Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan buku ini dibuat menarik dengan menampilkan surat Max Horkheimer kepada Hans,
saudara sepupunya. Surat yang dibuat pada tanggal 11 Juli 1916 atau ketika Horkheimer berusia 21
tahun itu berisi tentang penderitaan Ny. Katharina Krammer, buruh wanita di pabriknya, yang tidak dapat
bekerja lagi karena sakit ayan. Meski isi surat terdengar sederhana, namun melalui surat itu juga tersirat
tentang kemarahan Horkheimer terhadap ketidak-adilan yang senantiasa melindas kehidupan sehari-hari
orang-orang di sekelilingnya. Sejak masa mudanya, Horkheimer memang selalu menolak tatanan sosial
yang dianggapnya tidak benar. Pemikiran inilah kelak ia wujudkan dalam pemikiran teoritisnya ketika ia
menjadi Direktur Sekolah Frankfurt.
Max Horkheimer dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen Jerman. Perkenalan Horkheimer pertama
kali dengan filsafat adalah lewat buku filsuf pesimistis Schopenhauer berjudul Aphorisms on the Wisdom
of Life yang dihadiahkan sahabatnya Friedrich Pollock. Tahun 1926, Horkheimer dikukuhkan sebagai
guru besar di Universitas Frankfurt dengan pidato pengukuhan tentang Immanuel Kant, berjudul Kants
Critique of Judgment. Idealisme Kant kelak juga amat mempengaruhi pemikiran Horkheimer.
Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt. Dan di bawah
Horkheimerlah, Sekolah Frankfurt mengalami zaman keemasannya. Tahun 1933, anggota sekolah
Frankfurt yang kebanyakan Yahudi berimigrasi ke luar negeri karena tekanan Nazi. Sekolah Frankfurt
memindahkan pusatnya ke Amerika karena diperkenankan berafiliasi dengan Universitas Columbia.
Garis besar pemikiran Sekolah Frankfurt memang terletak dalam perspektif filosofis. Meski demikian
Sekolah Frankfurt tidak menganggap remeh hal-hal empiris. Sosiologi kritis Sekolah Frankfurt ingin agar
sosiologi tidak menjadi sekedar duplikat dari realitas sosial yang ditelitinya. Lebih dari itu, ia ingin
menemukan essensi dari suatu realitas sosial.
BAB II
LATAR BELAKANG HISTORIS DAN TEORETIS SEKOLAH FRANKFURT
Istilah Sekolah Frankfurt dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan yang tergabung
dalam Institut fur Sozialforschung (Institute for Social Research), yang didirikan di Frankfurt am Main,
tahun 1923. Pelopor institut tersebut adalah Felix J. Weil yang ingin menghimpun cendekiawancendekiawan kiri untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai dengan kebutuhan saat itu. Anggotaanggota institut yang pertama adalah Friedrich Pollock, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Erich
Fromm, Karl August Wittfogel, Franz Neumann, Otto Kirchheimer, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, dan
Max Horkheimer sendiri. Adapun ajaran Sekolah Frankfurt lebih tepat disebut sosiologi politik dan teori
kebudayaan daripada teori ekonomi politik. Dan untuk menyalurkan aspirasi para anggotanya,
Horkheimer menerbitkan majalah berkala Zeitschrift fur Sozialforschung.
Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai titik tolak pemikirannya. Namun Sekolah
Frankfurt juga meletakkan dirinya dalam perspektif idealisme Jerman, yang dirintis Immanuel Kant
(kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur, ia
memasukkan ajaran Freud ke dalam pemikiran Sekolah Frankfurt. Meski hal tersebut dianggap
melanggar keortodoksan marxisme, Horkheimer tetap beranggapan bahwa psikoanalisa Freud
merupakan kebutuhan mendesak bagi teori kritis untuk menghadapi tantangan zaman modern di mana
terjadi kapitalisme monopolis dan fasisme.

