mengadakan pembacaan, diskusi dan

mengartukulasi marhaenisme harus disambut dengan suka-cita. Tentu saja,

pembacaan untuk mengartikulasi kembali marhaenisme mesti dilakukan dengan

pembacaan atas realitas sosial. Oleh karena itu, dalam upaya ini setidaknya

diskusi harus dilakukan dengan tiga tahap: penegasan marhaenisme, pembacaan

kapitalisme, dan penentuan langkah yang bisa dibangun dalam perjuangan.

Tulisan ini akan berupaya memaparkan prihal ‘penegasan marhaenisme’. Tulisan

ini memang tidak dibuat dengan penulisan yang formal dan ketat. Perkaranya

teknis, mengingat terburu-burunya waktu dan energi yang tak memungkinkan.


Namun, agar pembahasan tetap dilakukan dengan baik, tulisan ini akan memuat

empat hal.

Pertama, ‘Persoalan-Persoalan Terkait Pengertian Marhaen’ yang akan membahas

kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam memahami ‘siapa marhaen’. Di sini akan

dilihat bagaimana masih banyak kesalah-pahaman dalam membaca teks-teks

Soekarno, sehingga pemahaman akan marhaenisme tidak menyeluruh.

Kedua, ‘Latar-Belakang Munculnya Marhaenisme’ akan berusaha memaparkan

dengan singkat situasi ekonomi-politik yang memunculkan marhaenisme.

Marhaen dan persoalan ekonomi-politik itu perkara ontoligis marhanisme, tanpa

keduanya, marhaenisme tidak akan mungkin lahir.

Ketiga, ‘Metode Analisa’, jika bagian pertama dan kedua membahas perkara

ontologis, bagian ketiga ini akan membahas perkara epistemologis: bagaimana

Soekarno menganalisa prealitas sosial dan membangun konsepsi-konsepsinya.

Singkatnya, bagian ketiga akan membahas motode analisa yang digunakan

Soekarno dalam konsepsi marhaenisme.

Keempat, setelah ontologis-epistemologis, selanjutnya tentu aksionlogis. Bagian

keempat hanya refleksi kecil untuk bagaimana mengartikulasi kembali

marhaenisme dengan merefleksikan ‘Marhaenisme Hari Ini’. Harapannya, dapat

dicapai konsepsi bagaimana perjuangan marhaenisme dalam situasi yang dihadapi

di era saat ini.


Persoalan- Persoalan Terkait Pengertian Marhaen

Pembahasan mengenai marhaenisme, harus dimulai dari pertanyaan yang paling

mendasar: apa yang membuat marhaenisme itu muncul? Pertanyaan ini

merupakan pertanyaan ontologis, tugasnya menemukan realitas yang diandaikan

mesti ada agar suatu gagasan itu dimungkinkan lahir. Lantas, apa realitas yang

diandaikan mesti ada dalam marhaenisme—sehingga tanpanya marhaenisme tidak

mungkin lahir? Jawaban atas pertanyaan tersebut, tidak lain dan tidak bukan ialah

marhaen. Tanpa marhaen, marhaenisme tidak mungkin muncul sebagai suatu

gagasan. Olehkarena itu, pembahasan marhaenisme harus dimulai dari pembasan

tetang marhaen. Menjawab ‘siapa marhaen’ menjadi sangat penting, karena tanpa

itu, perjuangan menegakkan marhaenisme akan menjadi sia-sia belaka.

Konon, dikisahkan dalam Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno pertamakali

menemukan marhaen ketika sedang di Bandung Selatan. Di sana, ia bertemu

dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Pak Marhaen ini diceritakan

memiliki alat-lat produksi dalam menggarap pertaniannya, hanya saja hasil dari

pertanian itu tidak mencukupi hidupnya dan keluarga. Dari kisah itu, kemudian

muncul definisi: marhaen adalah orang yang memiliki alat produksi tapi tetap

miskin, karena sistem. Hanya saja, definisi yang diabstraksi dari kisah dalam

Penyambung Lidah ini masih memiliki sekelumit persoalan, olehkarenanya masih

membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Persoalan-persoalan yang muncul dari definisi yang mendasarkan pada kisah di

muka, di antaranya: Pertama, marhaen masih dilihat sebagai personifikasi.


