Anda di halaman 1dari 9

Paradigma Kritis Tranformatif

Apakah Paradigma itu?

Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya
“The Structure of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociology of
Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti
ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bukan menggunaakn paradigma
dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam
tiga pengertian paradigma.

1. Paradigma Metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.

2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang
diterima secara umum.

3. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu,
misalnya paradigma pembangunan, peradigma pergerakan dll.

Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi
pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter). Sedangkan
George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, bagaimana seharusnya
menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Maka, jika dirumuskan secara sederhan sesungguhnya paradigma adalah “how to see the word” semacam
kacamata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir soal ini kemudian
menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.

Apa yang disebut Teori Kritis?

Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah tajam/ tegas dan teliti
dalam menamggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang
berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.

Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain,
teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi
oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi
pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara
Adorno (kubu sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu sekolah Wina – paradigma neo
positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jurgen Hebermas
(kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Hebermas adalah tokoh
yang berhasil mengintegrasikan metode analisis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh
meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan
merekonstruksi dan teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori
kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus malampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan
menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan
pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf),
Friedich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal
(sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba
menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan new
left di Amerika).

Pada intinya Madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi
determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila ekonomi
sudah stabil. Jadi basic structure (ekonomi) sangat menentukan supras struktur (politik, sosial, budaya,
pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap
masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada
struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).

Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang
ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan Teori
Kritik” (Traditionelle und Kritische Theorie) ini, konsep “Teori Kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama
teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert
marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua Madzhab Frankfurt yaitu Jurgen
Hebermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.

Diungkapkan George Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi:

· Teori Marxain yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi;

· Positivisme dalam sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora
katakanlah kritik epistemologi;

· Teori-teori sosiologi yang yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo;

· Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebak pada irrasionalitas, nalar teknologis, nalar
instrumental yang gagal membebaskan mansusia dari dominasi;

· Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.

Madzhab Frankfurt mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal:


1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);

2. Berpikir empiris-historis;

3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;

4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Mereka mengembagkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan
hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.

Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Knt, Hegel, Karl
Marx dan Sigmund Freud.

1. Kritik dalam pengertian Kantian.

Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahaun secara subjektif sehingga akan
membentuk paradigma segala sesuatu secara subjektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras
epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuik menemukan
kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahaun. Bisa juga disederhanakan
bahwa kritik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuan) bahwa rasio
dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat
transedental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.

2. Kritik dalam pengertian Hegelian.

Kritik dalam makna Hegelian merupaakn kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant
berambisi membangun suatu “metateori’ untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian
kritis merupakan refleksi diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel
merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nay Spinoza.
Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Knt, hegel
memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Denagn kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme
bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian
Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan
diri-rasio dalam sejarah manusia.

3. Kritik dalam pengertian Marxian.

Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hehgelian
dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius
sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian
Marxian berarti usaha untuk mengemanisipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh
hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Frudian.

Madzhab Frankfurt meneriama Sigmund Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis
masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyaraakt. Freud
memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan
sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik atas konflik psikis yang menghasilkan
represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritik atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Berdasarkan empat pengertian kritis diatas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi
pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris
harus memnuhi tiga syarat: Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada
zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga,
tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuik mendapatkan hasil
yang obyektif.

Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial:

William Perdue menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:

1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)

Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbanagan sistemik.
Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya.
Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap
masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini
dituduh a historis, konservatif, pro-status quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari
hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.

Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:

Elemen Paradigmatik

Asumsi Dasar

Type Ideal

Imajinasi sifat dasar manusia

Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangna personal dan berpotensi memunculkan


disintegrasi sosial

Pandangan Hobes mengenai konsep dasar Negara


Imajinasi tentang masyarakat

Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo,


anti perubahan

Negara Republic Plato

Imajinasi ilmu pengetahuan

Sistemic, positivistic, kuantitatif dan prediktif

Fungsionalisme Augeste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Person

1. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)

Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan
bahwa:

· Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi
prinsip penggerak perubahan.

· Perubahan tidak selalu gradual, namun juga revolusioner.

· Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious ciecle)
tak berujung pangkal.

Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai
inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument
perubahan.

Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat dilihat sebagai berikut:

Elemen Paradigma

Asumsi Dasar

Type Ideal

Imajinasi sifat dasar manusia

Rasional, kooperatif, sempurna


Konsep homo feber hegel

Imajinasi tentang masyarakat

Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia

Negara Republic Plato

Imajinasi ilmu pengetahuan

Filsafat materialisme, historis, holistic, dan terapan

Materialisme historis Marx

Plural Paradigm (Paradigma Plural)

Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya
membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia
sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan
dan menafsirkan realitas sosial yang ada di sekitarnya.