Filsafat kemanusiaan memang cukup mempengaruhi teori kritis Sekolah Frankfurt, namun tidak demikian
dengan neo-positivisme yang pada waktu ittu subur berkembang. Aliran ini justru mendapat kecaman
mereka, namun karena perlawanan inilah kita juga menjadi semakin tahu corak pemikiran Sekolah
Frankfurt. Neo-positivisme (atau disebut juga: positivisme logis, empirisme logis, filsafat analitis, atau
filsafat bahasa) adalah aliran yang mengarahkan perhatiannya pada bahasa sebagai obyek penyelidikan
dan menganggap hal menciptakan kejelasan di bidang pemakaian bahasa sebagai sasaran aktivitas
mereka.
Teori kritis sangat bertolak belakang terhadap neo-positivisme. Berdasarkan cara kerjanya yang dialektik,
teori kritis tidak akan mendewakan ilmu pengetahuan dan memandangnya sebagai satu-satunya unsur
yang menentukan kehidupan. Teori kritis menganggap ilmu pengetahuan sebagai salah satu unsur yang
tidak dapat dilepaskan dari unsur lainnya, yang berkaitan satu sama lain secara dialektis. Teori kritis tidak
netral seperti neo-positivisme tetapi berpihak pada nilai-nilai yang dianggap dapat menentang keadaan
yang mapan, serentak mengusahakan bagaimana nilai-nilai itu dapat terwujud.
BAB III
TEORI KRITIS SEBAGAI TEORI EMANSIPATORIS
1. Teori Tradisional
Dalam pandangan tradisional, teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-proposisi tentang suatu
subyek. Adapun tujuan teori tradisional adalah membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal.
Ini nampak dalam cita-citanya yang selalu ingin meraih a universal systematic science. Konsep-konsep
umum itu dipakai sebagai semacam peralatan teknis untuk menganalisa apa saja dan dapat digunakan
pada setiap kesempatan. Dari sini terlihat bahwa teori tradisional bersifat netral, karena ia menyediakan
diri hanya sebagai alat, yang siap pakai untuk menganalisa secara teknis setiap hal dan keadaan
termasuk masyarakat.
Demikian ciri dan sifat teori tradisional. Ia netral terhadap fakta di luar dirinya. Ia berpijak hanya pada ilmu
pengetahuan, dan ia memisahkan teori dan fakta karena memandang fakta hanya secara lahiriah. Oleh
karena itu Horkheimer menuduh teori tradisional sebagai teori yang bersifat ideologis, berdasarkan tiga
hal berikut: 1) Kenetralannya menjadi kedok pelestarian yang ada, 2) Teori tradisional berpikir secara
ahistoris, dan 3) Teori tradisional memisahkan teori dan praxis.
2. Teori Kritis
Horkheimer memperlihatkan bahwa teori tradisional telah gagal menjadi teori emansipatoris. Horkheimer
bahkan menetapkan teori kritis sebagai teori yang bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan
manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian pula kesadaran untuk pembangunan
masyarakat rasional tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Intinya,
ia hendak menjadikan teori kritis sebagai teori emansipatoris, dengan sifat dan cirinya yang diyakini
Horkheimer mendukung hal itu, yaitu: 1) Teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat, 2) Teori kritis
berpikir secara historis, dan 3) Teori kritis tidak memisahkan teori dan praxis.
Adapun keyakinan teori kritis bahwa semua keadaan dan masa depan sebenarnya tergantung pada
manusia itu sendiri. Dengan wewenangnya manusia dapat merancang sejarah yang diinginkannya,
mengatur hubungan kerja yang semestinya, membentuk masyarakat sesuai dengan rasionalitasnya.
Dengan demikian sarjana tidak usah merasa asing dari alam lingkungannya. Seorang sarjana tidak perlu
lagi mencari bentuk keaktifan lain di luar keaktifannya sebagai sarjana demi pengabdiannya kepada
masyarakat: sebagai sarjana sekaligus ia juga warga negara karena masyarakat sudah benar-benar
merupakan alam lingkungan yang diinginkannya.