Personifikasi yang dimaksud adalah marhaen masih dipahami sebagai person, dan

karena dalam cerita tersebut Pak Marhaen adalah petani, pemahaman terhadap

marhaen kemudian menjadi sekedar petani. Suatu ketika, ada seorang kader

marhaenis yang bersikukuh pelatihan ansos harus di sektor pertanian dengan

argumen: ‘kan marhaen yang dimaksud Soekarno itu petani, ya kita harus ke

pertanian biar ketemu marhaen’. Bukan pilihan sektor pertanian yang

bermasalah, tapi argumen yang menganggap bahwa marhaen itu petani yang

sangat permasalah. Kedua, definisi tersebut masih menekankan pada ‘alat

produksi’, sehingga kemudian memunculkan dikotomi antara marhaen dan

proletar. Seringkali muncul pertanyaan: apa bedanya marhaen dan proletar?

Pertanyaan ini tentu saja muncul, karena ada konsep yang mendikotomikan antara

marhaen dan proletar. Marhaen dipandang memiliki alat produksi, sementara

proletar tidak.

Yang salah dalam pemahaman marhaen di atas, karena kegagalan dalam membaca

teks Soekarno. Ada dua kesalahan setidaknya yang umum terjadi ketika membaca

teks Soekarno. Pertama, teks-teks Soekarno dibaca secara parsial. Padahal,

selama hidupnya, Soekarno memiliki banyak sekali teks baik yang memang

ditulis atau pun penulisan atas pidato-pidatonya disampaikan tanpa menggunakan

teks tertulis. Kedua, pembacaan teks Soekarno seringkali terlepas dari konteks

historis yang terjadi waktu itu.

Apabila marhaen hanya dipahami sebagai petani, maka bagimana dengan sektor-

sektor lain yang nyatanya dimiskinkan? Bagaimana dengan ‘pedagang kecil,

nelayan kecil, buruh tani, buruh indusri, dan yang serba kecil lainnya’? Soekarno
sendiri memasukan itu semua sebagai golongan-golongan yang masuk dalam

kategori marhaen. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam pidato Lenyapkan

Streletiet Gerakan Mahasiswa, sebuah pidato yang disampaikan dalam

Konferensi GMNI di Jalan Kaliurang, Yogyakarta pada 17 Febuari 1959. Dalam

tulisan-tulisan lainnya pun, Soekarno tidak pernah menyebut bahwa marhaen

hanya petani saja. Petani hanya salah-satu saja yang tergolong sebagai marhaen.

Bersamaan dengan itu pula, pendikotomian antara marhaen dan proletar jelas

salah. Dalam tulisan Marhaen dan Proletar, Soekarno mengikuti hasil

Konferensi Pertindo, dimana proletar dipandang termaktub dalam marhaen. Di

akhir tulisan, Soekarno bahkan menyatakan bahwa proletar harus menjadi garda

terdepan dalam perjuangan revolusi Indonesia. Sebuah kedudukan perjuangan,

yang bagi Soekarno, tidak dapat disematkan di pundak petani mengingat

kentalnya kultur feodalistik. Sehingga, dengan demikian, pengertian marhaen

yang menekankan alat produksi tidak lagi lengkap dan harus diganti. Definsi

marhaen yang paling lengkap untuk mewakili semua golongan hanya bisa dibikin

dengan mehilangkan penekanan alat produksi: marhaen adalah orang

dimiskinkan oleh sistem.

