Teori Transformatif
Paradigma kritis di atas mampu menjawab persoalan stuktur formasi sosial yang
sedang bekerja, dan juga hanya bertumpu pada logika teoritik dan idealis. Namun
belum mampu mentransformasikannya, disinilah “Term Transformatif” melengkapi
teori kritis. Dalam perspektif Transformatif terdapat epistimologi perubahan.
Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang
bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau
petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama.
Disisi lain makna tranformatif mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan
sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang
bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1. Tranformasi Elitis ke Populi
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa
dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu
kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap
masyarakat yang terdampak perampasan ruang hidup oleh korporasi dan kaum elitis,
yang semuanya itu menyentuh akan kebutuhan masyarakat secara rill. Fenomena yang
terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan
jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis.
Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari
akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong
pada gerakan yang bersifat horizontal bukan vertikal pada arah tatanan politik praktis.
2. Transformasi Negara ke Masyarkat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat.
Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl
Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh
absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap
rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya
wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional
dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru
masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan
tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama
rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3. Tranformasi Srtuktur ke Kultur
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang
mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan
pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi,
aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan,
dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di
lapangan.
4. Transformasi Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa.
Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup
bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari
sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang
Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan
meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program
perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
Hasan Hanafi :
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam
konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui
masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama
diperlukan analisis sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas
teks kedalam kenyataan, atau dogmatis terkstual yang ada pada kitab-kitab dan tokoh
agama. Hasan Hanafi mengembalikan peran agama dalam menjawab problem
sosial yang dihadapi masyarakat dengan metode “kritik Islam” yaitu metode
pendefinisian realitas secara kongkret untuk mengetahui siapa memiliki apa,.
Penjabaran dari metode ini, dia menjelaskan “desentralisasi Ideologi” dengan cara
menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan
(sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran.
Usaha Hasan Hanafi dalam gagasannya ditempuh dengan mengadakan
rekontruksi terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan
memasukkan hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi.
Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi”
merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri.
Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl
Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya
“ideologi dan pembangunan “ lewat sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian
ke waktu, dari takdir ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke
tindakan, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
Ali Syariati
Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang
ideolog revolusi Islam di Iran. Dia mendalami ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial
modern, dan secara cerdik menggunakan hazanah tersebut secara kritis untuk
menganalisis kondisi sosial politik umat Islam.
Usaha besar Syariati terletak pada yang dengan demikian menunjukkan
terdapat beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam. Ali Syariati
menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai humanisme
sejati sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang
merdeka, dapat membuat pilihan-pilihan dan bebas berpendapat dan berkreatifitas,
sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai
humanisme tersebut meski di benturkan dengan kegetiran dan petaka saat melawan
kekuasaan otoriter dan penindas. Mengenai hal ini Syariati menganalogikan tokoh-
tokoh simbolik Kain dan Habel untuk menjelaskan dan menganalisis sejarah
kekuasaan. Menurut Qur’an Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah.
Hanyak kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh
Habel. Kain adalah petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai
munculnya monopoli produksi pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan
munculnya ketidaksamaan ekonomis dan adanya dominasi kekuasaan.
Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di tengah
sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh
simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan
Bala’am memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama
sebagai sistem upacara ritual. Ketiganya tak henti-hentinya berkolaborasi satu sama
lain dalam membangun dan melestarikan kecenderungan sejarah. Di abad
Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem teokrasi
yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia
dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah
teokrasi baru di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan
persamaan dan kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme Di sisi lain kapitalisme
telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi sebuah sistem yang
mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme telah
menciptakan kebudayaan materialis dan konsumerisme yang proses melucuti akar-
akar kebudayaan dan intergiditas bangsa, melucuti kemanusiaan mereka sehingga
menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi.
Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa
dalam Martyrdom berikut ini: Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas! Engkau
hendak merahmati, Orang-orang yang terampas di dunia ini, Orang kebanyak yang
bernasib tak berdaya, Dan kehilangan hidup, Orang yang diperbudak sejarah,Korban-
korban penindasan, Dan penjarahan waktu, Orang-orang celaka di atas bumi ini,
Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia, Dan pewaris-pewaris bumi, Sekarang
sudah tiba waktunya, Dan orang-orang terampas di atas bumi ini, Merupakan
pengharapan akan janji-Mu.
Mohammad Arkoun:
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam selama ini belum membuka diri pada
kemodernan pemikiran dan tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat
muslim kontemporer. Dia ingin dimasukkan pengetahuan modern ke dalam
pemikiran Islam. Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan
jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab
problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti inu terlihat
jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge). Teori pengetahuan
yang diasumsukan oleh Arkoun ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang
studi–studi agama Islam. Dalam hal ini dia membedakan wacana ideologis, wacana
rasional, dan wacana profetis. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-
menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana
dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan
konteksnya.
Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir
lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah
Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari kedua
contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan
manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain,
kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan
dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru
menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai
pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang
disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang
mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan
PMII).
Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma
Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran
serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial.
Alasan-alasan tersebut adalah:
1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme
modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik
yaitu budaya kapitalisme,konsumerisme dan pola berpikir pragamatis dan apatis.
2. Masyarakat Indonesia merupakan pengguna internet terbesar di dunia sehingga
perlu penanaman paragidma untuk meng-filter arus polarisai media
3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represifotoriter dengan pola
yang hegemonik (sistem pemerintahan dikuasi oleh oligarki pengguasan sda
bumi, perampasan ruang hidup).
4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama atas kepentingan politik dan trorisme ,
akibatnya agama menjadi fanatik dan terdistorsi, bahkan tidak jarang agama
justru menjadi memjadi penguat kapitalisme dan oligarki
Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis
Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena
pada hakekatnya dengan analisis Transformatif mengidealkan sebuah bentuk
perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga
tercermin dalam keinhginan PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII
yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional
Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi
Pendidikan yang Transformatif.