BAB IV
DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL: TERBENAMNYA AKAL BUDI OBYEKTIF DAN TERBITNYA
AKAL BUDI INSTRUMENTALIS
Menurut Horkheimer, bahkan teori kritis yang baru disodorkannya tidak akan bisa membebaskan manusia
dari keirasionalan masyarakat zaman ini. Menurut tahap pemikiran Horkheimer selanjutnya (tahap
kedua), masyakarat modern sudah terlanjur merupakan suatu sistem tertutup dan total. Tertutup karena
tidak mengijinkan usaha-usaha untuk membuka dan mempersoalkannya, artinya orang dalam setiap
situasi dan hal apapun mau tak mau harus mengikuti hukum dan aturan main sistem itu. Total karena
semua segi kehidupan individual maupun sosial sudah ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Horkheimer merumuskan dilema usaha rasional manusia itu sebagai terbenamnya akal budi obyektif
ternyata harus dibayar dengan terbitnya akal budi yang melulu instrumentalis. Dalam karyanya Eclipse of
Reason, Horkheimer menunjukkan di sana-sini bahwa usaha manusia rasional yang jaya ternyata
menuntun manusia menuju kepada kehancurannya. Itulah inti kritik akal budi instrumentalis dari
Horkheimer.
Menurut Horkheimer, akal budi subyektif adalah akal budi yang mengarah pada kegunaan.Pengertian
akal budi subyektif berkembang subur dalam tradisi empirisme dengan ajarannya tentang selfpreservation, di mana akal budi semata-mata dipakai sebagai sarana atau alat untuk memperhitungkan
segala kemungkinan demi tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yakni tujuan yang berguna bagi
kepentingan subyek untuk mempertahankan dirinya.
Di samping formalisasi akal budi, Horkheimer juga menyebutkan salah satu sebab paling menyolok yang
memudahkan pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis yakni perpisahan agama dan
filsafat. Formalisasi akal budi dan perpisahan filsafat dari agama mesti dimengerti sebagai usaha
manusia untuk mencapai pengertian rasional. Jadi pergeseran akal budi obyektif ke akal budi
instrumentalis adalah usaha manusia rasional.
Di zaman ini juga lahir filsafat neo-Thomisme yang pragmatis dan neo-positivisme yang melulu
instrumentalis. Kedua aliran yang saling bermusuhan ini mau menyelamatkan manusia, tapi ternyata
justru menceburkan manusia untuk tetap tenggelam dalam keirasionalan masyarakat zaman ini, sebab
sebenarnya kedua aliran ini memperlihatkan sikap yang sama: menerima dan melestarikan masyarakat
irasional dewasa ini.
Berdasarkan hal-hal di atas, Horkheimer beranggapan bahwa setiap kali manusia berusaha meraih
pengertian rasional, saat itu juga ia menjadi irasional. Itulah dilema usaha manusia rasional menurut
Horkheimer.
BAB V
DIALEKTIKA USAHA MANUSIA RASIONAL: USAHA MANUSIA RASIONAL ADALAH MITOS
Bab ini mencoba menjabarkan isi dari karya Horkheimer yang berjudul Dialectic of Enlightmen, yang
digarapnya bersama Adorno pada tahun 1947. Di dalam karyanya ini, Horkheimer mencoba menjawab
atas rentetan pertanyaan yang muncul, seperti kenapa dilema usaha manusia rasional itu terjadi?
Kenapa makin manusia berusaha meraih pengertian rasional, makin ia menjadi irasional? Atau kenapa
makin membebaskan diri dari ketakutan di luar dirinya demi kedaulautan dirinya, makin manusia
dibelenggu oleh kekuatan di luar dirinya hingga kehilangan kedaulatan dirinya?

Mitos awalnya dimengerti sebagai percobaan manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaanpertanyaannya tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri. Dalam mitologi Yunani pertanyaanpertanyaan manusia tentang kejadian alam semesta sudah dijawab, tapi jawaban itu diberikan justru
dalam bentuk mitos, artinya suatu bentuk penjelasan yang sama sekali meloloskan diri dari setiap kontrol
pihak rasio manusia. Jadi dalam pengertian itu mitos(bahasa Yunani: muthos) dilawankan
dengan logos (akal budi, rasio).