Teks Penyambung Lidah harus dibaca dengan melihat juga teks-teks Soekarno

lainnya. Hanya dengan begitu, pengertian utuh tentang ‘siapa itu marhaen’ dapat

ditemukan. Persoalan pertemuan Soekarno dengan Pak Marhaen cukup dilihat

sebagai suatu pertemuan yang mengawali pemahaman Soekarno tentang persoalan

yang terjadi di Indonesia kala itu. Dengan bertemu dengan Pak Marhaen,

Soekarno kemudian mencoba untuk memahami lebih dalam persoalan yang


dihadapi Indonesia, sehingga kemudian menemukan situasi yang kompleks.

Seiring dengan itu pula, Marhaen yang awalnya nama seseorang digunakan

Soekarno sebagai penanda realitas rakyat Indonesia yang dimiskinkan sistem.

Pertanyaan selanjutnya: sistem apa yang memiskinkan marhaen itu? Ini sangat

penting dijawab, karena inilah realitas yang mesti dipahami untuk terus

mengartikulasi ‘siapa marhaen’. Jangan sampai berbicara sistem, tapi tidak

pernah menunjuk secara jelas dan konrit sistem yang dimaksud. Akan tetapi,

sebelum masuk dalam pembasan tentang hal ini, masih ada satu persoalan terkait

salah pengertian memahami marhaen yang mesti dibahas terlebih dahulu.

Persoalan itu adalah terkait pengertian bahwa marhaen adalah orang yang hidup

sebenggol sehari. Banyak pandangan yang membenarkan pengertian ini, sampai-

sampai jadi sibuk mengartikulasi ‘berapa senggol sehari yang dimaksud jika

dikonversi dalam nilai saat ini?’. Pandangan ini muncul karena kegagalan

memahami tulisan Soekarno yang berjudul Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja

Sebenggol Sehari?

Soekarno, dalam tulisan tersebut, sama sekali tidak hendak merumuskan angka

saklek sebagai penanda Marhaen. Dia hanya menunjukan perkembangan kondisi

perekonomian di Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh rakyat. Di tulisan

tersebut, Soekarno menyebut tiga pergeseran. Pertama, yang disebut Soekarno

sebagai ‘zaman sebelum mleset’. Di zaman ini, dia menyebutkan bahwa marhaen

hidup 8 sen sehari. Kedua, Soekarno menyebut ‘zaman mleset’. ‘Zaman mleset’

yang dimaksud adalah ‘zaman mleset’ pertama, dengan itungan Marhaen hidup 4
sampai 4, 5 sen sehari. Barulah kemudian dia menyebut ‘zaman mleset’ yang

kedua: di era ini marhaen hidup hanya senggol sehari. Artinya, di sini jelas,

Soekarno tidak menyebut yang disebut marhaen adalah apabila seseorang hidup

sebenggol sehari. Akan tetapi, yang dimaksud Soekarno tidak lain adalah kondisi

krisis pada waktu yang menyebabkan marhaen harus hidup sebenggol sehari.

Sebelum dan sesudah krisis tersebut, marhaen sudah ada.

Apa yang dilakukan Soekarno dalam Orang Indonesia Cukup Nafkahnya

Sebenggol Sehari? Hanya sebuah analisis kondisi ekonomi-politik yang terjadi

pada kala itu. Dengan analisis tersebut, kemudian Soekarno mengkritik

pemerintah Hindia-Belanda yang menyatakan rakyat Indonesia cukup hidup

hanya dengan sebenggol sehari. Hal ini, sama saja ketika di era sekarang ada

yang menolak argumen pemerintah yang menentukan UMR dengan berasumsi

bahwa UMR tersebut cukup untuk penghidupan pekerja.

Latar – Belakang Munculnya Marhaenisme

Di muka sudah coba ditanyakan, namun belum dijawab: sistem yang memiskan

marhaen? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk dianalisa dan

dipaparkan, karena akan mengulas kenapa marhaenisme dimungkinkan muncul.

Artinya, jika marhaenisme tidak akan ada tanpa realitas marhaen, sementara

realitas marhaen ini takkan ada tanpa sistem yang menindas itu, sehingga

tanpanya marhaenisme menjadi tidak masuk akal untuk lahir.