Untuk memahami pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:

Elemen Paradigma

Asumsi Dasar

Type Ideal

Imajinasi sifat dasar masnusia

Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif

Konsep kesadaran diri Immanuel Kant

Imajinasi tentang masyarakat

Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme kontrol

Konsep kontrak J.J Rousseau

Imajinasi ilmu pengetahuan


Filsafat idealisme, tindakan mansusia tidak dapat diprediksi

Metode verstehen Webber

Terbentuknya Paradigma Kritis

Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma Kritis setelah dilakuakan elaborasi antara paradigma
pluralis dan paradigma konflik.

Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia
merupaakn sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan
paradigma konflik mempertajam paradigma kritis denagn asumsinya tentang adanya pembongkaran atas
dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.

Apabila disimpulakn apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam
melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:

a. Analisis Struktural : membaca format politik, format ekonomi, dan politik hukum suatu masyarakat,
untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegemonik,
dominatif, dan eksploitatif.

b. Analisis Ekonomi : untuk menemukan fariabel ekonomi politik baik [pada level nasional maupun
internasional.

c. Analisis Kritis yang membongkar ideologi dominan baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu
atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formulasi suatu wacana resmi dan pola-pola ekslusi antar
wacana.

d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.

e. Analisis Kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor
sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

Kritis dan Transformatif

Paradigma Kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang
bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-system yang menciptakan relasi tidak adil,
hegemonik, dominatif, dan eksploitatif ; namun belum mampu memberikan perspektif tentang jawaban
terhadap formasi sosial tersebut ; strategi mentransormasikannya ; disinilah “Term Transformatif”
melengkapi teori kritis.

Dalam perspektif transformatif diianut epistemologi perubahan non esensialis. Perubahan yang tidak
hanya menumpukkan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah: entah
kaum miskin kota, buruh, atau petani, tapi perubahan yang serentak dilakukan secara bersama-sama. Disisi
lain makan transformatif harus mampu mentransformasikan gagasasn dan gerakan samapi pada wilayah
tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada tataran praksis
antara lain:

1. Transformasi dari elitisme ke populisme

Dalam model transformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan
sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani,
pendampingan terhadap masyarakat yang disugur akibat adanya proyek pemerintah yang sering
berselingkuh dengan kekuatan kaum pemodal dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh
akan kebutuhan rakyat secara riil.fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih
memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnay
sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum terpelajar jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita
sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horizontal.

2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat

Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap Hegel. Hegel
memaknai negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan
kebijakan terhadap rakyatnya. Dismping itu, Hegel mengatakan bahwa negara adalah satu-satunya wadah
yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini
dibantah Marx. Marx megataakan bahwa justru masyrakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam
menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama
rakayt bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi di setiap bangsa atau
negara.

3. Transformasi dai Struktur ke Kultur

Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud
jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik
seperti yang dialakuakn pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik.
Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal
ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan
kerasnya benturan sosial di lapangan.

4. Transformasi dari Individu ke Massa

Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi
disebutkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang sangat membutuhkan kehadiran makhluk yang lain.
Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citaakn oleh para faundhing fathers kita tentang
adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jauh-jauh dari sifat
manusia, salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi
massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam
menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).

Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang diterapkan di PMII?


Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan
demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan
sekuler jika pola pikir tersebut dibelakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan
adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan
memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya.

PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk
dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua
ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah
yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII.

Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis
dari bebrapa intelektual Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.

Mengapa PMII Memilih Paradigma Kritis Transformatif?

“Berpikir Kritis & Bertindak Transformatif” itulah jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang
sedang terjadi dalam konteks apapaun. Dana ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki
Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta
menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah:

1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana
kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola
berpikir positivistik modernisme.

2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secaar etnis, tradisi, kultur
maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).

3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik
(sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).

4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang
agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.

Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Transformatif untuk dijadikan pisau
analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisa PKT mengidealkan sebuah
bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas
imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi output kader PMII yang diantaranya adalah: Intelektual Organik,
Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi
Pendidikan yang Transformatif, Pemangku Kebijakan yang Pro Rakyat, pengamat Pendidikan yang Tajam.

Anda mungkin juga menyukai