Sejak semula usaha manusia rasional bermaksud untuk menghilangkan mitos. Tapi menurut Horkheimer,
usaha manusia rasional takkan pernah berhasil menghilangkan mitos, malah secara niscaya usaha itu
pasti akan mengakibatkan mitos. Sebab berdasarkan dialektika usaha manusia rasional sendiri, usaha
manusia rasional adalah mitos. Hal ini disebabkan usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri,
tidak otonom, tidak dapat mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi, ada dan mengenal
dirinya hanya berkat dan di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha manusia rasional itu niscaya atau tidak
dapat tidak adalah mitos sendiri.
Mitos selalu mengandung the idea of activity, yakni penghadiran kembali atau representasi dari yang ilahi.
Dalam usaha manusia rasional juga ada semacam representasi, yakni daya guna ilmu pengetahuan.
Horkheimer malah akan menunjukkan bahwa representasi itu mengandung pengertian rasional,
sedangkan daya guna adalah mitos. Menurut Horkheimer, menjadi jelas bahwa mitos itu adalah usaha
manusia usaha rasional sebab ia sesungguhnya dapat memahami adanya yang ilahi pada dirinya sendiri,
bahkan jika tanpa representasi atau daya gunanya.
Dialektika usaha manusia rasional inilah yang membuat pemikiran Horkheimer menjadi pesimistis.
Dalam Eclipse of Reason, pemikirannya seakan sudah diambang buntu ketika ia melihat bahwa usaha
manusia rasional nampaknya gagal. Dalam Dialectic of Enlightenment,pemikirannya sudah benar-benar
menemui jalan buntu karena ia membuktikan bahwa usaha manusia rasional niscaya gagal. Optimisme
teori kritis tahap pertama pun ditinggalkannya.
BAB VI
AKHIRULKALAM
Pada bab ini merupakan kesimpulan dari Sindhunata mengenai pemikiran-pemikiran Horkheimer sendiri
berkaitan dengan dilema usaha manusia rasional. Sindhunata selaku penulis buku ini, meski sangat
menghargai jasa-jasa Horkheimer dalam usahanya membeberkan keirasionalan-keirasionalan
masyarakat modern zaman ini, namun juga mengakui bahwa pemikiran Horkheimer yang pesimis pada
tahap kedua terpaksa dinilai Sindhunata kurang memadai sebagai teori emansipatoris.
Tahapan kedua teori kritis Horkheimer yang terjerat dengan dialektika usaha manusia rasional dan yang
bisa dituduh ideologis itu menjauhkannya dari garis Hegelian-Marxis yang semula dijadikan dasar
berpijak teori kritisnya. Pemikirannya pada tahap kedua ini menjadi konservatif dan spekulatif. Ia memang
masih memakai kategori-kategori warisan Marx, seperti nilai tukar, pembagian kelas, komoditi dan
sebagainya. Namun kategori-kategori tersebut diterangkannya secara amat spekulatif. Misalnya, ia
menghubungkan nilai tukar dengan keirasionalan substitusi pada mitos.
Namun akhirnya, dialektika usaha manusia rasional dari Horkheimer biar bagaimanapun sudah
membantu orang untuk mulai menyadari keirasionalan-keirasionalan zaman ini. Tapi kiranya orang tidak
perlu pesimis karena dialektika usaha manusia rasional yang kokoh namun berakhir dengan jalan buntu
itu. Sebaliknya orang mesti optimis karena masih ada dialektika masyarakat yang kiranya dapat
diharapkan bakal membawa masyarakat menjadi makin rasional. Dialektika masyarakat inilah salah satu

pegangan yang menjamin bahwa sebenarnya orang tak perlu khawatir akan dilema usaha manusia
rasional.***

Anda mungkin juga menyukai