Sebagaimana diketahui secara bersama Indonesia di kala Soekarno memunculkan

gagasan marhaenisme, Indonesia tengah berada dalam cengkraman imperialisme-

kolonialisme dan sisa-sisa dari feodalisme. Karakter imperialisme-kolonialisme di

Indonesia yang memiliki hubungan hangat-hangat kuku inilah yang kemudian

dalam banyak hal mempengaruhi Soekarno dalam elaborasi teoritik sampai

menjadi marhaenisme. Pemahaman akan karaketr imperialisme-kolonialisme yang

demikia itulah yang juga akan menjawab, mengapa Soekarno menggunakan

istilah marhaen sebagai penanda realitas pemiskinan di Indonesia.

Dalam banyak hal, Soekarno terpengaruh oleh pemikir-pemikir marxis dalam

memahami imperialisme-kolonialisme. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam

pembelaannya di pengadilan Sukamiskin yang kemudian dikenal menjadi pidato

paling agung dari Soekarno: Indonesia Menggugat. Soekarno mengikuti pendapat

Lenin, bahwa imperialisme adalah tingkat lanjut dari kapitalisme. Imperialime

modern adalah anak kapitalisme modern. Suatu negeri kapitalisme yang

mengalami surplus capital, memaksa negeri itu untuk melakukan invansi ke

negara lain guna mengalirkan kelebihan kapital itu sendiri. Apabila itu tidak

dilakukan, krisis akan melanda negera itu sendiri dan kapitalisme akan mengalami

ancaman besar dalam kelanjutannya. Inilah mengapa diawal-awal invansi

imperium yang dilakukan Eropa diawali dengan fase perdagangan.

Akan tetapi, lambat laun, perdagangan itu menjelma menjadi pemaksaan. Para

pedagang pribumi dipaksa menjual dagangannya pada imperialis dengan harga

yang bahkan ditentukan oleh imperialis itu. Selain itu, imperialis pun tidak hanya

sekedar bermain dalam perdagangan melainkan pengambil-alihan kekuasaan. Di


sinilah kolonialisme kemudian dijalankan. Setelah imperialisme sudah menjadi

kolonialisme, perlakuan yang dialami oleh pribumi pun semakin menjadi. Sumber

daya alam dieksploitasi, komoditas yang ditanam ditentukan, dipaksa berkerja

tanpa bayaran, hingga sedemikian rupa dipaksa untuk hidup dengan standar

kelayakan yang sangat parah. Sehingga, kemiskinan dipastikan segera menjangkit

kemana-mana. Angka kelaparan, penyakit dan kematian menjadi tak bisa

dihindarkan untuk meroket tinggi.

Begitulah sekiranya gambaran singkat yang dialami oleh rakyat Hindia-Belanda

kala itu dibawah cengkraman kekuatan imperialisme ortodoks Belanda. Belanda

bukan negeri imperialisme yang moderat seperti Inggris. Inggris lebih

mengutamakan perdagangan dan menjadikan negeri jajahannya sebagai pasar

komoditasnya, sehingga kemajuan pendidikan menjadi hal penting yang mesti

dilaksanakan. Setidaknya begitu yang dapat dilihat di India. Sementara Belanda,

tidak bermaksud menjadikan Indonesia sebagai pasar, melainkan sebagai lumbung

dari bahan-bahan mentah yang dapat dijualnya di pasar Eropa. Dampaknya, rakyat

dipaksa untuk menanam-tanaman yang ditentukan, harga pun diatur menurut

standar pemerintah kolonial, kerja pun dieksploitasi habis-habisan. Dengan itu,

Belanda meraup keuntungan yang sangat tinggi, bahkan kerugian karena perang

Jawa langsung bisa diselesaikan hanya dalam waktu singkat pelaksanaan Culture

Stelsel.

Imperialisme-kolonialisme Belanda, kendati tetap merupakan kelanjutan

kapitalisme, akan tetapi sama sekali tidak memiliki orientasi untuk pengembangan

industrialisasi di Indonesia. Belanda hanya mendasarkan pada produksi-produksi


pertanian/perkebunan. Menariknya, Belanda tidak menggunakan kerja-upahan

sebagaimana mestinya kapitalisme, melainkan lebih dalam eksploitasi yang mirip

perbudakan. Dari situasi seperi ini, proletarisasi tidak terjadi begitu besar,

perkembangan borjuasi nasional pun tak terjadi. Berbeda dengan di India, karakter

imperialisme Inggris membawa perkembangan borjuasi nasional. Di Indonesia

yang tumbuh selain pekerja yang dieskploitasi, hanyalah golongan-golongan

amtenar. Golongan-golongan amtenar yang kerjanya mengurusi administrasi ini

berasal dari kalngan residu feodalisme di Indonesia. Belanda sengaja

menggunakannya untuk mengawsi rakyat, sembari juga meminimalisir risiko

modal yang dikeluarkan.

Akibat tidak adanya proletarisasi yang besar terjadi di Indonesia ditambah tidak

adanya perkembangan borjuasi pribumi, tidak memungkinkan Soekarno

menggunakan proletar semata sebagai penanda atas pemiskinan. Nayatanya,

masih banyak juga petani yang memiliki lahan (kendati produksi tanamannya di

atur Pemerintah Kolonial). Bagi Soekarno, situasi yang terjadi di Indonesia

sebagai negeri jajahan tidak sama dengan yang terjadi di Eropa saat penetrasi

kapitalisme yang memaksa proletarisasi besar-besaran. Keadaan ini justru

menjadikan struktur sosial di Indonesia lebih bervariatif dan kompleks. Maka,

tepatlah ketika Soekarno menggunakan term marhaen ketimbang proletar.

Akan tetapi, Soekarno tahu betul, bagaimanapun proletar tetap merupakan bagian

dari struktur sosial Indonesia. Sehingga, keberadaannya tidak bisa ditiadakan.

Lebih dari itu, Soekarno bahkan menyadari bahwa perkembangan ekomoni-politik

akan membawa perkembangan industrialisasi yang besar, dengan itu proletarisasi


besar-besaran pun akan terjadi. Dengan demikian, proletar menjadi kekuatan

utama yang harus berada dalam garis depan perjuangan. Hal ini karena

industrialisasi mau tak mau akan membawa pada peningkatan pekerjaan yang

membutuhkan ilmu pengetahuan. Proletar akan berkerja dalam sistem yang dalam

segala peritungannya mesti rasional dan dijalankan dengan pengetahuan, sehingga

kesadaran proletar sebagai kelas tertindas jauh lebih dapat terbangun. Soekarno

menyadarai ini di paparan dalam Marhaen dan Proletar.

Metode Analisa

Pertanyaan selanjutanya: bagaimana Soekarno dapat merumuskan marhaenisme?

Bagaimana dia menganalisa realitas di Indonesia? Apakah motedn yang ia

pakai? Menjawab pertanyaan ini membutuhkan upaya pembacaan yang jeli

terhadap teks-teks Soekarno. Dalam kata lain, pola Soekarno dalam membangun

kesimpulan-kesimpulan mesti dibaca dengan jernih, agar dapat diikuti alur logika.

Hanya dengan begitu, motode yang digunakan Soekarno bisa diketengahkan.

Hanya saja, karena keterbatan waktu dan ruang, dalam tulisan ini tidak akan

dijelaskan dengan mendetail. Hanya sebagian hal-hal umum saja yang dapat

disampaikan di sini. Tentu saja, semoga di lain kesempatan, upaya perincian dan

sistematika pemaparan dapat dilakukan.

Sebelum membahas metode analisa yang digunakan Soekarno, ada baiknya latar-

belakang pemikiran Soekarno. Latar-belakang yang dimaksud di sini tidak sama

dengan yang disampaikan sebelumnya. Jika latar-belakang yang dimaksud


sebelumnya berkaitan dengan kenyataan material ekonomi-politik yang

memungkinkan marhaenisme muncul. Di sini akan coba diikuti latar-belakangan

gagasan, yakni mengikuti pemikiran apa yang paling mempengaruhi Soekarno.

Soekarno seringkali menyebut nama-nama tokoh revolusi dunia. Akan tetapi,

dalam pengakuan-pengakuan Soekarno tentu ada tiga nama utama dari banyaknya

tokoh itu: Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen dan Karl Marx. Dalam pidato 1 Juni,

Soekarno menyebut bahwa Sun Yat Sen yang telah mempengaruhinya untuk

menjadi nasionalis. Sementara Gandhi, sering diakui Soekarno sebagai orang

yang berpengaruh dalam memberikan dasar humanity dalam nasionalismenya.

Porsi yang sering disebut dan bahkan, diakui Soekarno berpengaruh sejak ia

masih di HBS dan membuat corak nasionalisme dan Islamnya berbeda dengan

yang lain adalah Karl Marx.

Pengaruh Karl Marx, selain diakui oleh Soekarno sendiri, juga dapat dilihay dari

tulisan-tulisan Soekarno. Tulisan-tulisan Soekarno memperlihatkan bagaimana ia

menganalisa suatu persoalan. Soekarno selalu pembahasan dengan melihat pada

realitas material (sosial) yang sedang terjadi dengan membasiskan pada persoalan

ekonomi-politik. Setelah itu, baru kemudian ia menyampaikan simpulan-simpulan

dan gagasan-gagasan mengenai bagaimana yang harus dibangun. Model analisa

seperti ini bisa dilihat dari Swadessi dan Massa Aksi, Mencapai Indonesia

Merdeka, Sarinah, dll.

Pertanyaannya: metode analisa apa yang dibangun dengan cara seperti itu? Tidak

lain dan tidak bukan adalah materialisme dialektika dan materialisme historis
(MDH). MDH memungkinkan untuk dilakukannya analisa persoalan masyarakat

dengan menyandarkan pada kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalamnya. Di

samping itu, variabel MDH dalam melihat realitas sosial, pasti dengan

menyandarkan pada problem ekonomi-politik untuk menemukan kesimpulan-

kesimpulan dan langkah yang mesti dilakukan. Kendati memang, mesti diakui

ekonomi bukan satu-satunya varibale, melainkan menjadi variabel pokok.

Dengan menggunakan MDH, Soekarno mampu membedah realitas sosial

Indonesia kala itu dan menemukan kontradiksi-kontradiksinya. Dengan

mengetahui kontradiksi-kontradiksi itu, Soekarno dapat menyusun langkah-

langkah yang dapat dilakukan dalam melakukan upaya pengubahan. Hal ini dapat

dilihat, ketika Soekarno menyadari bahwa tidak adanya proletarisasi yang besar

dan perkembangan borjuasi nasional, maka baginya perjuangan untuk revolusi

tidak bisa menggunakan perjuangan kelas atau swadessi.

Akan tetapi yang mesti diperhatikan, dengan Soekarno tidak menggunakan

perjuangan kelas bukan berarti ia tidak memakai analisa kelas. Mau tidak mau,

pengorprasian MDH akan membawa analisa kontradiksi dalam realitas sosial,

sehingga analisa kelas menjadi hal yang inheren dalam MDH. Untuk mengetahui

kontradiksi itu, ‘siapa yang menindas’ dan ‘siapa yang tertindas’ mesti

diperhatikan dengan jelih. Seandainya, Soekarno tidak menggunakan analisa

kelas, tak mungkin ia mengetahui mana yang ditindas dan yang tertindas, dengan

itu, Soekarno tidak akan menyadari realitas marhaen.


Analisa kelas memang tidak dapat dipisahkan dengan membaca secara

keseluruhan realitas sosial dengan MDH, sehingga sangat dimungkinkan akan

menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak mesti dihadapi dengan perjuangan

kelas. Lagi pula, terpengaruh Marx terlebih dalam MDHnya tidak harus

menyepakati kesimpulan-kesimpulan cara perjuangan Marx. Justru dengan MDH

itu, dapat ditemukan situasi yang berbeda hingga cara perjuangan pun menjadi

berlainan dengan yang dibangun oleh Marx. Soekarno menyadari bahwa kelas

yang menindas rakyat Indonesia kala itu adalah imperialis-kolonialis dan tidak

ada kelas kapitalis nasional, maka menjadi rasional ketika perjuangan yang

ditempuh mesti menggunakan persatuan dan revolusi nasioal, alih-alih class

struggle.

Marhaenisme Hari Ini

Di atas sudah dijelaskan, bahwa Soekarno merumuskan marhaenisme dengan

analisa ekonomi-politik. Di samping itu, analisa ekonomi-politik itu juga yang

membuat Soekarno menemukan kesimpulan-kesimpulan atas masalah yang terjadi

dan merumuskan bentuk perjuangan yang harus ditempuh. Soekarno, singkatnya,

membaca realitas sosial untuk merumuskan marhaenisme dan upaya perjuangan

untuk mewujudkannya. Hal itu, berarti untuk melaksanakan perjuangan

marahenisme, marhaenis mesti memahami betul persoalan yang terjadi dalam

realitas sosialnya.
Soekarno memilih menggunakan persatuan dan revolusi nasional, karena

menyadari bahwa musuh (penindas) yang dihadapi adalah bangsa asing yang

hadir melalui imperialisme-kolonialisme. Soekarno mengemukakan bahwa

perlawanan harus menggunakan massa aksi alih-alih swadessi, karena ia

memahami bahwa di Indonesia tidak ada kelas borjuasi nasional apalagi produksi-

produksi yang memang dikuasi oleh pribumi. Soekarno sangat jelih dalam

membaca situasi, baru kemudian merumuskan langkah pergerekan.

Akan tetapi, apakah situasi yang terjadi saat ini sama saja dengan yang terjadi di

era Soekarno hidup? Pertanyaan ini sangat penting dijawab, karena hanya dengan

menjawab persoalan ini gerakan mewujudkan marhaenisme memiliki arahnya.

Dengan menjawab pertanyaan ini, upaya analisa terkait persoalan dan musuh yang

dihadapi dapat dilakukan, sehingga penyusunan langkah gerak pun lebih rasional.

Menjawab pertanyaan tersebut, marhaenis dipaksa untuk dapat mengetahui

kenyataan dan membedakannya dari keinginan. Gerakan yang dilandaskan pada

keinginan adalah voluntarisme yang hanya akan membawa pada mimpi-mimpi

indah.

Hanya saja tulisan ini lagi-lagi tak kuasa menjawab semuanya. Persoalan kondisi

dan situasi saat ini mesti lakukan bersama dengan serius. Pembacaan terhadap

perkembangan teori, perkembangan politik dan ekonomi-politik mesti dengan

serius dan jelih dibaca. Tulisan ini belum mampu memaparkan itu secara rijit.

Tulisan ini hanya berhak untuk memberikan sedikit saja refleksi sebagai

pengantar untuk kembali memikirkan marhaenisme.


Sebagaimana diketahui, marhanisme mengalami kemunduran yang signifikan di

zaman Orba. Tumbangnya Soekarno serta diburunya kekuatan kiri di Indonesia,

memaksa orang-orang mencari pengamanan. Marhaenisme pun seolah

diselundupkan: gagasannya dipisahkan dengan marxisme. Banyak anggapan yang

melihat wacana ‘marxisme ala Indonesia’ hanya upaya politik, tanpa penjelasan

yang jelas terkait teoritiknya. Apakah mungkin Soekarno membawa nama

marxisme hanya perkara politik meraih dukungan massa? Bukankah Soekarno

sendiri sudah memiliki nama besar dan dikung massa-rakyat Indonesia? Diskurus

marhaenisme menjadi sangat kaku, semata membicarakan suatu hal dengan

persfektif politik, alih-alih keilmuan.

Upaya de-soekarnoisasi yang dihadapi kalangan nasionalis-marhaenis membawa

orientasi politik yang cenderung ngelit. Untuk pengamanan diri dan barisan,

marhaenisme pun harus dibersihkan sama-sekali dari tetek-bengek marxisme.

Daripada digelandang pemerintah dan pergerakan berhenti, lebih baik

marhaenisme diutak-atik dan diselamatkan. Akan tetapi, haruskah terus begini?

Marhaenisme semestinya sudah mulai dikaji dan dikembangkan dengan jujur dan

didudukan dalam dimensi keilmuan, bukan kabut-kabut politik yang mencekam.

Marhaenisme harus dibaca kembali dan diartikulasi, guna menjawab persoalan

yang sekarang sedang terjadi.

Semenjak kekuasaan Soekarno dijatuhkan oleh Orde baru, orientasi politik

berubah total. Di masa Soekarno memang terjadi banyak perdebatan dan saling

tikam, akan tetapi sikap pemerintah tetap tegas dengan menolak imperialisme.

Namun di masa Orde Baru, pintu modal dibuka lebar. Penandatanganan perjanjian
dan hutang dilakukan, dengan alasan menyelamatkan ekonomi negara. Negara

memang krisis tapi pemerintah Orba tambah menjebloskan bangsa ini pada

cengkraman kapitalisme.

Kemerdekaan yang meruapakan revolusi nasional memiliki tujuan menegakkan

kedaulatan politik Indonesia sebagai negara dihianati. Pemerintah sendiri yang

justru menjual kedaulatan dan mengizinkan alam dieskploitasi demi kepentingan

akumlasi modal. Konstitusi yang menurut Soekarno seharusnya mengabdi pada

kemanusiaan, justru sebaliknya kemanusiaan dipaksa mengabdi pada konstitusi.

Sementara konstitusi itu mengabdi kepada kepentingan pemodal. Negara menjadi

penajaga pintu dan pemberi izin masuknya kapitalisme global melalui permainan

konstitusi.

Indonesia pun lambat laun tumbuh menjadi negara industri dengan modal di

mana-mana. Petani banyak yang dipaksa kehilangan lahannya. Proletarisasi tidak

bisa dihindari. Pengusaha Indonesia banyak yang tumbuh menjadi kekuatan besar

kapitalisme. Meskipun memang seringakali megap-megap melawan kekuatan

global. Hanya saja, kapitalis dalam negeri pun tak mau hanya berdiam diri.

Minimal berkerja sama dengan kapitalisme global, atau mendesak pemerintah

melindungi kepentingannya.

Pembacaan yang serius terhadap persoalan-persoalan ini mesti dilakukan. Apakah

situasi carut-marut dan pemiskinan yang terjadi di Indonesia memang sepenuhnya

ulah imperialisme? Atau imperialisme masuk justru karena izin kekuasaan dalam

negeri? Ataukah negara ini memang sudah tumbuh menjadi negara kapitalisme?
Jawaban atas pertanyaan di muka akan mengantarkan pada pertanyaan yang

fundamental dan langkah pergerakan kedepan: lantas masihkah kita bergerak

menggunakan persatuan dan revolusi nasional? Atau mengambil alih kekuasaan

dalam negeri dengan revolusi sosial, yang mau tidak mau akan membawa

gesekan kelas?

Semua tahu, Indonesia satu bangsa, namun apakah bangsa harus dipahami secara

naif? Apakah sosio-nasionalisme lebih peduli dengan persatuan daripada

kesejahteraan marhaen? Apakah mungkin persatuan dapat dilakukan, mungkinkah

kapitalis nasional dan oligarki mau bersatu dengan marhaen untuk kepentingan

marhaen? Sulit rasanya itu bisa terjadi.***

Yogyakarta, 19 Oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai